115
disejajarkan dengan perkembangan menuju dinegasikannya kapitalisme internasional dan didewakannya scientism.
Konsekuensi dari tumbuhnya sikap pragmatisme dan rasionalitas ekonomi, maka etika materialism semakin menguat, akan tetapi pada saat yang bersamaan
meningkat pula kesadaran universal seperti demokratisme politik dan ekonomi. Dengan demikian, semakin ke belakang menuju fase sekularisme proses
produksi elite kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa mengalami pergeseran dari kekuatan simbol budaya dan etika lokal, digantikan
secara perlahan oleh ideologi baru yang berbasis pada rasionalitas ekonomi, modernitas, intelektualitas, aliansi dan jejaring. Untuk menyederhanakan ideologi
baru ini, studi ini menyebutnya sebagai ideologi kuasa dan uang. Dengan mempertimbangkan aspek aliansi dan jejaring, reproduksi kekuasaan pada etnis
Bugis Bone dan Makassar Gowa pada aras makro khususnya, tidak cukup dengan rasionalitas uang dan kuasa, akan tetapi perlu kemampuan meng-hibridisasi
kebudayaan politik antar etnis Bugis dan Makassar.
5.1 Fase Tradisional Pembentukan Elite Etnis Bugis dan Makassar;
Permainan Simbol dan Mitos Tidak mudah untuk melihat masyarakat Bugis dan Makassar pada masa
lampau, utamanya menggambarkan keadaan sebelum kedatangan bangsa asing yang melakukan kontak dengan kerajaan setempat yang baru di mulai sekitar
pertengahan abad-16.
41
Catatan dari kerajaan-kerajaan bumiputera mengenai perkembangan awal kerajaan dan keadaan masyarakat bersifat mitologis.
42
Mitos yang paling umum adalah hadirnya Tomanurung,
43
sebagai penguasa awal yang
41
Anthony Reid, ―Kebangkitan Makassar‖, dalam Sejarah Modern Awal Asia Tenggara Jakarta: LP3ES, 2004, hlm. 132- 142
42
Lihat diantaranya dalam, Abd. Razak Daeng Patunru, Sejarah Gowa Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara YKSST, 1967, hlm. 1-2. H.D. Mangemba,
Kenallah Sulawesi Selatan Djakarta: Timun Mas, 1956, hlm. 48-59
43
Penguasa asing disini l ebih dekat pada pendapat Anthony Reid yang melihat bahwa ―penguasa
asing‖ memiliki dua tipe yaitu; pertama sebagai pedagang-petualang yang bersama-sama dengan para bangsawan pedagang merchant-aristocrats melakukan kerjasama dan terkadang menjadi
pimpinan dengan kekuatan politik murni. Biasanya mereka memiliki ―kekayaan, senjata, perahu,
dan pengetahuan internasional‖. Kedua, orang asing dalam tingkatan tertentu berperan sebagai ―magic-mediator” di antara masyarakat tradisional. Masyarakat ini biasanya berlokasi jauh dari
pantai dan hubungan dengan dunia luar, termasuk jauh dari pengaruh mitos penguasa luar, lihat dalam ―Merchant Princess and Magic Mediators: Outsiders and Power in Sumatra and beyond‖,
dalam Indonesia and Malay World, Vol. 36, No. 105 UK: Routledge, July 2008, hlm. 251-266.
116
turun dari langit. Masyarakat sebelum kemunculan Tomanurung masyarakat Bugis dan Makassar digambarkan berada dalam keadaan yang kacau dan tidak
ada pemimpin yang ditaati. Kehadiran sosok Tomanurung di berbagai tempat Sulawesi Selatan hampir bersamaan sekitar tahun 1300
– 1400.
44
Fenomena ini dapat dikaitkan dengan semakin berkembangnya berbagai komunitas masyarakat
di kawasan ini. Perkembangan ini kemudian membuat berbagai kebutuhan kelompok masyarakat terus membesar dan kemudian memperebutkan sumber-
sumber makanan yang terbatas.
45
Dinamika masyarakat diwarnai dengan perjanjian, pertentangan, dan peperangan antar komunitas.
