Pembentukan elite politik di dalam etnis bugis dan makassar menuju hibriditas budaya politik

(1)

i

PEMBENTUKAN ELITE POLITIK

DI DALAM ETNIS BUGIS DAN MAKASSAR

MENUJU HIBRIDITAS BUDAYA POLITIK

MUJAHIDIN FAHMID

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pembentukan Elite Politik di Dalam Etnis Bugis Dan Makassar Menuju Hibriditas Budaya Politik adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2011

Mujahidin Fahmid NRP. I363070021


(3)

(4)

iv

ABSTRACT

MUJAHIDIN FAHMID. Elite Formation in Buginese and Makassarese Ethnics Towards Political Hybrid Culture Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN, LALA M. KOLOPAKING and DARMAWAN SALMAN.

The purposed of this studi; (i) explore the transformation and interaction process of Buginese and Makassarese elites with their clients in achieving, maintaining and expanding their political and economic power, started from the traditional phase to secularism phase; (ii) discover the dynamics of Buginese and Makassarese elites formation specifically in political communication and economy in

articulating their groups‘ interest and maintaining the political dynamic at every level;

(iii) discover and understand the process of Buginese and Makassarese elites in using the symbols of culture, power, money and other political sosiology culture to achieve and maintain (reproduction) their power at the micro, mezzo and macro level.

Constructive paradigm used in exploring the process of elite‘s formation in

Buginese and Makassarese. A paradigm that position itself as the antitheses from the paradigm of positivism or post-positivism, which is relied heavily on observation and objectivity in finding a reality or knowledge. Constructivism stated that reality exists in several forms of mental constructions based on social experiences, it is locally and specific depends on the individual who did it (ontology). Therefore, reality that is observed by an individual cannot be generalized to other people. This confirmed that epistemological relation between observation and object is one entity, subjective, and as a result of integration of interaction among them.

The result of this studi showed four phases of transformation process in the formation of Buginese and Makassarese elites; (i) traditional phase, where elite formation dominated by symbolic knowledge influence; (ii) feudalism phase; new capitalized era and land became a tool for power reproduction; (iii) Modern

Islamic phase marked with the elites‘ awareness toward intellectuality and morality; (iv) Secularism phase, where pragmatism dominated in the existence of Buginese and Makassarese elites. Colonialization or ―bed politics‖ (political

marriage) used during traditional, feudalism and modern Islamic phase, while transactional approach and politics hybrid culture, used during secularism phase in

maintaining the elites‘ power.

The process of elite formation in Bone used ―closed model‖. Stage of

political power at Bone restricted only to aristocrats. On the contrary, influence and power of aristocrats at Gowa had been declined, thus political stage in Gowa more open and the elites‘ background are varied. Buginese of Bone predominantly used

cultural symbols and power in achieving elite position, while the Makassarese of Gowa tends to use power, money and politic hybrid to engaged in the political power.

Buginese elites tend to concentrate their power among them (same ethnicity, religion and territory), while the Makassarese elites (Gowanese) balance their power by sharing it according to the representation of territory, ethnicity and religion.


(5)

v

RINGKASAN

Mujahidin Fahmid, Pembentukan Elite Politik di Dalam Etnis Bugis dan Makassar Menuju Hibriditas Budaya Politik di bawah bimbingan: Arya Hadi Dharmawan, Lala M. Kolopaking, dan Darmawan Salman.

Penelitian ini bertujuan: Mengetahui proses transformasi dan pola interaksi elite Bugis dan Makassar dengan pengikutnya dalam usahanya meraih, menjaga dan memperluas kekuasaan politik dan ekonominya, mulai dari fase tradisional hingga fase sekularisme. Kedua, mengetahui dinamika proses pembentukan elite Bugis dan Makassar terutama dalam komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok, dan menjaga dinamika politik pada masing-masing aras; desa, kabupaten, propinsi/nasional. Ketiga, mengetahui dan memahami proses elite Bugis dan elite Makassar memanfaatkan simbol-simbol budaya, kuasa, uang dan budaya sosiologi politik lainnya untuk meraih dan memelihara (mereproduksi) kekuasaannya mulai dari level mikro, mezzo dan makro.

Untuk mengeksplorasi proses pembentukan elite pada etnis Bugis dan etnis Makassar, penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Sebuah paradigma yang meletakkan dirinya sebagai palang pintu atau antitesis dari paradigma positivisme maupun postpositivisme, yang menempatkan pengamatan dan obyektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa realitas itu ada dalam bentuk bermacam-macam konstruksi mental berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya (ontologis). Oleh karena itu, realitas yang diamati seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang. Inilah kemudian yang menegaskan bahwa hubungan epistemologis antara pengamatan dan obyek merupakan satu kesatuan, subyektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi di antara keduanya.

Hasil penelitian ini menunjukkan, ada empat fase transformasi proses pembentukan elite etnis Bugis dan Makassar. Pertama, fase tradisional, fase dimana pembentukan elite didominasi oleh pengaruh pengetahuan simbolik dan tanda-tanda alam. Pada fase ini symbol budaya sangat berpengaruh dalam proses pembentukan elite. Simbol budaya yang paling menonjol pada fase ini adalah konsep tomanurung. Kedua, fase feudalism, era dimulainya para elite Bugis Bone dan Makassar Gowa membentuk dirinya dengan kapitalisasi ekonomi, dan tanah menjadi alat reproduksi kekuasaan. Ketiga, fase Islam modern, fase ini ditandai dengan lahirnya kesadaran elite Bugis Bone dan Gowa dalam intelektualitas dan moralitas. Pada masa ini terjadi resistensi terhadap kapitalisme internasional, dan perlawanan terhadap kolonialisme. Keempat, fase sekularisme, pada fase ini kehidupan para elite Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam keadaan pragmatism, segala sesuatunya diukur berdasarkan rasionalitas, efisiensi, nilai guna dan dilakukan dengan pendekatan transaksional. Tahapan transformasi ini mirip dengan teori tiga tahap yang dilahirkan oleh Comte (1838) dan transformasi kekuasaan di Sulsel yang ditulis oleh Gibson (2005;2007).

Etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa sama-sama menggunakan konsep patron client dalam berinteraksi dengan para pengikutnya. Akan tetapi proses


(6)

vi

pembentukan elite di Bone berlangsung secara tertutup. Panggung kekuasaan politik di Bone hanya diisi oleh kalangan aristokrat. Sebaliknya, elite-elite yang mengisi panggung kekuasaan di Gowa lebih variatif dan terbuka. Kalangan aristokrat di Gowa mengalami kemerosotan pengaruh.

Dinamika proses pembentukan elite Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam pola yang berbeda pada setiap fase. Pada fase tradisional dinamika elite cenderung menggunakan instrument symbol budaya untuk mencapai panggung kekuasaan. Kedua, fase feudalism, fase ini dapat digolongkan sebagai fase materialism dalam dinamika pembentukan elite Bugis dan Makassar, meskipun pada fase feudalism masih tetap memanfaatkan symbol budaya untuk memperkuat posisi kekuasaan para elite. Ketiga, fase Islam modern, para elite pada masa ini menjadikan gerakan intelektualitas dan moralitas sebagai instrument utama dalam dinamika pembentukan elite. Sedangkan fase keempat adalah fase sekularisme, pada fase ini terdapat empat rejim yang ikut menjadi penentu pembentukan elite pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa; Kolonial (Belanda & Jepang), Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Semua rejim member kontribusi tumbuhnya pola pragmatism dan transaksional dalam proses pembentukan elite.

Para elite etnis Bugis dan Makassar dalam upayanya menjaga keseimbangan kekuasaan menggunakan cara yang sama pada fase; tradisional, feudalism dan Islam modern, yaitu kolonialisasi dan atau ―politik ranjang‖ (perkawinan politik).

Sedangkan pada fase sekularisme, untuk menjaga keseimbangan dilakukan dengan pendekatan transaksional dan hibridisasi budaya politik, misalnya dengan secara bersama-sama antara etnis Bugis dan Makassar mengisi ruang-ruang kekuasaan strategis, baik pada panggung kekuasaan eksekutif, legislative maupun partai politik. Sebagai contoh, kalau Gubernurnya berasal dari etnis Bugis, maka yang akan mengisi jabatan sekretaris daerah provinsi berasal dari etnis Makassar

Elite etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa memiliki cara yang berbeda dalam memaknai instrumen; symbol budaya, kuasa dan uang untuk meraih kekuasaan politik dan ekonomi, demikian juga etika dalam membangun jaringan. Elite Bone memiliki kemampuan melakukan eksplorasi identitas etnis menjadi instrument membangun kekuasaan, sementara elite Gowa belum berhasil mengeksplorasi identitas etnis sebagai instrument membangun kekuasaan. Makna kuasa juga ditafsirkan secara berbeda antara elite dua kelompok elite ini. Elite Bone melihat kuasa sebagai alat untuk kapitalisasi kesejahteraan ekonomi (kesejahteraan ekonomi lebih bermakna dibandingkan dengan kekuasaan). Sedangkan elite Gowa memaknai kuasa sebagai alat untuk melipatgandakan kekuasaan (nilai kekuasaan lebih tinggi dari kesejahteraan ekonomi). Elite Bone menafsirkan uang unsure yang sangat penting, hal sama juga terjadi pada elite Gowa. Akan tetapi elite Bone telah memiliki tradisi entrepreneur ethics yang lebih tinggi dibandingkan dengan elite Gowa.

Etika elite Bone membangun jaringan politik dan ekonomi juga berbeda dengan etika yang dianut oleh elite Gowa. Elite Bone sudah mengalami metamorphosis ke dalam Negara, sedangkan elite Gowa terlokalisir di Gowa. Elite Bone sangat fleksibel, adaptif dengan budaya luar dan koorporatif dengan system luar. Sebaliknya, elite Gowa sangat menjaga purifitas budaya local dan non-koorporatif terhadap system luar. Itu sebabnya, arena untuk mendapatkan kekuasaan antara elite Bugis Bone dengan elite Makassar Gowa sangat berbeda.


(7)

vii Elite Bone sudah menembus system social di luar Bone (provinsi dan nasional), sedangkan elite Gowa masih bermain pada aras Kabupaten Gowa dan provinsi Sulsel.

Untuk meraih posisi sebagai elite, etnis Bugis Bone dominan menggunakan simbol budaya dan kuasa. Sedangkan etnis Makassar Gowa cenderung menggunakan kuasa, dan uang untuk menguasai panggung kekuasaan politik.

Elite-elite etnis Bugis cenderung mengkosentrasikan kekuasaan pada

kalangan ‖sejenis‖ (etnis, agama dan wilayah). Sementara elite Makassar Gowa berusaha menjaga keseimbangan kekuasaannya dengan membagi kekuasaan berdasar representasi wilayah, etnis dan agama.

Untuk mencapai puncak kekuasaan (aras makro) elite Bone menggunakan budaya sosiologi politik hibridisasi dan melakukan permurnian darah kebangsawanan untuk mengisi ruang kekuasaan pada aras mezzo. Sementara etnis Gowa memilih budaya sosiologi koeksistensi untuk mempertahankan keberadaan politik mereka, dan melakukan pembentukan elite dengan cara terbuka.


