68
Berkaitan dengan proses pertarungan elite politik dan ekonomi di Sulawesi Selatan, relasi antara wacana, uang makna dan kekuasaan beroperasi secara luas,
terutama dimaksudkan untuk mendominasi konstruksi sosial antar kekuatan yang berbeda, misalnya antar kekuatan etnis Makassar dengan Bugis.
2.3.1 Spirit dan Etik dalam Pembentukan Elite
Sejarah pembentukan kekuasaan politik dan ekonomi di Sulsel, terutama antara etnis Bugis dan Makassar, mengalami pasang surut dari satu era ke zaman yang lain.
Karakteristiknya sangat ditentukan oleh spirit dan etik yang dianut oleh masing- masing elite rezim yang menjadi pelaku utama penguasaan politik dan ekonomi.
Makna dan nilai atau spirit yang dianut oleh setiap elite rezim akan memberikan kontribusi tersendiri bagaimana para elite membangun pola kekuasaanya.
Memahami makna, nilai, spirit dan etik setiap rezim yang berkuasa adalah hal mendasar untuk eksplikasi tindakan manusia pada umumnya, dan para elite
pada setiap rezim di Sulsel untuk studi ini. Menurut Weber 1992, manusia didominasi oleh kecenderungan untuk menguasai ekonomi dan kekuasaan, dengan
mengakuisisi sebagian tujuan utama hidupnya, dengan memanfaatkan kewajiban moral individu dan karakter budaya. Inilah yang dijuluki oleh Weber sebagai
dasar menguatnya spirit kapitalisme modern. Kewajiban moral dan tekanan makna budaya akan menjadi spirit dan etik
untuk mencapai tujuan tertentu. Etik protestan misalnya, yang menjadi pemicu kekuatan lahirnya kapitalisme modern Weber, 1992 di sejumlah negara Eropa
dan Amerika meskipun responnya berbeda-beda dipandang sebagai bentuk tertinggi dari kewajiban moral bagi individu untuk memenuhi tugas-tugasnya
dalam urusan duniawi. Konsep ini jelas sekali berusaha memproyeksikan perilaku relijius kedalam aktivitas keduniaan sehari-hari.
Dalam konteks ini, Weber berhasil mengidentifikasi bahwa kemajuan kapitalisme modern di Eropa dan Amerika Serikat, kelahiran dan perkembangannya
didorong oleh etik protestan, melalui doktrin Calvinisme tentang taqdir. Menurut doktrin ini, umat protestan sesungguhnya sudah ditentukan taqdirnya jauh
sebelumnya oleh Tuhan, siapa yang akan masuk surga dan neraka. Mereka-merka yang masuk surga memiliki tanda kehidupan dunianya lebih baik sempurna dari
69
yang lain. Karena semua orang berusaha menghindari kutukan Tuhan, dan memburu surga Tuhan, maka umat protestan bangkit untuk mengejar kehidupan
dunia yang lebih baik dan sempurna melalui pendekatan ekonomi. Ekses dari spirit ini menyebabkan semua orang semakin individual memburu keberhasilan ekonomi.
Karena hanya dengan ini menemukan keberhasilan ekonomi menjadi tanda atau sinyal utama untuk meraih surga dan menghindari kutukan Tuhan, meskipun
keberhasilan ini tidak dipandang sebagai alat untuk mencapai surga Tuhan. Sampai kondisi ini, Calvinisme menurut Weber menyuplai energi dan dorongan moral bagi
para usahawan kapitalis untuk terus mengkapitalisasi modalnya. Weber mengungkapkan, Ca
lvinisme memiliki ‘konsistensi besi‘ dalam disiplin habis- habisan yang dituntut dari para pengikutnya.
Pada posisi ini, Weber sangat jelas membantah tesis Karl Marx yang mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan ekonomilah yang menciptakan produk-
produk kebudayaan, seperti agama dan ideologi, sebaliknya menurut Weber, kebudayaanlah yang menciptakan bentuk-bentuk perilaku ekonomi tertentu.
Munculnya kapitalisme di Eropa dan Amerika, lanjut Weber, bukan karena kondisi teknologi di sana menguntungkan, namun suatu ‖spirit,‖ atau kondisi
kejiwaan tertentulah yang memungkinkan perubahan teknologi itu terjadi.
31
Apa yang ditemukan oleh Weber tentang etik protestan spirit kapitalisme modern di Eropa dan Amerika Serikat, memiliki kemiripan dalam bentuk yang
berbeda dengan spirit dan etik yang dianut dan yang menguasai kehidupan mayoritas kehidupan ekonomi, politik dan budaya masyarakat Sulawesi Selatan Sulsel,
terutama para elitnya, yaitu Siri dan Pesse. Gerak langkah politik, ekonomi dan budaya masyarakat Sulsel selalu disertai dengan prinsip Siri dan Pacce
32
.
