63
Letak geografis seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa Wilayah Perairan Teluk Lasongko merupakan muara aliran sungai-sungai kecil dari daerah
aliran sungai disekelilingnya serta muara aliran limbah terakhir yang berasal dari rumah tangga, maupun limbah yang dihasilkan oleh kegiatan produksi seperti
penangkapan serta transportasi antar pulau dari dan ke ibu kota kecamatan dalam Wilayah Perairan Lasongko. Kondisi topografis seperti ini menyebabkan
ekosistem estuaria pada muara teluk, sebagai tempat bercampurnya aliran air sungai dari darat dan pengaruh pasang surut dari laut mengalami proses
sedimentasi yang dapat mengancam biota perairan yang berasosiasi dengan estuaria.
4.1.2. Kondisi Biofisik
Kondisi Biofisik Wilayah Pesisir dan Wilayah Perairan Teluk Lasongko dalam penelitian ini digambarkan secara topografis, berupa profil Wilayah Pesisir
dan Perairan Teluk Lasongko serta kondisi perairan berupa kualitas perairan yang diukur berdasarkan parameter klimat dan biofisik. Penggambaran ini bertujuan
untuk menjelaskan keadaan eksisting alamiah daerah penelitian pada periode tahun 2005 berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari sumber data instansi
dan perorangan baik melalui kajian kepustakaan maupun melalui kuesioner dan wawancara.
Wilayah Pesisir Perairan Teluk Lasongko umumnya berupa pantai berpasir, pantai dengan campuran pasir dan pecahan karang serta pantai
berlumpur dengan topografi landai low land. Tinggi daratan Wilayah Pesisir di sekitar Teluk berkisar antara 0 – 100 m dari permukaan laut saat air pasang.
Sedangkan sempadan pantai pada saat air pasang sekitar 20 sampai dengan 50 meter. Topografi dasar laut bathymetric tergolong landai sampai curam dengan
kedalaman berkisar antara 3 meter di sekitar pantai dan muara sampai lebih dari 50 meter. Selanjutnya di bagian tengah Wilayah Perairan Teluk Lasongko
merupakan lereng benua continental shelve. Profil seperti itu mengakibatkan fenomena arus sepanjang pantai long shore current pada beberapa lokasi
64
Wilayah Perairan Teluk, utamanya di sekitar muara. Profil topologis Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko disajikan pada Gambar 18.
Karakteristik pasang surut di Wilayah Perairan Teluk Lasongko merupakan perambatan dari pengaruh pasang surut yang terjadi di Laut Flores
berupa pasang surut yang digerakkan oleh Gaya Pembangkit Pasang GPP. Sifat pasang surut ini merupakan pasang surut campuran dominasi semi diurnal, artinya
dalam sehari semalam terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan magnitude yang berbeda. Surut ter rendah terjadi antara pukul 12.00 sampai
dengan 13.00 Wita, sedangkan pasang tinggi ditemui antara pukul 18.00 sampai dengan 19.00 Wita. Jika saat pasang didefinisikan sebagai kurun waktu antara
surut rendah dengan pasang tinggi, maka pasang naik di Wilayah Perairan Teluk Lasongko
Gambar 18. Profil Topografis Wilayah Perairan Teluk Lasongko terjadi pada dini hari antara pukul 01.00 sampai dengan 06.00 Wita dan siang hari
antara pukul 12.00 sampai dengan 18.00 Wita. Saat pasang naik umumnya ditemui arus pasang surut yang deras, dan pada saat ini massa air dari Laut Flores
memasuki Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Selanjutnya jika saat surut didefinisikan sebagai waktu antara pasang tinggi dan surut rendah maka surut di
65
Wilayah Perairan Teluk Lasongko terjadi antara pukul 06.00 sampai dengan 12.00 Wita dan antara pukul 18.00 sampai dengan 21.00 Wita. Pada saat itu massa air
bergerak meninggalkan Wilayah Perairan Teluk Lasongko menuju Laut Flores melalui pesisir Teluk. Adapun tinggi pasang surut Wilayah Perairan Teluk
Lasongko berkisar antara 1,5 m sampai dengan 2 m. Dominasi moonson musim barat dan musim timur dan topografi low land