(8)

(9)

ix

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, pnyusunn laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

xi

PEMBENTUKAN ELITE POLITIK

DI DALAM ETNIS BUGIS DAN MAKASSAR

MENUJU HIBRIDITAS BUDAYA POLITIK

MUJAHIDIN FAHMID

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(12)

(13)

xiii Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr.Ir. Rilus A. Kinseng, MA

2. Dr. Satyawan Sunito

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA 2. Dr. R. Siti Zuhro, MA


(14)

(15)

xv

LEMBAR PENGESAHAN DISERTASI

Judul Disertasi : Pembentukan Elite Politik di Dalam Etnis Bugis dan Makassar Menuju Hibriditas Budaya Politik

Nama : Mujahidin Fahmid

NRP : I363070021

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Ketua

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Prof. Dr. Ir. Darmawan Salman, MS

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan


(16)

xvi

Tanggal Ujian: 20 Juni 2011 Tanggal Lulus:


(17)

xvii

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah yang Maha Agung dan Maha Berpengetahuan atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dalam bentuk disertasi ini dapat terselesaikan. Penelitian ini berjudul Pembentukan Elite Politik Di Dalam Etnis Bugis Dan Makassar Menuju Hibriditas Budaya Politik dan dilaksanakan sejak tahun 2009 di Kabupaten Bone dan Gowa provinsi Sulawesi Selatan.

Penelitian dan penulisan karya ilmiah ini dapat terselesaikan berkat kontribusi dan peran dari berbagai pihak, karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, MSc.Agr, sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS dan Prof. Dr. Ir. Darmawan Salman, MS, selaku anggota komisi pembimbing. Di samping itu pula, penghargaan penulis sampaikan kepada Institute for Social and Political Economic Issues (ISPEI) yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih dan doa juga disampaikan kepada almarhum ayah H.Majid A. Azis dan ibu Hj. Fatimah Mulya Majid, serta seluruh keluarga, terutama; Rika Moestikasari, Mirah Midadan dan Adib Gemilang Badrani, atas segala doa, dorongan dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2011


(18)

(19)

xix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Raba, pada tanggal 23 Januari 1969 sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara pasangan H. Abd. Majid Azis dan Hj. Fatimah Mulya Majid. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (UNHAS) di Makassar, lulus pada tahun.1991. Pada tahun 2001 penulis diterima pada program studi Trade and Development Newcastle University di Australia dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor diperoleh pada tahun 2007 pada program studi Sosiologi Pedesaan Institute Pertanian Bogor (IPB) di Bogor.

Penulis pernah bekerja sebagai supervisor peneliti pada program Kerjasama CIDA dan Non-Government Organization untuk sejumlah wilayah di Indonesia Timur pada tahun 1991 hingga 1993. Sejak tahun 1994 penulis bekerja sebagai staf pengajar di UNHAS hingga sekarang. Disamping itu, penulis juga memimpin sebuah lembaga riset yakni Institute for Social and Political Economic Issues (ISPEI) sebagai Executive Director sejak 2004 hingga sekarang yang berkedudukan di Makassar. Penulis juga dipercaya sebagai Ketua Tim Mediasi Center Pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dari tahun 2008 hingga sekarang, konsultan ahli gubernur Provinsi Sulsel (2008-sekarang) dan sebagai staf ahli Dinas Tanaman Pangan, dan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan (2008-sekarang). Dan sejak tahun 2010 hingga sekarang, penulis dipercaya juga sebagai salah satu pimpinan kolektif KAHMI Sulawesi Selatan.


(20)

(21)

xxiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xxvii

DAFTAR GAMBAR ... xxviii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.1.1 Beberapa Temuan tentang Etnis Bugis dan Makassar ... 9

1.2 Rumusan Masalah ... 15

1.3 Tujuan Penelitian ... 19

2 TINJAUAN PUSTAKA... 21

2.1 Elite ... 21

2.1.1 Basis-Basis Kekuasaan Elite Indonesia ... 27

2.2. Kekuasaan ... 38

2.2.1 Dimensi dan Kubus Kekuasaan ... 40

2.2.2 Pola Kekuasaan Etnis Bugis Dan Makassar ... 44

2.3 Relasi Simbol, Kuasa, Uang, Makna dan Wacana ... 65

2.3.1 Spirit dan Etik dalam Pembentukan Elite ... 68

2.3.2 Simbol ... 72

2.3.3 Penafsiran (Interpretasi) ... 74

2.3.4 Wacana, Idiologi dan Hegemoni ... 76

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 85

3.1 Ruang, Waktu dan Paradigma ... 85

3.2 Kerangka Pemikiran ... 87

3.3 Strategi, Langkah, Pengumpulan dan Analisis Data ... 92

4 KEADAAN UMUM MASYARAKAT DAN LOKASI PENELITIAN ... 95

4.1 Latar Historis, Geografis dan Demografis Etnis Bugis dan Makassar ... 95

4.2 Bentuk Perkampungan dan Mata Pencaharian ... 96

4.3 Stratifikasi Sosial dan Transformasi Elite Masyarakat Bugis dan Makassar ... 97

4.4 Budaya dan Tipologi Masyarakat ... 101


(22)

xxiv

5 TRANSFORMASI PEMBENTUKAN ELITE PADA ETNIS BUGIS DAN MAKASSAR DARI FASE TRADISIONAL KE FASE

SEKULARISME ... 111 5.1 Fase Tradisional Pembentukan Elite Etnis Bugis dan Makassar;

Permainan Simbol dan Mitos ... 115 5.2 Fase Feudalisme; Tanah Sebagai Tata-produksi Kekuasaan ... 119 5.3 Fase Islam dan Modernisme; Perebutan Panggung Kekuasaan

Antar Elite Pada Etnis Bugis dan Makassar ... 126 5.3.1 Perubahan Sistem Pemerintahan ... 131 5.3.2 Perkembangan Bidang Pendidikan ... 135 5.3.3 Cikal Bakal Modernisme Pada Etnis Bugis dan Makassar ... 137 5.4 Fase Sekularisme (Reproduksi Elite Pada Era 1905 Hingga

Otonomi Daerah) Pada Etnis Bugis dan Makassar ... 140 5.4.1 Budaya Politik Kontestasi Antar Etnis dan Aktor ... 151 5.4.2 Ruang Kontestasi Tersembunyi ... 161 5.5 Ikhtisar Fase Pembentukan Elite Etnis Bugis Bone dan Makassar

Gowa ... 163 6 DINAMIKA PROSES PEMBENTUKAN ELITE BUGIS DAN

MAKASSAR DALAM PENGATURAN KESEIMBANGAN

KEKUASAAN (Sharing of Power) ANTAR ETNIS ... 167 6.1 Anatomi Elite dan Sosiologi Kekuasaan Etnis Bugis dan Makassar ... 167 6.2 Dinamika Pembentukan Elite Bugis Dan Makassar ... 173 6.2.1 Pola Akuisisi Kekuasaan Oleh Governing Elite ... 181 6.2.2 Pola Akuisisi Kekuasaan Oleh Non-Governing Elite ... 187 Klan Arung Tarasu ... 200 Klan Arung Tarasu, Klan KL Klan NH ... 200 6.3 Pembentukan Elite Bugis dan Makassar (Kasus Pemilihan Gubernur

Sulsel 1966-2007) ... 201 6.4 Dinamika Politik Desa di Kabupaten Bone dan Gowa ... 211

6.4.1 Dinamika Politik Desa Di Kabupaten Gowa (Desa Manjapai Dan Desa Manuju) ... 214


(23)

xxv 6.4.2 Dinamika Politik Desa Di Kabupaten Bone (Desa Ancu Dan

Desa Benteng Tellue) ... 238 7 PERANAN SIMBOL, KUASA, UANG, DAN HIBRIDISASI DALAM

PEMBENTUKAN ELITE BUGIS DAN MAKASSAR ... 271 7.1 Simbol Budaya ... 271 7.2 Kuasa dan Uang ... 275 7.2.1 Analisis Aras Makro dan Mezzo ... 276 7.2.2 Analisis Mikro Desa ... 281 7.2.3 Makna Simbol Budaya, Kuasa dan Uang ... 284 7.3 Hibridisasi Budaya Politik Pilihan Masa depan ... 293 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI ... 301 8.1 Kesimpulan ... 301 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite ... 301 8.1.2 Pola Elite Bugis dan Makassar Membagi Kekuasaan ... 303 8.1.3 Penggunaan Simbol Budaya, Kuasa, Uang dan Budaya

Sosiologi Politik Lainnya ... 304 8.2 Refleksi Perkembangan Budaya Politik Pada Etnis Bugis dan

Makassar ... 306 8.2.1 Meredupkan Politik Identitas ... 306 8.2.2 Pembagian Kekuasaan dan Kualitas Kekuasaan ... 306 8.2.3 Meningkatkan Kualitas Demokrasi dengan Budaya Politik

Hybrid ... 307 DAFTAR PUSTAKA ... 309


(24)

(25)

xxvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Memahami Perbedaan Etnis Bugis dan Makassar ... 14 Tabel 2. Perbandingan elite etnis Bugis Bone dengan elite etnis

Makassar Gowa dalam mendapatkan dukungan massa pada masing-masing basis (Bone dan Gowa) pada pertarungan elite Partai Golkar pada Pemilu 2004 untuk kursi DPR RI

Dapil I... 144 Tabel 3 Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten Bone

Pemilu 2009, Dapil DPR RI Sulsel II ... 145 Tabel 4. Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten

Gowa Pemilu 2009, Dapil DPR RI Sulsel I ... 145 Tabel 5. Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten Bone

Pemilu 2009, DPRD Sulsel Dapil V ... 147 Tabel 6. Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten

Gowa Pemilu 2009, DPRD Sulsel Dapil II ... 147 Tabel 7. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Pada Reproduksi Elite

antara Etnis Bugis Bone dengan Etnis Makassar Gowa ... 150 Tabel 8. Perolehan Suara Pasangan Calon Gubernur dan Wakil

Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan 2007 ... 153 Tabel 9. Peta Dukungan Partai Politik terhadap Calon Gubernur dan

Wakil Gubernur Sulawesi Selatan pada Pilkada Provinsi

Sulsel Tahun 2007 ... 155 Tabel 10. Perolehan Suara Berdasarkan Pemetaan Geopolitik ... 162 Tabel 11. Aktor Elite Berdasarkan Klan Pada Tiga Aras di Bone dan

Gowa ... 200 Tabel 12. Desa dan Kepala Desa di kecamatan Manuju ... 227 Tabel 13. Nama dan Kepala Dusun masa kepala desa Karaeng Lalang ... 237


(26)

xxviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pola Elite Bugis Dan Makassar Meraih Kekuasaan ... 15 Gambar 2. Pendekatan kubus kekuasaan. ... 41 Gambar 3. Skema Pembentukan Elite Politik Sulsel ... 88 Gambar 4. Skema proses produksi kekuasaan di dalam etnis Bugis &

Makassar. ... 91 Gambar 5. Abstraksi Teori Transformasi Pembentukan Elite Politik

Elite Dan Massa Etnis Bugis Bone Dan Etnis Makassar

Gowa ... 113 Gambar 6. Peranan simbol, kuasa dan uang dalam pembentukan elite

Bugis dan Makassar pada setiap fase dan level ... 281 Gambar 7. Etik dan Makna simbol budaya, kuasa dan uang bagi etnis

Bugis Bone dan etnis makassar Gowa ... 285 Gambar 8. Fase perjalanan budaya kekuasaan politik dan ekonomi etnis

Bugis Bone dan Makassar Gowa ... 290 Gambar 9. Budaya Sosiologi Politik Hybridisasi dan Koeksistensi ... 297


(27)

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tema tentang etnisitas sebagai simbol identitas yang kerap dimanfaatkan sebagai alat untuk merebut kekuasaan politik dan ekonomi di tanah air, masih kontemporer hingga kini untuk dibicarakan. Setidaknya, pernyataan ini dilandasi oleh dua argumen yang mendasar, yakni (1) setiap pemilihan pemimpin seperti; pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilaksanakan 5 tahun sekali, isu tentang asal etnis (geopolitik) kandidat tidak lepas dari kerangka

―pertarungan politik‖ antar kandidat; (2) penguasaan dan akses terhadap aset-aset ekonomi tertentu oleh entitas sosial tertentu (baca: etnis), juga tidak pernah lepas dari bahan pembicaraan kalangan intelektual sosial, politikus sampai dengan masyarakat biasa. Secara sosiologis, gejala sosial (fakta sosial) seperti ini mengundang pertanyaan substantif perihal apakah kenyataan ini hadir begitu saja ataukah suatu gejala yang berhistori?