Untuk memastikan terjaminnya kehidupan sosial dan politik yang aman, maka komunitas etnis Bugis maupun etnis Makassar menkonstruksikan pola
hubungan masyarakat dengan kekuasaan melalui konstruksi Gaukang dan Kalompoang
, yakni unsur kesatuan masyarakat dan kekuasaan. Karena itu, untuk melihat hubungan antara perkembangan masyarakat dengan sistem sosial dan
politik masyarakat Bugis dan Makassar, utamanya orang-orang Bone dan Gowa, maka kita akan melihat kembali proses terbentuknya masyarakat di kawasan ini
yang dalam naskah-naskah tradisional bermula dengan penemuan benda gaukang.
Benda ini biasanya berbentuk aneh seperti batu, biji buah, dan sebagainya.
46
44
Mattulada, Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan Ujung Pandang: Lephas, 1998, hlm. 39-74.
45
Seperti dipaparkan Mattulada, dalam Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayan, hlm. 32-33 dan dalam Anthony Reid, ― Kebangkitan Makassar‖, hlm. 135, tidak ditemukan keterangan lebih jauh
mengenai budidaya tanaman atau peternakan dari sumber-sumber tradisional. Dalam perjanjian awal antara Tomanurung dan rakyat tidak disebutkan tentang beras yang menjadi hasil utama
Sulawesi Selatan, termasuk di Makassar pada periode abad 16-17. Tampaknya sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan hidup dari hasil bumi yang tersedia di lingkungannya, namun
tampaknya mereka belum membuat sawah hingga kedatangan Tomanurung. Kontrak sosial antara Tomanurung
dan rakyat tidak menyebutkan soal padi: hanya menyebut ayam, telur, buah kelapa dan buah pinang
46
Menurut Eliade, diantara berbagai batu yang terhitung jumlahnya, salah satu batu menjadi suci,- dan olehnya serta merta penuh dengan tanda dan makna, karena ia merupakan hierophany, atau
memiliki makna, atau karena ia memperingati tindakan mitis dan sebagainya. Obyek muncul sebagai wadah kekuatan yang berasal dari luar benda-benda ini kerap dihubungkan dengan
sebuah peristiwa fenomenal yang ajaib ketika ditemukan. Penemuan benda dan tempatditemukannya menjadi awal pemukiman baru dan menjadi pusat dari pemukiman.
Gaukang
ini pula menjadi simbol kesatuan diri masyarakat di wilayah pengaruhnya. Benda gaukang
ini dan penemunya mendapat tempat khusus dalam komunitas. Penemu gaukang diberikan tanah-tanah, mewakili gaukang, sebagai tempat benda ini dipelihara. Selanjutnya,
penemu benda ini biasanya diangkat sebagai pemimpin atau tetua dari komunitas awal ini. Sebagai sosok yang dipilih oleh gaukang, ia kemudian mewakili gaukang sebagai
pemimpin keduniawian dan spiritual. Dalam perkembangan selanjutnya, kepemimpinan
117
Gaukang sendiri dilengkapi dengan benda-benda kebesaran yang disebut
kalompoang untuk melengkapi wibawanya.
47
Benda-benda kebesaran ini yang diberi kepada gaukang semuanya di pandang sebagai benda suci dan dianggap
memiliki kesaktian. Benda ini biasanya berasal dari penguasa pertama. Benda- benda ini disimpan dan di rawat oleh penguasa. Seorang bangsawan yang akan
dilantik sebagai raja harus memiliki kalompoang. Siapapun pemegang kalompoang
ini akan memegang ketaatan rakyat. Komunitas gaukang ini kemudian meluas menjadi kampung atau lembang,
seiring dengan pertambahan dan kesediaan keperluan dari anggota-anggotanya. Bagian batu dari komunitas induk diberikan kepada setiap kelompok yang
membangun komunitas baru. Komunitas baru ini tetap terikat kepada komunitas gaukang
awal. Kesatuan dari kampung-kampung ini menjadi satu kesatuan pemerintahan yang di sebut bori. Setiap bori kemudian meluas di berbagai tempat
yang selanjutnya dan tak dapat dihindari terjadi persinggungan. Perselisihan antar bori sering berlangsung dan kekuatan fisik
digunakan untuk menyelesaikan persoalan, karena tidak ada cara lain yang bisa ditempuh. Keadaan ini membuat para pemimpin bori mencari jalan penyelesaian
yang akhirnya membawa mereka membentuk suatu sistem pemerintahan yang baru berupa konfederasi atau paqrasangang. Konfederasi ini menghasilkan satu
Dewan Hadat yang beranggotakan para pemimpin bori. Seperti kesatuan-kesatuan masyarakat yang menjadi cikal bakal dari Konfederasi Gowa yang terdiri dari
sembilan kesatuan kelompok masyarakat Kasuwiyang Salapang.
