107
para  penanam  padi  di  ladang  yang  tinggal  di  pegunungan  dan  penanam  padi  di sawah,  yang  diairi  pada  dataran  rendah,  antara  yang  tradisional  dan
pascatradisional,  antara  konservatif  tradisional  dan  modernis,  merupakan  suatu langkah ke arah itu.
4.5   Profil Desa Lokasi Penelitian
Pada aras makro penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Sulawesi Selatan Sulsel  dengan  memilih  etnis  Bugis  dan  Makassar  sebagai  sampel  utama.
Propinsi  Sulsel  setidaknya  memiliki  empat  etnis  asli;  Bugis,  Makassar,  Mandar, Toraja. Berdasarkan jumlah penduduk dan letak geografisnya, etnis Bugis adalah
etnis yang paling banyak penduduknya dan paling luas wilayahnya. Kemudian di susul  oleh  etnis  Makassar.  Secara  historis,  kedua  etnis  ini  sama-sama  memiliki
tradisi  kekuasaan  di  jazirah  Sulawesi.  Simbol  kekuasaan  yang  paling  fenomenal dalam  sejarah  ditandai  oleh  kepemimpinan  Arung  Palaka  pada  etnis  Bugis  dan
Sultan Hasanuddin mewakili etnis Makassar. Karena sama-sama memiliki tradisi kekuasaan dari  fase tradisional  sampai  fase sekularisme reformasi, kedua etnis
tersebut selalu mengalami kontestasi merebut panggung kekuasaan. Meskipun terdapat banyak kerajaan kecil yang berkedudukan di beberapa
kabupaten  di  Sulsel,  akan  tetapi  kerajaan  utama  di  Sulsel  adalah  kerajaan  Bone yang  menjadi  representasi  etnis  Bugis  dan  kerajaan  Gowa  yang  menjadi
kebanggaan  etnis  Makassar.  Gambaran  tersebut  menjadi  salah  satu  sebab  pada penelitian  ini    untuk  memilih  Kabupaten  Bone  mewakili  etnis  Bugis  dan
Kabupaten Gowa mewakili etnis Makassar untuk level mezzo. Sedangkan pada aras mikro penelitian ini menentukan empat  Desa utama
sebagai  sampel;  masing-masing  dua  Desa  mewakili  dua  etnis.  Etnis  Bugis diwakili  oleh  Desa  Ancu  Kecamatan  Kajuara  dan  Desa  Benteng  Tellue
Kecamatan  Amali    Kabupaten  Bone.  Sedangkan  pada  etnis  Makassar  diwakili oleh  Desa  Manjapai  Kecamatan  Bontonompo  dan  Desa  Manuju  Kecamatan
Manuju Kabupaten Gowa.
Desa Ancu
Desa  Ancu  adalah  salah  satu  Desa  yang  berada  di  Kecamatan  Kajuara, Kabupaten Bone, terletak persis di pinggir pantai Teluk Bone, sekitar 72 km dari
108
ibu  kota  Kabupaten  Bone.  Berbatasan  dengan  Kelurahan  Awang  Tangka  di sebelah selatan, Desa Angkue dan Desa Pude di sebelah utara, dan Desa Raja di
sebelah barat, sementara di bagian timur berbatasan dengan Teluk Bone. Mata pencaharian utama warga di Desa Ancu adalah pada bidang pertanian
dan nelayan.
Untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari,
masyarakat mendapatkannya di salah satu pasar lokal yang terdapat di Bojo yang beraktivitas
satu kali dalam seminggu, yakni setiap hari selasa. Desa  Ancu,  sebelum  memasuki  masa  kemerdekaan  adalah  salah  satu  desa
yang  memiliki  sejarah  kekuasaan,  karena  salah  satu  wilayah  dari  kekuasaan kerajaan  akkarungeng  Awang  Tangka.  Di  Kecamatan  Kajuara  saat  sebelum
memasuki  masa  kemerdekaan  dan  masih  menggunakan  sistem  pemerintahan kerajaan,  Kecamatan  Kajuara  terbagi  dalam  tiga  wilayah  Akkarungeng
‘,  Awang Tangka, Tarasu dan Gona. Ketiga nama akkarungeng tersebut kini masing-masing
menjadi  satu  Desa,  Desa  Tarasu,  Desa  Gona,  sedangkan  untuk  Awang  Tangka menjadi  sistem  pemerintahan  kelurahan.  Di  awal  kemerdekaan  Indonesia,  para
keluarga bangsawan yang saat itu memegang kekuasaan kerajaan masih berlanjut dengan diangkat menjadi kepala distrik.