31
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Fukuyama, meskipun Fukuyama tidak secara langsung memberikan bantahan terhadap penyataan Marx. Pandangan Fukuyama secara utuh
tentang ini dapat dibaca pada bukunya yang berjudul; Trust; the Social Virtues and the Creation of Prosperity 1995.
32
Secara sederhana, Siri dan Pacce dapat diartikan sebagai harga diri yang dibalut dengan rasa malu yang tinggi, kemudian terjadi kristalisasi dan internalisasi membentuk suasana hati seseorang
jika terjadi pelanggaran norma dan nilai sosial. Siri dan Pacce memiliki hubungan langsung dengan hal-hal seperti; budaya bersalah guilt culture; budaya rasa malu shame culture; dan,
budaya takut akhir fearand culture. Lihat Hamid, dkk 2007. Laica Marzuki 1995 menyebut pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis dan Makassar dan menunjuk prinsip getteng,
lempu, acca, warani
tegas, lurus, pintar, berani sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri‘. Dua term ini Siri‟ dan Pacce adalah konsep tunggal yang mesti berjalan
70
Dalam sejarah sosiologi politik, ekonomi dan budaya Sulsel, Siri ‟ dan
Pacce pernah menjadi spirit dan etik yang memiliki nilai dan makna khusus yang
bersamaan untuk disebut sebagai manusia. Siri‘ tanpa Pacce atau sebaliknya akan menjadikan semacam split personality dalam diri orang Bugis Makassar. Tetapi sering kita mendengar
ungkapan pepatah Makassar mengatakan : Punn a tena Siri‟nu pa‟niaki paccenu Kalau sudah
tidak memiliki Siri‘ lagi, maka perlihatkan paccemu. Ini sebagai sindiran untuk orang yang harkat martabatnya jatuh dan sekaligus juga tidak turut merasa pedih atas keperihan orang lain.
Zainal Abidin Farid 1983 :2 membagi siri, dalam dua jenis:i. Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi
bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu harus menegakkan Siri‘nya untuk mengembalikan
Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri mati harkat dan martabatnya sebagai manusia. Shelly Errington 1977 : 43 :
― Untuk orang Bugis Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri
‘nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermaluka
n Nipakasiri‘ mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan
Siri‟nya dari pada hidup tanpa Siri‘. Mereka terkenal dimana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai
dengan derajatnya. Meninggal karena Siri‟ disebut Mate nigollai, mate nisantangngi artinya mati
diberi gula dan santan atau mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna. ii. Siri’ Masiri’, yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau
mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri‘ itu sendiri, demi Siri‘ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan Bugis “Narekko sompe‟ko, aja‟
muancaji ana‟guru, ancaji Punggawako” Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin. Nenek moyangaliarhum Tun Abdul Razak,
Mantan Perdana Menteri Malaysia bernama Karaeng Haji, salah seorang putera Sultan Abdul Jalil Somba Gowa XIX yang merantau ke Pahang dan dikenal dengan Toh Tuan, meninggalkan Gowa
pada abad XVIII karena masalah Siri‘, perebutan kekuasaan raja Gowa antar saudara. Ia mengalah dan meninggalkan Gowa hingga berhasil menjadi syahbandar kesultanan Pahang. Daeng
Mangalle, sau dara seayah Sultan Hasanuddin karena Siri‘ pula pergi ke Jawa Timur. Setelah
memperoleh dua orang putera dari putri bangsawan Jawa Timur, Angke‘ Sapiah, Ia pergi bersama keluarga dan pengikutnya karena dicari-cari Belanda menuju Muangthai. Di kerajaan Siam, karena
Siri‘nya, ia berhasil menjadi Menteri Keuangan Siam dan bergelar bangsawan tertinggi Oja Pacdi. Sayang, karena pertengkaran Raja Phra Narai dan adiknya, Karaeng Mangalle dituduh
bersekongkol dengan adik raja. Dengan pengikut-pengikutnya ia berkelahi hingga titik darah penghabisan melawan kurang lebih 10.000 tentara Siam dan puluhan orang-orang Eropa. Ia gugur
karena Siri‘ dan ‗mati diberi santan dan gula‘. Dua orang putranya, masing-masing 14 dan 12 tahun berhasil diselamatkan oleh seorang Perancis dan mereka dibawa ke Paris. Di Paris, Raja
Louis XIV sangat tertarik kepada anak itu dan mengambilnya menjadi anak angkat, suatu penghargaan luar biasa bagi orang asing berkulit sawo matang. Melalui pendidikan militer, Daeng
Ruru, yang bernama lengkap Louis Dauphin Daeng Ruru de Macassart, dalam usia 20 tahun dilantik menjadi Kapten Kapal Bendera Angkatan Laut Perancis pada 1 Januari 1692. Adiknya,
Louis Pierre Daeng Tulolo de Macassart menjadi Letnan Angkatan Darat Perancis dan pada tahun 1712 beralih menjadi Letnan Angkatan Laut Perancis, karena kakaknya gugur dalam pertempuran
melawan armada Inggris di depan Havana pada tahun 1708 Pelras, 1975 : 64-65 ; Gervaise, 1688. Kalau direnungkan kata A. Zainal Abidin Farid, Bagaimana mungkin 500 orang termasuk
perempuan dan anak-anak Makassar dapat melawan lebih kurang 10.000 tentara Siam?. Bagaimana mungkin Daeng Ruru dan Daeng Tulolo dapat menjadi anak angkat Raja Louis XIV,
penguasa Eropa sekaligus menjadi perwira Angkatan Laut Perancis?. Jawabnya; Karena Sir
i‘.
