Cikal Bakal Modernisme Pada Etnis Bugis dan Makassar

136 Inlandse School , sekolah buat pamongpraja bumiputera OSVIA Opleiding School voor Inlands Bestuur Ambtenaar . Para anak bangsawan yang bersekolah di tempat tersebut diwajibkan menunjukkan stamboom atau silsilah keluarga dan menyatakan kesetiaan kepada Belanda. 77 Untuk membedakan anak bangsawan ini dengan kalangan lainnya maka di depan nama mereka ditambahkan gelar ―Andi‖, menunjukkan pemakainya adalah keturunan bangsawan Sulawesi Selatan. 78 Secara umum, perkembangan pendidikan modern di Sulawesi Selatan bermula dengan dibukanya Kweekschool di kota Makassar pada tahun 1880 oleh B.F. Matthes. 79 Tamatan sekolah ini kemudian dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda untuk membuka sekolah dasar empat tahun bagi anak-anak bangsawan dan orang-orang terkemuka di daerah ini di Makassar, Maros, dan di Bantaeng. Sejak tahun 1906, kemudian dibuka sekolah-sekolah serupa di tiap ibu kota onderafdeeling. Pada tahun 1920, dibuka lagi sekolah dasar tiga tahun di setiap ibu kota distrik diikuti dengan dibukanya Leergang vor Volks Onderwijzer atau sekolah guru Desa. Sampai tahun 1930, terdapat hanya dua jenis sekolah untuk bumiputera yaitu Sekolah Desa selama tiga tahun dan sekolah sambungannya selama tiga tahun. Sedangkan dua jenis sekolah untuk anak bangsawan yaitu HIS dan Schakel School yang mempergunakan bahasa Belanda sebagai pengantar. Mereka yang menamatkan pendidikan di HIS atau Schakel School dapat melanjutkan pendidikannya di MULO Merdeer Uitbreiding Lager Onderwijs selama empat tahun atau tiga tahun di Makassar. Penerimaan anak-anak bangsawan dan orang-orang terkemuka diatur oleh Residen Sulawesi sendiri. 80

5.3.3 Cikal Bakal Modernisme Pada Etnis Bugis dan Makassar

Munculnya gerakan modernis di Sulawesi Selatan tidak lepas dari gerakan Sulselisme yang berkembang di nusantara di awal abad 20. Salah satu gerakan yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan Sulselisme adalah berdirinya Sarekat Islam SI tahun 1912 di Surakarta. 81 Pada tahun-tahun pertama berdirinya 77 Mattulada, Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan Makassar: Lephas, 1998, hlm. 401 78 Ibid 79 Sejarah Daerah Sulawesi Selatan Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayan Daerah, 1978, hlm. 86-87. 80 Ibid 81 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, 137 SI mencakup banyak kaum Marxis yang mempunyai pengaruh cukup besar di berbagai cabang SI. Setelah Partai Komunis Indonesia terbentuk tahun 1920, pimpinan SI melarang keanggotaan rangkap dan memecat para SI ―Merah‖. Pada tahun 1920, seorang ahli propaganda PKI datang ke Makassar untuk mengorganisasikan suatu gerakan. Pada tahun 1924, PKI cabang Makassar merupakan salah satu di antara empat cabang di luar Jawa yang mengirim utusan ke kongres PKI ke-9. 82 Akibat pemberontakan yang dilancarkan oleh partai ini di Jawa dan Sumatra pada tahun 1926-1927 maka partai ini dianggap terlarang, demikian juga ditahannya banyak pemimpin pergerakan Sulsel selama tahun 1930 oleh pemerintah Belanda. sehingga selama tahun 1930-an gerakan Sulselis merupakan ancaman kecil bagi pemerintah Belanda. Mengenai keadaan pergerakan Sulsel di Sulawesi Selatan dan Tenggara dilaporkan oleh Residen C.H. Laag 83 bahwa Partai Indonesia Raya Parindra yang berdiri tahun 1936 dengan ketuanya Ahmad Daeng Siola memiliki 75 orang anggota. Demikian juga Persatoean Selebes Selatan yang di bawah pimpinan Nadjamoeddin Daeng Malewa memiliki 250 anggota dan menyatakan kesetiaan kepada pemerintah kolonial. Partai-partai lainnya juga tidak menjadi ancaman bagi pemerintah Belanda, seperti Gerindo, LAPSII, dan Penjedar Barisan PSII, berada di pedalaman dan hanya memiliki anggota paling banyak hanya sekitar 100 orang. Gerakan yang paling penting di Sulawesi Selatan dibandingkan dengan organisasi politik adalah organisasi Islam yaitu Muhammadiyah. Muhammadiyah yang didirikan di kota Yogyakarta pada tahun 1912 dan berkembang di Makassar pada tahun 1926 dengan pelopornya yaitu Haji Abdullah, Muhammad Yusuf Daeng Mattiro, Abdul Karim Daeng Tunru, dan Mansyur Al-Yamany. 84 Dalam usahanya dalam melakukan perjuangan dan pembaharuan, organisasi ini banyak mendapat benturan dengan pemerintah Belanda dan kaum bangsawan karena gerakan mereka menggoyahkan struktur hierarki feodal dan keyakinan tradisional masyarakat. hlm. 247-273 82 Ruth T. Mc. Vey, The Rise of Indonesian Communism Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1965, hlm. 184,434 83 Dalam Barbara S. Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar, hlm. 79-80. 