Desa  Ancu,  secara  administratif,  terbagi  dalam  dua  wilayah  dusun  dengan empat  rukun  tetangga  RT.  Penduduk  Desa  Ancu  pada  tahun  2007  tercatat
sebanyak  818  jiwa  dengan  pembagian,  laki-laki  sebanyak  365  jiwa  dan perempuan  453  jiwa  yang  terdiri  dari  172  kepala  rumah  tangga  dengan  tingkat
kepadatan penduduk 234Km².
Desa Benteng Tellue
Desa Benteng Tellue juga dikena l dengan nama Tabbae‘. Desa ini berada di
Kecamatan  Amali  Kabupaten  Bone.  Secara  geografis,  posisi  desa    berada  pada daerah  pedalaman,  berbatasan  langsung  dengan  dua  kabupaten;  Wajo  dan
Soppeng.  Meskipun  secara  geografis  posisi  desa  sangat  marginal  dari  kota Kabupaten Bone, akan tetapi tingkat popularitas desa Benteng Tellue melampaui
desa dan kelurahan di Kabupaten Bone, bahkan sangat popular di Sulsel. Desa Benteng Tellue  terletak di bagian Utara Bone yang berjarak ± 49 km
dari  Watampone  ibukota  Kabupaten  Bone,  ±  8  km  dari  Taretta  ibu  kota kecamatan Amali.
109
Penduduk  desa  Benteng  Tellue  berjumlah    ±  1584  jiwa  dengan  jumlah Kepala Keluarga KK mencapai 575 rumah tangga yang terdiri dari tiga dusun,
yakni  dusun  Tabba‘e  sebanyak  569  jiwa  dengan  187  KK,  dusun  Botto‘  dengan 678 jiwa meliputi 301 KK, dan dusun Curikki sejumlah 377 jiwa dengan 90 KK.
Secara geografis letak desa Benteng Tellue berada di daerah berbukit yang cukup  subur  dengan  komoditas  pertanian  utama  saat  ini  adalah  kakao,  jagung,
pisang.  Kakao  dipetik  seminggu  atau  dua  minggu  sekali  dan  dijual  untuk memenuhi  kebutuhan  rumah  tangga.  Jagung  kuning  sebagai  tanaman  berjangka
pendek  ditanam  dan  dipanen  dua  kali  setahun.  Sementara  pisang  dipanen seminggu dua kali juga sebagai komoditas yang menjadi penghasilan utama juga
bagi  banyak  warga  Desa.  Pisang  hasil  pertanian  warga  desa  Benteng  Tellue diangkut  oleh  beberapa  truk  hingga  puluhan  per  minggunya  ke  beberapa  pasar
lokal di Makassar dan Gowa. Komoditas lainnya adalah Padi, Kelapa, Ubi kayu, Ubi Jalar, Kacang Tanah, kacang Ijo, dan tembakau.
Desa Manjapai
Desa  Manjapai  adalah  desa  yang  terletak  pada  dataran  rendah  di  Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa. Kira-kira 5 kilometer dari ibu kota Kabupaten Gowa,
atau sekitar 20 kilometer dari Kota Makassar. Desa Manjapai memiliki empat dusun yang  memiliki  luas  masing-masing;  Kaluarrang    71,26  ha;    Data    239,33ha;
Karebasse  62,73ha; dan Jannaya 79,75ha.  Jadi  luas keseluruhan  desa Manjapai
adalah : 453,07 ha persegi. Terletak pada dataran rendah di pinggir pantai. Pada  awal  perkembangan  Kerajaan  Gowa,  Desa  Manjapai  menjadi  salah
satu daerah yang memproduksi elite-elite Istana Kesultanan Gowa. Setelah Gowa takluk  pada  Belanda,  peranan  elite-elite  Manjapai  terus  mengalami  penurunan
fungsi politik dan  ekonominya.  Desa Manjapai kembali  menjadi  mesin produksi elite ketika Belanda menyerah dan Indonesia merdeka.