Merujuk kasus Sulawesi Selatan (khususnya etnis Bugis dan Makassar) sebagai lokasi studi menunjukkan bahwa pertarungan elite baik pada ranah politik maupun ekonomi antar etnis tidak lepas dari dimensi histori (masa lalu).1 Meski demikian, persaingan yang kemudian berwujud dalam pertarungan politik maupun ekonomi tersebut, memberikan gambaran bahwasanya pertarungan yang terjadi adalah pertarungan yang sepenuhnya dilakukan oleh lapisan atas (elite) antar etnis dalam menguasai sumberdaya tertentu. Lalu bagaimanakah dengan posisi lapisan bawah (masyarakat biasa) dalam pertarungan elite tersebut? Dan apakah memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal pada lapisan sosial masyarakat di dua etnis tersebut?

1 Ricklefs, 1991 dan Hall, 1988 menyatakan bahwa dari empat etnis terbesar di Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja), Bugis dan Makassar merupakan dua etnis yang saling bersaing untuk menjadi yang paling berkuasa di Sulawesi Selatan. Setidaknya ada kesan bahwa sebelum abad 17 masyarakat Bugis merasa tidak nyaman di bawah kekuasaan Kesultanan Gowa. Ada semacam anggapan di kalangan masyarakat Bugis bahwa merekalah yang menguasai sistem produksi pertanian beras dan mereka pulalah yang seharusnya menguasai ekonomi beras. Namun dalam kancah sistem perdagangan beras antar pulau, kemampuan etnis Bugis umumnya masih kalah dibanding etnis Makassar. Lebih-lebih sebelum abad 16, kemampuan Kesultanan Gowa mengendalikan sistem politik dan perdagangan hasil pertanian di Kawasan Indonesia Timur relatif kuat.


(28)

2

Pertarungan para elite di dua etnis (Bugis-Makassar) di Sulsel memperebutkan kekuasaan politik dan ekonomi cenderung berakhir dengan konflik, baik itu konflik tertutup maupun terbuka. Konflik ini cenderung ―laten,‖

karena kedua kelompok etnis memiliki cara pandang yang tertutup, kontras dan mendalam, mengenai kulturnya masing-masing, terutama mengenai pemahaman kekuasaan. Kondisi ini akan berujung pada ketidaksiapan pada salah satu etnis menerima etnis lain untuk mengelola kekuasaan politik dan ekonomi secara bersama.

Konflik terbuka antara etnis Bugis dengan Makassar dimulai pada abad 17, tepatnya pada 1667, ketika Sultan Hassanuddin (Sultan Gowa yang menguasai secara politik dan ekonomi sebagian besar jazirah Sulsel) ditantang oleh Arung Palakka (Raja Bone yang menjadi simbol dan representasi etnis Bugis). Arung Palakka yang mendapat dukungan kuat dari Belanda, berhasil menggulingkan kekuasaan politik dan ekonomi Sultan Hasanuddin. Sejak ―kekalahan‖ itu etnis

Makassar mengalami penurunan peranan politik dan ekonomi, sebaliknya sejak era itu, etnis Bugis menjadi pengendali kekuasaan politik dan ekonomi di Sulawesi Selatan.

Beberapa cacatan penting untuk melihat konflik elite etnis Bugis dan etnis Makassar dapat diurai dengan memotret karakter elite yang memanggul kekuasaan politik dan ekonomi. Dari sini terlihat dengan jelas bagaimana elite Bugis dan Makassar memainkan pola kekuasaan yang bersifat tradisional, nuansa Islam dan praktek kekuasaan modern untuk menapaki posisi politik dan ekonomi mereka. Atau memodifikasi tiga pola kekuasaan tersebut sekaligus. Selian itu, terdapat juga bentuk dan jenis kekuasaan yang dimainkan para elite Bugis dan Makassar, yakni kekuasaan yang bersifat tersembunyi dan tersediakan (terberikan).

Dari jenis-jenis kekuasaan ini, kemudian terbentuk sistem sosial yang sangat mempengaruhi pola hubungan antara elite sebagai penguasa dengan pengikutnya. Tentang hal ini, konsep hubungan elite dengan pengikutnya yang paling menonjol di dalam etnis Bugis dan Makassar adalah konsep Ajjoareng2 dan

2Ajjoa‟raeng adalah orang yang menjadi ikatan atau panutan dan ini bisa seorang

punggawa, aru ataupun

pemuka masyarakat lainnya. Pendeknya dia merupakan tokoh pemimpin, yang menjadi sumbu kegiatan orang-orang disekitarnya, yang mengikuti kemauan serta kehendaknya dengan patuh.


(29)

3 Joa‟3 yang dikenal oleh tradisi Bugis, atau

Karaeng dan Taunna yang dikenal

oleh etnis Makassar. Secara sosiologis konsep ini merupakan nama lain dari hubungan patron-client yang umumnya berlaku pada masyarakat pedesaan di Indonesia. Meski demikian, untuk kasus Sulawesi Selatan, ketundukkan joa‟ atau

taunna (klien) kepada ajjoareng atau karaeng (patron) merupakan penjelmaan

nilai siri ‟ yang berlaku pada dua entitas sosial tersebut.4 Dengan demikian, siri ‟ tidak sekedar simbol nilai yang berlaku pada lapisan tertentu, melainkan sebagai faktor penting untuk mendorong terjadinya mobilisasi antar lapisan sosial yang ada dalam dua etnis tersebut. Hal ini dikarenakan siri ‟ sebagai ideologi dan simbol budaya berlaku pada lapisan sosial manapun.

Selanjutnya pada arena politik maupun ekonomi, ikatan patron-klien pada dua etnis ini dapat dimaknai sebagai modal sosial (social capital) yang dapat digunakan oleh elite untuk mempertahankan kekuasaan politik maupun ekonominya. Hal lain yang tak kalah menariknya adalah kepemimpinan kaum elite (ajjoareng atau karaeng) menjaga solidaritas massa (joa‟ atau taunna) melalui karismanya. Karisma yang dimaksud adalah kemampuan elite menjaga ideologi atau mitos sebagai shared value system yang memungkinkan elite dan massa berkomunikasi satu sama lain serta untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan (Pareto, Mosca, dan Michels dalam Pelras, 2006). Tentang hal ini, asumsi yang dapat dikembangkan adalah pemaknaan atas ideologi atau mitos dapat dijadikan sebagai kekuatan elite dalam konteks pertarungan untuk mencapai kekuasaannya.

Pemaknaan atas simbol atau mitos dalam etnis Bugis dan Makassar menarik dapat dijelajahi melalui system pengetahuan simbolik yang tumbuh pada entitas masyarakat Bugis dan Makassar. Melalui system pengetahuan simbolik yang berkembang tersebut, beragam citra dan stereotip yang tersebar luas ditujukan untuk etnis Bugis, dan Makassar, banyak diantaranya yang berlawanan satu sama lain. Penduduk Sulawesi Selatan dilukiskan sebagai pelaut yang berani, perantau yang lihai, bangsawan feudal, dan para pengikutnya penganut paham

3Joa‟ adalah pengikut Ajjoa‟raeng yang berasal dari golongan maradeka (orang merdeka) yang setia. 4 Hubungan minawang (kepengikutan) ini antara patron dan klien lebih bersifat sukarela. Untuk itu,

hubungan mereka sangat erat. Mereka saling membela dan melindungi jika salah satu pihak mendapat kesulitan atau bahaya. Sebagai misal, penghinaan terhadap pengikut seorang karaeng akan dipandang juga sebagai penghinaan dari karaeng itu sendiri.


(30)

4

kebebasan demokratis yang hanya mengakui pemerintahan yang berdasarkan kontrak sosial, pemeluk agama Islam yang fanatik, pemuja benda-benda pusaka kerajaan tradisional dan pelaksana upacara-upacara ritual bagi para leluhur dan dewa yang turun ke bumi. Kesan dan stereotip itu tentu masih memerlukan pembahasan lebih lanjut.

Penjelasan dan uraian tentang Sulawesi Selatan meliputi beragam topik, mulai dari perspektif budaya dan politik; hubungan antara status dan kekuasaan; kepemimpinan dan hubungan patron-klien; keterkaitan budaya asing dan lokal; kehidupan maritime, posisi Sulsel dalam jaringan perdagangan internasional; kultur daerah dan pembangunan sosial-ekonomi; dan diaspora Bugis-Makassar. Topik-topik ini satu sama lain saling berkaitan. Semua topik itu berhubungan dengan; transaksi, tradisi, kekuasaan politik dan ekonomi.

Bagaimana agar berbagai kesan dan stereotip itu bukan sekadar informasi dari dokumen kolonial dan pasca-kolonial, tetapi juga merupakan bagian dari penjelasan atau teks asli yang dilahirkan oleh ilmuwan Sulawesi Selatan sendiri, dan bagaimana pula halnya dengan pandangan mengenai keseragaman sosial budaya di Sulawesi Selatan jika diperhadapkan dengan tingkat keberagaman lokal yang tampak nyata? Penggunaan istilah 'Bugis-Makassar' secara konsisten oleh para ilmuwan dari Sulawesi Selatan telah memperkuat kecenderungan untuk menekankan adanya: keseragaman budaya, untuk tidak mengatakan keseragaman sosial di wilayah ini. Memang ada beberapa hal yang secara fundamental memiliki kemiripan, misalnya pandangan mengenai otoritas yang mendasari kekuasaan para penguasa kerajaan tradisional khususnya kontrak simbolis dengan penguasa awal keturunan dewata (to manurung atau tumanurung) yang dianggap telah turun ke dunia ini untuk menciptakan ketenteraman di masa kacau-balau yang kemudian diakui sebagai leluhur oleh kalangan bangsawan. Perkawinan antar-bangsawan adalah faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap bukan hanya keseragaman budaya, tetapi juga sistem sosial tunggal yang terdapat di sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan.

Meskipun terdapat fakta dan argumen kuat yang mendukung adanya keseragaman, namun terdapat pula berbagai perbedaan mendasar dalam hal struktur politik dan sosial. Bentuk konfederasi beberapa kerajaan Makassar


(31)

5 dibandingkann dengan struktur kerajaan Bugis (Bone dan Luwu), terlihat perbedaan yang jelas, bahwa bentuk kerajaan Bugis Bone dan Luwu cenderung lebih sentralistik. Begitu pula halnya perbedaan bahasa, struktur sosial dan budaya (lihat misalnya, status sosial seseorang yang relatif berbeda dalam hubungan patron-klien) akan mempengaruhi kesan tentang Sulsel sebagai suatu wilayah yang memiliki identitas budaya yang seragam.