84 Lihat perkembangan Muhammadiyah di Sulawesi Selatan dalam Mustari Bosra, Tuang Guru, Anrong Guru, dan Daeng Guru: Gerakan Islam di Sulawesi Selatan 1914-1942 Makassar: Penerbit La Galigo, 2008, hlm. 115-129 138 Berbagai kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda untuk mengubah masyarakat tradisional ke arah modern terlihat dari pembangunan yang dilakukan. Berbagai sarana seperti transportasi, birokrasi, dan pendidikan diselenggarakan untuk mendukung upaya tersebut. Hal ini juga berdampak pada perubahan dan pergolakan sosial yang menyangkut fungsi dan status masyarakat. Dalam situasi ini memunculkan golongan terpelajar yang berpendidikan barat, yaitu golongan elite modern yang aktif melakukan pembaharuan dan mendorong masyarakat ke arah perubahan. Setelah pemerintah Hindia Belanda menyelesaikan masalah kekuasaan para bangsawan di Sulawesi Selatan, dalam banyak laporan dan keterangan, bahwa periode 1930-1940 adalah sebuah masa tenang di Sulawesi Selatan sebelum kedatangan Jepang. Penataan pemerintahan yang dilakukan telah memungkinkan terjadinya perkembangan dalam masyarakat. Kondisi ini mendorong penduduk Sulawesi Selatan mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, kejuruan dan lapangan ekonomi pertanian dan perdagangan. Jumlah orang Sulawesi Selatan yang menyelesaikan pendidikan Pamong Praja dan menjadi pegawai Inlandsche Bestuur Ambtenaar yang menjadi tulang punggung kekuatan administrasi pemerintah kolonial Belanda. 85 Meskipun kaum ambtenar ini telah memperoleh pendidikan modern, namun menariknya mereka masih mempertahankan satu identitas masa lampau yang berorientasi kepada status dan selalu berusaha mendapatkan status yang lebih tinggi, serta tetap melaksanakan pola kehidupan kepemimpinan tradisional. Adapun masyarakat umum yang telah terbiasa dengan pola ini menerimanya sebagai suatu kewajaran yang merupakan kelanjutan dari masa lampau. Seperti diterangkan sebelumnya, bahwa kebanyakan elite modern Sulawesi Selatan berasal dari daerah yang diperintah langsung oleh Belanda. Seperti misalnya, Mauraga Daeng Malliungang, 86 Karaeng atau bangsawan dari daerah Pangkajene, berpendidikan kelas 4 OSVIA, pada tahun 1912 diangkat menjadi regen Pangkajene menggantikan ayahnya. Saudara laki-lakinya menjadi penguasa di masyarakat adat Mandalle dan keponakannya menjadi Karaeng di Maros. Beberapa putranya menyelesaikan pendidikannya di MULO dan AMS di Yogyakarta. 85 Barbara S. Harvey, Pemberontakan Kahar Mudzakkar, dari Tradisi ke DITII , hlm. 65-78 86 M.A. Los, Memorie van Overgave Onderafdeeling Pangkadjene 1931-1934, hlm. 3 139 Salah satu putranya yaitu Andi Burhanuddin yang menggantikannya sebagai Karaeng Pangkajene pada tahun 1942, kemudian dicopot tahun 1945, karena bersimpati pada Republik Indonesia. Andi Burhanuddin pernah menjadi Menteri Penerangan NIT pada Kabinet Anak Agung Gde Agung I pada tahun 1947. Ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Sulawesi tahun 1955-1956. 87 Dari kalangan bangsawan Gowa, diantaranya yang kelak menjadi tokoh yang berpengaruh di Sulawesi Selatan yaitu Andi Pangerang Petta Rani, yang merupakan Karaeng Tumabicara Butta atau wakil raja. Friedericy, kontrolir Gowa menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang baik dan suka belajar serta dianggap paling cerdas diantara kaum muda keturunan raja-raja dan menempuh pendidikan relatif tinggi 88 . Dari kalangan bangsawan penguasa distrik terdapat nama Lanto Daeng Pasewang yang lahir di Jeneponto tahun 1900. Ia mendapat pendidikan di OSVIA Makassar dan pendidikan untuk pegawai pemerintahan bestuurschool di Jakarta. Pernah menjadi jaksa tinggi di Makassar pada tahun 1942-1945 dan anggota Muhammadiyah. Pada tahun 1950 menjadi Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Putuhena dan menjabat Gubernur Sulawesi di tahun 1954-1956. 89 Setelah pemerintah Hindia Belanda menyelesaikan masalah kekuasaan para bangsawan di Sulawesi Selatan, dalam banyak laporan dan keterangan, bahwa periode 1930- 1940 adalah sebuah masa tenang di Sulawesi Selatan sebelum kedatangan Jepang. Penataan pemerintahan yang dilakukan telah memungkinkan terjadinya perkembangan dalam masyarakat. Kondisi ini mendorong penduduk Sulawesi Selatan mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, kejuruan dan lapangan ekonomi pertanian dan perdagangan. Dari perubahan yang terjadi di masa kolonial tersebut, melahirkan dinamika baru kebudayaan Sulawesi Selatan. Jika sampai akhir abad 19, kelas sosial hanya terbagi atas bangsawan tinggi istana, bangsawan wilayah dan orang-orang merdeka, maka setelah berlangsungnya pemerintahan Hindia Belanda, masyarakat 87 Abd. Razak Daeng Patunru, Bingkisan Patunru: Sejarah Lokal Sulawesi Selatan Makassar: PusKit-Lephas, 2004, hlm. 52 88 Mr. J.T.K. Poll, Memorie van Overgave Bestuurmemorie, hlm. 89 Republik Indonesia, Propinsi Sulawesi Makassar: Kementerian Penerangan, 1953, hlm. 223,242. 