pada Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko juga mempengaruhi kecepatan angin yang bertiup. Kecepatan angin relatif lebih kencang terjadi pada siang hari
dengan kecepatan rata-rata sebesar 20 knots 10 mdet dan arah angin berasal dari utara sedangkan kecepatan angin relatif lemah terjadi pada malam hari dengan
kecepatan rata-rata 3 knots 1,5 mdet. Kecepatan angin ter tinggi terjadi pada masa peralihan I bulan April dan masa peralihan II bulan Januari Berdasarkan
skala Beaufold, kondisi angin di Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko tergolong angin sedang dengan kecepatan rata-rata 6,8 mdet. Musim hujan terjadi
antara bulan November dan Maret musim kemarau terjadi antara bulan Mei sampai Oktober tiap tahunnya dengan rata-rata curah hujan 1.488 hujantahun
Stasiun Klimat Muna 2005 Gerakan arus laut dan riak gelombang dipengaruhi oleh sistem pola angin
moonson musim barat dan musim timur. Pada musim barat, arus di sekitar Wilayah Perairan Teluk Lasongko bergerak relatif dari arah barat ke arah selatan
karena terdapatnya daerah intertidal disekitar mulut teluk dan boundary dari pulau Muna. Pada musim ini gelombang bergerak bersesuaian dengan pergerakan angin
musim timur dengan kecenderungan tegak lurus terhadap pantai ketika gelombang mendekati pantai dengan tinggi gelombang perairan dalam kisaran 0,75 sampai
dengan 1 m. Pada musim timur, ditandai dengan peristiwa pembalikan arus yang terjadi pada bulan April dimana pada bulan ini arus bergerak relatif dari arah utara
berputar ke arah barat dan stabil dominan ke arah barat pada bulan September untuk kemudian berbalik lagi pada bulan Desember. Pada musim ini gelombang
tergolong teduh dengan tinggi gelombang terletak pada kisaran 0,1 sampai dengan 0,4 m. Adapun rata-rata tinggi gelombang Wilayah Perairan Teluk Lasongko
berkisar antara 0,4 sampai dengan 0,95 m.
66
Uji petik kondisi perairan Teluk Lasongko dilihat dari hasil pengukuran rata-rata nilai parameter kualitas perairan Teluk Lasongko berdasarkan hasil
pengukuran parameter biofisik Bappeda Kabupaten Buton 2004, menunjukkan bahwa salinitas perairan berdasarkan kategori Eurihalin tergolong frekwensi
tinggi Nybakken, 1988 yaitu rata-rata sebesar 30,36 ppt. Kondisi pH berkisar antara 7,0 sampai dengan 7,7, tergolong normal antara 7,5 sampai dengan 8,4
menurut Svedrup et al 1961. Kebutuhan Oksigen kimiawi berkisar antara 6,6 sampai dengan 5,2 ppm, dimana kandungan logam berat masih berada di bawah
standar baku mutu yang diijinkan 40 mgl. Suhu perairan berkisar antara 2,9 sampai dengan 31,5
C tergolong wajar antara 25,6 sampai dengan 32,3 C
menurut Illahude et al 1980 untuk perairan tropik. Gambaran tentang kualitas Wilayah Perairan Teluk Lasongko disajikan pada Tabel 7.
Keadaan alam seperti tersebut di atas sangat mempengaruhi portofolio kegiatan ekonomi nelayan, dimana saat musim barat bulan April sampai dengan
bulan September arus bergerak kuat, gelombang pasang utamanya pada sore hari menyebabkan aktifitas pemanfaatan sumberdaya perikanan menurun dan orientasi
aktifitas nelayan lebih banyak di darat. Trip melaut nelayan berkurang dan mereka beralih untuk melakukan kegiatan penangkapan nener disekitar coastline dan
melakukan pengolahan rumput laut sambil bersiaga terhadap kemungkinan terjadinya kondisi Wilayah Perairan Teluk yang anomali. Sebaliknya pada musim
teduh, trip melaut nelayan meningkat, seiring dengan kondisi perairan yang bersahabat.
4.1.3. Kondisi Ekosistem
Garis pantai Wilayah Pesisir Perairan Teluk Lasongko yang panjang memungkinkan tersedianya jumlah, sebaran serta kualitas pertumbuhan hutan
mangrove, padang lamun dan terumbu karang yang signifikan bagi penyediaan barang dan jasa ekosistem untuk diberdayakan secara biologi maupun ekonomi
sepanjang tidak melampaui ambang batasnya. Hutan Mangrove, Padang Lamun dan Terumbu Karang merupakan tiga ekosistem alami penting di daerah pesisir.
