Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Aspek terbesar pada peningkatan produksi adalah kurangnya peningkatan teknologi, perluasan pasar dan biaya operasional yang tinggi, untuk itu diperlukan
bantuan dari berbagai pihak untuk menyediakan modal usaha atau modal operasional yang meringankan nelayan dalam melaksanakan kegiatannya.
Mengingat masih banyak lembaga keuangan yang membatasi kredit atau penyaluran modal bagi usaha bidang perikanan, terutama perikanan tangkap
Sparre dan Vanema 1999. Salah satu komponen pokok yang sensitif dan selalu menjadi ciri khas pada
usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah adalah permasalahan permodalan. Permasalahan modal bukan disebabkan oleh tidak adanya lembaga
keuangan dan kurangnya uang yang beredar, namun disebabkan sebagian besar lembaga keuangan di Indonesia kurang berminat pada kegiatan usaha perikanan,
karena dianggap beresiko tinggi high risk mengingat hasil tangkapan nelayan tidak pasti. Lembaga keuangan pada umumnya menetapkan syarat agunan
collateral yang sulit untuk dapat dipenuhi oleh pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil untuk memperoleh pinjaman.
Permasalahan dalam implementasi pengembangan armada perikanan tangkap dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, 2001 yaitu: 1
Mikroteknis, yakni masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi internal pengembangan armada perikanan tangkap,
2 Makro-struktural kebijakan ekonomi makro yang kurang kondusif yakni
masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi eksternal, baik ekonomi- makro, politik, hukum, maupun kelembagaan
. Masalah Mikroteknis meliputi :
1 Tingkat kemiskinan nelayan yang tinggi
Masalah utama dalam bidang perikanan tangkap adalah tingkat kemiskinan nelayan. Hal ini terlihat dari kondisi wilayah pesisir yang identik dengan
kekumuhan dan ketertinggalan. Kemiskinan struktural masyarakat pesisir yang terjadi, merupakan resultante dari berbagai masalah lainnya.
2 Rendahnya Produktivitas
Dalam perikanan tangkap rendahnya produktivitas nelayan disebabkan karena tiga faktor utama, yakni sebagian besar nelayan masih merupakan
nelayan tradisional dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga kapasitas tangkapnya rendah. Mereka memiliki berbagai
keterbatasan, antara lain dalam hal pengetahuan, keterampilan, akses permodalan dan pasar serta telah terjadinya kerusakan ekosistem lingkungan
laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun seagrass beds, yang merupakan habitat ikan dan organisme laut lainnya
untuk memijah, mencari makan, atau membesarkan diri nursery ground. Kerusakan lingkungan laut ini juga disebabkan oleh pencemaran, baik yang
berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. 3
Gejala tangkap lebih Berkaitan dengan gejala tangkap lebih di beberapa kawasan, jenis stok
sumberdaya perikanan yang telah mengalami tangkap lebih adalah udang hampir mengalami tangkap lebih di seluruh perairan Indonesia, kecuali
Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia. Kondisi tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi
pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia. Mengingat kemampuan nelayan-nelayan kita masih sangat terbatas sehingga sulit melakukan
ekspansi penangkapan pada perairan ZEEI. 4
Rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan. Diakui bahwa kemampuan teknologi pasca panen penanganan dan
pengolahan produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standarisasi mutu produk secara internasional seperti HACCP, persyaratan
sanitasi, dan lainnya masih lemah. 5
Lemahnya kemampuan pemasaran produk perikanan Pemasaran komoditas perikanan Indonesia di pasar dalam negeri maupun
ekspor, sebagian besar masih ditentukan oleh para pembelikonsumen buyer market. Hal ini mengakibatkan harga jual produk perikanan
seringkali kurang menguntungkan pihak produsen nelayan atau petani ikan. Ada dua faktor utama yang membuat pemasaran produk perikanan
Indonesia masih lemah. Pertama, karena lemahnya market intelligence yang
meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera
preference para konsumen. Kedua, belum memadainya prasarana dan
sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian delivery produk perikanan dari produsen ke konsumen
secara tepat waktu. 6
Tidak stabilnya harga-harga faktor produksi Panjangnya rantai pemasaran dalam proses pembelian faktor-faktor
produksi berakibat pada besarnya beban harga yang harus dibayar nelayan. Selain itu, kenaikan harga bahan bakar minyak BBM yang merupakan
60 dari biaya operasi penangkapan juga telah meningkatkan harga-harga kebutuhan nelayan.
7 Pengembangan teknologi, data dan informasi
Keterbatasan teknologi informasi menyebabkan sumberdaya yang tersedia tidak dapat teridentifikasi secara memadai. Data dan informasi tentang
perikanan masih tersebar dan belum tertata dengan baik dalam suatu sistem jaringan sehingga sulit mengaksesnya untuk menetapkan suatu kebijakan.
Selain itu tingkat akurasi dan validasinya juga masih diragukan. Masalah Makro struktural yang meliputi :
1 Ekonomi makro yang belum kondusif bagi kemajuan perikanan
Sebagai suatu sistem aquabisnis, keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tiga sub-sistem utamanya, yakni: 1 produksi, 2 pasca
panen penanganan dan pengolahan, dan 3 pemasaran; tetapi juga oleh sub-sistem penunjangnya yang meliputi: 1 sarana dan prasarana, 2
finansialkeuangan, 3 sumberdaya manusia dan IPTEKS, dan 4 hukum dan kelembagaan. Kebijakan pemerintah di ketujuh sub-sistem bidang
aquabisnis perikanan dinilai secara umum belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan, seperti kebijakan tentang kredit murah dan lunak
yang belum ada, misalnya bunga sekitar 10 untuk mendukung usaha perikanan tangkap ataupun industri pengolahan dan tidak terpenuhinya
investasi yang seharusnya dibutuhkan disektor perikanan tangkap dan sulitnya melakukan investasi.
2 Sistem hukum dan kelembagaan perikanan yang masih lemah
Dari sisi peraturan dan perundang-undangan pada bidang perikanan, jika ditinjau dari segi materi peraturan dan perundang-undangan sudah relatif
memadai, namun yang belum memadai adalah implementasinya. Untuk dapat menerapkan kebijakan pembangunan perikanan diperlukan instrumen
hukum dan kelembagaan yang memadai. Kesepakatan pakar dan pengamat pembangunan perikanan dari dalam maupun luar negeri, bahwa
implementasi dan penegakkan hukum law enforcement bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan
masih terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun cyanida, dan juga aktivitas penangkapan ikan secara ilegal,
penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggungjawab, dan seterusnya. Disisi lain,
terjadi juga tumpang tindih over lapping kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pengelolaan wilayah-wilayah tersebut ditangani lebih dari satu departemen yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda. Padahal hubungan
ekologis, biologis dan ekonomi daerah pesisir, pantai, laut, sungai maupun danau saling terkait satu dengan lainnya. Adanya tumpang tindih juga dapat
dilihat dari pemahaman yang sempit mengenai otonomi daerah, khususnya yang menyangkut kewenangan dalam pengelolaan wilayah laut, baik oleh
sebagian aparat di daerah, nelayan maupun masyarakat luas. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antar nelayan dibeberapa daerah
sehubungan dengan perebutan daerah penangkapan, dispute antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi, kabupaten atau kota,
pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten atau kota, maupun antar pemerintah kabupaten atau kota. Apabila kondisi ini berlangsung terus maka
pelaksanaan pembangunan perikanan tangkap sangat dimungkinkan akan mengalami hambatan.