140 terbagi atas: kaum bangsawan yang menjadi bagian pemerintahan Hindia Belanda sebagai kelas utama, kaum ambtenar yang memiliki pendidikan formal dan kalangan ulama dan adat, serta yang terakhir kelas hartawan, pedagang dan pengusaha. Dari perubahan ini seperti yang dikatakan Mattulada, bahwa tetap terlihat adanya ukuran prestasi untuk menilai kemampuan seseorang untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi. 50 90 Sistem budaya siri ‟ dan pacce masih berlangsung utamanya dalam mengejar prestasi dan kedudukan yang bernilai dan bermartabat di masyarakat. 5.4 Fase Sekularisme Reproduksi Elite Pada Era 1905 Hingga Otonomi Daerah Pada Etnis Bugis dan Makassar Pada bagian ini diperlihatkan bahwa level makro provinsi dan Sulsel, penggunaan konsep hybridasasi budaya politik menjadi pilihan yang jitu untuk tetap menjaga spirit soliditas dan solidaritas makro. Meskipun nampak nyata, secara diam-diam pada aras mezzo terjadi kontestasi identitas etnis antara Bone dan Gowa. Pilihan menggunakan simbol, uang, dan kuasa pada seluruh aras analisis memperlihatkan betapa pentingnya kesadaran budaya politik yang bersifat hybrid. Pada bagian ini juga ditunjukkan bahwa pada level mezzo, budaya sosiologi politik koeksistensi sangat berguna untuk tetap menjaga keberagaman etnisitas dan ras dalam kehidupan bersama. Permainan simbol budaya, kuasa dan uang dalam proses pembentukan elite pada etnis Bugis dan Makassar juga diperlihatkan pada bagian ini. Kecenderungan-kecenderungan seperti tersebut di atas memperjelas fase sekularisme merupakan fase yang ditandai oleh tindakan kekuasaan yang bersifat, transaksional, pragmatis, rasional, utilities dan efisien. Proses pembentukan elite pada era otonomi daerah sesuai amanat UU 32 tahun 2004 di Kabupaten Bone dan Gowa tidak bisa dilepaskan dengan proses pembentukan elite pada masa sebelumnya; tradisional, feudalism, Islam modern, dan sekularisme. Mayoritas elite-elite yang ada saat ini baik yang berada di panggung kekuasaan politik di Kabupaten Bone dan Gowa, maupun elite yang 90 Mattulada, Sejarah, hlm. 409-410. Mengenai dinamika terbentuknya elite, lihat Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi Jakarta: Sinar Harapan, 1983. Lihat juga, Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia Jakarta: Pustaka Jaya, 2009 141 berasal dari Kabupaten Bone dan Gowa yang berkiprah di panggung politik pada level provinsi dan Sulsel, proses kelahirannya sulit tidak dikaitkan dengan era politik sebelumnya. Meskipun terdapat beberapa nama elite baru, baik dari Kabupaten Bone maupun Kabupaten Gowa yang tidak memiliki hubungan sejarah dengan era politik sebelum otonomi daerah. Beberapa elite yang diproduksi oleh otonomi daerah berdasarkan UU 32 tahun 2004 antara lain dari Bone adalah; AM governing elite, petinggi salah satu partai Islam, Wakil Ketua DPR RI, AP governing elite, wakil ketua DPRD Sulsel, AMF Anggota DPD RI. Sedangkan dari Kabupaten Gowa terdapat nama-nama antara lain; AU Ketua salah satu partai Islam di Sulsel, dan anggota DPRD Sulsel, dan HL mantan anggota DPRD Sulsel. Nama-nama ini lahir sebagai elite baru melalui rahim sekularisme, dan menjadikan partai politik sebagai tunggangan untuk memasuki panggung kekuasaan. Melalui UU 32 tahun 2004, diberikan kesempatan yang sama kepada semua komponen masyarakat untuk berkompetisi merebut panggung politik, akan tetapi kelonggaran panggung politik tidak serta merta diikuti oleh institusi negara yang lain. Birokrasi pemerintah misalnya masih mempertahankan tradisinya dalam hal menentukan pejabat yang akan mengisi jabatan-jabatan strategis, terutama eselon dua dan tiga. Di Kabupaten Bone misalnya, kekuatan aristokrasi dan sentimen kedaerahan menjadi penentu yang cukup berpengaruh dalam memilih calon-calon pejabat eselon dua dan tiga. Sangat terbatas jumlah pejabat eselon dua dan tiga di Kabupaten Bone yang tidak bergelar ‖andi,‖ dan hampir semua pejabat adalah putra asli Bone. Gelar ‖andi‖ adalah salah satu varian yang dapat dipakai untuk menentukan posisi kebangsawanan seseorang di Kabupaten Bone. Kondisi ini menunjukkan kuatnya peranan aristokrasi mempertahankan dirinya dalam struktur kekuasaan di Bone. Sebaliknya, ruang kekuasaan yang disajikan di atas panggung birokrasi Kabupaten Gowa jauh lebih ‖fleksibel‖ dibandingkan dengan Kabupaten Bone. Jabatan-jabatan strategis pada eselon dua dan tiga diisi oleh beragam suku dan etnis, dan dari berbagai latar belakang keturunan. Kecenderungan ini dapat dibaca bahwa di Kabupaten Gowa, sentimen kesukuan dan status kebangsawanan tidak 142 ikut berpengaruh dalam memposisikan pejabat