Keadaan ini melahirkan pertanyaan tentang ciri-ciri apa yang dapat menunjukkan agar seseorang dapat disebut sebagai orang Bugis atau Makassar? apakah penampilan luar yang kasatmata (model pakaian, bentuk rumah, dan proses keterlibatan dalam kegiatan adat tertentu serta agama) ataukah ada sikap dan orientasi tertentu yang kasatmata, seperti bagaimana menegakkan kehormatan dan rasa malu (siri‟)? Di antara beberapa konsep yang terkenal dimiliki masyarakat Sulawesi Selatan, yang paling menonjol dibahas dalam literatur ilmiah, adalah konsep tentang status dan kekuasaan.

Memiliki pengetahuan (paddisengeng), khususnya pengetahuan esoterik (gaib), dan pusaka-pusaka kerajaan atau benda-benda yang dikeramatkan masyarakat, adalah faktor penting untuk meraih dan memiliki kekuasaan. Konsep tentang status dan kekuasaan kemudian melahirkan konsep tentang hubungan antara pemimpin dengan pengikut (patron-client). Konsep patron-client, pada masyarakat Bugis dan Makassar lebih banyak dilihat sebagai masyarakat yang memiliki struktur sosial-politik yang didominasi oleh ikatan solidaritas vertikal. Pandangan-pandangan seperti ini sayang sekali tidak diikuti dengan upaya mengelaborasi perbedaan wilayah yang ikut menjadi variabel yang mempengaruhi hubungan antara ikatan kekerabatan yang dapat menjadi dasar interaksi sosial. Uraian tentang pola-pola kepemimpinan juga tidak menjadi pertimbangan sejumlah ilmuwan selama ini untuk melihat apakah etnis Bugis dan etnis Makassar benar-benar memiliki persamaan atau justru memiliki kekhususan dalam membangun konstruksi sosial politik kekuasaannya.

Beberapa ilmuwan memang memperdebatkan pengaruh interaksi kebudayaan lokal dengan budaya luar terhadap konstruksi sosial yang ada. Misalnya, pengaruh Islam terhadap legitimasi otoritas para penguasa, pengaruh praktik dan konsep ajaran Hindu, Buddha, dan pengaruh India yang dalam taraf


(32)

6

tertentu telah mewarnai agama dan kepercayaan serta konsep kepemimpinan etnis Bugis dan Makassar. Menurut Errington (1989) pengaruh-pengaruh tersebut seharusnya tidak diremehkan. Sedangkan Macknight (1975), Caldwell (1991), dan Reid (1981), berpendapat bahwa pengaruh unsur-unsur tersebut relatif kurang penting. Hal itu akan mengarah kepada perbedaan dalam hal konsep kekuasaan dan konsep kebudayaan lainnya yang ada di wilayah Sulawesi Selatan (terutama dalam kasus ini antara etnis Bugis dengan etnis Makassar).

Pengaruh intensitas komunikasi antar entitas sosial, dan terbukanya sistem ekonomi dunia, telah melanda sebagian besar kehidupan sosial politik masyarakat dunia, tidak terkecuali masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. Meskipun ada yang beranggapan bahwa Sulawesi Selatan memiliki bentuk manajemen sosial, politik dan ekonomi yang kontras dengan manajemen komersial modern. Namun tidak dapat disangkal bahwa interaksi sosial modern yang mengandung nilai-nilai komersial dan penetrasi institusi-institusi negara modern, ikut mengubah pola hubungan antara pemimpin dan pengikut dalam struktur kekuasaan yang ada di dalam etnis Bugis dan etnis Makassar. Penetrasi institusi-institusi modern, dan komersialisasi hubungan yang terus meningkat telah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi transformasi hubungan sosial yang mendasar. Situasi sosial yang terjadi di Sulawesi Selatan seperti ini, akan mendorong pola interaksi sosial yang berbeda antara satu etnis dengan etnis yang lainnya (terutama dalam tulisan ini antara etnis Bugis dan Makassar), yang pada akhirnya juga akan membentuk proses yang berbeda dalam kelahiran pemimpin (elite), dan hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya.

Kebanyakan ilmuwan; antropolog maupun sosiolog, terutama dari Sulawesi Selatan, menuliskan etnis Bugis dan etnis Makassar secara bergabung, Bugis-Makassar. Tak pernah, setidaknya kita menemukan penjelasan mengapa mereka melakukan itu. Padahal suku Bugis dan Makassar adalah dua suku yang berbeda. Keduanya memiliki bahasa dan adat istiadat yang jelas tidak sama. Memiliki wilayah dan ekologi yang berbeda. Etnis Makassar menempati bagian selatan Sulawesi Selatan, sementara etnis Bugis mendiami bagian Utara dan Tengah jazirah Sulawesi Selatan. Secara kuantitatif etnis Bugis mencapai 46% dari populasi,


(33)

7 sedangkan etnis Makassar hanya berkisar 35%. Sisanya diisi oleh suku-suku lain, seperti Mandar, dan Toraja.

Ahimsa-Putra dalam bukunya, Struktualisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya

Sastra (2006), yang menganalisis tentang mitos etnis Bugis dan Makassar,

juga tidak memberi penjelasan mengapa menggunakan terminologi etnis ‖Bugis

-Makassar‖ dan tidak memisahkan istilah etnis Bugis dan etnis Makassar. Padahal

penulisan itu dapat menimbulkan kekaburan paham atas suku Bugis dan Makassar. Semakin banyak literatur yang menulis menggabungkan Bugis dan Makassar, semakin dapat mengaburkan pemahaman orang tentang kedua suku ini. Seolah keduanya adalah nama dari satu suku yang sekaligus satu budaya.

Cara penulisan seperti itu, diduga sebagai akibat pengaruh kuat politik Orde Baru. Ketika Orde Baru berkuasa, politik persatuan dan kesatuan bangsa cenderung dipaksakan. Sehingga etnis Bugis dan etnis Makassar yang berdekatan secara geografis sekaligus banyak berinteraksi, ditulis menjadi satu. Dugaan lain,

pertimbangan rasa atau ―etik‖.5 Merasa tak enak bila menulis Bugis tanpa mengikutkan Makassar atau sebaliknya. Selain itu, penyederhanaan atau penyatuan itu memang disebabkan karena keterbatasan antropolog atau sosiolog di masa itu. Sebab, kalau orang Bugis atau Makassar yang paling awam sekalipun, bisa mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Bugis atau Makassar.

Walau mungkin bukan kekeliruan, penggabungan itu kemudian juga berdampak pada dibaurnya istilah-istilah Bugis dan Makassar dalam penelitian antropolog atau sosiolog. Dalam buku Ahimsa-Putra (2006), istilah Bugis seperti

assialang marola, assialanna memeng, maupun ripaddeppe mabelae, bercampur

dengan istilah Makassar seperti sampo sikali, sampo pinruan, dan sampo pintallu. Kesemua istilah itu berbeda dalam kedua bahasa di atas, sampo sikali, sampo

pinruang, dan sampo pintallu, dalam bahasa Bugis adalah sappo wekkasiseng,

sappo wekkadua, sappo wekkatellu.

5 Titik tolak konsep besar pembangunan Orde Baru (1968-1998) adalah pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keamanan dan politik. Pada aspek pertumbuhan ekonomi Orde Baru mengusung mazhab moderenisasi yang mendorong pendekatan sentralisasi, massal dan keseragaman. Sedangkan pada aspek stabilitas, Orde Baru memprioritaskan NKRI. Itu sebabnya istilah-istilah seperti; suku Sunda diganti dengan sebutan Jawa Barat, suku Dayak dikenal dengan panggilan komunitas Kalimantan, suku Bugis dan dan suku Makassar dipanggil sebagai orang Sulawesi. Dengan pendekatan seperti itu, Orde Baru dapat mengontrol multi etnis menjadi kelompok-kelompok sosial yang lebih besar, dan dapat menghindari faksi-faksi yang bersumber dari spirit etnisitas.


(34)

8

Mengacu pada pandangan tentang posisi sosial, budaya, politik dan ekonomi etnis Bugis dan Makassar (misalnya ada yang mengatakan kebudayaan, sistem sosial, politik dan ekonomi etnis Bugis dan Makassar sulit dibedakan), padahal faktanya, terdapat keragaman kebudayaan, sistem sosial dan politik yang tajam yang menjadi ciri khas kedua etnis yang berbeda ini. Keragaman itu secara konsisten, terutama sejak Orde Sekularisme mengalami eskalasi yang meningkat dari masing-masing etnis. Ini menjadi latar bagi penulis untuk mengeksplorasi karakter sosial, budaya dan politik etnis Bugis dan Makassar, sebagai modal pluralitas budaya, sistem sosial, politik dan demokrasi. Latar kedua, konflik antar etnis semakin mungkin terjadi, karena dipicu oleh kepentingan elite yang memanfaatkan semangat etnisitas, dalam konteks ini, elite Sulawesi Selatan menjadikan basis etnis sebagai senjata pamungkas untuk meraih kekuasaan politik dan ekonominya. Dengan menjelaskan pola-pola interaksi sosial kedua etnis, terutama antara elite dengan pengikutnya tersebut, penulis berharap dapat menemukan faktor lain (capacity dan competency) bagi calon pemimpin yang dijadikan sebagai instrumen untuk meraih kekuasaan. Alasan ini sesuai dengan sistem sosial politik yang dianut oleh leluhur Bugis-Makassar, yaitu hubungan antara pemimpin dan pengikut yang bersifat kontraktual.

Penggabungan itu juga dapat mengaburkan hasil penelitian tentang Bugis dan Makassar. Penelitian TH Chabot –yang dijadikan acuan dalam buku Ahimsa—

tentang pelaksanaan perkawinan ideal di Bontoramba Makassar, apakah benar dapat diterapkan untuk mendukung pendapat tentang perkawinan ideal di Bugis? Dalam masyarakat Bugis, pembagian perkawinan ideal berdasarkan darah keturunan yang digambarkan Mattulada lebih mengacu ke kalangan bangsawan tinggi atau turunan datuk, bukan masyarakat Bugis kebanyakan.

Dalam berbagai pandangan yang sudah menyebar luas, kebanyakan masyarakat Bugis, memberi makna pada pernikahan tidak bermotif kekuasaan,

tapi bertujuan ―selamat dan sejahtera‖, ada istilah sienrekeng dalle‟. Istilah itu ditujukan kepada pasangan yang kalau dinikahkan, diyakini atau percaya akan saling ―menambahkan atau menaikkan‖ rejeki bagi keduanya. Syarat pasangan ini

adalah: si perempuan merupakan anak bungsu dalam keluarganya dan si laki-laki adalah anak sulung dalam keluarganya.


(35)

9

Berbeda dengan kawin ideal dengan sepupu sekali di kalangan bangsawan tinggi, semisal para datuk atau andi untuk mempertahankan garis dan darah kebangsawanannya. Kebanyakan orang Bugis justru memaknai pernikahan dengan sepupu sekali akan menyebabkan ekonomi rumah tangga kembang kempis. Pada sisi lain ‗sienrekeng dalle‟ merupakan hal yang penting, karena orang Bugis cenderung memandang kehormatan dari jumlah harta yang dimiliki.

