Perubahan Sistem Pemerintahan Fase Feudalisme; Tanah Sebagai Tata-produksi Kekuasaan

131 kampung. Benteng Ujung Pandang diubah namanya menjadi Fort Rotterdam yang dijadikan markas tentara dan kantor perwakilan. Wilayah utara benteng dijadikan kota dagang yang disebut Vlaaringen, di sekitarnya dibangun kampung berdasarkan asal para pedagang seperti Kampung Melayu dan Kampung Wajo. Perubahan ini berkaitan dengan usaha Belanda untuk memonopoli perdagangan di Maluku. Sepeninggal Arung Palakka, tak ada lagi pemimpin yang menandingi kualitasnya termasuk para penerusnya. Sulawesi Selatan memasuki masa perpecahan yang semakin buruk. Para bangsawan pendukung Arung Palakka menghadapi kenyataan bangkitnya kembali perlawanan dari para saingan. Persaingan antara penguasa ini masing-masing berusaha mencari dukungan kepada penguasa Belanda di Fort Rotterdam. Ini membuat Kompeni menjadi penguasa tunggal atas Sulawesi Selatan karena tak ada lagi saingan yang sekualitas Arung Palakka. Setiap pergantian penguasa yang didukung oleh Kompeni menandatangani Perjanjian Bungaya yang terus diperbaharui sehingga menempatkan Kompeni sebagai satu-satunya penguasa atasan di Sulawesi Selatan, sesuatu yang terus ditentang oleh Bone namun semakin lama kekuatan Bone semakin menurun akibat persaingan dengan penguasa-penguasa sekutunya dahulu di masa Arung Palakka.

5.3.1 Perubahan Sistem Pemerintahan

Seperti digambarkan Poelinggomang 66 mengenai perubahan politik dan hubungan kekuasaan pada 1906-1942, bahwa setelah ekspedisi militer yang sukses atas Sulawesi Selatan, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan diri sebagai penguasa dan menjalankan pemerintahan langsung terhadap rakyat Sulawesi Selatan. Masa pemerintahan Hindia Belanda dari 1906-1942 berbeda dengan masa VOC dan Pemerintahan Hindia Belanda sebelum 1906. Meski sejak masa VOC dan sebelum 1906, Belanda dipandang memiliki kekuasaan atas sebagian wilayah Sulawesi Selatan namun kegiatan pemerintahan tidak pernah mereka jalankan kecuali melakukan pengawasan terhadap kegiatan politik dari penguasa-penguasa setempat. 66 Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasan: Makassar 1906-1942 Yogyakarta: Ombak, 2004, hlm. 2-3. 132 Setelah 1906, pemerintah kolonial mengatur pembagian wilayah di Sulawesi Selatan, raja dan pemangku adat yang disebut Hadat diangkat menurut adat setiap kerajaan bersangkutan. Setelah diangkat, mereka menandatangani Perjanjian Pendek. Pemerintah Hindia Belanda melakukan perubahan besar dalam sistem pemerintahan dan politik, dengan menghapus kerajaan-kerajaan yang terdapat di wilayah ini. Kerajaan-kerajaan yang dahulu merupakan kerajaan sekutu bondgenootschappelijke landen di hapus dan dijadikan wilayah pemerintahan langsung. Demikian juga bentuk-bentuk pemerintahan di wilayah itu yang bercorak kerajaan dan konfederasi termasuk kesatuan kaum dihapus. Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara secara resmi pada tahun 1911 dalam satu wilayah pemerintahan yang disebut Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden atau Pemerintahan Sulawesi dan Daerah Taklukannya. Wilayah ini dibagi menjadi tujuh bagian pemerintahan atau afdeeling : Makassar, Bonthain, Bone, Pare-Pare, Luwu, Mandar, Buton dan Pesisir Timur Sulawesi Boeton en Oostkust Celebes. Pada tahun 1916, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai menata administrasi pemerintahan dengan memanfaatkan penguasa pribumi dalam pelaksanaan pemerintahan. Struktur pemerintahan pemerintah Hindia-Belanda tersusun atas: Gouverneur atau Gubernur, kemudian Residen yang memimpin daerah administrasi Gewest. Di bawahnya terdapat afdeeling di pimpin oleh Asisten Residen. Kemudian selanjutnya adalah onderafdeeling dengan pejabat yang di sebut Kontrolir. Pada pemerintahan daerah adat dan kampung di pegang oleh pejabat pemerintah daerah yang di sebut Regent dan kepala kampung hoofd. 67 Kepala-kepala distrik dalam pemerintahan Kolonial di sebut Regen, namun oleh masyarakat mereka di sebut Karaeng Arung atau Puatta. Mereka berasal dari raja-raja bawahan Kerajaan Gowa atau Bone, malah ada juga dari raja yang berdiri sendiri seperti dari Turatea. Setelah mereka ditaklukkan atau di rebut Belanda dari kerajaan induknya mereka kemudian tetap memimpin wilayah mereka sebagai kepala distrik. Jabatan ini tetap bersifat turun temurun. Penempatan dan penguatan kedudukan penguasa bori dalam melaksanakan pemerintahan dengan mengabaikan kedudukan penguasa kerajaan dan 67 Ibid., hlm. 4 dan hlm. 83-109 133 konfederasi, secara tidak langsung menempatkan penguasa bori sebagai atasan dari bangsawannya. Sampai tahun 1926 para raja ini ruang geraknya sangat terbatas, karena segala sesuatunya dikerjakan oleh kontrolir dan stafnya yang terdiri dari pegawai-pegawai pribumi dan kepala-kepala distrik. Struktur ini mengubah susunan pemerintahan Kerajaan Gowa yang disusun di masa penguasa ke-10, Tunipalangga Ulaweng 1546-1565. Raja ini menata sistem pemerintahan kerajaan Gowa dengan menciptakan jabatan Tumakkajannangang lembaga ketentaraan, panglima, Tumailalang menangani urusan administrasi internal kerajaan. Jabatan ini umumnya dijabat oleh bangsawan keturunan Tomanurung. Dalam penyelenggaraan pemerintah, peraturan Raja harus mendapat keputusan dari dewan Bate Salapang, kecuali daerah-daerah di luar sembilan bori , sepenuhnya wewenang raja. 68 Di bawah raja terdapat jabatan Tumabbicara Butta atau mangkubumi yang bertugas mendampingi raja atau menggantikan raja untuk tugas-tugas tertentu. Di bawahnya terdapat jabatan Tumailalang yang terbagi atas Tumailalang Towa, pejabat ini yang menjadi saluran komunikasi antara raja, Tumabbicara Butta dan Dewan Bate Salapang. Sedangkan Tumailalang Lolo, pejabat yang selalu mendampingi raja, menerima segala perintah raja yang berhubungan dengan urusan istana dan jalur komunikasi dari bawah ke atas dan lembaga adat ke raja. 69 Jabatan Sabannara atau syahbandar setingkat dengan Tumailalang, untuk memudahkan urusan luar dan perdagangan dengan pihak luar. Pemerintah Belanda berusaha mengambil alih peran dari bangsawan- bangsawan penguasa yang tidak dilibatkan lagi dalam pemerintahan, sedangkan di lain pihak memberi kedudukan kepada pihak yang bekerja sama dan mendapat keuntungan dari hubungan ini. Namun pada dasarnya pemerintahan Hindia Belanda ingin menunjukkan dominasinya dengan melakukan suatu hubungan kekuasaan unilateral. Dengan menggunakan kekuatan militer untuk memaksakan para bangsawan dan rakyatnya tunduk dan melaksanakan segala peraturan dari pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda telah memperhitungkan kedudukan bangsawan yang sangat kuat tersebut dengan menyerang mereka dan menghapus 68 L.Y. Andaya, Warisan Arung Palakka, hlm. 32. 