eselon dua dan tiga. Fakta ini bisa dimaknai sebagai pertanda tumbuhnya birokrasi rasional. Penjelasan lain adalah, terputusnya relasi antara kekuasaan birokrasi saat ini dengan kekuasaan sebelumnya, terutama dengan kalangan penguasa yang berdarah aristokrat. Selain melalui panggung politik dan birokrasi, dua jalur yang selama ini – sejak fase tradisional, hingga fase sekularisme atau otonomi daerah,-- masih dalam penguasaan dan kontrol kalangan bangsawan, reproduksi elite di Bone juga dilakukan dengan cara lain; ‖perlawanan dari belakang‖ yang dilakukan oleh klan PG baca; dinamika politik Desa Kabupaten Bone pada bagian lain penelitian ini. Kalangan aristokrat menyebut perlawanan ini sebagai pembangkangan sosial dan kultural. Melalui sejumlah aktivitas perampokan, perjudian dan penekanan- penekanan kepada terutama masyarakat pedesaan sejak tahun 1970-an, klan PG berhasil diidentifikasi sebagai kekuatan baru yang mengancam kewibawaan kalangan aristokrat yang menduduki panggung kekuasaan formal; eksekutif dan legislatif. Puncaknya, memasuki era otonomi daerah, klan PG menembus arena kekuasaan formal di berbagai level; dari Desa hingga provinsi di hampir semua jazirah Sulawesi. ‖Perlawanan dari belakang‖ yang dilakukan oleh klan PG terhadap panggung kekuasaan di Kabupaten Bone menunjukkan ketatnya kontrol kalangan bangsawan terhadap struktur kekuasaan di Bone. Perawatan kekuasaan yang dimainkan oleh kelompok aristokrat menyulitkan kalangan lain menembus arena kekuasaan di Bone. Itu sebabnya, klan PG menerobosnya dengan cara yang tidak lumrah atau dianggap sebagai cara yang menyimpang secara sosial dan kultural. Tapi cara ini ternyata membuahkan hasil dalam mereproduksi elite-elite baru di Kabupaten Bone. Kata kunci dari keberhasilan klan PG menerobos panggung kekuasaan Bone, bukan semata karena keberhasilannya membuat jalan baru untuk mereproduksi elite, akan tetapi faktor regulasi otonomi daerah melalui UU 32 tahun 2004 melengkapi langkah yang dibangun oleh klan PG memasuki arena kekuasaan formal di Kabupaten Bone. Cara ‖menyimpang‖ yang dilakukan oleh klan PG di Kabupaten Bone, tidak terjadi pada panggung kekuasaan di Kabupaten Gowa. Reproduksi elite yang terjadi di Gowa pada era otonomi daerah berlangsung lebih terbuka, melibatkan semua 143 kalangan yang memiliki hak dengan syarat-syarat yang ditentukan secara demokratis. ‖Perlawanan dari belakang‖ seperti yang terjadi di Bone tidak diperlukan oleh masyarakat di Gowa. Karena elite Gowa, termasuk di dalamnya kaum aristokrat tidak mengontrol struktur kekuasaan secara ketat, sehingga menutup pintu bagi calon- calon elite baru. Pemain-pemain baru yang ingin menembus panggung kekuasaan di Gowa tidak memerlukan ‖jalan lain‖ untuk dilewati. Ada beberapa asumsi yang bisa dikembangkan dari lemahnya kontrol elite Gowa, terutama kaum aristokrat terhadap ruang struktur kekuasaan di Gowa. Pertama , kelemahan kontrol itu disebabkan karena menguatnya perlawanan massa terhadap dominasi kelompok elite atau kalangan bangsawan pada ruang kekuasaan, atau terjadi kemerosotan peranan elite dan aristokrat, akibat tekanan publik dan perubahan sistem politik. Kedua, meningkatnya kesadaran para elite terhadap perubahan pola dan struktur kekuasaan, sehingga memberikan ruang terbuka bagi berkembangnya elite-elite baru memasuki struktur kekuasaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Gowa terjadi penyatuan kesadaran elite dengan meningkatnya pemahaman massa akan hak-hak politiknya, menyebabkan terbukanya struktur kekuasaan bagi semua pihak. Sementara di Kabupaten Bone, para elite, terutama dari kalangan aristokrat menempatkan struktur kekuasaan pada ruang terbatas, yang masih sulit diakses oleh masyarakat umum. Bersamaan dengan berkembang nya kultur politik inklusif para elite, masyarakat sipilnya civil society tidak melakuka n semacam ‖perlawanan‖ atau ‖tekanan,‖ meskipun mereka memiliki kesadaran dan pengetahuan yang baik tentang hak-hak dan kewajiban politik mereka. Kehidupan masyarakat sipil di Bone sudah sangat terbuka, akan tetapi ideologi dan karakter politik mereka belum bergeser, masih tunduk pada para elite. Dalam arena kekuasaan, elite aristokrat berhasil menciptakan komunitas mereka sebagai patron bagi masyarakat kebanyakan. Kecekatan elite Bone gagal diikuti oleh elite dan bangsawan Gowa. Perbedaan di dalam mereproduksi elite antara etnis Bugis Bone dengan etnis Makassar Gowa dapat diteropong lebih tajam pada kasus penentuan elite atau pemimpin yang melibatkan proses keterlibatan politik masyarakat. Apakah kekuatan kalangan aristokrasi pada etnis Bugis Bone merawat kekuasaannya dapat dibuktikan melalui persetujuan dan ketaatan politik dari masyarakat melalui 