Sementara kawin ideal yang dipertontonkan oleh etnis Makassar melalui prosesi perkawinan yang dilangsungkan oleh keluarga Sultan Hasanuddin misalnya, lebih menunjukkan sebuah upacara yang memperlihatkan makna perkawinan sebagai perluasan kekuasaan, meski tidak selalu diikuti oleh perluasan faktor ekonomi dan kesejahteraan. Sejumlah prosesi ini dapat disaksikan melalui perkawinan silang antara keturunan Sultan Gowa dengan Sultan Bima dan Sumbawa, semuanya perkawinan ini bermotif (salah satunya, mungkin utama) adalah memperluas dan memperkokoh kekuasaan politik Sultan Hasanuddin. 1.1.1 Beberapa Temuan tentang Etnis Bugis dan Makassar

Beberapa penelitian dan tulisan mengenai topik ini (elite; kepemimpinan dan struktur kekuasaan di dalam etnis Bugis dan Makassar), paling kurang telah dieksplorasi oleh beberapa penulis dan ilmuwan antara lain; Pola hubungan elite etnis Bugis dan Makassar dan pengikutnya digambarkan dengan jelas oleh; Kooreman, (1883); Mattulada (tt); Pelras (2000) menurut mereka, hubungan elite Bugis-Makassar dan pengikutnya disebut dengan istilah; hubungan patron-klien, dengan menggunakan konsep Ajjoareng dan joa‟. Ajjoa‟raeng menurut mereka

adalah orang yang menjadi ikatan atau panutan dan ini bisa seorang punggawa, aru ataupun pemuka masyarakat lainnya. Pendeknya dia merupakan tokoh

pemimpin atau elite, yang menjadi sumbu sosial, politik dan ekonomi bagi para pengikutnya. Para pengikutnya, harus tunduk dan patuh pada kemauan

ajjoarengnya. Pengikut-pengikut ini dikenal dengan sebutan joa‟ dan mereka

berasal dari golongan maradeka (orang merdeka) yang setia.

Sedangkan studi tentang struktur kekuasaan dan politik di Sulawesi Selatan banyak dilakukan oleh Ijzereef (1987); Millar (1992). Untuk melihat hal ini lebih jauh kita kembali dulu melihat ke masa lalu. Kajian tentang struktur kekuasaan


(36)

10

dan politik di kerajaan Bone di pertengahan abad ke 19 hingga pertengahan abad 20 bisa menjadi model yang menunjukkan kepada kita bagaimana kekuasaan bekerja di provinsi ini. Menurut Ijzereef, masyarakat Sulawesi Selatan adalah masyarakat yang sangat hierarkis, yang tersusun berdasarkan ‗kemurnian darah‘ kebangsawanan. Hierarki ini tentu tidak berdiri sendiri, setiap unit kekuasaan punya hierarki dan unit kekuasaan ini sendiri berada di dalam hierarki yang lebih besar, hingga tingkat antar-kerajaan. Dengan demikian, kompetisi atau persaingan menuju puncak hierarki berlangsung terus menerus, dan hal ini tentu akan memancing konflik. Menurutnya, semakin berdekatan posisi dua pihak dalam suatu hierarki maka potensi konfliknya semakin besar. Dan semakin berjauhan posisi hierarkis dua pihak semakin kecil potensi konflik yang bisa terjadi.

Millar (1992), lebih banyak mengurai dan menggambarkan konsep pelapisan sosial. dia secara spesifik mengurai konsep ‗lokasi sosial‘—yang terpampang jelas ketika masyarakat Bugis mengadakan pesta pernikahan. Lokasi, tempat seseorang duduk secara fisik selama prosesi tertentu sebuah pernikahan menunjukkan posisinya dalam hierarki sosial.

Sebagaimana penelitian Millar, Pelras (2000) juga menekankan pentingnya hubungan patron-klien yang dalam hal ini diwakili hubungan ‗Joa‟ dan ‗Ajjoareng‟ atau ‗Punggawa‟ dan ‗Sawi‟. Hubungan ini, menurut Pelras adalah

hubungan yang tidak terlalu timpang. Para patron memang punya kekuasaan menentukan banyak hal bagi kliennya namun mereka juga mempunyai banyak kewajiban terhadap mereka, termasuk memberi jaminan finansial ketika shock

dalam berbagai bentuk menghantam sang klien. Apabila patron tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, maka klien bisa dengan bebas berpindah ke patron lain. Meski pun tindakan itu bukan tanpa risiko bagi sang klien, namun yang terpenting adalah mereka masih punya pilihan.

Caldwell (1999;2005), menganalisis beberapa naskah silsilah Bugis-Makassar berkesimpulan bahwa secara tekstual genealogi kerajaan Bugis (Soppeng Barat) merujuk pada penguasa yang hidup lebih awal dari penguasa Luwu. Setidaknya ini menunjukkan adanya kekuatan yang muncul nyaris bersamaan di jazirah ini. Unit-unit politik ini setidaknya muncul mulai pada abad


(37)

11

ke 12 dan 13. Sementara pada etnis Makassar, Cummings (2002) mengakui Gowa sebagai awal dari asal-usul para penguasa di kawasan Makassar.

Pembentukan organisasi sosial dan ekonomi serta kelahiran teknologi ditunjukkan oleh penelitian Caldwell dan Bulbeck (2000), mereka sudah menemukan permintaan beras sebagai barang dagangan untuk ekspansi ekonomi dan intensifikasi pertanian dan perambahan hutan. Pada abad itu pula (abad ke 13), Sulawesi Selatan telah bergabung ke dalam jaringan perdagangan jarak jauh yang berujung di India dan Cina.

Caldwell dan Nur (2005); Caldwell dan Bougas (2004), hipotesanya kemudian bisa berarti bahwa di pesisir selatan provinsi Sulawesi Selatan sudah terbentuk kelompok-kelompok masyarakat yang cukup terorganisir. Mereka adalah kelompok yang bergantung pada perdagangan antar-pulau. Beberapa abad kemudian, yakni pada abad ke 14 kita sudah melihat pertumbuhan kelompok-kelompok ini menjadi lebih besar.

Bagaimana proses terbentuknya kelompok elite dan bagaimana cara etnis Bugis-Makassar mengelola dan mempertahankan kekuasaannya? Caldwell (2004) berpendapat bahwa penguasaan terhadap sumberdaya alam seperti sawah yang subur, membuat seorang penguasa bisa mengkonsolidasi kekuatannya. Baginya, ideologi dan religi adalah faktor sekunder dari terbentuknya sebuah kekuasaan yang dipegang oleh segelintir elite. Dia mencontohkan bahwa sejak dikuasainya daerah lembah sungai besar di kawasan itu oleh sekelompok bangsawan, maka terbentuklah unit-unit politik yang lebih besar. Sementara Gibson (2005;2007) menuliskan bahwa cara masyarakat Makassar mempertahankan kekuasaannya adalah dengan mengaktifkan sebanyak mungkin pengetahuan simbolik yang dipercaya masyarakat. Lewat mitos dan ritual, para elite merelegitimasi dan mereproduksi kekuasaan mereka. Mereka misalnya mengadakan ritual yang melibatkan banyak orang dimana leluhur pendiri kerajaan tertentu menjadi subyek sesembahan. Sehingga hal ini kembali menegaskan legitimasi kekuasaan para keturunannya di masa sekarang.

Pelras misalnya mengatakan bahwa para raja baru memeluk Islam setelah datang model yang lebih cocok bagi para raja. Secara spesifik Gibson (2005, 2007) mengatakan bahwa raja Tallo memeluk Islam menurut ajaran Ibnu Arabi


(38)

12

yang salah satu doktrinnya adalah bahwa raja merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Ajaran ini telah dipegang oleh beberapa raja di Nusantara karena menjamin kekuasaan politis, selain religius, raja-raja tersebut. Namun sambung Gibson (2007), teori lain tentang perkembangan Islam di Sulawesi Selatan dikemukakan oleh Cummings (2001). Dia mengajukan argumen bahwa di awal masuknya Islam pada abad ke 17 di Gowa-Tallo, yang terjadi adalah sebuah gerakan tekstual beraksara Arab. Lewat manipulasi teks menjadi benda keramat dan menjadi bahan ritual pembacaan yang dikeramatkan, ‗Islam‘ menjadi semacam ‗benda pusaka‘ yang digunakan oleh para bangsawan istana untuk memperluas atau mengokohkan kekuasaannya.

Gibson (2007), menuliskan bahwa model kekuasaan versi Eropa tiba di Sulawesi Selatan dibawa oleh VOC khususnya setelah Perang Makassar pada paruh ke dua abad ke tujuh belas6. Namun model kekuasaan ini baru benar-benar berefek dan diadopsi oleh masyarakat Sulawesi Selatan setelah sebagian besar kerajaan di kawasan ini ditaklukkan langsung oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1906. Sejak takluknya Gowa di tahun 1669, masyarakat di Sulawesi Selatan mulai terekspose jenis pemerintahan modern besutan VOC.

Ketika Sulawesi Selatan benar-benar berada di bawah kekuasaan langsung pemerintah kolonial, model kekuasaan tradisional dan Islam tidak hilang dengan sendirinya. Menurut Gibson (2005), mereka hidup berdampingan hingga sekarang. Dalam hal ini dia membantah tesis Weber bahwa ketiga model relasi kekuasaan ini merupakan sebuah proses sejarah dengan model kekuasaan rasional-legal sebagai titik akhirnya.

Pola kekuasaan baru di Bugis dan Makassar diawali dengan hadirnya Muhammadiyah (1937). Pada awal 1937, Muhammadiyah telah mempunyai enam belas cabang di Sulawesi Selatan. Dan pada tahun 1941, ketika invasi Jepang di mulai di Nusantara, Muhammadiyah menyatakan telah mempunyai 7000 anggota dan 30.000 simpatisan di Sulawesi Selatan. Inilah organ Islam paling besar di Sulawesi Selatan pada masa itu. Kehadiran organisasi Islam ini menurut Gibson (2005), relatif mempengaruhi perubahan peta kekuasaan di Sulsel. Ini dibuktikan

6 Perang Makassar menjadi titik awal bagi etnis Makassar dan etnis Bugis untuk melakukan

ekspansi atau diaspora, dalam berbagai bentuk, dengan menjadikan idiologi ‗Siri‘ sebagai spiritnya. Untuk halini lihat tulisan Dr. Muhlis Paeni.


(39)

13 dengan mulainya sejumlah orang biasa (bukan bangsawan) bisa mendapatkan posisi tinggi secara politis maupun ekonomi. Namun peran ini menurut Millar (1989) belum terlalu kuat mengubah peta kekuasan di Sulsel, bahkan menurut temuannya, menjadi kurang relevan lagi, sehingga nilai penting organisasinya pun menjadi surut.

Akhirnya Millar menyimpulkan bahwa, selama dekade 1970-an, terjadi peralihan gagasan tentang status di wilayah Bugis. Sifat dan pencapaian pribadi sudah menjadi faktor yang lebih penting dalam melihat kualitas seseorang ketimbang di masa sebelumnya. Karena kalangan non-bangsawan pada masa itu tidak kekurangan peluang untuk melakukan mobilisasi sosial, maka ketegangan dan persaingan memperebutkan pengaruh di antara tau matoa, lebih spesifik lagi, antara tau matoa bangsawan atau dan tau matoa orang kebanyakan, tetap berlangsung sengit. (Millar 1989: 66). Pergeseran status di dalam etnis Bugis berlangsung lebih cepat pada sektor ekonomi, akan tetapi sangat lamban terjadi pada kekuasaan politik. Hal yang nampak berbeda terjadi di dalam etnis Makassar, pergeseran status kekuasaan politik dan ekonomi berlangsung lebih terbuka dan dinamis, dibandingkan dengan etnis Bugis.