48
Sebagai pimpinan dari konfederasi ini dipilih salah satu dari dewan hadat ini, yang disebut
dalam masyarakat menjadi jabatan yang diwariskan kepada keturunan penemu gaukang tersebut. Penemu gaukang ini bergelar karaeng dan ada juga yang disebut gallarang.
membedakannya dengan lingkungan sekitarnya serta memberinya makna dan nilai. Kekuatan ini mungkin berada dalam subtansi obyek atau dalam bentuknya; sebongkah batu mengungkapkan
dirinya sebagai yang disucikan karena eksistensinya merupakan hierophany: tidak dapat ditekan, tidak dapat dikalahkan, hal yang semacam itu tidak dimiliki oleh manusia. Kekuatan ini melawan
waktu; realitasnya berpasangan dengan keabadian, lebih jauh dalam Mitos Gerak Kembali yang Abadi: Kosmos dan Sejarah
Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002, hlm. 4
47
Martin Rössler, ―From Divine Descent to Administration: Sacred Heirlooms and Political Change in Highland Goa‖, dalam Roger Tol, Kees van Dijk, Greg Acciaioli editor, Authority and
Enterprise Among The Peoples of South Sulawesi, BKI no. 56 The Netherland: Leiden, 2000,
hlm. 541
48
Kelompok-kelompok komunitas yang menjadi dasar dari wilayah Gowa terdiri atas negeri bori: Tombolo, La
kiung, Agang Je‘ne, Saumata, Bisei, Kalling, Parang-Parang, Data‘, dan Bisei. Lihat dalam Mattulada, Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan, hlm. 30.
118
Paccalaya . Setiap persoalan yang terjadi dalam konfederasi ini diselesaikan oleh
dewan hadat yang dipimpin oleh Paccalaya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, konfederasi ini tetap tidak dapat mewujudkan ketertiban dan
keamanan yang diharapkan. Untuk mengakhiri perselisihan diantara kelompok- kelompok ini, para pemimpin atau penguasa galarang kelompok masyarakat ini
kemudian mengangkat sosok dari luar yang dikenal dengan sebutan Tomanurung. Masyarakat kemudian meminta tokoh ini untuk menjadi raja agar membawa
perdamaian dan kesejahteraan dengan sali ng menyepakati sebuah ―kontrak
politik‖, yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Meski Tomanurung
dijadikan penguasa oleh orang-orang Gowa, namun tidak berarti kedaulatan atau kekuasaan mutlak diserahkan kepadanya. Sejak awal, Gowa
bukanlah monarki absolut. Raja dan dewan hadat yang mewakili sembilan bori, wilayah awal federasi kerajaan Gowa memiliki hak dan kewajiban yang mengatur
mereka. Raja tidak boleh memiliki sesuatu tanpa proses kepemilikan yang benar. Raja tidak memiliki kekuasaan untuk menetapkan sesuatu yang berkenaan dengan
urusan dalam negeri karena merupakan wilayah dewan hadat. Sedangkan dewan hadat tidak boleh menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan luar negeri yang
menjadi urusan raja. Dengan hubungan tersebut, raja dan dewan hadat bersama- sama menetapkan berbagai urusan dalam dan luar negeri.
49
Kekuasaan penguasa dilambangkan dengan benda-benda kebesaran kerajaan arajang yang dianggap memiliki kekuatan mistis, dapat berupa tombak, rantai,
perhiasan emas, pedang, dan sebagainya merupakan dasar legitimasi seorang penguasa. Kehilangan benda-benda ini dianggap sebagai kelemahan seorang raja
dan kerajaannya. Legitimasi mistis ini menjadi dasar keistimewaan dari ―langit‖ bagi kaum bangsawan untuk menjadi penguasa dan pihak yang memerintah.
Anggapan ini kemudian mendasari pengembalian benda-benda kebesaran Kerajaan Gowa yang dirampas oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam
penaklukan di tahun 1906, ketika upacara pemulihan kedudukan bekas Kerajaan Gowa dan pelantikan raja Gowa di tahun 1937.
49
Mattulada, Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan, hlm. 34
119
5.2 Fase Feudalisme; Tanah Sebagai Tata-produksi Kekuasaan