144 Pemilu? Sebaliknya apakah ruang politik dan kekuasaan yang sudah terbuka di Kabupaten Gowa sinkron dengan kesadaran rasional yang dimiliki oleh masyarakatnya melalui Pemilu. Beberapa kasus di bawah ini dapat memberikan penjelasan kepada pembaca tentang preferensi masing-masing masyarakat; Bone dan Gowa terhadap kekuasaan. Bagaimana elite-elite etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa direproduksi dengan caranya masing-masing. Pada kasus-kasus berikut ini akan memperlihatkan bagaimana kekentalan primordial dalam menentukan pilihan politik terhadap patronnya, terjadi dengan jelas di Bone. Sebaliknya pilihan politik publik Gowa sangat beragam, tidak tergantung pada patron elite. Tabel 2. Perbandingan elite etnis Bugis Bone dengan elite etnis Makassar Gowa dalam mendapatkan dukungan massa pada masing- masing basis Bone dan Gowa pada pertarungan elite Partai Golkar pada Pemilu 2004 untuk kursi DPR RI Dapil I No Calon Nama Calon Jml Suara Suara Partai 6 Drs. H.A.M. NH 95.950 10.4 1 AM, SH, MH 94.611 10.3 14 Dg. J 68.062 7.4 2 Prof. Dr. H. AA 53.470 5.8 5 NYL 49.352 5.4 3 H. H Y Y.R, SE 42.508 4.6 7 Drs. H. I A 36.843 4,0 4 IDM 33.759 3.7 8 Drs. H. H Dl 26.186 2.8 11 Drs. H. S S 25.988 2.8 10 Drs. H. Ib M 20.290 2.2 9 NM, SE 19.622 2.1 12 Drg. F R, M.Kes 12.144 1.3 13 Nur Sy A 5.844 0.6 Sumber: Data diolah, 2004 Pada tabel di atas, Partai Golkar mencalonkan 14 orang kandidat untuk DPR RI daerah pemilihan Dapil I yang meliputi daerah Kabupatenkota; Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Sinjai, Bone, Soppeng dan Wajo. Dari Kabupaten Bone terdapat dua kandidat; AM urut 1, HY urut 3 dengan NH urut 6. Kabupaten Gowa menyiapkan dua nama; NYL urut 5 dan 145 Sjahrir S. Dg.DJR urut 14. Suara tertinggi dari Kabupaten Bone di raih oleh NH, disusul AM. Akan tetapi NH tidak bisa duduk di DPR RI karena masih menggunakan sistem nomor urut. AM duduk di DPR RI mewakili Sulsel Dapil I, sekaligus mewakili Bone. Hal yang sama terjadi pada etnis Makassar Kabupaten Gowa. Suara tertinggi dari Gowa justru diperoleh Sjahrir Dg. Jarung, namun yang duduk mewakili Sulsel dari dapil I, sekaligus representasi dari Gowa adalah NYL. AM adalah golongan aristokrat yang terus bertahan pada panggung kekuasaan sampai era otonomi daerah. Sedangkan NYL adalah istri YL yang memiliki peranan kekuasaan politik di Gowa sejak Orde Baru hingga masa otonomi daerah. Lebih dari 60 perolehan suara NH dan AM hal yang sama juga dicapai oleh HY, lihat tabel 2, dikumpulkan dari Kabupaten Bone, sepuluh daerah lain yang menjadi bagian daerah pemilihan wilayah I hanya memberikan kontribusi suara kurang 40. Sedangkan NYL dan SDJ mengumpulkan suara di Kabupaten Gowa kurang dari 35. Sepuluh daerah lain menyumbangkan suara kepada orang Gowa ini sekitar 65 suara. Data ini menjelaskan bahwa etnis Bugis Bone memiliki tingkat primordialisme dan issue kedaerahan yang relatif tinggi, dibandingkan dengan etnis Makassar Gowa. Tabel 3 Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten Bone Pemilu 2009, Dapil DPR RI Sulsel II DPR RI 2009 Bu lu k u m b a Si n ja i Bo n e M a ro s Pa n g k e p Ba rru So p p e n g W a jo Pa re p a re T o ta l ARIP, SH, M.KN 6563 1399 48128 1817 978 1276 956 2744 680 64541 10.17 2.17 74.57 2.82 1.52 1.98 1.48 4.25 1.05 100.00 Sumber KPUD Sulsel 2009 Tabel 4. Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten Gowa Pemilu 2009, Dapil DPR RI Sulsel I DPR RI 2009 K e p . S e la ya r Ba n ta e n g Je n e p o n to Ta ka la r G o w a M a ka ss a r To ta l ICTSYL. SE., MM. 1232 916 3812 1268 12132 16337 35697 3.45 2.57 10.68 3.55 33.99 45.77 100.00 Sumber KPUD Sulsel 2009 146 ARIP yang terpilih sebagai anggota DPR RI pada Pemilu legislatif 2009 adalah keturunan bangsawan Bone, sekaligus anak mantu mantan menteri Hukum dan HAM, AM, dan keponakan Bupati Bone AIG. Ia meraih suara sebanyak 64.541 dari daerah pemilihan dapil II yang meliputi Kabupaten Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Pare-pare, Maros, Pangkep dan Maros lihat tabel 3. Kabupaten Bone menyumbangkan suara sebanyak 74,57. Itu berarti hanya 25,53 suara yang diperoleh dari delapan Kabupaten lainnya. Bandingkan dengan perolehan suara yang dicapai oleh ICTS, anggota DPR RI dari dapil I adalah elite dari Gowa, putri sulung Gubernur Sulsel SYL, ponakan Bupati Gowa IYL dan cucu YL. Dukungan yang diperoleh dari daerah basisnya Gowa hanya 33,99. ICTS justru memperoleh suara terbanyak dari daerah ‖terbuka‖ Makassar, daerah yang menjadi rebutan semua calon legislatif. Sedangkan daerah lain; Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Kepulauan Selayar, berkisar antara 3-10 lihat tabel 4. Meskipun Thita memiliki struktur kekuasaan yang kuat di