Selain melalui tentara, para elite di desa Manjapai juga diproduksi melalui organisasi  Muhammadyah.  Pada  awal  tahun  1950-an,  Muhammadyah  mulai
mewarnai kehidupan keagamaan dan pendidikan masyarakat Desa Manjapai.
110
Desa Manuju
Desa Manuju berada di Kecamatan Manuju Kabupaten Gowa berada pada posisi di atas 500 dari permukaan laut. Sebagian wilayah Desa Manuju digenangi
Dam Bili-Bili, dam terbesar di Sulawesi Selatan. Dengan posisinya di atas 500 dpl, kondisi klimatologi Desa Manuju sangat
cocok  untuk  ditanami  tanaman  perkebunan  seperti  durian,  kakao,  rambutan  dan tanaman tahunan lainnya. Kehidupan ekonomi masyarakat Manuju sebagian besar
menggantungkan diri pada sector pertanian sawah dan perkebunan.
Pada  pertengahan  abad  16,  kehidupan  politik  Kerajaan  Gowa  sangat memperhitungkan  keberadaan  Manuju.  Karena  Manuju  adalah  salah  satu  dari
Sembilan anggota Bate Salapang yang memiliki otoritas politik yang sangat tinggi untuk turut menentukan nasib politik Istana Kerajaan Gowa
Salah  satu  literatur  yang  memuat  informasi  sejarah  Manuju  adalah  buku kecil  yang  berjudul  ‗Sejarah  kerajaan  Borisallo  dan  Manuju‘  yang  ditulis  oleh
Zainuddin Tika dan kawan-kawan 2008. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa kerajaan  Borisallo  dan  kerajaan  Manuju  adalah  dua  kerajaan  bersaudara  dalam
kerajaan  Gowa  yang  masuk  menjadi  anggota  Bate  Salapanga  sejak  tahun  1565, yakni  masa  Raja  Gowa  XII  I  Manggorai  Daeng  Mammeta  Karaeng
Bontolangkasa.  Selanjutnya,  keanggotaan  Borisallo  dan  Manuju  dalam  Bate
Salapanga diperkuat pada masa pemerintahan I Mallingkaang Daeng Nyonri pada
tahun 1894 dan bahkan di sebutkan hingga hari ini Zainuddin Tika, dkk, 2008. Berdasarkan kedudukan politik masa lalunya, Desa Manuju memiliki tradisi
kekuasaan  yang  berbasiskan  aristokrasi  kekaraengan.  Para  penguasa  di  Desa Manuju  selalu  bersumber  dari  genetika  kekaraengan.  Dari  pertengahan  abad  16
hingga kini, desa  yang  berada di kaki Gunung  Bawakaraeng  itu selalu dipimpin oleh kalangan karaeng.
Informasi  seputar  kekaraengan  Manuju  dapat  ditelusuri  eksistensinya  pada tahun 1900 saat Manuju menjadi salah satu anggota Bate Salapanga dengan gelar
‗Karaeng‘  di  mana  delapan  di  antaranya  adalah  Gallarang  Mangasa,  Gallarang Tombolo,  Gallarang  Saumata,  Gallarang  Sudiang,  Gallarang  Paccellekang,
Karaeng Pattallassang,  Karaeng Bontomanai, dan Karaeng Borongloe. Informasi ini sejalan dengan tuturan lisan dari warga dusun Panyikkokang salah satu dusun
di  desa  Manuju  yang  menyebutkan  bahwa  keberadaan  ‗Karaeng  Manuju‘ setidaknya dimulai tahun 1900 atau akhir tahun 1890an.