Penelitian Chabot –yang dijadikan acuan dalam buku Ahimsa— tentang pelaksanaan perkawinan ideal di Bontoramba Makassar, apakah benar dapat diterapkan untuk mendukung pendapat tentang perkawinan ideal di Bugis? Dalam masyarakat Bugis, pembagian perkawinan ideal berdasarkan darah keturunan yang digambarkan Mattulada lebih mengacu ke kalangan bangsawan tinggi atau turunan datuk, bukan masyarakat Bugis kebanyakan.

Dalam kebanyakan masyarakat Bugis, di mana pernikahan tidak bermotif

kekuasaan, tapi bertujuan ―selamat dan sejahtera‖, ada istilah sienrekeng dalle‟. Istilah itu ditujukan kepada pasangan yang kalau dinikahkan, dipercaya akan saling ―menaikkan‖ rejeki bagi keduanya. Syarat pasangan ini adalah: si

perempuan merupakan anak bungsu dalam keluarganya dan si laki-laki adalah anak sulung dalam keluarganya.

Buku yang ditulis Amin, dengan judul Syair Perang Mangkasar (2008), adalah satu dari sedikit buku yang secara jelas memberikan perbedaan yang sangat nyata antara etnis Bugis dengan etnis Makassar. Bahkan Amin menggambarkan sangat nyata perilaku politik etnis Bugis yang dipresentasikan oleh Arung Palaka, dan Sultan Hasanuddin mewakili etnis Makassar.


(40)

14

Meskipun buku ini melahirkan banyak keraguan terhadap kesimpulan yang diambil oleh Amin karena posisi individual penulis (Amin) yang pada saat

menulis syair sebagai ―sekretaris‖ pribadi Sultan Hasanuddin, dinilai tidak memiliki kemampuan untuk menulis secara objektif, bahkan syair ini dipandang lebih sebagai ekspresi kekesalan emosionalnya terhadap Arung Palakka dan VOC. Tapi apapun yang dihasilkan oleh Amin, syair ini salah satu bukti yang dapat dipegang untuk menunjukkan perbedaan antara etnis Bugis dan Makassar, dari sekian banyak perbedaan yang ada.

Sudut Pandang Encik Amin selaku pengarang Syair Perang Mengkasar, dapat ditelusuri benang merah yang linear dengan cara pandang orang-orang Makassar (pada masa itu) tentang perang Makassar. Melalui sudut pandang itulah, muncul setidaknya tiga matra dan dimensi dalam Syair Perang Mengkasar. Dimensi pertama adalah posisi Sultan Hasanuddin mewakili Makassar; dimensi Kedua adalah posisi Arung Palakka mewakili Bugis; dimensi ketiga adalah Cornelys Speelman mewakili Belanda (VOC).

Maka dengan sendirinya, bagi orang Makassar, melalui sisi subjektif Encik Amin dalam Syair Perang Mengkasar, terdapat perbedaan memahami orang Bugis (melalui Arung Palakka) dengan orang Belanda (melalui C. Speelman).

Tabel 1 Memahami Perbedaan Etnis Bugis dan Makassar

Sultan Hasanuddin (etnis Makassar)

Arung Palakka (etnis Bugis)

C. Speelman (Belanda)

Sempurna Suka perempuan Kafir

Arif bijaksana Pendendam Pendusta

Sakti Kesatria pemberani Kasar

Suci dan ikhlas Cerdik dan garang Iblis

Berani dan adil Kaya Siasat Najis

Sabar dan gemar ibadah Sportif Setan

Tampan Bebal Terkutuk

Dapat dipercaya Pencuri Hantu

Bakhil, Bengis, Gila

Encik Amin, SyairPerang Mengkasar (2008).

Komposisi cara pandang tersebut, telah melahirkan alasan yang sangat rasional dari keruntuhan kerajaan Gowa. Karena Sultan Hasanuddin harus melawan sekaligus dua tokoh representasi Bugis dan Belanda yang sangat berat. Arung Palakka mewakili perlawanan dengan alasan dendam dengan keberanian


(41)

15

sebuah kepentingan kolonial yang sangat mendasar dengan karakter yang minim sisi kemanusiaan.

Bagi orang-orang Makassar, pada Syair Perang Mengkasar, orang Bugis adalah

pemberontak yang ingin menguasai Gowa, sementara orang Belanda adalah penjajah yang kejam dan lalim serta memerangi Gowa atas nama agama (Nasrani).

Bagi orang Bugis, orang-orang Makassar dipandang sebagai agresor sementara kehadiran Belanda adalah sebuah peluang untuk menghancurkan kekuatan agressor Makassar. Itulah sebabnya Arung Palakka tidak sepenuhnya terdiskreditkan dalam Syair Perang Mengkasar. Arung Palakka juga

digambarkan pemberani dan sportif, sebagaimana ditegaskan ketika menolak melucuti senjata orang Makassar.

Berdasarkan latar belakang dan sejumlah temuan tentang Bugis dan Makassar, seperti diuraikan di atas, maka pola elite etnis Bugis dan Makassar meraih kekuasaan dapat dilihat pada gambar berikut;

Gambar 1. Pola Elite Bugis Dan Makassar Meraih Kekuasaan 1.2 Rumusan Masalah

Sebagai negara yang terbentuk dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi, Indonesia selalu berada pada posisi yang rentan terhadap semangat separatisme etnik. Meskipun, keragaman sering dianggap sebagai modal sosial


(42)

16

bagi keberadaan negara, akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan mudah pecah. Futurolog terkemuka seperti Naisbitt dan Toffler juga memprediksikan tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousness) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai peristiwa pada dua

dasawarsa terakhir abad ke-20 memang menunjukkan adanya fenomena perlawanan terhadap dominasi negara, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok etnik, terutama etnis minoritas dalam pentas kekuasaan.. Berjuta-juta nyawa telah melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Huntington (1997) merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilization.” Sentimen

ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya.

Masyarakat, terutama yang mempunyai karakter etnis dan multi-agama perlu senantiasa menggali wawasan kebangsaannya untuk menghindari ketegangan-ketegangan baru. Konflik horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di Indonesia (Ambon, Kupang, Sambas, Palangkaraya, Sampit, Papua, Poso, Lombok, Tasikmalaya, Jakarta, Solo, Surabaya, dan lain-lain) seharusnya menggugah bangsa ini untuk kembali merenungi pertanyaan-pertanyaan mendasar. Apakah pola hidup dalam keberagaman sudah membudaya dalam alam kesadaran orang Indonesia? Sedalam apakah pemahaman kita akan keragaman orientasi, referensi, dan tindakan-tindakan dalam pengambilan kebijakan? Apakah kesadaran etnik yang bermunculan di berbagai wilayah tanah air akan mengarah pada perbenturan peradaban bangsa kita?

Indonesia telah mengalami beberapa bentuk pemerintahan dengan nuansa demokrasi yang berbeda-beda. Pemerintahan Orde Lama melihat keragaman budaya di Indonesia sebagai sebuah bentuk pluralisme. Konsep pluralisme adalah buah dari kompromi Alisjahbana dengan Pane yang ditengahi oleh Dewantara, sehingga muncullah rumusan seperti kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah, dan seterusnya. Kesadaran akan pluralisme kebudayaan membuat pemerintah Orde Lama berkeinginan mengkonservasi pencapaian budaya-budaya daerah, sehingga mengabaikan unsur dinamika dalam kebudayaan.


(43)

17

Selama tiga dekade kekuasaan rezim Orde Baru, Indonesia dipaksa untuk menukar kebebasan politik dengan kemajuan ekonomi. Selama pemerintahan yang otoriter dan militeristik ini, pembicaraan seputar SARA (Suku, Agama, dan Ras) merupakan hal tabu. Permasalahan di ranah tersebut hampir tidak pernah diangkat atau didialogkan secara terbuka. Bangsa ini seolah-olah bersembunyi di balik slogan

“Bhinneka Tunggal Ika” yang hanya sekedar mengukuhkan otoritas penguasa dalam

melakukan penyeragaman, uniformalitas dan menyepelekan perbedaan.

Kebijakan Orde Baru menyimpan potensi konflik sebagai sebuah bom waktu. Begitu Orde Baru runtuh, konflik bernuansa SARA bermunculan dan mewarnai era reformasi. Deretan peristiwa kerusuhan berbau SARA itu sesungguhnya merupakan perwujudan dari menguatnya apa yang disebut revolusi identitas (identity revolution).

Batas-batas identitas (etnis, juga agama, ras, dan antar golongan) yang selama rezim Orde Baru ditabukan, justru pada era reformasi sudah mulai bangkit sebagai sebuah kekuatan basis.

Kebijakan era sekularisme memberikan otonomi daerah tidak serta-merta menyelesaikan masalah keragaman ini. Satu hal yang unik di Indonesia, sebuah pemerintahan di Daerah Tingkat II umumnya didominasi satu suku. Kondisi masyarakat daerah seperti ini bisa menjadikan orang daerah menjadi lebih kental rasa kesukuan dan etnosentrisnya. Contoh yang paling mudah diamati adalah Pilkada langsung, yang cenderung diikuti dengan demonstrasi jalanan dan perusakan fasilitas umum. Perilaku ini membuat budaya daerah tertentu kehilangan nilai-nilai, mereka berubah jadi buas dan brutal. Contoh yang lain adalah konflik-konflik bermotif etnik, seperti: Aceh, Kalimantan, Poso, dan Maluku. Semua konflik ini berlatar pada spirit membangkitkan eksistensi etnisitas.

Inilah kondisi yang tengah terjadi di Indonesia dan masih terus berpotensi untuk muncul kembali jika kesadaran sektarian dan etnisitas dikelola dengan kepentingan untuk semata-semata meraih kekuasaan politik dan ekonomi. Apakah Indonesia dapat menjamin bahwa desentralisasi benar-benar akan menjadi perekat bagi persatuan nasional dan memperkuat komitmen nasional terhadap pembangunan manusia? Ataukah justru akan memperkokoh primordialisme dan etnosentrisme?

Dengan meningkatnya semangat solidaritas etnis (terutama sejak era sekularisme), maka permasalahan yang mulai menampak adalah terancamnya


(44)

18

eksistensi demokrasi pluralitas, yakni demokrasi yang mengutamakan hak-hak kesetaraan dan keadilan, untuk semua. Kedua, kualitas demokrasi menjadi sangat minim, karena proses demokrasi tidak lagi berlangsung berdasarkan rasionalitas dan kesadaran logis, akan tetapi lebih dipengaruhi oleh tekanan-tekanan dan pengaruh etnisitas.

