101
dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang secara fenomenal mewarnai kebudayaan di seluruh suku asli di Sulawesi Selatan. Secara harfiah Siri dalam
Bahasa Bugis dan Bahasa Makassar berarti rasa malu, dan lebih dihayati sebagai makna kultural. Makna kultural siri diartikan sebagai sistem nilai kultural
kepribadian sebagai anggota masyarakat Bugis Makassar. Menurut Erlington bahwa siri
‟ bagi orang Bugis merupakan tujuan hidup yang paling tinggi, karena itu penting untuk menjaga sirinya, akibatnya bahwa
jika seseorang bangsawan tinggi yang cukup bijaksana dan punya keluarga besar secara otomatis punya pengaruh yang besar dalam masyarakat. Karena jika
banyak orang yang bersatu siri maseddi siri dengannya dan akan mendengarkan petunjuk dan nasehatnya, maka mereka telah menjaga siri harga
diri keluarga atau kelompoknya, orang Bugis dan Makassar lebih menerima nasehat dari orang tuanya atau keluarganya daripada orang lain. Sehingga dalam
masyarakat Sulawesi Selatan hanya dikenal dua golongan yaitu keluarga dan orang lain dalam pengertian maseddi siri bersatunya rasa malu.
Konsep yang berpadanan dengan siri adalah Pacce Makassar, Pesse Bugis yang berarti sependeritaan. Pacce berfungsi sebagai pemersatu, penggalang
solidaritas, serta pemuliaan humanitas sipakatau sebagai motivasi kesetiakawanan sosial suku bangsa Bugis Makassar, sehingga bagi orang Bugis dan Makassar Siri
‟ dan Pacce
adalah ikatan pemersatu dalam upaya menegakkan serta memulihkan harga diri siri .
4.4 Budaya dan Tipologi Masyarakat
Orang Bugis dan Makassar yang tinggal di daerah pedesaan masih terkait norma-norma yang keramat dan sifatnya sakral, biasa disebut panngadereng. Sistem
adat ini terbagi menjadi 5 unsur: i Ade, terbagi menjadi dua; pertama, Ade akkalabinengeng
, unsur ini mengenai hal ihwal perkawinan serta hubungan kekerabatan dan sopan santun dalam pergaulan antar kerabat. Kedua, Ade tana, unsur
ini mengenai hal ihwal bernegara dan memerintah suatu negara berwujud hukum negara, hukum antarnegara, serta etika dan pembinaan insan politik; ii
Bicara, adalah konsep yang bersangkut paut dengan peradilan atau kurang lebih sama
dengan, hukum acara serta hak-hak dan kewajiban seseorang yang mengajukan
102
kasusnya ke pengadilan; iii Rappang, berarti contoh, perumpamaan, kias, atau analogi. Unsur ini menjaga kepastian dari suatu hukum tak tertulis, dalam masa
lampau sampai sekarang. Selain itu rappang juga berisi pandangan-pandangan keramat untuk mencegah tindakan-tindakan yang bersifat gangguan terhadap hak
milik, serta ancaman terhadap warga negara; iv Wari,
adalah unsur yang mengklasifikasikan segala benda, peristiwa, dan aktifitas dalam kehidupan
bermasyarakat. Misalnya, untuk memelihara tata susunan dan tata penempatan benda di kehidupan bermasyarakat, untuk memelihara jalur keturunan yang mewujudkan
pelapisan sosial, untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja negara lain; v Sara, unsur yang mengandung pranata-pranata dan
hukum Islam, serta unsur yang melengkapi keempat unsur lainnya. Religi suku Bugis dan Makassar pada zaman pra Islam adalah sureq galigo,
sebenarnya keyakinan ini telah mengandung suatu kepercayaan pada satu dewa tunggal, biasa disebut
patoto‟e dia yang menentukan nasib, dewata seuwae Tuhan tunggal, turie a rana kehendak yang tertinggi. Sisa kepercayaan ini
masih tampak jelas pada orang To lotang di Kabupaten Sidenreng Rappang dan orang Amma Towa di Kajang Kabupaten Bulukumba.
