Bentuk Perkampungan dan Mata Pencaharian

96 dalam lingkup Nusantara maupun Internasional khususnya Portugis. Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adu domba Belanda terhadap Kerajaan taklukannya. Dalam perkembangannya, komunitas Bugis dan Makassar berkembang dan membentuk beberapa kerajaan lain. Masyarakat Bugis kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik dan besar antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan Sawitto Kabupaten Pinrang, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk etnik Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Pare-pare, Barru, atau menempati wilayah utara provinsi Sulsel. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Sementara itu, daerah utama etnis Makassar adalah; kota Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Selayar. Daerah etnis Makassar berjejer di sepanjang garis bagian selatan Sulsel. Suku Bugis mendiami bagian utara, dan suku Makassar menempati wilayah selatan provinsi Sulawesi Selatan Sulsel. Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tercatat 45.519,24 km2 yang secara administrasi pemerintahan terbagi menjadi 21 Kabupaten dan 3 kota, dengan 296 Kecamatan dan 2.946 Desakelurahan. Penduduk Sulawesi Selatan berdasarkan data Biro Dekonsentrasi Bagian Kependudukan Pemprov. Sulawesi Selatan pada tahun 2009 berjumlah 7.874.439 jiwa, dengan persentase yang bersuku Bugis-Makassar sekitar 89 persen, yang tersebar di 24 Kabupatenkota. Persentase jumlah penduduk suku Bugis di Sulawesi Selatan adalah sekitar 62,5 dan suku Makassar sekitar 26,7.

4.2 Bentuk Perkampungan dan Mata Pencaharian

Bentuk desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung lama. Suatu kampung lama, biasanya terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami 10-200 rumah, letak rumahnya berderet menghadap ke selatan atau barat. Jika terdapat sungai di tempat tersebut maka 97 sedapat mungkin rumah-rumah dibangun dengan membelakangi sungai. Pusat dari kampung lama merupakan suatu tempat keramat pocci tana dengan suatu pohon waringin yang besar dan kadang-kadang terdapat juga rumah pemujaan saukang. Sebuah kampung lama dipimpin seorang matowa kepala desa beserta kedua pembantunya disebut sariang atau parennung. Gabungan kampung dalam struktur asli disebut wanua dalam bahasa Bugis, pa‟rasangan atau bori dalam bahasa Makassar. Pemimpin wanua disebut arung palili untuk suku Bugis, sedangkan orang Makassar menyebutnya karaeng. Bentuk rumah dan masjid, dibangun di atas tiang dan terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus yaitu : a. karaeng dalam bahasa Bugis atau pammakkang dalam bahasa Makassar, yakni bagian rumah di bawah atap yang dipakai untuk menyimpan padi, persediaan pangan, dan juga benda- benda pusaka; b. awaso dalam bahasa Bugis atau passiringang dalam bahasa Makassar, bagian di bawah lantai panggung dipakai untuk, menyimpan alat-alat pertanian , kandang ayam, kambing, dan sebagainya. Pada zaman sekarang tempat ini berubah fungsi menjadi tempat tinggal manusia. Hampir semua rumah Bugis dan Makassar yang berbentuk adat, mempunyai suatu panggung di depan pintu masih di bagian atas dari tangga, panggung ini biasa disebut tamping, tempat bagi para tamu untuk menunggu sebelum dipersilahkan oleh tuan rumah untuk masuk ke ruang tamu. Proses pembangunan untuk rumah suku Bugis dan Makassar, biasanya menggunakan beberapa ramuan pada tiang utama yang akan didirikan, bahkan, kadang-kadang menggunakan kepala kerbau setelah kerangka rumah berdiri. Proses semacam ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya malapetaka.

4.3 Stratifikasi Sosial dan Transformasi Elite Masyarakat Bugis dan Makassar