163
Jeneponto. Sedangkan Kabupaten pada wilayah Bugis yang dimenangkan SYL yang berasal dari etnis Makassar adalah; Kabupaten Barru dan Luwu Utara.
Meskipun terjadi kontestasi politik antar etnis Bugis dan Makassar, akan tetapi tidak menentukan kemenangan bagi kandidat yang memenangkan
kontestasi itu. Kunci kemenangan yang dicapai oleh SYL bukan pada basisnya artinya bukan karena issue etnisitas, tetapi justru kemenangan itu ditentukan
oleh pencapaian suara yang diperolehnya pada wilayah ―netral‖ yaitu; Toraja dan kota Makassar. Toraja dikatakan netral karena tidak memiliki calon yang diusung
oleh etnis dan wilayahnya. Sedangkan Makassar adalah ibu kota provinsi Sulsel, masyarakatnya bersumber dari berbagai etnis dan agama. Selain itu pemilih kota
relatif rasional. Ini menunjukkan taktik SYL yang melintasi batas etnis, agama dan wilayah dengan menggunakan terminologi pluralistic
berhasil ―mengecoh‖ kesadaran sosial, kultural dan politik masyarakat di dua tempat ini.
5.5 Ikhtisar Fase Pembentukan Elite Etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa
Pada fase tradisional , proses pembentukan elite tumbuh dengan pola symbol
dan mitos. Mitos yang paling umum adalah hadirnya Tomanurung, sebagai penguasa awal yang turun dari langit. Masyarakat sebelum kemunculan Tomanurung
masyarakat Bugis dan Makassar digambarkan berada dalam keadaan yang kacau dan tidak ada pemimpin yang ditaati. Dinamika masyarakat diwarnai dengan
perjanjian, pertentangan, dan peperangan antar komunitas. Untuk memastikan terjaminnya kehidupan sosial dan politik yang aman,
maka komunitas etnis Bugis maupun etnis Makassar menkonstruksikan pola hubungan masyarakat dengan kekuasaan melalui konstruksi Gaukang dan
Kalompoang , yakni unsur kesatuan masyarakat dan kekuasaan.
Kekuasaan penguasa dilambangkan dengan benda-benda kebesaran kerajaan arajang yang dianggap memiliki kekuatan mistis, dapat berupa tombak, rantai,
perhiasan emas, pedang, dan sebagainya merupakan dasar legitimasi seorang penguasa. Kehilangan benda-benda ini dianggap sebagai kelemahan seorang raja
dan kerajaannya. Legitimasi mistis ini menjadi dasar keistimewaan dari ―langit‖ bagi kaum bangsawan untuk menjadi penguasa dan pihak yang memerintah.
Orang Bugis dan Makassar kerap digambarkan sebagai masyarakat feodal dan tradisional. Di dalam masyarakatnya terdapat para bangsawan yang
164
mempunyai kedudukan kuat dan memiliki ketaatan yang kukuh terhadap aturan hukum adat. Bersamaan dengan itu, masyarakatnya bercirikan persaingan
yang ketat, karena seseorang dinilai tidak hanya oleh kedudukan statusnya tetapi juga oleh kualitas pribadinya.
Sejarah awal terbentuknya elite pada etnis Bugis dan Makassar pada fase feud
alisme, dimulai dari munculnya unit-unit kekuasaan kecil, anak-anak suku yang dikenal dengan nama gelarang, wanua Bugis dan bori Makassar. Untuk
memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, elite di tingkat wanua dan bori menggabungkan unit-unit social yang kecil dalam organisasi yang lebih luas.
Penggabungan ini dikenal dengan persekutuan kekuasaan para pemimpin wanua dan bori. Persekutuan kekuasaan ini disebut dengan Kawerrang Tanah Bone
Bugis. Sedangkan pada etnis Makassar dikenal dengan istilah Bate Salapang. Dari sinilah mulai muncul semangat ekspansif dalam usahanya merebut lahan
yang subur dan tempat yang strategis. Pada kondisi sosial seperti ini, sedang
terjadi cikal bakal penciptaan elite. Periode perebutan wilayah yang subur dan strategis menjadi cikal bakal
lahirnya konsep feudalisme di Sulawesi Selatan, dimana tanah mulai dijadikan sebagai tata-produksi kekuasaan. Pada masa inilah fase feudalisme menjadi
bagian dari penciptaan elite pada etnis Bugis dan Makassar. Fase Islam dan Modernisme
ditandai oleh kontestasi, kerjasama, lahirnya moralitas, intelektualitas, anti kolonialisme dan kapitalisme internasional dari para
elite Bugis dan Makassar. Itu semua dimaksudkan untuk mencapai posisi puncak dalam kekuasaan politik dan ekonomi. Pada masa inilah Kesultanan Gowa
berkolaborasi dengan Kerajaan Tallo dan menamai diri mereka menjadi Kerajaan Kembar. Pada fase ini pula Arung Palakka Raja Bone berkoalisi dengan Belanda
untuk meraih kekuasaan mutlak di jazirah Sulawesi. Meskipun pada akhirnya Kerajaan Bone juga berbalik melawan Belanda pada 1905.