Saat agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada awal ke-17, ajaran agama Islam mudah diterima masyarakat. Karena sejak dulu mereka telah percaya
pada dewa tunggal. Proses penyebaran Islam dipercepat dengan adanya kontak terus menerus antara masyarakat setempat dengan para pedagang melayu Islam
yang telah menetap di Makassar. Pada abad ke-20 karena banyak gerakan-gerakan pemurnian ajaran Islam
seperti Muhammadyah, maka ada kecondongan untuk menganggap banyak bagian-bagian dari panngadereng itu sebagai syirik, tindakan yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam, dan karena itu sebaiknya ditinggalkan. Demikian Islam di Sulawesi Selatan telah juga mengalami proses pemurnian.
Sekitar 91 dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam
36
, sedangkan hanya 10 memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik.
36
Berdasarkan Sulsel Dalam Angka 2009, masyarakat Sulsel yang beragama Islam sebanyak 91,2, disusul masing-masing; Protestan; 4,3, Katolik; 1,6, sisanya terdiri dari Hindu, Budha
dan lainnya. Penduduk Sulawesi Selatan berjumlah 7.805.024 jiwa, dengan komposisi laki-laki sebesar 3.763.085, dan perempuan 4.041.939, dengan rasio jenis kelamin 93,10.
103
Umat Kristen atau Katolik umumnya terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain atau dari orang Toraja. Mereka ini tinggal di
kota-kota terutama di Makassar. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan, martabat keturunan tidak hanya kokoh
secara kultural tetapi juga sangat berharga secara tradisional. Konsekuensinya, golongan bangsawan menduduki tempat di puncak stratifikasi sosial. Mengenai
golongan bangsawan ini, perlu dijelaskan bahwa ada dua golongan yang dalam literatur mengenai Sulawesi Selatan sering kali disamakan begitu saja.
37
Golongan pertama adalah kaum bangsawan yang merupakan keturunan langsung dari raja
yang pertama, sedangkan golongan kedua adalah para bangsawan yang tidak ada hubungannya dengan raja yang pertama. Namun, golongan kedua tetap disebut
sebagai bangsawan karena, selain mempunyai benda kebesaran atau gaukang, berjasa pula atas wilayah tertentu secara turun-temurun. Meskipun golongan
bangsawan masih terpecah-pecah dalam beberapa golongan, secara langsung maupun tidak langsung, mereka menjadi penguasa kerajaan dan menikmati hak-
hak yang melekat pada jabatan yang dipegangnya. Tepat di bawah kaum bangsawan adalah kelas orang-orang merdeka.
Mereka adalah orang biasa yang sangat besar jumlahnya dan bekerja di berbagai lapangan pekerjaan. Kata merdeka yang digunakan di Sulawesi Selatan berasal
dari deskripsi dalam bahasa Sanskerta tentang seorang yang memiliki kekayaan spiritual atau kekayaan besar mahardika.
Bila pada mulanya orang Sulawesi Selatan merupakan campuran dari beberapa ras, dalam perkembangannya kemudian tidak mengherankan kalau di
daerah ini terdapat sejumlah kesatuan sosial. Secara horizontal, hal ini ditandai dengan kenyataan adanya perbedaan suku bangsa dan masing-masing mempunyai
identitas kebudayaan sendiri-sendiri. Kepercayaan keagamaan juga bermacam- macam, mulai dari agama besar dunia seperti Islam dan Kristen sampai dengan
sejumlah kepercayaan asli yaitu animisme dan dinamisme. Adaptasi ekonomi juga memperlihatkan perbedaan seperti seminomaden yang berpindah-pindah,
penanam padi, nelayan, pedagang, dan industri rumah tangga. Struktur masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan secara vertikal antara lapisan atas dan lapisan
37
Lihat histografi perbudakan di Sulsel
104
bawah yang cukup tajam, sedang struktur politik tradisional terdapat mulai dari anak suku sampai dengan kerajaan.
