Latar Belakang Masalah Respon masyarakat sekitar Kampus Al-Mubarok Parung Bogor Jawa Barat terhadap Ahmadiyah

BAB I PENDAHULUAN

E. Latar Belakang Masalah

Kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh undang-undang. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk memeluk agama yang diyakininya dan berhak untuk menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya tersebut. Agama yang diakui oleh negara berjumlah 6, yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, Konghuchu. Selain enam agama tersebut, juga terdapat beberapa aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. 9 Sejak awal Orde Baru hingga sekarang, dialog antar umat beragama, yang diprakarsai pemerintah memang sudah cukup intens dilakukan. Secara kuantitatif, paling tidak dalam kurun 1972-1977, tercatat paling sedikit 21 kali dialog yang dilakukan di 21 kota. Seperti telah diketahui, dalam rangka membina dan memelihara kerukunan antar umat beragama di Indonesia, pemerintah berupaya mencarikan jalan keluar bagi kebuntuan hubungan umat beragama ini dengan memfungsikan pranata-pranata agama sebagai media penyalur gagasan dan ide. Salah satu pranata agama yang selama ini diandalkan adalah peran tokoh-tokoh agama. Harus diakui bahwa tokoh-tokoh agama ini mempunyai kedudukan dan 9 Di Negara Indonesia hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945: 1. UUD 1945 Pasal 28E, ayat 1 Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, ayat 2 Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. 2. UUD pasal 29 ayat 2 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 3. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 ayat 1 Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat 2 Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. pengaruh besar di tengah-tengah masyarakatnya, karena mereka mempunyai beberapa kelebihan yang dimiliki, baik dalam ilmu pengetahuan, jabatan, keturunan dan lain sebagainya. Tokoh agama juga merupakan pemimpin informal dalam masyarakatnya, dan secara umum mereka tidak diangkat oleh pemerintah, tetapi ditunjuk atas kehendak dan persetujuan dari masyarakat setempat. 10 Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki bermacam-macam aliran yang awal mulanya berasal dari suasana politis saat terjadi peristiwa arbitrase antara Ali dan Mu’awiyah. Hingga kini, berbagai aliran yang ada di Indoenesia tumbuh dan memiliki pengikut di daerah-daerah. Salah satu aliran dalam Islam yang ada di Indonesia adalah Jamaah Ahmadiyah yang kemudian mendapat fatwa sesat oleh MUI Majlis Ulama Indonesia. Faktor yang menjadi latar belakang berdirinya jemaat Ahmadiyah adalah keadaan dunia menjelang lahirnya Ahmadiyah diliputi berbagai keburukan, immoralitas dan mementingkan urusan keduniawian dari pada agama. Tujuan Ahmadiyah didirikan untuk memperbaiki kehidupan agama orang-orang Islam dan mempersatukan umat Islam. 11 Menyebabkan orang-orang Ahmadiyah itu begitu rusak akhlaknya disebabkan dua hal: 1. Karena akidahnya rusak 2. Terlalu mencintai dunia 10 M. Amin Nurdin, Strategi Kerukunan Antarumat Beragama Berbasis Teknologi Informasi , artikel dipresentasikan pada Rapat Koordinator Menko Kesra RI, Februari 2008 11 M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah Pembajakan al-Qur’an Jakarta: LPPI, 2005, Cet. Ke-6, h. 195 Karena dua hal inilah sehingga timbul pergaduhan sesama mereka, saling mengumpat, saling curiga mencurigai, saling hasud dan iri hati dan saling mau cari publisitas dan pengaruh. 12 Ajaran Ahmadiyah yang menyimpang terutama 3 hal: 1. Penyaliban Nabi Isa 2. Al-Mahdi yang dijanjikan akan muncul di akhir zaman 3. Penghapusan kewajiban berjihad Ahmadiyah berpendapat bahwa Nabi Isa tidak meninggal di kayu salib, melainkan setelah kebangkitannya kembali ia hijrah ke Kasymir untuk mengajarkan Injil. Di sini dia meninggal dalam usia 120 tahun dan makamnya hingga sekarang menurut mereka, masih di Srinagar. 13 Pro kontra pelarangan Ahmadiyah terus bergulir. Setelah diberi kesempatan selama 3 bulan, ternyata tidak ada yang berubah dari Ahmadiyah. Ahmadiyah dinilai tidak konsisten dengan 12 butir pernyataan yang sebelumnya disepakati Ahmadiyah. Akhirnya Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat Bakor Pakem Kejaksaan Agung merekomendasikan Ahmadiyah untuk menghentikan aktivitas. Pihak yang pro terhadap pelarangan Ahmadiyah sebagian besar berpijak pada HAM, terutama kebebasan berkeyakinan dan beragama. Beberapa argumentasi pembela Ahmadiyah tentu saja perlu dikritisi. Pertama, melarang Ahmadiyah dianggap telah melanggar HAM dan UUD 1945. Dalam UUD 1945 kebebasan berkeyakinan ini dijamin konstitusi. Menurut 12 Ahmad Hariadi, Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah Qodiyan Singapura: PERIPENSIS, 