Pada fase Islam Modern , terjadi dinamika persaingan, kontestasi, ekspansi,
perlawanan dan kolaborasi antar elite Bugis dan Makassar. Persaingan yang paling utama terjadi antara Kerajaan Gowa, mewakili orang-orang Makassar, dan
Kerajaan Bone, kerajaan terpenting dari orang-orang Bugis. Persaingan antar dua kerajaan ini memberi kesempatan pihak asing yaitu VOC, yang berminat pada
165
posisi Makassar dalam perdagangan rempah-rempah di Maluku untuk melakukan penaklukan atas Kerajaan Gowa dengan melakukan persekutuan dengan Bone di
bawah Arung Palakka pada abad 17. Untuk kepentingan ekspansi, Militer Gowa membangun persekutuan yang
erat dengan Kerajaan Tallo dan pedagang Melayu. Setelah adanya persekutuan, ekspansi terus dilanjutkan, dan berhasil menaklukkan seluruh bagian selatan
jazirah selatan pulau Sulawesi. Persekutuan Gowa-Tallo-Melayu menjadi sebuah kekuatan yang efektif untuk dalam mengembangkan tujuan-tujuan politik dan
ekonomi mereka. Kerajaan Makassar ini menaklukkan negeri-negeri lainnya di Sulawesi Selatan: Garassi, Katingang, Parigi, Siang, Suppa, Sidenreng,
Lembangan, Bulukumba, dan Selayar. Pedagang Melayu menjadikan Makassar sebagai pangkalan untuk
mendapatkan beras untuk ditukar dengan pala, bunga pala, dan cengkeh Maluku yang merupakan komoditas utama dunia. Hubungan dagang yang berlangsung
antara orang-orang Makassar dan sebagian besar wilayah lainnya di Sulawesi Selatan dengan orang-orang Melayu yang beragama Islam membawa kemajuan
dan kemakmuran bagi negeri-negeri Makassar. Hubungan baik antara Gowa dan Melayu akhirnya menyingkirkan
persahabatan Gowa dengan Portugis. Pedagang Melayu mendatangkan ulama dari Minangkabau untuk membujuk Istana Gowa memeluk Islam.
Penguasa Gowa selanjutnya mengeluarkan maklumat kepada para penguasa kerajaan lain di Sulawesi Selatan untuk memeluk agama Islam. Tetapi usaha ini
menemui hambatan dari kerajaan-kerajaan besar seperti Bone, Wajo dan Soppeng, dan akhirnya diikrarkanlah perang suci kepada kerajaan-kerajaan yang merupakan
musuh lama Gowa. Kerajaan Gowa berhasil menaklukkan Soppeng di tahun 1609, Wajo di tahun 1610 dan Bone pada tahun 1611 dan dinyatakan masuk Islam.
Perkembangan Islam selanjutnya di bawah perlindungan kerajaan. Namun keberhasilan penaklukan inilah pula yang kelak menjadi salah satu penyebab
kejatuhan Gowa pada tahun 1667. Kemajuan yang dicapai Makassar bertentangan dengan keinginan pedagang
Belanda. Mereka tidak menginginkan pedagang Eropa lainnya yang merupakan saingan berada di Makassar. VOC meminta kepada Raja Gowa Sultan Alauddin
166
agar tidak menjual beras lagi kepada Portugis di Malaka dan juga melarang orang Makassar untuk berdagang di Maluku. Namun semua itu di tolak oleh Sultan
Alauddin. Hubungan antara Makassar dan VOC mulai goyah. Oleh karena itu Kerajaan Makassar mempersiapkan diri membangun benteng di sepanjang pesisir
kota, dari Benteng Tallo di utara dan Benteng Panakkukang di selatan. Beberapa benteng lainnya di bangun di Ujung Tanah, Ujung Pandang, Barokbaso, Mariso,
Garasi dan Barombong. Kegiatan perdagangan dilangsungkan di balik benteng.