Adanya perbedaan suku bangsa, agama, dan mata pencaharian hidup dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial sering kali disebut sebagai ciri masyarakat yang
majemuk. Ada dua faktor yang menyebabkan masyarakat Sulawesi Selatan bersifat majemuk. Faktor pertama, terletak pada keadaan geografis yang membagi
Sulawesi Selatan atas sejumlah wilayah dan daerah yang terpencil. Ketika nenek moyang orang Sulawesi Selatan mula-mula datang secara bergelombang sebagai
imigran dari berbagai penjuru, keadaan geografis semacam itu telah memaksa mereka untuk tinggal menetap di daerah yang terpisah-pisah satu dengan yang
lain. Di kemudian hari, isolasi geografis yang demikian mengakibatkan penduduk yang menempati setiap wilayah atau daerah tumbuh menjadi kesatuan suku
bangsa yang lain. Tiap kesatuan suku bangsa terdiri dari sejumlah anak suku yang dipersatukan oleh ikatan emosional serta memandang diri mereka masing-masing
sebagai satu jenis tersendiri. Faktor kedua, adalah letak wilayah Sulawesi Selatan, yaitu di antara Samudra
Indonesia Pasifik, yang sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama dalam masyarakat. Dikarenakan letaknya di tengah lalu lintas perdagangan laut inter Sulsel,
masyarakat Sulawesi Selatan telah sejak lama memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa asing dan suku bangsa Indonesia. Pengaruh yang pertama kali
menyentuh mereka adalah kebudayaan Kristen yang dibawa oleh bangsa Portugis, sementara pengaruh agama Islam yang diperkenalkan oleh suku bangsa Melayu dan
Jawa menyusul kemudian. Meskipun menurut pendapat J. Noorduyn; pada pertengahan abad ke-16, agama Kristen dan Islam sudah dianut di Sulawesi Selatan,
lebih tepat dikatakan bahwa pada masa itu yang paling dominan terjadi adalah syncretic, yaitu bercampurnya kepercayaan animisme dengan ajaran agama Islam
dan Kristen. Pada abad ke-17, tepatnya 22 September 1605, Islam diakui sebagai agama resmi Kerajaan Makassar dan sepanjang abad ini Islam disebarkan ke daerah-
daerah yang diduduki oleh suku bangsa Bugis.
38
38
J
. Noorduyn,Islamisasi Makassar,Jakarta:Bratara,1920,hlm.35.
105
Pengaruh kebudayaan Barat mulai memasuki Sulawesi Selatan melalui kedatangan bangsa Portugis pada 1538. Selain urusan dagang, kedatangannya juga
dalam rangka penyebaran agama Kristen Katolik. Di daerah Pare-pare, Pangkajene, dan Sidenreng mereka berhasil menanamkan pengaruh. Raja di situ merasa tertarik
dan kemudian berusaha memeluknya. Ketika bangsa Belanda mendesak bangsa Portugis keluar dari Sulawesi Selatan pada 1660, pengaruh agama Katolik pun segera
digantikan oleh Kristen Protestan. Namun demikian, sikap bangsa Belanda yang lebih lunak dalam soal keagamaan dibandingkan dengan bangsa Portugis mengakibatkan
pengaruh agama Kristen Protestan hanya mampu memasuki daerah-daerah yang sebelumnya tidak cukup kuat dipengaruhi Islam seperti di daerah Toraja.
Hasil akhir dari semua pengaruh kebudayaan tersebut kita jumpai dalam bentuk pluralitas agama di dalam masyarakat. Di daerah yang berada di dalam
jalur perdagangan inter Sulsel sering terdapat golongan Islam modernis, sedang golongan Islam konservatif banyak ditemukan di daerah pedalaman. Di daerah
pegunungan, seperti di dataran tinggi Toraja, berkembang ajaran agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik.
Perbedaan geografis, seperti disebutkan di atas, tergambar dalam tiga tipe umum masyarakat Sulawesi Selatan yaitu 1 daerah persawahan di pedalaman yang
meskipun secara formal menganut agama Islam, tetapi masih percaya pada hal-hal yang terdapat dalam kepercayaan asli; 2 rakyat pantai yang berorientasi dagang, dan
sangat kuat keIslamannya; dan 3 penduduk yang mendiami daerah yang bergunung- gunung yang pada umumnya masih kuat menganut kepercayaan asli.