67
Sumber : Ba Tabel 7. Hasil Pen
ppeda Kabu gukuran Parameter Biofisik Wila
paten Buton Tahun 2004 Pen yah Perairan Teluk Lason
gamatan dilakukan pada bulan No gko
pember 2004
68
Tiga ekosistem tersebut berperan dalam melindungi pantai dari ancaman abrasi, erosi, intrusi dan pengaruh gaya yang ditimbulkan oleh pembangkit alam seperti
angin dan gelombang. Selain fungsinya untuk menyangga kehidupan, ekosistem pesisir merupakan tempat untuk pemijahan spawning ground, pembesaran
nursery ground dan tempat untuk mencari makan feeding ground berbagai jenis burung, species ikan, kepiting, udang, kerang-kerangan dan species lainnya,
selain fungsi ekonomi dan jasa lingkungan. Secara umum, kondisi ekosistem alami Wilayah Pesisir dan Perairan
Teluk Lasongko yang meliputi ekosistem hutan mangrove, ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu karang cukup mengkhawatirkan dimana hampir
setengahnya berada dalam kondisi rusak, utamanya ekosistem alami yang berada pada Kecamatan Lakudo, secara detail kondisi ekosistem pada lokasi penelitian
disajikan pada Tabel 8. Ekosistem mangrove di Kecamatan Lakudo hampir ditemui pada semua
desa pantai, hamparan yang terluas ditemui di Desa Matawine, Desa Moko, Desa Mone dan Desa Lolibu yang tumbuh pada substrat lumpur. Di luar desa terebut
perkembangan mangrovenya sangat terbatas karena tumbuh pada kawasan lumpur yang diapit oleh batuan massif. Di Kecamatan Mawasangka Timur, hutan
mangrove di temukan di Desa Bungi dengan hamparan yang luas, di luar desa Bungi beberapa jenis mangrove telah punah. Di dua kecamatan tersebut, Jenis
Mangrove yang dominan adalah R. stylosa, R. mucronata, S. alba dan B. gymnorhiza, Avicena sp, dengan diameter yang bervariasi antara 20 – 40 cm dan
kerapatan individu jumlah pohon 1000 m
2
bervariasi antara 1 – 5 individu. Kondisi mongrove pada umumnya sedang. Kondisi rusak terjadi pada situs
mangrove di Desa Wajo Gu, Desa Nepa Mekar, Desa BoneOge dan Desa Madongka. Kerusakan ekosistem ini pada umumnya disebabkan oleh kegiatan
penebangan baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk di jual sebagai kayu bakar.
Ekosistem padang lamun di Kecamatan Lakudo hampir ditemui pada semua desa, kecuali Desa Mone. Hamparan padang lamun terluas ditemukan di
69
Tabel 8. Kondisi Ekosistem Wilayah Pesisir Teluk Lasongko Dengan Basis Desa Pantai. Keadaan Tahun 2004
Sumber : Bappeda Kabupaten Buton, Tahun 2005. Keterangan : = Kondisi Rusak.
70
Desa Waara, Desa BoneOge dan Desa Lakudo. Di Kecamatan Mawasangka Timur, hamparan padang lamun terluas ditemukan di Desa Bungi, Desa Lasori
dan Desa Inulu. Jemis lamun yang dominan adalah E. accoroides dan T. hemprichii. Pada umumnya jenis hewan laut yang berasosiasi dengan jenis
lamun tersebut yang ditemukan adalah lencam, baronang, kapas-kapas, rajungan, bulu babi dan teripang. Kerusakan ekosistem ini pada umumnya diakibatkan oleh
penggunaan bom dan sianida. Ekosistem terumbu karang ditemukan secara sporadis pada semua desa.
Berdasarkan prosentase penutupannya, trumbu karang ini mengalami tekanan ekologis karena penggunaan bom dan sianida. Jenis yang dominan adalah Stone
coral, Massif coral, Soft coral dan Algae coral. 4.1.4. Kondisi Tekno Biologi
Kondisi tekno-biologi mengacu pada teknologi penangkapan yang dilakukan oleh nelayan setiap hari, berupa, cara, hasil, alat waktu sampai dengan
orientasi pemasaran secara umum, untuk menggambarkan karakteristik kegiatan perikanan tangkap nelayan pada lokasi penelitian.