daerah basisnya Gowa, akan tetapi dukungan suara tidak mayoritas dari Gowa sebagaimana yang ditunjukkan oleh ARIP di Bone. Kecenderungan dukungan masyarakat basis yang berbeda antara Kabupaten Bone dan Gowa juga terlihat pada tabel 5, dimana AII putra Bupati Bone yang terpilih menjadi anggota DPRD Sulsel pada Pemilu 2009 mewakili dapil 5 Kabupaten; Bone, Soppeng, Wajo, mendapatkan dukungan suara dominan dari Kabupaten Bone sebesar 97,78 dari total suara sebanyak 83.334. Dua Kabupaten lainnya hanya menyumbangkan suara sebesar 2,32 lihat tabel. Hal yang kontras terjadi di Kabupaten Gowa. Dukungan suara yang diraih oleh TOY Kakak Bupati Gowa dan Gubernur Sulsel, memperoleh suara yang cukup signifikan dari daerah lain; Takalar dan Jeneponto yakni 32,84. Meskipun Kabupaten Gowa masih memberikan kontribusi terbesar yakni 77,16, akan tetapi elite Gowa NYL, ICTS dan TOY mendapatkan dukungan yang cukup baik dari etnis Makassar di luar Kabupaten Gowa. Hal seperti ini tidak terjadi pada elite Bugis Bone AM, ARIP, dan AII. Dukungan yang signifikan etnis Bugis di luar Kabupaten Bone terhadap elite Bone pada kasus 147 ini tidak terjadi. Dukungan etnis Bugis Bone hanya diperuntukkan bagi elite yang berasal dari Bone. Tabel 5. Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten Bone Pemilu 2009, DPRD Sulsel Dapil V DPRD Sulsel 2009 B O N E S O P P E NG W A JO tot al MIIG 82315 275 744 83334 98.78 0.33 0.89 100.00 Sumber KPUD Sulsel 2009 Tabel 6. Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten Gowa Pemilu 2009, DPRD Sulsel Dapil II DPRD Sulsel 2009 G ow a Ta ka la r Je ne pont o tot al TOY 32715 5289 4395 42399 77.16 12.47 10.37 100.00 Sumber KPUD Sulsel 2009 Data-data di atas menggambarkan proses reproduksi elite antara subkultur Bone dengan subkultur Gowa memiliki perbedaan yang cukup jelas. Letak perbedaan yang paling menonjol terdapat pada preferensi masyarakat yang ―tertutup‖ dan ―terbuka‖ 91 dalam menentukan pemimpin. Masyarakat yang 91 Masyarakat terbuka adalah masyarakat yang berdasarkan hukum. Rakyat adalah yang berdaulat, dengan mekanisme yang menunjukkan kedaulatan itu, yang diwujudkan melalui perwakilan.Proses itu berjalan secara terbuka dan menjamin hak setiap warga untuk turut serta di dalamnya, dengan demikian dilengkapi oleh mekanisme komunikasi sosial yang efektif. Penguasa tunduk kepada kedaulatan rakyat dan hukum, seperti juga semua warga negara.Penyelenggara negara terbentuk tidak atas dasar keturunan, ras, agama, kesetiaan perorangan,tetapi atas dasar kecakapan, integritas, dan kesetiaan kepada tugas dan tujuan organisasi. Sistem politik yang modern mampu mewadahi perbedaan paham dan pandangan, dan mengatasinya dengan cara yang adab dan damai, dalam aturan yang disepakati bersama hukum. Dalam masyarakat modern ada penampilan individu individuation yang nyata distinct, sehingga manusia berwajah, berkepribadian, bermartabat, dan bukan hanya bagian dari masyarakat. Di pihak lain, dalam masyarakat modern betapa pun bebasnya individu, kebebasan itu tidak mutlak, karena dibatasi oleh hak individu yang lain, hak masyarakat, dan kepentingan masyarakat. Namun, pembatasannya itu diatur pula secara jelas dan berlaku buat semua. Dan akhirnya sistem politik modern, lebih terdesentralisasi, dengan diferensiasi struktural dan spesifikasi fungsi-fungsi, tetapi dengan derajat integrasi dan koordinasi yang tinggi.Memang ciri-ciri tersebut di atas bisa dirinci lebih lanjut, namun pada pokoknya sistem politik modern mengandung tiga unsur, 1 demokratis, 2 konstitusional, dan 3 berlandaskan hukum.Sistem Sosial. Dalam masyarakat modern, hubungan primer antarindividu telah jauh berkurang dan hubungan sekunder yang lebih bersifat impersonal menjadi lebih 148 dianggap ―tertutup‖ dalam penelitian ini, berdasarkan data-data di atas terjadi pada proses reproduksi elite etnis Bugis di Kabupaten Bone. Masyarakat tertutup biasanya melekat dengan issue-issue kedaerahan, primordial dan sectarian. Dalam konteks ini, masyarakat yang ―tertutup‖ akan mengalami benturan ideologi 92 . Ideologi lokal yang cenderung bersifat primordial dan sectarian akan berhadapan dengan ideology global yang mengusung konsep rasional, egaliter, dan kesetaraan akan hak dan kewajiban. Ideologi terakhir ini dikenal sebagai ideology demokrasi. Proses reproduksi elite di dalam subkultur etnis Makassar Gowa, pada era otonomi daerah relatif berbeda dengan yang terjadi pada etnis Bugis Bone. predominan.Dalam masyarakat tradisional atau pramodern, status, hubungan dan keterkaitan sosiallebih didasarkan pada apa atau siapa seseorang; latar belakang keluarga atau keturunan, suku atau ras, jender pria atau wanita, dan usia yang antara lain melahirkan paternalisme. 