Di Sulawesi Selatan, permasalahan ini tidak berhenti sampai di sini, karena di daerah ini, terdapat paling kurang empat etnis besar yang memiliki potensi untuk terus mengembangkan akar-akar ‖perbedaan,‖ sebagai alat bargaining untuk meraih kekuasaan politik dan ekonomi. Lebih khusus, potensi konflik perebutan kekuasaan politik dan ekonomi diperkirakan sangat berpeluang terjadi antara dua etnis besar (Bugis dan Makassar). Dua etnis ini secara historis memiliki tradisi berkompetisi dan kontestasi politik sejak lama. Etnis Bugis melalui simbol utamanya Arung Palakka, menurunkan semangat pencapaian ‖kekuasaan‖ dan ‖materi‖ untuk mewujudkan kesejahteraan berlangsung bersamaan. Di sini terlihat etnis Bugis mengembangkan kekuatan tradisi ”material power.” Sementara etnis Makassar melalui pesan Sultan Hasanuddin terus mempertahankan kebiasaannya membangun tradisi ”immaterial power,” sebuah kebiasaan memperluas wilayah kekuasaan (ekspansi kekuasaan), meskipun tidak disertai dengan kelimpahan materi. Perwujudan kesejahteraan etnis Makassar ditandai dengan kekuasaan untuk ‖menguasai.‖ Kedua semangat yang berbeda ini, akan memberi kontribusi untuk mempertajam arah konflik antara kedua etnis ini.

Dengan berpangkal pada permasalahan di atas, maka studi ini mengangkat tematik elite di dalam etnis Bugis dan etnis Makassar memproduksi dan mereproduksi dirinya untuk bersaing dalam akses dan pengaruh terhadap sumber-sumber kekuasaan maupun ekonomi. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan menjawab beberapa permasalahan, sebagai berikut:

1. Bagaimana proses transformasi dan pola interaksi sosial elite Bugis dan Makassar dengan pengikutnya, dalam upayanya meraih, menjaga dan memperluas ekuasaan politik dan ekonominya mulai dari fase tradisional hingga fase sekularisme.


(45)

19

2. Bagaimana dinamika proses pembentukan elite Bugis dan Makassar, terutama dalam membangun komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok masing-masing dalam melakukan proses perubahan? 3. Bagaimana simbol-simbol budaya, kuasa dan uang dimanfaatkan dan

diorganisasikan oleh elite untuk mempertahankan dan mereproduksi posisinya sebagai elite pada etnis Bugis maupun Makassar untuk meraih kekuasaan? 1.3 Tujuan Penelitian

Berangkat dari permasalahan yang diajukan di atas, terdapat tiga tujuan dari penelitian ini, yaitu;

1. Mengetahui proses transformasi dan pola interaksi elite Bugis dan Makassar dengan pengikutnya dalam usahanya meraih, menjaga dan memperluas kekuasaan politik dan ekonominya, mulai dari fase tradisional hingga fase sekularisme. 2. Mengetahui dinamika proses pembentukan elite Bugis dan Makassar terutama

dalam komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok, dan menjaga dinamika politik pada masing-masing aras; desa, kabupaten, provinsi/nasional.

3. Mengetahui dan memahami proses elite Bugis dan elite Makassar memanfaatkan simbol-simbol budaya, kuasa, uang dan budaya sosiologi politik lainnya untuk meraih dan memelihara (mereproduksi) kekuasaannya mulai dari level mikro, mezzo dan makro.


(46)

(47)

21

2 TINJAUAN PUSTAKA

Untuk menjelaskan fenomena pembentukan elite sosiologi politik dan ekonomi di dalam etnis Bugis dan Makassar menuju hibriditas budaya politik, maka penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai bingkai analisis atas fakta atau fenomena sosial yang terjadi berkaitan dengan tematik penelitian. Adapun penggunaan teori ini akan disesuaikan dengan pilihan paradigma penelitian oleh peneliti. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas posisi peneliti dalam penelitian yang dilakukan.

Berkaitan dengan tematik penelitian ini, penulis mengeksplorasi sejumlah teori antara lain; teori elite dan kekuasaan, yang berbasiskan etnis, simbol, dan wacana. Lebih jelasnya, uraian batasan teori sebagaimana telah disebutkan akan dipaparkan pada bagian berikut tulisan ini.

2.1 Elite

Secara etimologi, istilah elite bermula dari kata Latin eligere yang bermakna memilih. Pada abad ke 14, istilah ini berkembang menjadi a choice of persons (orang-orang pilihan). Kemudian pada abad ke 15, digunakan untuk menjelaskan best of the best ( yang terbaik dari yang terbaik). Selanjutnya pada abad ke 18, kata elite yang diambil dari bahasa Perancis, dipakai untuk menandai sekelompok orang yang memegang posisi penting dan terkemuka dalam suatu masyarakat.

Menurut Pareto, yang disebut dengan kelompok elite adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elite merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto meyakini bahwa elite yang tersebar pada sektor pekerjaan yang berbeda itu umumnya berasal dari kelas yang sama, yakni orang-orang kaya dan pandai. Ia menggolongkan masyarakat kedalam dua kelas, lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non-elite). Lapisan atas atau kelas elite terbagi dua; elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite). Governing elite dan non-governing elite selalu berkompetisi untuk meraih kekuasaan sehingga terjadilah sirkulasi elite. Setiap elite yang memerintah, hanya dapat bertahan untuk berkuasa apabila secara


(48)

22

kontinu memperoleh dukungan dari masyarakat bawah (massa). Akan tetapi sirkulasi elite akan tetap berjalan karena secara individual baik elite keturunan maupun elite yang diangkat atau ditunjuk akan mengalami kemunduran sesuai dengan waktu dan sebab-sebab sosial, politik dan biologis.7

Menurut Mosca, pada setiap masyarakat yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas; kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan, yang kadang-kadang bersifat legal, arbitrer, dan menggunakan kekerasan.8 Pada penelitian Mosca yang lain, ia menemukan peran ‗kekuatan sosial‘ dalam pembentukan elit. Mosca mengenalkan konsep ‗sub elite‘ yang dikenal sebagai kelas menengah, yang terdiri dari; pegawai negeri sipil, manajer industri, ilmuwan dan mahasiswa. Kelas ini dianggapnya sebagai elemen vital dalam mengatur masyarakat. Menurutnya stabilitas politik ditentukan oleh lapisan kelompok menengah ini.

Kekuasaan elite bagi Mosca adalah perwujudan dari sifat-sifat yang tak terbantahkan dari watak sosial manusia. Selanjutnya dikatakan, bahwa kelas politik yang tidak adaptatif dengan zaman tidak akan bisa mempertahankan diri. Sementara elite lain akan terbentuk dari kalangan yang diperintah, dan dengan perjalanan waktu akan mengambil alih kekuasaan meskipun dengan kekerasan. Sistem demokrasi, menurut Mosca tidak memiliki dasar substantif sebagai kekuasaan mayoritas, bahkan dianggap sebagai penyebab kemerosotan elite. Oleh karenanya semua kelompok penguasa harus mempertahankan sistem pewarisan secara turun temurun agar tetap dapat memanipulasi kekuasaannya.

Akan tetapi Mosca juga menyadari, bahwa rekruitmen dari kelas mayoritas sangat dibutuhkan demi stabilitas organisasi politik. Mosca berpandangan, bahwa kelas penguasalah yang menentukan struktur politik masyarakat. Mengapa demikian, karena meskipun jumlah mereka (elite) kecil, tetapi sebetulnya dialah yang mengatur kehidupan secara keseluruhan. Itu sebabnya, semakin besar jumlah anggota masyarakat, semakin sulit kelompok massa mayoritas untuk mengorganisasikan sikap politik, ekonomi dan sosial mereka terhadap kelompok elite yang minoritas itu. Mosca,

7 Ibid, halaman 204.


(49)

23 juga percaya dengan pergantian elite, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Moran: bahwa apabila elite tidak lagi mampu menjalankan kekuasaannya dan atau kehilangan kecakapan di hadapan kelompok yang dikuasainya, maka terbuka kesempatan menggeser kelas penguasa dari kelas yang dikuasai.

Pareto dan Mosca nampaknya lebih memusatkan perhatian kepada elite yang memerintah. Bagi mereka berdua, konsep pergantian atau sirkulasi elite adalah sesuatu yang niscaya, bagi mereka berdua, elite yang berkuasa bisa saja kehilangan kekuasaannya akibat gangguan terhadap keseimbangan masyarakat. Gangguan ini bisa melahirkan pergantian elite yang terjadi pada dua dimensi: pertama pergantian diantara elite itu sendiri dan yang kedua dari kalangan bawah (massa) megisi panggung elite.

Schumpeter, salah seorang ilmuan Amerika, sebagaimana Weber dan Mosca menekankan bahwa elit memiliki kekuatan yang besar. Menurutnya, demokrasi yang sebenarnya berpinsip pemerintahan oleh rakyat, tetapi prakteknya diperintah oleh elite. Pesan penting Schumpeter adalah bagaimana proses persiapan dan pencapaian kekuasaan oleh elite dilakukan melalui kompetisi yang jujur dan adil melalui pilihan rakyat atau Pemilihan Umum. Dalam konteks ini, Schumpeter tidak melihat adanya saluran lain mengontrol elte oleh massa pemilih kecuali melalui Pemilu.

Pertanyaan penting adalah bagaimana mempertautkan teori elite klasik dengan demokrasi, sebagaimana diupayakan oleh Schumpeter, nampaknya mempengaruhi tradisi berpikir tokoh lain seperti; Lasswell, Dahl, dan Sartori yang meyakini bahwa masyarakat secara politik akan terbagi atas elite dan massa. Secara khusus, Dahl dan Sartori mengidentikkan demokrasi dengan poliarkhi yang berarti terjadinya sebuah kompetisi yang fair dan adil diantara para minoritas yang berpengaruh dan memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan. Sementara itu, Dahl menyatakan bahwa melalui proses yang kompetitif, elite dan pemimpin politik akan lebih tanggap terhadap kepentingan warga Negara biasa, dan dengan cara itu, maka interaksi aktif akan terjadi antara mereka. Rakyatpun dengan demikian akan memiliki pengaruh terhadap elite, meskipun secara alamiah posisi rakyat dan massa akan menjadi lebih lemah.

Kajian tentang kaitan antara teori elite dengan demokrasi yang secara luas dikemukakan melalui para tokoh di atas, sebetulnya datang dari konsep bagaimana


(50)

24

kekuasaan elite tersebut boleh dipengaruhi oleh massa atau rakyat. Bagaimana mempertautkan antara demokrasi dengan teori elit dimaksudkan agar esensi dan substansi demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat terekspresikan melalui elite pemerintahan dalam bentuk proses-proses yang memungkinkan rakyat dalam mengontrol elite yang minoritas.

Dalam perkembangannya, terutama memasuki era global, teori elite kemudian memperoleh perspektif baru, yakni bersinergi dengan demokrasi, bahkan menerima sumbangan dari paham pluralisme dalam demokrasi. Sebagaimana disebutkan oleh Dahl (2006) serta penegasan lain dari Sartori (1987) ketika menyatakan bahwa:

―Democracies are characterized by diffusion of power … by a

multiplicity of criss-crossing power groups engaged in coalitional

maneuverings‖.

Soal ini menunjukkan kemiripan dengan ulasan Dahl dalam Poliarkhi tentang adanya multiple power yang dapat merepresentasi berbagai kepentingan yang berbeda. Dalam berkontribusi terhadap keterkaitan demokrasi plural dengan teori elite, Lasswell kemudian menjelaskan beberapa hal bahwa dalam paham pluralism ada berbagai hal yang perlu diperhatikan: Pertama, masyarakat terbagi dalam berbagai kelompok yang memiliki kepentingan kepada pemerintah tanpa mendominasi proses pembuatan keputusan. Kedua, meskipun warga negara tidak berpartisipasi langsung dalam pembuatan keputusan, pemimpin mereka mampu mengadopsi pikiran mereka melalui mekanisme dialog, akomodasi maupun kompromi. Ketiga, kompetisi antar para pemimpin menolong terakomodasinya kepentingan massa. Keempat, kepemimpinan terbuka, membiarkan adanya kelompok baru untuk ikut memperjuangkan kepentingan politiknya. Kelima, meskipun pengaruh politik dalam masyarakat terdistribusi, tetapi kekuasaan sebetulnya tersebar. Kepemimpinan yang berasal dari banyak basis kekuasaan eksist, dan tiada satupun kelompok yang sangat dominant dalam proses pembuatan keputusan.