1987, Cet. Ke-1, h. 24 13 Sir Muhammad Iqbal, Islam dan Ahmadiya, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, Cet. Ke-1, h. vii konstitusi, kebebasan meyakini kepercayaan sesuai hati nurani adalah merupakan hak asasi manusia. Ia juga merupakan hak konstitusional warga, yang harus dilindungi dan dibela negara. Namun, hak itulah yang sekarang dicopot negara dari warga Ahmadiyah dengan cara menghentikan aktivitas Ahmadiyah. Sebuah perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai melanggar HAM dan juga konstitusi. Argumentasi di atas seakan-akan benar. Namun yang terkesan dilupakan bahwa dalam Bab XA tentang HAK ASASI MANUSIA pasal 28 J point 2 tertulis: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan utnuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hal yang sama dijelaskan dalam pasal 29 Duham, pasal 18 ICCPR. Artinya, pelaksanaan HAM bukanlah tanpa batas. Negara bisa melakukan intervensi atau melarang dengan pertimbangan nilai-nilai agama. Karena masalah Ahmadiyah adalah persoalan agama Islam, maka pertimbangan nilai-nilai agama Islam patut diperhatikan dan dijadikan rujukan oleh negara. Dalam pertimbangan Islam, perkara Ahmadiyah ini sudah jelas, merupakan paham kufur yang menyimpang dari Islam. Penting juga dibedakan antara kebebasan beragama dengan kebebasan menodai agama. Untuk perkara yang pertama, negara memang sudah seharusnya memberikan jaminan. Namun bukan pula berarti memberikan jaminan terhadap kebebasan menodai dan menghina agama. Antara kebebasan beragama dan kebebasan menodai agama tidak dibedakan atas nama HAM. Sangat mungkin dengan mengatasnamakan keyakinannya sekelompok orang salat bukan menghadap kiblat, tapi ke arah Monas, salat dengan dua bahasa. Kalau berdasarkan keyakinan berarti tidak bisa dilarang, sungguh mengerikan. Kalau logika di atas diikuti apa yang dilakukan oleh Wilders, Salman Rushdie, yang menghina Islam tidak bisa disalahkan. Muncul anggapan kalau Ahmadiyah dilarang oleh negara, berarti negara telah mengadopsi penafsiran tunggal, dengan kata lain negara melakukan monopoli penafsiran. Hal ini patut dipertanyakan, sebab dalam banyak hal, negara memang melakukan monopoli. Dalam logika demokrasi, monopoli negara ini sah- sah saja, jika hal tersebut merupakan aspirasi masyarakat banyak yang kemudian ditetapkan oleh undang-undang. MUI juga bukan sendiri, kesesatan Ahmadiyah telah ditetapkan oleh Rabithah Alam Islamy . Referensi utama Islam mu’tabar dalam kitab tafsir, fiqh, aqidah maupun syariah yang menjadi rujukan di pesantren-pesantren tidak satupun yang membenarkan penilaian Ahmadiyah bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah Nabi dan ada nabi baru setelah Muhammad saw. Pandangan ini hanyalah pandangan pendukung Ahmadiyah saja. Jadi keliru kalau ini dikatakan monopoli penafsiran MUI. Larangan terhadap Ahmadiyah baik oleh MUI atau Negara telah menyebabkan kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah. Logika ini seperti ini mengabaikan fakta bahwa terjadinya kekerasan justru karena negara tidak bersikap tegas terhadap Ahmadiyah yang menyebabkan sebagian masyarakat tidak sabar . Di sinilah letak penting negara harus segera melarang Ahmadiyah. Justru untuk menghindari tindakan kekerasan. Ada anggapan apa yang diyakini oleh Ahmadiyah tidak berbahaya, karena tidak pernah merusak secara fisik dan melakukan tindakan kriminalitas. Berbahaya tidaknya sesuatu tidaklah selalu ditunjukkan oleh tindakan fisik. Melakukan fitnah, menghina, bukanlah kekerasan fisik, tapi tindakan tersebut sangat berbahaya dan juga dianggap tindakan kriminal. Dalam pandangan Islam, masalah Ahmadiyah ini adalah persoalan aqidah. Sementara masalah aqidah adalah masalah yang paling pokok dalam Islam. Pengakuan nabi Palsu jelas akan merusak aqidah umat Islam. Termasuk menghina Rosulullah, menghina Al Qur’an adalah perkara penting karena berhubungan dengan aqidah. Karena sudah seharusnya pemerintah bertindak tegas, kalau tidak apa yang dikhawatirkan seperti konflik horizontal akan semakin membesar dan berlarut-larut. 14 Sebagai aliran keagamaan yang mendapatkan label sesat dari MUI, Jamaah Ahmadiyah tetap saja masih mempunyai pengikut setia. Keberadaan aliran ini meskipun membuat resah sebagian masyarakat, tetapi masih mendapatkan simpati dari sebagian masyarakat yang lain. Lantas, bagaimana dengan masyarakat yang berada di sekitar kampus Al-Mubarok Parung, yang menjadi pusat kegiatan Jemaah Ahmadiyah? Apakah masyarakat merasa terganggu dan terpengaruh keagamaan mereka dengan adanya Jemaah Ahmadiyah? Dari pemaparan tersebut di atas, penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul “ RESPON MASYARAKAT SEKITAR KAMPUS AL-MUBAROK PARUNG BOGOR JAWA BARAT TERHADAP AHMADIYAH .

F. Batasan dan Rumusan Masalah