92 Tentang benturan peradaban dan benturan idiologi, kita telaah pendapat Huntington Isquo dalam bukunya ;The Clash of Civilization 1993, mereka berpendapat bahwa ikatan sekelompok masyarakat modern semakin ditentukan oleh warisan agama, bahasa, sejarah, dan tradisi yang mereka miliki bersama atau yang disebut sebagai peradaban. Ia berpendapat bahwa benturan antarperadaban akan terjadi karena tiga hal pokok: hegemoniarogansi Barat, intoleransi Islam dan fanatisme konfusianisme. Lebih lanjut Hungtington menyebutnya sedikitnya ada enam alasan mengapa terjadi perang antarperadaban di masa depan yaitu: 1 perbedaan antar peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar, peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting lagi, agama. 2 dunia sekarang sehingga antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. 3 proses modernisasi ekonomi dan perubahan dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, disamping memperlemah negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka. 4 tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Di satu sisi, Barat berada di puncak kekuatan, namun di sisi lain, peradaban- peradaban non-Barat telah kembali ke fenomena asalnya. 5 karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. 6 regionalisme ekonomi semakin meningkat dengan penekanan pada aspek agama yang menjadi roh peradaban. Huntington bahkan melihat bahwa agamalah yang banyak berperan dalam konflik antarperadaban di masa depan. Kitaseakan di ingatkan bahwa agama tidak hanya berfungsi sebagai wacana spiritual yang menghadirkan rasa aman dan damai, tetapi juga bisa menampilkan sosoknya yang seram dan menakutkan. Agama bisa meletupkan konflik dan pertikaian ketika diinterpretasi sesuai dengan kepentingan sepihak umat atau kelompok agama. interpretasi yang subjektif itu memberi wewenang pada pemeluk agama untuk membunuh dan mengobarkan perang atas nama Tuhan dan Kitab Suci. Dalam pandangan Huntington, dunia pasca-Perang Dingin adalah sebuah dunia dengan tujuh atau delapan peradaban besar. Kesamaan-kesamaan serta perbedaan-perbedaan kultural membentuk kepentingan-kepentingan, antagonism-antagonisme serta asosiasi-asosiasi antar negara. Negara-negara besar terdiri dari berbagai negara dengan peradaban mereka masing- masing. Konflik-konflik lokal rupa-rupanya menjadi sebab timbulnya pertikaian dalam skala yang lebih luas antara berbagai kelompok dan negara yang memiliki peradaban yang berbeda-beda. Pola-pola perkembangan politik dan ekonomi saling berbeda antara satu peradaban dengan peradaban lainnya. Salah satu persoalan utama yang masuk dalam agenda internasional adalah adanya perbedaan-perbedaan antar-peradaban. Kekuatan peradaban tampaknya mengalami pergeseran dari Barat menuju peradaban-peradaban non-Barat. Dan, politik global pun menjadi bersifat multipolar dan multisivilisasional. 149 Perbedaannya paling tidak terlihat pada kemampuan politik masyarakat Gowa yang memiliki pilihan politik yang lebih luas dan beragam. Pilihan politiknya tidak terkonsentrasi pada struktur kekuasaan yang ada di Kabupaten Gowa. Keadaan ini bisa dimaknai sebagai kuatnya kesadaran politik rasional pada masyarakat Gowa, atau melemahnya kontrol struktur kekuasaan yang ada disana. Atau, struktur kekuasaan di Gowa justru memiliki kemauan politik untuk mendorong masyarakatnya menjadi masyarakat yang memiliki kesadaran politik rasional. Akan tetapi jika dicocokkan dengan criteria elite yang diinginkan oleh masyarakat politik di Gowa, bahwa seorang elite itu harus memenuhi syarat antara lain; kecakapan atau kemampuan competency atau capacity yang berarti harus memiliki pendidikan yang memadai dan pengalaman baik trade record, maka pilihan politik mereka bisa dikategorikan sebagai pilihan politik rasional dan terbuka. Dengan demikian, dalam proses mereproduksi elite, ideology politik pada subkultur politik Gowa tidak berbenturan dengan ideologi global yang bernama demokrasi 93 . 93 Meskipun tidak terjadi benturan antara Idiologi politik pada subkultur Gowa dengan idiologi- idiologi lainnya terutama dengan idiologi demokrasi, akan tetapi konflik dapat terjadi dengan berbagai penyebab seperti dikatakan oleh Ohmae 1995; Konflik-konflik dalam dunia modern tidak hanya antar peradaban, bahkan dalam peradaban yang sama bisa terjadi konflik. Menurut Kenichi Ohmae, dalam peradaban yang sama, masyarakat sering berperang di antara mereka. Misalnya, konflik di Irlandia Utara antara penganut Protestan dan Katolik, bukan merupakan alasan yang tepat untuk menyatakan kebencian yang mendalam, karena sama-sama Kristen. Contoh lain, akan sulit menjelaskan konflik di Ambon, di mana masyarakatnya berada dalam tradisi dan suku