39
Tipe masyarakat pertama adalah para petani yang tinggal di pedalaman yang merupakan sebagian besar dari suku Bugis. Kebudayaan penduduk pedalaman
meskipun amat khas milik mereka sendiri, tetapi sesungguhnya banyak terambil dari tradisi kerajaan yang pernah berkuasa di situ. Rakyatnya amat mementingkan
norma dan aturan yang sangat formal serta adanya keterikatan yang kuat terhadap perbedaan status antara kaum bangsawan dan rakyat biasa.
39
Mengenai penggolongan masyarakat sulawesi selatan ke dalam tiga tipe umum berdasarkan tempat tinggal di ambil dari model yang di kemukakan ol eh hildred Geerts,Aneka Budaya dan
Komunitas di Indonesia terj., Jakarta:yayasan ilmu-ilmu sosial,1981 hlm. 1-6.
106
Tipe masyarakat yang kedua adalah rakyat pantai yang kuat keIslamannya. Tipe ini menyangkut sedemikian banyaknya kelompok yang tersebar luas. Kunci
persamaan mereka terletak dalam sejarah, sama-sama ikut serta dalam perdagangan inter Sulsel pada abad ke-14-18. Di pelabuhan Makassar tumbuh
suatu masyarakat yang terdiri dari susunan yang amat berbeda coraknya. Misalnya, bangsa asing yang terdiri dari orang Portugis, Belanda, Arab, dan Cina
serta suku bangsa Melayu, Jawa, dan Bugis yang secara tidak ketat diperintah oleh Sultan Makassar yang beragama Islam. Keragaman etnis dan kecenderungan
berdagang merupakan ciri khas yang menonjol dari rakyat yang tinggal di daerah pantai. Islam beserta sejumlah pola kebudayaan yang berhubungan dengannya
seperti penghormatan kepada hukum agama, serta jenis-jenis tertentu dari lagu, tarian, dan kesusastraan adalah unsur pemersatu yang amat penting.
Tipe ketiga adalah kelompok-kelompok kesukuan yang digabungkan bersama-sama ke dalam satu tipe masyarakat, kelompok ini cenderung
memperlihatkan, corak kebudayaan yang beraneka ragam. Kebanyakan dari mereka tetap dalam keadaan terpencil sepenuhnya dari dunia luar. Masing-masing
mengembangkan pola hidup khas mereka sendiri. Penggolongan atau pengkategorian masyarakat Sulawesi Selatan ke dalam
tiga tipe umum seperti diuraikan di atas sangat diperlukan sebagai suatu kerangka kemungkinan untuk menempatkan masing-masing golongan etnik yang beragam
itu ke dalam bagian-bagian yang lebih sempit jangkauannya. Tipe sebenarnya mengandung abstraksi, menghimpun kriteria tertentu yang dianggap sifat-sifat
khas atau golongan, gejala-gejala yang dianggap mewakili suatu tertentu. Dalam kenyataannya, tipe itu tidak ditemukan dalam bentuk murni karena
selalu ada percampuran di antara kriteria yang dianggap sebagai sifat-sifat khas. Di samping itu, terdapat beberapa kelompok bercorak khas yang tidak dapat
dimasukkan ke dalam kerangka di atas atau beberapa kelompok penting yang mengingkari pembagian ke dalam tipe satu, dua, dan tiga. Kelompok yang masuk
dalam golongan ini adalah suku bangsa Duri dan Mandar yang dalam abad-abad yang lalu telah mengalami perubahan yang amat cepat dan luas.
Suatu tipologi kelompok orang Sulawesi Selatan haruslah pula mencakup dimensi perubahan. Pengkategorian yang dibuat di sini adalah pengkategorian
107
para penanam padi di ladang yang tinggal di pegunungan dan penanam padi di sawah, yang diairi pada dataran rendah, antara yang tradisional dan
pascatradisional, antara konservatif tradisional dan modernis, merupakan suatu langkah ke arah itu.
4.5 Profil Desa Lokasi Penelitian