= banyaknya peubah bebas + 1 n = banyaknya pengamatan
Apabila H ditolak, maka model regresi yang diperoleh dapat
digunakan.
b. Uji Parsial Uji t
Uji parsial digunakan untuk menguji apakah sebuah peubah bebas X benar-benar memberikan kontribusi terhadap peubah terikat Y. Dalam
pengujian ini ingin diketahui apakah jika secara terpisah, suatu peubah X masih memberikan kontribusi secara nyata terhadap peubah terikat
Y. Baik intersep dan kooefisien regresi keduanya memiliki value lebih kecil dari 0,05.
Hipotesis untuk uji ini adalah: H : j = 0 dan H
1
: j 0 dimana: j
= 0, 1, ..., k k
= banyaknya peubah bebas X Uji parsial ini menggunakan uji-t, yaitu:
jika t
hitung
t
tabel
n-p, maka terima H jika t
hitung
t
tabel
n-p, maka tolak H dimana :
n-p = parameter t
tabel
n = banyaknya pengamatan p = banyaknya parameter koefisien model regresi linear
Apabila H ditolak, maka peubah bebas X tersebut memiliki
kontribusi nyata terhadap peubah terikat Y. Pengujian signifikansi koefisien selain dapat menggunakan tabel, juga dapat dihitung dengan
uji t berikut : . .........……………………………………………...10
c. Koefisien Determinasi R
2
Koefisien determinasi adalah besarnya keragaman informasi di dalam peubah Y yang dapat diberikan oleh model regresi yang
didapatkan. Nilai R
2
berkisar 0-1. Apabila nilai R
2
dikalikan 100, maka hal ini menunjukkan persentase keragaman informasi di
peubah Y yang dapat diberikan oleh model regresi yang didapatkan. Semakin besar nilai R
2
, semakin baik model regresi yang diperoleh.
3. Uji Asumsi Klasik Regresi linear
1. Error atau Galat menyebar normal dengan rataan nol dan suatu ragam variance tertentu. Penulisan matematis dari asumsi kedua ini adalah:
€ ~ N 0, 2……………………………………………………….11
Dimana : € = galat ~ = menyebar mengikuti distribusi
N 0,
2 = sebaran normal dengan rata-rata nol dan ragam 2
Statistik uji yang paling sering digunakan untuk menguji asumsi kenormalan galat dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov
normality test. Uji Kolmogorov-Smirnov bekerja dengan cara membandingkan 2 dua buah distribusisebaran data, yaitu distribusi
yang dihipotesiskan dan distribusi yang teramati. Distribusi yang dihipotesiskan dalam kasus ini adalah distribusi normal. Sedangkan
distribusi yang teramati adalah distribusi yang dimiliki oleh data yang sedang kita uji. Apabila distribusi yang teramati mirip dengan
distribusi yang dihipotesiskan distribusi normal, maka dapat disimpulkan bahwa data yang kita amati memiliki distribusisebaran
normal. Hipotesis dalam uji normalitas adalah : H
: Data menyebar normal, H
1
: Data tidak menyebar normal. Uji ini ditentukan dengan nilai value. Jika value lebih besar
dari 0,05 maka H dapat diterima dan dapat dikatakan bahwa asumsi
kenormalan galat tidak dilanggar. 2. Ragam dari galat bersifat homogen homoskedastik. Maksud dari
ragam bersifat homogen adalah bahwa galat memiliki nilai ragam yang sama antara galat ke-i dan galat ke-j. Secara matematik ditulis
2 €i
2 €j
2 €
dimana i, j = 1, ...., n; dan n = banyaknya pengamatan. Galat sebenarnya berupa data. Hanya saja, sangat sulit atau bahkan
tidak mungkin untuk mengetahui nilainya secara pasti. Maka, diperlukan suatu penduga dari data galat. Data penduga yang paling
tepat adalah data residual. Setiap nilai dari data residual diharapkan memiliki nilai ragam yang mirip. Apabila galat memiliki ragam yang
homogen, maka seharusnya serupa residualnya. Dengan demikian, apabila ditemukan bahwa residual memiliki ragam yang homogen,
maka dapat dikatakan bahwa galat memiliki ragam homogen. Statistik uji yang sering digunakan adalah Breusch-Pagan test. Hipotesis yang
berlaku dalam uji homoskedatisitas ragam galat adalah : H :
2 €i
=
2 €j
= ….
2 €n
=
2 €
dan H
1
: Setidak-tidaknya ada satu pasang ragam galat yang tidak sama. Statistik uji Breusch-Pagan test
menghasilkan valuelebih besar dari 0,05 yang mengindikasikan penerimaan H
. Jika hal tersebut terjadi, maka disimpulkan bahwa
tidak terjadi homoskedastisitas pada ragam galat. 3. Residu tidak mengalami autokorelasi
Adanya autokorelasi pada galat mengindikasikan bahwa ada satu atau beberapa faktor peubah penting yang mempengaruhi peubah terikat
Y yang tidak dimasukkan ke dalam model regresi. Statistik uji yang sering dipakai adalah Durbin-Watson statistics atau DW-statistics.
Hipotesis untuk uji asumsi autokorelasi yang sering dipakai adalah: H0 : =0 dan H1 :
Pada beberapa paket software statistika, output untuk uji asumsi autokorelasi pada galat dengan Durbin-Watson statistics tidak
menyertakan p-value sebagai alat pengambilan keputusan, sehingga pengguna masih harus menggunakan tabel Durbin-Watson bounds.
Di bawah ini adalah kriteria uji bagi DW-statistics untuk kasus uji 2- arah :
- jika DW dL , maka tolak H , atau
- jika DW 4 – dL , maka tolak H , atau
- jika dU DW 4 – dU , maka terima H , namun jika
- jika dL DW dU atau 4−dU DW 4−dL , maka tidak dapat disimpulkan apakah terjadi autokorelasi atau tidak. Jika demikian,
sebaiknya menggunakan statistik uji yang lain, misal uji autokorelasi.
Keterangan : DW = nilai statistik uji Durbin-Watson hasil perhitungan
dL = batas bawah tabel Durbin-Watson bounds pada suatu n dan k tertentu
dU = batas atas tabel Durbin-Watson bounds pada suatu n dan k tertentu
n = banyaknya pengamatan k = banyaknya peubah bebas dalam model regresi
d. Tidak terjadi multikolinearitas antar peubah bebas X. Asumsi ini hanya tepat untuk kasus regresi linear berganda. Adanya
multikolinearitas menunjukkan terjadinya korelasi linear yang erat antar peubah bebas. Dalam hal ini digunakan statistik uji yang tepat
dengan Variance Inflation Factor atau VIF. Nilai VIF lebih besar dari 10 mengindikasikan adanya multikolinearitas serius.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Perusahaan