71
berhasil mendorong dinamika masyarakat pada masa pemerintahan raja-raja dan masa perjuangan kemerdekaan. Pada era-era berikutnya, Siri
‟ dan Pacce diterjemahkan oleh setiap rezim dengan pendekatan yang berbeda-beda, sangat
bergantung pada kondisi kontekstual masyarakat dan tujuan yang ingin dicapai oleh setiap rezim yang berkuasa. Perbedaan penafsiran pada setiap rezim sangat
dipengaruhi oleh kekuatan eksternal globalisasi yang menyerbu kehidupan budaya, politik dan ekonomi Sulsel.
Rezim dan elite Sulsel antara etnis Bugis dan Makassar sebelum Indonesia merdeka membangun spirit dan etik yang berbasis pada proteksi harga diri sesuai
dengan kebudayaan murni etnis Bugis dan Makassar. Pada rezim Orde Lama mengembangkan spirit penyatuan unity dan Sulselisme dari etnis-etnis yang ada.
Sedangkan rezim Orde Baru tersulut dengan issue perbaikan dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Orde Sekularisme mengusung spirit perubahan.
Rezim-rezim ini memiliki cara tersendiri dan berbeda-beda mewacanakan spirit dan makna yang dikembangkannya. Termasuk bagaimana rezim
mewacanakan ekonomi uang, kekuasaan politik, budaya nilai untuk memelihara kekuasaanya.
Merunut pada prinsip etik dan spirit yang dibangun oleh Geertz 1973, maka rezim dan elite yang ada di Sulsel etnis Bugis dan Makassar dalam
melakukan pertarungan merebut kekuasaan politik, ekonomi dan budayanya, selalu ditandai dengan karakter, moral, kualitas, dan estetika yang khas dalam
mewacanakan dan mengawal kepentingan kekuasaannya. Kondisi ini disebabkan karena spirit dan etik dipahami oleh elite Bugis dan Makassar sebagai sesuatu
yang berada pada lingkaran etika dan logika yang bertumpu pada nilai-nilai dalam hubungannya dengan pola-pola tingkah laku dan rencana-rencana manusia. Spirit
dan etik memberi warna dan penilaian terhadap alternatif pilihan hidup, apakah kehidupan itu dianggap baik, mulia, terpandang, disukai ataukah sebaliknya,
buruk, dibenci, tak terpandang, salah atau tak dibanggakan. Spirit dan etik pulalah yang mengantar pilihan hidup orang Bugis dan Makassar untuk tampil
melakukan peranan-peranan misalnya menjadi sebagai; petani, nelayan, guru, wiraswasta, pengusaha, pemimpin dan sebagainya.
72
Berdasarkan spirit dan etik yang dianut oleh orang-orang Bugis dan Makassar, dikaitkan dengan perilaku politik, ekonomi dan budayanya, Bugis dan
Makassar dianggap terlalu luas dan besar untuk dinilai hanya memiliki karakter dan identitas tunggal. Dengan kata lain, etnis Bugis dan Makassar memiliki
banyak perilaku politik, ekonomi dan budaya yang berbeda-beda antara satu komunitas atau kelompok tertentu. Secara sederhana, nampak perbedaan yang
sangat jelas antara perilaku politik, ekonomi, dan budaya orang Bugis Bone, Soppeng dan Wajo BOSOWA dengan orang Bugis yang menetap di jazirah
Luwu Raya Luwu, Palopo, Luwu Utara, Luwu Timur, demikian juga kalau dibandingkan dengan perilaku orang Bugis yang berdomisili pada wilayah
Ajatapareng Sidrap, Pinrang, Pare, Barru. Etnis Makassar
kemungkinan memiliki kecenderungan yang sangat berbeda dengan etnis Bugis. Karena secara
demografis kedua etnis ini memiliki ciri dan karakter yang berbeda. Identifikasi perilaku diperlukan untuk tidak mencampuradukkan entitas-
entitas yang memiliki karakter dan kecenderungan ekonomi, politik dan budaya yang berbeda. Dengan cara ini akan ditemukan pola-pola komunitas masyarakat
merespon setiap perubahan yang ada, terutama bagaimana mereka merespon perilaku pemimpin dan elitnya.
2.3.2 Simbol