Ketika Kerajaan Gowa mulai membangun benteng di sepanjang pesisir Makassar, Sultan Hasanuddin dan Karaeng Karunrung mengerahkan segala tenaga
yang berasal dari berbagai daerah yang telah ditaklukkannya. Termasuk diantaranya dari Tana Toraja, Soppeng dan Bone, yang ditaklukkannya dalam
‗Perang Passempe‘ di tahun 1646 ketika Makassar melakukan peperangan atas dasar Islamisasi, yang berakibat status Bone menjadi ‗budak Gowa‘.
Akibatnya, Karaeng Karunrung memerintahkan seluruh bangsawan Bone dan Soppeng untuk bekerja dengan rakyat mereka dan diserahi tanggung jawab atas
pelarian kelompoknya. Melihat hal tersebut tak terkatakan perasaan terhina orang- orang Bugis. Perasaan
siri ‟ orang-orang Bugis menumpuk berlipat ganda karena selain rakyatnya harus melakukan kerja paksa, tuan mereka pun harus melakukan
pekerjaan kasar yang sama dengan rakyatnya. Kemarahan mereka semakin memuncak dan hal ini tidak disadari oleh penguasa Makassar dengan memberi
kepercayaan kepada pemimpin Bugis untuk mengurus rakyatnya yang sedang menjalani kerja paksa. Ini adalah sebuah awal yang akan menimbulkan
pemberontakan dan perlawanan yang kelak menjatuhkan kebesaran Makassar sendiri.
Pada fase sekularisme
, proses pembentukan elite etnis Bugis dan Makassar berlangsung dengan sifat yang pragmatis, rasional, utilities dan efisien. Pada fase
ini, terjadi transformasi pembentukan elite dari prinsip-prinsip ideal seperti moralitas dan intelektualitas yang tinggi dengan tujuan-tujuan praktis dan jangka
pendek. Penggunaan symbol budaya, identitas etnis kedaerahan, uang dan kuasa mewarnai pembentukan elite pada etnis Bugis dan Makassar.
Pada masa ini, actor yang berhasil mengisi panggung kekuasaan pada level makro di propinsi Sulsel adalah elite yang berhasil mengembangkan konsep
hibridisasi budaya politik antar etnis. Berkembangnya hibridisasi budaya politik bersamaan dengan menguatnya sentiment identitas budaya.
167
6 DINAMIKA PROSES PEMBENTUKAN ELITE BUGIS DAN MAKASSAR DALAM PENGATURAN KESEIMBANGAN
KEKUASAAN Sharing of Power ANTAR ETNIS
Mengikuti fase transformasi pembentukan elite etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa, pembahasan pada bab 6 ini sesungguhnya bagian dari
pembahasan fase sekularisme. Pemisahan pembahasan dimaksudkan untuk memperjelas bahwa pada bagian ini sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan
penelitian tentang bagaimana dinamika proses pembentukan elite Bugis dan Makassar, terutama dalam membangun komunikasi politik dan ekonomi, untuk
mengartikulasikan kepentingan kelompok masing-masing dalam melakukan proses perubahan.
Pembahasan bagian ini terutama akan difokuskan pada bagaimana melihat dinamika dan kemampuan elite etnis Bugis dan Makassar memainkan peranan
untuk mengatur, merebut dan mempertahankan kekuasaan pada berbagai aras, mulai dari aras mikro Desa, mezzo kabupaten dan makro provinsi dan Sulsel.
Dalam proses perebutan kekuasaan itu, para elite Bugis dan Makassar juga berhasil mempertahankan identitas politiknya masing-masing, dengan tetap
menjaga keseimbangan kepentingan, sehingga sampai saat ini, etnis Bugis dan Makassar tetap survive hidup dibawah payung Sulawesi Selatan. Pada chapter ini
juga ingin melihat dinamika struktur sosiologi kekuasaan yang bermain pada level mikro, mezzo, dan makro.
Bagian ini juga berusaha menjawab pertanyaan; bagaimana pola elite Bugis dan Makassar berbagi kekuasaan dan membangun komunikasi politik dan ekonomi,
untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok, dan menjaga dinamika politik pada masing-masing aras; desa, kabupaten, provinsi dan nasional.
6.1 Anatomi Elite dan Sosiologi Kekuasaan Etnis Bugis dan Makassar