111
5    TRANSFORMASI PEMBENTUKAN ELITE PADA ETNIS BUGIS DAN MAKASSAR DARI FASE TRADISIONAL KE
FASE SEKULARISME
Pada  bagian  ini  akan  diuraikan  proses  sosiologis  pembentukan  elite  etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa, pada empat fase utama; fase tradisional,
fase feudalisme, fase Islam moderenisme dan fase sekularisme. Bab ini sekaligus berusaha menjawab pertanyaan tentang bagaimana  transformasi, proses dan pola
interaksi  elite  Bugis  dan  Makassar  dalam  usahanya    meraih,  menjaga  dan memperluas kekuasaan politik dan ekonominya, mulai dari fase tradisional hingga
fase sekularisme. Penentuan fase-fase tersebut di atas merupakan hasil perpaduan konstruksi
sejarah  dan  konstruksi  peneliti  setelah  menafsirkan  sejumlah  makna  yang diuraikan  oleh  actor  maupun  komunitas  yang  menjadi  sumber  dalam  penelitian
ini.    Fase  yang  paling  banyak  memberi  keragaman  makna  baik  dari  konstruksi sejarah maupun tafsiran dari actor maupun komunitas  adalah fase tradisional dan
feudalism.  Sedangkan  fase  Islam  modern  dan  sekularisme,  adalah  fase  yang menurut penafsiran sejarah dan actor memiliki kesamaan konstruksi.
Tahapan  pembentukan  elite  Bugis  Bone  dan  Makassar  Gowa  tersebut  di atas  dianalisis  dengan  menggunakan  teori  tiga  tahapan  perubahan  masyarakat
Comte  1838
40
dan  Gibson  2005;2007  tentang  transformasi  kekuasaan  pada masyarakat  Sulawesi  Selatan.  Comte  menyebut  tiga  tahapan  perubahan
masyarakat;  1  teologi,  2  metafisis,  dan  3  positif.  Sementara  Gibson  melihat transformasi kekuasaan yang terjadi pada etnis Bugis dan Makassar menonjolkan
tiga fase penting; tradisional, Islam dan modern. Pada fase tradisional,  proses sosiologis pembentukan  elite etnis Bugis dan
Makassar  didominasi  oleh  permainan  simbol  dan  mitos.  Pada  fase  ini,  untuk memperkokohkan  dirinya  sebagai  pemegang  tongkat  kekuasaan,  elite  Bugis  dan
Makassar  menyajikan  politik  mitos.  Mitos  yang  paling  berpengaruh  adalah; tomanurung
.  Sebuah  konsep  yang  dirancang  oleh  para  elite  untuk  mendapatkan legitimasi  kekuasaan  dari  massa.    Proses  ini  menurut  Gaventa  2005:11  dapat
40
Lihat Ankersmit, 1987; Feibleman,  1986; Hadiwijono, 1998; Johnson, 1994; dan Laeyendecker, 1983.
112
digolongkan sebagai proses yang bermain pada ruang kekuasaan tertutup closed space  power,  dimana  para  actor  elite  merumuskan  kebijakan  politik  secara
terbatas  untuk  ditaati  oleh  public.  Konsep  ini  kemudian  menjadi  inti  dari pengembangan  kekuasaan  tradisional.  Menurut  Max  Weber,  relasi  kekuasaan
tradisional  adalah  kekuasaan  yang  bersandar  pada  aturan  turun-temurun  yang dipercaya  oleh  sebagian  besar  pendukungnya.  Dari  sinilah  kemudian  dilahirkan
actor  yang  memiliki  otoritas  memperkuat  pengetahuan  simbolik  yang  menjadi dasar  kekuasaan  tradisional.  Aktor-aktor  yang  memiliki  kewenangan  menjadi
pemimpin  adalah  mereka  yang  memiliki  struktur  pengetahuan  simbolik  paling tinggi. Mereka ini memiliki apa yang disebut Collins dengan cultural capital.
Pesan  simbolik  dari  konsep  tomanurung  pada  kasus  pembentukan  elite Bugis dan Makassar, terletak pada legitimasi dan justifikasi kekuasaan para elite.