Hasil wawancara dengan responden dan informan kunci dapat disimpulkan bahwa pada umumnya alat tangkap yang digunakan oleh nelayan adalah pancing,
jaring insang dasar, jaring insang hanyut dan bubu, sedangkan sero dan bagan sangat minim yang dioperasikan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Dari alat
tangkap yang digunakan, jenis ikan yang umum tertangkap adalah ikan karang konsumsi seperti layur, baronang dan kerapu serta ikan pelagis seperti kembung,
tembang, layang, dengan trip antara 15 sampai dengan 28 per bulan. Alat transportasi yang umum digunakan berupa sampan dan perahu dengan motor
tempel katinting dengan kapasitas antara 0,5 sampai dengan 1,5 ton. Perahu motor menggunakan mesin dengan daya antara 5,5 sampai dengan 40 pK. Dalam
melakukan operasi penangkapan alat bantu sering digunakan adalah lampupetromak dan kompresor. Tenaga kerja yang dilibatkan antara 1 – 5 orang,
umumnya adalah anggota keluarga nelayan yang proses pengupahannya tidak costly, kecuali dalam pengoperasian bagan yang sebagian besar di luar Teluk
71
Lasongko. Hasil tangkapan umumnya langsung dijual pada pasar lokal atau pedagang pengumpul. Sedangkan musim penagkapan mengalami puncaknya pada
musim timur dengan fishing ground pada pesisir teluk dan dalam wilayah perairan teluk lasongko. Gambaran umum kondisi tekno-biologi disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Kondisi Tekno Biologi Nelayan Wilayah Pesisir PerairanTeluk Lasongko Keadaan Tahun 2005
Kecamatan Tekno Biologi
Mawasangka Timur Lakudo
Alat Tangkap Pancing, Jaring Insang Dasar,
Bubu Pancing, Jaring Insang Dasar,
Bubu
Ikan Dominan yang tertangkap
Rajungan, Kerapu, Lencam, Selar, Teri, Tembang,
Layang, Tongkol, Baronang, Peperek, Kembung
Rajungan, Kakap, Lencam, Selar, Teri, Tembang,
Layang, Tongkol, Baronang, Peperek, Kembung
Alat Bantu LampuPetromak
LampuPetromak, kompresor Musim
Penangkapan Musim Timur
Musim Timur Trip per Bulan
15 - 28 15 - 25
Daerah Penangkapan
Pesisir dan Teluk Lasongko Teluk Lasongko
Jumlah Hasil TangkapanTrip
12 - 15 kg 4 – 100 kg
Tenaga Kerja 1 - 3 0rg
1 - 2 org GT Kapal
0,5 - 1,5 ton 0,5 - 1,5 ton
Bahan Bakar Minyak tanah dan solar
Minyak tanah dan solar Daya Mesin
5,5 - 26 pK 5,5 - 40 pK
Penanganan Dijual langsung
Dijual langsung Pemasaran
Lokal, Penampung Lokal, Penampung, Bau-Bau
Sumber : Hasil wawancara dan Publikasi Monografi Desa diolah Tahun 2006.
72
Berdasarkan penggambaran itu dapat dijelaskan bahwa karakteristik kegiatan penagkapan oleh nelayan pada wilayah penelitian tergolong perikanan
artisanal artisanal fisheries dengan skala kecil small scale fisheries. Menurut FAO Fisheries Glossary, perikanan artisanal adalah bentuk perikanan tradisionil
yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan dengan menggunakan modal dan energi dalam jumlah yang relatif kecil, kapal dengan kemampuan dan daya yang
relatif kecil, melakukan short fishing trip disekitar wilayah pesisir dan utamanya hasil yang diperoleh hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal. Dalam
prakteknya berbeda-beda antar negara tetapi perikanan artisanal dapat berupa perikanan subsisten maupun perikanan comercial tergantung orientasi
pemasarannya. 4.1.5. Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi
Kondisi demografi dan sosial ekonomi menggambarkan bagaimana karakteristik penduduk, infrastruktur dan sistem ekonomi serta lembaga-lembaga
interaksi sosial masyarakat nelayan pada Wilayah Pesisir Teluk Lasongko secara umum terjadi atau berlangsung.
Pada tahun 2004, jumlah penduduk pada lokasi penelitian adalah sebanyak 24.025 orang dengan jumlah laki-laki sebanyak 12.064 orang dan perempuan
sebanyak 12.021 orang Kabupaten Buton Dalam Angka 2004. Dari jumlah tersebut sex ratio adalah 1 yang berarti antara laki-laki dan perempuan jumlahnya
seimbang. Rata-rata pertumbuhan penduduk adalah 2,61 mendekati zero population growth yaitu 2 , artinya, anak yang dimiliki akan mengganti
jumlah ke dua orang tuanya. Hal ini menunjukkan keberhasilan dari program Keluarga Berencana BKKBN Kabupaten Buton 2004. Dari jumlah tersebut,
penduduk dengan profesi sebagai nelayan adalah sebanyak 1.446 orang. Berdasarkan pengalaman selama melakukan observasi, data penduduk
pada dua kecamatan ini menunjukkan kesimpang siuran. Berdasarkan informasi yang diperoleh secara informal, kecenderungan data penduduk mengalami
peningkatan sebagai akibat dari dinamika politis, dalam rangka upaya pemekaran kabupaten baru yang didalamnya termasuk dua kecamatan lokasi penelitian. Hal
73
ini sangat berpengaruh terhadap jumlah penduduk sebenarnya an sich jumlah nelayan. Dengan pertimbangan tersebut, estimasi jumlah penduduk didasarkan
pada hasil pendataan keluarga yang diselenggarakan tiap tahun oleh Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana Kabupaten Buton.