yang sama. Perbedaan keyakinan dalam masyarakat Ambon, antara Islam dan Kristen, bukanlah perbedaan besar, karena pada intinya sebenarnya kedua agama itu sama punya tradisi dan akar sejarah yang sama: semitik. Dalam bukunya yang berjudul The End of Nation State 1995, Ohmae berpendapat bahwa perang biasanya terjadi ketika para pemimpin politik menonjolkan perbedaan-perbedaan kecil secara tajam seraya menciptakan kebencian laten bukan ketika antar peradaban saling berbenturan, sebagaimana dinyatakan Huntington. Kenichi Ohmae berpendapat bahwa konflik-konflik terjadi lebih disebabkan oleh para pemimpin politik yang melibatkan rakyat untuk melakukan konfrontasi. Untuk menghindari hal ini, Hans Kung 1997 mengajukan sebuah visi besarnya tentang etika global. Dalam karyanya yang berjudul A Global Ethics for Global Politics and Economics 1997, Hans Kung menyatakan tak akan ada tatanan baru tanpa sebuah etika dunia yang baru; sebuah etika global. Ia mendefinisikan etika global sebagai sebuah consensus dasar tentang nilai- nilai pengikat dan sikap dasar yang dikukuhkan oleh semua sistem kepercayaan agama meskipun terdapat perbedaan dogmatis, dan yang sesungguhnya bisa juga disumbangkan oleh kaum non- beriman ateis. Dalam kehidupan masyarakat global, menurut Hans Kung, konsensus berarti kesepakatan yang memerlukan standar etika fundamental nilai-nilai universal yang meskipun terdapat banyak perbedaan wujudnya dalam agama, bentuk-bentuk kehidupan, budaya, politik, namun dapat diposisikan sebagai basis terkecil bagi kehidupan masyarakat yang pluralistik. Sebuah konsensus global dimungkinkan terwujud di atas moralitas dasar yang membatasi dirinya hanya pada beberapa tuntutan fundamental nilai-nilai universal; seperti kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan semacamnya. Tentu saja, nilai-nilai universal dalam sebuah konsensus global tidak bersifat subjektif monologal. Artinya, kebenaran dalam sebuah konsensus tidak bisa didasarkan pada klaim kebenaran yang sifatnya subjektif atau kebenaran yang dipikirkan sendiri. 150 Berdasarkan kecenderungan politik etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa yang telah diuraikan di atas, maka varian yang ikut berpengaruh dalam proses reproduksi elite Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa pada era otonomi dapat dilihat pada tabel 7 di bawah ini. Tabel 7. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Pada Reproduksi Elite antara Etnis Bugis Bone dengan Etnis Makassar Gowa No Faktor yang mempengaruhi reproduksi elite pada etnis Bugis Bone dan elite etnis Makassar Gowa pada era otonomi daerah Bone Gowa 1 Latar belakang keluarga atau keturunan adalah hal utama Tidak mempersoalkan latar belakang dan keturunan 2 Issue primordial, sektarian dan etnisitas kedaerahan adalah issue pokok Dapat menerima semua kelompok sosial, lebih fleksibel dalam issue primordial 3 Pendidikan, pengalaman, competency dan capacity Pendidikan, pengalaman, competency, dan capacity 4 Uang materi Uang materi 5 Track record bukan soal utama Track record merupakan soal penting 6 Simbol-simbol budaya masih kuat berperan Simbol budaya mengalami penurunan fungsi Melihat faktor yang berpengaruh pada reproduksi elite etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa pada era otonomi daerah pada tabel di atas, nampak jelas keberadaan elite di Kabupaten Bone saat ini tidak bisa dipisahkan dengan pengaruh para elite pada fase-fase sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa elite dari Kabupaten Bone hari ini era otonomi daerah sebagian besar adalah elite warisan masa lalu. Sedangkan elite Gowa pada saat sekarang, merupakan elite yang tumbuh paling lama pada masa Orde Baru. Elite lama yang berkuasa pada fase tradisional, Menurut Jurgen Habermas, orang tidak boleh menganggap klaim kebenarannya sebagai kebenaran yang sudah selesai yang mengatasi hubungan-hubungan sosial FB Hardiman: 2002. Karena kebenaran yang sifatnya subjektif bisa mentotalisir atau fasis, seperti yang dilakukan oleh Hitler dan Musollini. Jadi, kebenaran dalam sebuah konsensus, seperti yang dikatakan Habermas, bersifat intersubjektif dialogal. Melalui dialog yang bebas dominasi, jujur dan terbuka, nilai-nilai konsensus sebagai etika global dapat dikukuhkan. Tanpa etika global, cepat atau lambat masyarakat modern terancam konflik-konflik dan kekacauan. 151 feudalisme dan fase Islam Moderenisme, gagal mempertahankan dan memelihara eksistensinya. Sebagian besar elite Gowa saat ini telah berhasil memotong matarantai kekuasaan elite lama, dan kini mereka tumbuh sebagai kekuatan baru yang hampir tidak memiliki hubungan dengan elite-elite masa lampau.

5.4.1 Budaya Politik Kontestasi Antar Etnis dan Aktor