Menurut  Shibutani  dalam  Charon,  1989:  39,  disebut  sebagai  pengetahuan simbolik, apabila ada sesuatu yang lain yang lebih penting dibalik sebuah peristiwa
tertentu. Tomanurung adalah sebuah peristiwa kekuasaan pada kalangan elite, pesan utama dari peristiwa itu adalah pengakuan public atas kekuasaan yang digenggam
para elite yang merancang peristiwa tomanurung. Fase kedua yang dibicarakan pada bagian ini adalah fase  Feudalisme. Pada
masa  ini,  tanah  bagi  para  elite  Bugis  dan  Makassar    dijadikan  sebagai  tata- produksi  kekuasaan.  Collins  dalam  Ritzer  ed,  1990:  71,  menyebut  fase  ini
sebagai  kondisi  perebutan  barang  langka.  Hadirnya  ideologi  kapitalisme  Eropa ikut mendorong terjadinya konflik perebutan tanah sebagai alat untuk reproduksi
kekuasaan.  Pada  fase  inilah  rasionalitas  ekonomi  dan  basis  prinsip  kehidupan industrial dimulai.
Fase  Islam  dan  moderenisme  dalam  proses  pembentukan  elite  Bugis  dan Makassar ditandai dengan perubahan regulasi pemerintah colonial, perkembangan
dunia  pendidikan  dan  pertumbuhan  organisasi  sosial  masyarakat  dan  organisasi politik pada awal tahun 1900-an.  Pangkal perselisihan antara  elite  Bugis Bone
dengan elite etnis Makassar Gowa bermula dari kedatangan Islam, yang menjadi agama resmi Istana Gowa, dan hendak di perluas pengaruhnya sampai ke kerajaan
Bugis  di  jazirah  Sulawesi.  Pada  fase  ini,  terjadi  resistensi  terhadap  menguatnya
113
kapitalisme  internasional.  Masa  inilah  awal  lahirnya  kesadaran  moral  dan intelektualitas yang tinggi pada elite Bugis dan Makassar.
Sedangkan  fase  sekularisme  adalah  fase  yang  berlangsung  antara  1905 hingga  2010.  Para  elite  Bugis  dan  Makassar  pada  periode  sekularisme  ini
cenderung    mengandalkan  tindakan  kekuasaan  yang  bersifat  pragmatis,  utilities, rasional, efisien dan transaksional.
Secara  teoritis,  proses  pembentukan  elite  modern  di  Indonesia  sangat ditentukan  oleh  beberapa  hal;  regulasi  regim  yang  berkuasa,  latar  pendidikan,
gerakan sosial dan identitas politik seseorang. Fakta ini cocok dengan pandangan Sutherland 1983, dan  Niel 1984.
Berikut  adalah  gambar  Abstraksi  Teori  Transformasi  Pembentukan  Elite politik elite dan massa etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa.
Gambar 5.  Abstraksi  Teori  Transformasi  Pembentukan  Elite  Politik  Elite Dan Massa Etnis Bugis Bone Dan Etnis Makassar Gowa
Jika  diabstraksikan  pada  perspektif  Comte  1838,  Weber  dan  temuan Gibson  2005;2007  fase  pembentukan  elite  politik  etnis  Bugis  dan  Makassar,
memiliki pola yang relative sama, terutama pada fase-fase perubahannya, hal ini tampak pada gambar 5 di atas.