69 Sejarah Daerah Sulawesi Selatan Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978, hlm. 35 134 kedudukan feodal yang mereka miliki dengan harapan menarik simpati dari bawahan mereka yang tertekan. Selain itu mereka juga berupaya mempertahankan lembaga-lembaga tradisional dan kebudayaan masyarakat pribumi. 70 Pada tahun 1917, wilayah bagian pemerintahan Makassar dan Bonthain dibagi menjadi tiga afdeeling yaitu: Makassar, Sungguminasa dan Bonthain. 71 Wilayah kerajaan Gowa di jadikan afdeeling Sungguminasa dengan ibu kota Sungguminasa membawahi: onderafdeeling Gowa, membawahi bekas kerajaan Gowa, onderafdeeling Takalar, dan onderafdeeling Jeneponto. Kedua onderafdeeling yang disebut terakhir adalah dijadikan tanah Gubernemen Hindia Belanda. Sementara itu keluarga bangsawan utama Gowa, tidak lagi memiliki peran berarti akibat penataan pemerintahan yang di buat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Para bangsawan hidup dalam suasana muram di Desa Jongaya, Jarak antara Jongaya dan Sungguminasa sekitar 7 km. 72 terletak diantara Sungguminasa dan Makassar, merupakan tempat kediaman penguasa Kerajaan Gowa dan keturunan serta kerabat utama kerajaan yang terpenting. Jongaya, dahulu merupakan bekas ibu kota kerajaan Gowa sebelum rusak berat setelah ekspedisi militer 1906. Adapun keadaan Desa Jongaya, tempat tinggal keturunan Raja Gowa dan bangsawan di pertengahan tahun 1925, digambarkan oleh Friedericy : Di bekas ibu kota Jongaya dahulu, yang terletak beberapa kilometer dari Makassar, beratus-ratus keturunan Raja Gowa dengan pelayan- pelayan dan hamba sahayanya laki-laki dan perempuan, tinggal di berpuluh-puluh rumah panggung yang besar, terdiri atas dua puluh lima tiang. Budak-budak dan hamba sahaya tersebut sudah bertahun-tahun di bebaskan oleh penguasa Belanda, dimasukkan dalam golongan orang merdeka, tapi mereka lebih suka hidup di bawah naungan bekas raja- raja besar itu daripada berdiri di atas kakinya sendiri. 73 Keluarga raja dan bangsawan di Jongaya dan sebagian di daerah Gunung Sari hidup dalam keadaan miskin. Setelah Karaeng Lembang Parang, raja Gowa terakhir gugur di tahun 1906, harta mereka di sita dan kedudukan penguasa Gowa 70 Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik, hlm. 88. 71 Lihat Staadblad 1924, No. 476. Lihat juga Regerings-Almanak vor Nederlandch-Indië 1926 Weltevreden: Landsdrukkerij, 1926, hlm. 136-137 72 Lih at ―Permohonan Ulang dari Kerajaan Gowa sebagai Wilayah yang Berpemerintahan Sendiri, 1936‖ dalam Otonomi Daerah di Hindia Belanda Jakarta: ANRI, 1998, hlm. 5. 73 H.J. Friedericy, Sang Penasihat, hlm. 7-8. 135 ditiadakan. Setelah penaklukan, saudara Raja, I Mangi-mangi Karaeng Bontonompo di buang ke Bima dan anak lelaki Karaeng Lembangparang yang bernama I Mappanyukki di buang ke pulau Selayar 74 . Regalia kalompoang kerajaan Gowa di rampas oleh pemerintah Hindia Belanda dan dijadikan alat untuk memperkuat kewibawaan Gubernemen di mata rakyat. Karena dalam sejarah dan adat Gowa, pemegang regalia adalah pemegang sesungguhnya atas Kerajaan Gowa. Untuk sementara tercipta ketenangan di wilayah ibu kota dan sekitarnya.

5.3.2 Perkembangan Bidang Pendidikan