Hasil wawancara dengan responden dan informan kunci dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan kegiatan penangkapan nelayan menjual hasil
tangkapannya secara langsung pada pasar lokal atau pedagang perantara secara tunai. Periode antara hasil tangkapan didaratkan sampai terjual habis umumnya
satu hari. Sisa yang tidak terjual umumnya dikonsumsi sendiri atau diawetkan melalui proses pengeringan. Keberadaan teknologi untuk mempertahankan
tingkat kesegaran ikan masih dilakukan dengan melalui proses pendinginan dengan cara membeli langsung es balok dari pedagang perantara. Hari pasar
berlangsung dengan sistem bergilir antar lokal dan tiap hari. Bagi Desa yang berdekatan, lokal pasarnya disatukan. Hal ini selain untuk mempermudah proses
pertukaran, juga memiliki dampak positif bagi masyarakat antar desa dalam bersosialisasi. Untuk memenuhi kebutuhan pokok, nelayan memperolehnya dari
kios sembako atau koperasi dengan sistem tunai dan kredit. Peran koperasi sangat vital mengingat jangkauan distribusi barang ditempat ini belum tersentuh secara
maksimal. Armada transportasi darat sangat minim akibat infrastruktur jalan belum memadai.
Interaksi sosial dilakukan melalui pertemuan formal dalam bentuk Rapat Koordinasi Desa Rakordes tanggal 17 tiap bulannya jika bertepatan hari libur
dimajukan, pertemuan kelompok nelayan dan pelaksanaan kegiatan Pos Pelayanan Terpadu Posyandu. Pertemuan kelompok nelayan mendapatkan
pendampingan dari lembaga swadaya masyarakat yang dikelola melalui Proyek MCMA. Pertemuan secara informal dilakukan melalui majelis Taklim dan
kegiatan arisan yang diwadahi oleh Ibu-Ibu PKK maupun swakelola. Gambaran umum kondisi demografi dan sosial ekonomi disajikan pada Tabel 10.
74
Tabel 10. Gambaran Umum Kondisi Demografis Serta Sosial-Ekonomi Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Keadaan Tahun 2005
Kecamatan Item Deskripsi
Satuan Mawasangka
Timur Lakudo
Jumlah Penduduk orang
5.075 19.010
Pertumbuhan Penduduk 2,35
2,87 JumlahLaki-Laki
orang 2.487
9.577 Jumlah Perempuan
orang 2.588
9.433 Ratio Jenis Kelamin
LP 0,96
1,02 Kepadatan
org per km²
426 118 Jumlah Kepala
Keluarga KK 1.237
6.273 Jumlah Rumah Tangga
RT 981
3.736 Demografis
Jumlah Nelayan orang
352 1.194
Jumlah Pasar lokal
4 10
Hari Pasar per minggu
sistem Bergilir Bergilir
dan Tetap Jumlah Alat
Transportasi darat unit 1
2 Jumlah Alat
Transportasi Laut unit 4
8 Jumlah Jembatan
buah 4
6 Jumlah Pedagang
Pengumpul orang 4
4 Jumlah Kios
unit 3
14 Jumlah Koperasi
unit 2
2 Bantuan Program
paket PEMP
PEMP Ekonomi
Bantuan Proyek paket
MCMA, MCRMP,
Coremap MCMA,
MCRMP, Coremap
Rapat Koordinasi Desa Xminggu 2
4 Jumlah Majelis Taklim
Xminggu 4
10 Jumlah Kelompok
Nelayan kelompok
15 65 Sosial
Kegiatan Gotong Royong
event Jumat dan
Hari-hari Besar
Jumat dan Hari-hari
Besar Sumber : Hasil Wawancara dan Publikasi Monografi Desa diolah Tahun 2006.
75
4.1.6. Kondisi Sosio Kultural