Tentang elite, juga dikemukakan oleh Lockwood (1989). Menurutnya elite didefinisikan melalui dua cara, yaitu: (1) elite yang memerintah (governing elite), yang terdiri dari individu-individu yang secara langsung atau tak langsung memainkan peranan yang besar dalam pemerintahan; dan (2) elite yang tak


(1)

322

_________________, 1975. Introduction à la littérature Bugis, Archipel

Pelzer, K.J. 1991. Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Penerbit Sinar Harapan. Jakarta.

Penders, Chr. L.M. (ed.). 1977. Indonesia: Selected Documents on Colonialism and Nationalism 1830-1942. Queensland: University of Queensland Press.

Permohonan ulang dari Kerajaan Gowa sebagai wilayah yang berpemerintahan sendiri, 1936 dalam Otonomi Daerah di Hindia Belanda, Jakarta: ANRI, 1998.

Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Jakarta: YOI-KITLV-Pustaka Larasan.

Pierre, Joseph Proudhon. 1979. The Principle of Federation, terj. R. Vernon Toronto: University of Toronto Press.

Poll, MR. J.T.K. 1948. Laporan Serah Terima Kontrolir Kelas I Kementerian Dalam Negeri.

Poloma, Margaret M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Grafindo. Pranadji, T. 1986. Pengembangan Lumbung Padukuhan: Alternatif Mengaktifkan

Perekonomian Desa. Forum Ekonomi, V(29):46-49, Maret 1986. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Jakarta.

Pranadji, T. 2003. Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis: Pelajaran dari Provinsi Lampung. Analisis Kebijakan Pertanian, (1)2:152-166, Juni 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Putnam, Robert D. 1980. The Comparative Studi of Political Elites. New York: Prentice Hall, Inc. Englewodd Cliffs.

_____________. 1987. Hanging together: cooperation and conflict in the seven-power summits. Harvard University Press.

Putra, Heddy Shri Ahimsa-. 1996. Hubungan Patron-Klien di Sulawesi-Selatan. Kondisi Pada Akhir Abad XIX, Prisma, 25 (6), 1996: 29-45.

Raffles, Thomas S. 1817. History of Java Volume 2. London: Black, Parbury. Allen and Murray.

Rahardjo, M. Dawam, 1990. Dari Pareto ke Gramschi, dalam Richard Bellamy, Teori Sosial Modern: Perspektif Itali (Jakarta‖ LP3ES,),

Razak, Daeng Patunru, Abd. 1993. Sejarah Gowa. Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan (YKSS). Makassar.


(2)

323 Regeringalianak voor Nederlandsch-Indie 1906, 1925, 1926, 1927, 1928, 1929:

Kalender en Personalia,Weltevreden: Landsdrukkerij,1906. Reid, Anthony. 1983. The Rise of Makassar, RIM, 17, 1983: 117 -59.

_____________, 2001 ―Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse

Modern Identities”. Journal of Southeast Asian Studies, no. 32, UK:

The National Univ. Singapore Press, 2001, hlm. 295-313.

_____________. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 2004.

_____________., 2008. Merchant Princess and Magic Mediators: Outsiders and Power in Sumatra and beyond‖, Indonesia and Malay World, Vol. 36, No. 105. UK: Routledge. July 2008, hlm. 251-266.

_____________. 1981. A Great Seventeenth Century Indonesian family; Matoaya and Pattingalloang of Makassar', Masyarakat Indonesia 8:1-2N, Republik Indonesia Provinsi Sulawesi. 1953. Provinsi Sulawesi Selatan: Jawatan

Penerangan RI.

Resink, G.J. 1987. Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910. Jakarta: Djambatan.

Ricklefs, M.C. 1974. Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792; A history of the division of Java. London: Oxford University Press.

_____________. 1974. Jogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792: A History of the Division of Java. London: Oxford University Press. _____________.1995. Sejarah Modern Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press..

_____________. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Serambi

_____________. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Ritzer, George. 1990. Frontiers of Social Theory: The New Syntheses. Columbia University Press.

Robbins, P. 2004. Political Ecology; A Critical Introduction. Blackwell Publishing. Malden and Oxford.

Robinson, Kathryn dan Mukhlis PaEni (penyunting). 2005. Tapak-tapak Waktu, Kebudayaan, Sejarah, dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan. Makassar: Inninawa.


(3)

324

Rogers. 1975. Female forms of power and the myth of male dominance; a model of female/male interaction in peasant society, American ethnologist 2:727 -56

Russell, Bertrand, 1988. Kekuasaan Sebuah Analisis Sosial Baru. Jakarta: Yayasan Obor.

Sahlins, Marshall. 1981. Historical Metaphore and Mythical Realities: Structure in Early History of the Sandwich Islands Kingdom. Ann Arbor: Michigan University Press..

Salinan Surat Karaeng Karuwisi tanggal 22 Juni 1946 dan surat Karaeng

Bontonompo tertanggal 20 Juni 1946 sebagai perwakilan Hadat Gowa kepada Residen Selebes di Makassar tentang usulan pemilihan La Idjo Karaeng Lalolang sebagai calon Raja Gowa pengganti ayahnya I Mangi-mangi yang wafat, ARSIP NIT 81. 197

Sartono Kartodirdjo. 2005. Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta: Gramedia. ___________________, 1986. ―The Historical Novel „Pah Troeno‟, A Mirror of

Social Realities in the Colonial Past”, dalam Taufik Abdullah.

Literature and History: Papers of Fourth Indonesia-Dutch History Conference. Yogyakarta 24-29 July 1983. Yogyakarta: UGM Press.. ___________________, 1996. “Literature and History: Soewarsih‟s Buiten Het

Gareel, a piece of l‟Histoire Mentalite” dalam makalah Simposium

Internasional III Ilmu-ilmu Humaniora. Yogyakarta: Fak. Sastra. UGM.. hlM. 193-301.

Sartori, Giovani, 1987. The Theory of Democracy revisited. Volume 1. Chatham House Publishers.

Saunders, Peter. 1989. Social Theory and Urban Question. London: Allen & Unwin.

Saussure, 1960. Cours de linguistique générale Bibliothèque scientifique. Payot Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia.

Schrauwers, Albert. 2000. Colonials reformation in the highlands of central Sulawesi, Indonesia, 1892-1995. Toronto: Toronto University Press. Scott, J.C.. .1999. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di

Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta.

____________. 1968, Political Ideology in Malaysia: Reality and the Beliefs of an Elite. New Haven.


(4)

325 ____________.. 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia

Tenggara. LP3ES. Jakarta.

Sejarah Daerah Sulawesi Selatan. 1978. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayan Daerah.

Skinner C., (editor), Enci‘ Amin. 2008. Syair Perang Mengkasar. Makassar-Jakarta: Ininnawa-KITLV.

Skinner, C. 1963. Sja‟ir perang Mengkasar (The rhymed chrocicle of the Macassar war) by Entji‘ Amin. ‗s-Grvenhage: Nijhoff. [KITLV, Verhandelingen 40.] Skinner, G.W. dan Bruner. 1959. Local, ethnic, and national loyalties in village

Indonesia; a symposium. New York: Institute of Pacific Relations. [Yale University, Southeast Asia Studies, Cultural report Series 8] Soesi Moeiman, dan Hein Stainhauer, 1995. Kamus Belanda – Indonesia. Jakarta:

Gramedia-KITLV.

Soja, Edward W. 1996. Postmodern geographies: the reassertion of space in critical social theory. Verso.

Spranger, Edward. 1984. dalam Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian (Jakarta: Penerbit CV. Radjawali, cetakan keempat,)

Stroband, W., salinan Wd. 1ste Gouvernements Secretaris, larangan kepada pegawai pemerintah untuk menjadi pimpinan PKI atau SR, Buitenzorg, 25 Mei 1926, Arsip Celebes reg. 2.

Surat Edaran Gubernur Sulawesi A. Couvreur tahun 1904-1929 edisi I dan II, Makassar: Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2003.

Suryabrata, Sumadi, 1984. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Penerbit CV. Radjawali.

Suryadi, ―Sepucuk Surat dari Seorang Bangsawan Gowa di Tanah Pembuangan (Ceylon). Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya Vol. 10 no. 2. Jakarta: Wacana, FIB UI, Oktober 2008. hlm. 214-245.

Sutherland, Heather. 1983a, Terbentuknya Elite Birokrasi, Seri Sejarah Sosial Nomor dua, Penerbit Sinar Harapan.

_________________ 1983b. Slavery and the slave trade in South Sulawesi, 1660s-1800s', dalam: Anthony Reid (ed.), Slavery, bondage and dependency in Southeast Asia, hlm. 263-85. St. Lucia: University of Queensland Press.


(5)

326

Thompson, 1990. Ethics and politics: cases and comments. Nelson-Hall.

Tideman, J. ―De Batara Gowa op Zuid Celebes‖, BKI no. 64, 1908, hlm. 350-390. Tika, Zainuddin, dkk., 2008. Profil raja-raja Gowa. Pustaka Refleksi.

Thosibo, Anwar, 2002. Historiografi Perbudakan di Sulawesi Selatan. Magelang: Indonesiatera..

Turner, Jonathan. 1988. Theory Building In Sociology: Assessing Theoretical Cumulation. Sage Publications.

____________________. 1998. The Structure of Sociological Theory. USA: Wadsworth Publishing Company.

Umar Junus. 1988. Karya sebagai Sumber Makna, Pengantar Strukturalisme. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia.

Vinken, Fred. 1987. ―De Dubbele Aar; H.J. Friedericy, Schrijver en Ambtenaar: 1900-1962‖ Utrecht: Tesis.

Vlekke, B. Nusantara, 2008. Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Volosinov, V.N. 1973 Marcism and the Philosophy of Language. London; Seminar Press.

Wal, S.L. van Der (penyunting), 2001. Kenang-Kenangan Pangreh Praja Belanda 1920-1942. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Wallace, Ruth A, & Alison Wolf. 1980. Contemporary Sociological Theory: Continuing The Classical Tradition. Prentice Hall.

____________________________. 1986. Contemporary Sociological Theory: Continuing The Classical Tradition. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, inc.

____________________________..1991. Contemporary sociological theory: continuing the classical tradition. Edition3, Prentice Hall,

Weber, Max. 1992. The Protestant Ethic Spirit of Capitalism, Routledge, London and New York.

Weiner. Eugene. "Coexistence Work: A New Profession." ed. Eugene Weiner (New York: The Abraham Fund, 2000): 13-24. Eugene Weiner (New York: Dana Ibrahim, 2000


(6)

327 Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan

Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Wiggers, 1893. Aardrijkskundige schets van het eiland Rotti... A. Bisschop. Wolhoff, G.J., dan Abdurrahim. Sedjarah Goa. Ujung Pandang: Jajasan

Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara. tanpa tahun.

___________., Memorie van Overgave Adviseur Wajo, September – Oktober 1947.