Teori  tiga  tahapnya  Comte,  memiliki  hubungan  dengan  reorganisasi masyarakat
.  Comte  menggolongkan  tahap  tersebut  dengan  bentuk  organisasi
114
sosial.  Tahap  teologi  diasosiasikan  dengan  kepercayaan  pada  otoritas  absolut, kebenaran  ilahi  dari  raja,  dan  golongan  sosial  yang  berbau  militer.  Dengan  kata
lain, golongan sosial didapatkan melalui otoritas atas. Lalu dalam tahap  metafisis ada  kepercayaan  pada  hukum-hukum  abstrak.  Dan  yang  terakhir  tahap  positive
yang  diasosiasikan  dengan  perkembangan  masyarakat  industri.  Dalam  tahap  ini, kegiatan  ekonomi  menjadi  perhatian  dan  terdapat  para  elite  dalam  ahli  ilmu
pengetahuan yang mengorganisasikan kelompok masyarakat. Teori tiga tahap dari Comte dapat ditafsirkan sebagai;  tahap teologis, adalah
periode  feudalisme,  tahap  metafisis  merupakan  periode  absolutisme  dan  tahap positif  yang  mendasari  masyarakat  modern  dan  industri
. Teori  ini  mirip  dengan
yang  dikemukakan  oleh  Gibson  2005;2007  bahwa  pada  etnis  Bugis  dan Makassar  terjadi  tiga  tahapan  atau  fase  transformasi  kekuasaan;  yakni  fase;
tradisional, Islam dan modern. Mengacu pada teori Comte dan Gibson; transformasi kekuasaan pada etnis
Bugis  Bone  dan  etnis  Makassar  Gowa  dapat  ditafsirkan  bahwa  fase  tradisional dalam  pembentukan  elite  etnis  Bugis  Bone  dan  etnis  Makassar  Gowa  dapat
disejajarkan sebagai fase teologis. Fase  feudalisme yang dialami oleh etnis Bugis dan  Makassar    mengandung  nilai-nilai  positivistic  dan  materialistic.  Sedangkan
fase Islam modern, adalah fase dimana nilai budaya dan tradisi dinegasikan, pada fase  ini,  nilai-nilai  budaya  mulai  meluruh.  Fase  terakhir  dalam  transformasi
kekuasaan etnis Bugis dan Makassar adalah; sekularisme. Fase ini ditandai dengan pemikiran  dan  tindakan  kekuasaan  yang  bersifat  pragmatisme;  utilitarian  nilai
guna,  efisiensi,  dan  rasionalitas.  Pada  fase  ini,  tindakan  rasionalitas  nilai
berorientasi  nilai
tindakan  ―yang  ditentukan  oleh  keyakinan  penuh  kesadaran akan  nilai  perilaku-perilaku  etis,  estetis,  religius  atau  bentuk  perilaku  lain,  yang
terlep as dari prospek keberhasilannya‖ Weber, 19211968;24-25.
Bila  dianalisis  menggunakan  teori  tindakan  rasionalitas  nilainya  Weber, maka fase kekuasaan tradisional menurut Gibson  fase teologis menurut Comte,
sama  dengan  fase  supranatural  menurut  Weber.  Dan  fase  feudalisme  menurut studi ini sejajar dengan fase positifistik materialistik menurut Comte, dan Weber
menyebutnya  sebagai  fase  rasionalitas  ekonomi.  Sedangkan  fase  Islam  modern dan  fase  sekularisme  menurut  studi  ini  merupakan  transformasi    yang  dapat
115
disejajarkan  dengan  perkembangan    menuju  dinegasikannya  kapitalisme internasional dan didewakannya scientism.
Konsekuensi dari tumbuhnya sikap pragmatisme  dan rasionalitas ekonomi, maka etika materialism semakin menguat, akan tetapi pada saat yang bersamaan
meningkat  pula  kesadaran  universal  seperti  demokratisme  politik  dan  ekonomi. Dengan  demikian,  semakin  ke  belakang  menuju  fase  sekularisme  proses
produksi  elite  kekuasaan  pada  etnis  Bugis  Bone  dan  etnis  Makassar  Gowa mengalami  pergeseran  dari  kekuatan  simbol  budaya  dan  etika  lokal,  digantikan
secara  perlahan  oleh  ideologi  baru  yang  berbasis  pada  rasionalitas  ekonomi, modernitas, intelektualitas, aliansi dan jejaring. Untuk menyederhanakan ideologi
baru  ini,  studi  ini  menyebutnya    sebagai    ideologi  kuasa  dan  uang.  Dengan mempertimbangkan  aspek  aliansi  dan  jejaring,  reproduksi  kekuasaan  pada  etnis
Bugis Bone dan Makassar Gowa pada aras makro khususnya,  tidak cukup dengan rasionalitas  uang  dan  kuasa,  akan  tetapi  perlu  kemampuan  meng-hibridisasi
kebudayaan politik antar etnis Bugis dan Makassar.
5.1 Fase  Tradisional  Pembentukan  Elite  Etnis  Bugis  dan  Makassar;