Upaya Penanganan Masalah Tentara Anak di Myanmar Sebelum Joint

49 mulai berlaku tahun 2002 yang berisi tentang perluasan kewajiban negara untuk mengakhiri perekrutan yang tidak legal dan penggunaan tentara anak. PBB melakukan inisiasi protokol tersebut sebagai langkah lanjut untuk mengikat Myanmar dalam aturan internasional dalam penyelesaian tentara anak di negaranya. Selain itu, perihal perlindungan anak juga tercantum pada International Labour Organization Convention Konvensi ILO No. 182 yang berisi tentang the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour Pelarangan dan Tindakan Segera Terhadap Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Pada anak. Konvensi ILO No. 182 ini berisi tentang pelarangan perekrutan anak secara paksa atau diwajibkan, yang nanti anak tersebut akan diikutsertakan ke dalam konflik bersenjata. 93 Seperti yang diprediksi, Myanmar tidak bersedia meratifikasi konvensi ini khususnya No. 182. Myanmar menunjukkan respon tegas untuk menolak pelarangan dan penghapusan bentuk pekerjaan terburuk pada anak. Penolakan Myanmar ini menjelaskan bahwa pihaknya masih tetap melakukan perekrutan tentara anak. Meskipun beberapa upaya tersebut telah dilakukan, nyatanya tidak membuat Myanmar meminimalisir perekrutan tentara anak karena berdasarkan laporan Country Task Force on Monitoring and Reporting bahwa dari April 2009 sampai Desember 2012, TatmadawKyi telah merekrut kurang lebih 448 anak di bawah umur. Pada tahun 2009 jumlah anak yang direkrut sebanyak 148, tahun 93 http:www.ohchr.orgENProfessionalInterestPagesOPACCRC.aspx diakses pada tanggal 18 April 2015 50 2011 sebanyak 63 dan tahun 2012 setidaknya ada 18 anak. Sedangkan 67 kasus perekrutan dilakukan sebelum adanya kesepakatan mekanisme pelaporan. Untuk sisanya ada 135 kasus namun informasi mengenai periode perekrutan tidak tersedia. Disamping itu sedikitnya 12 kasus perekrutan di bawah umur juga dilaporkan kepada Country Task Force on Monitoring and Reporting pada tahun 2012. 94 Hal inilah yang kemudian mendasari UNICEF untuk melakukan pembaharuan Joint Action Plan yang telah ada sejak 2007 dan melakukan negosiasi kembali dengan Myanmar. Pada akhirnya, Myanmar bersedia menandatangani Joint Action Plan tersebut pada bulan Juni 2012. Penandatanganan Joint Action Plan ini dipimpin oleh UNICEF dan dihadiri oleh Special Representative on Children and Armed Conflict untuk berkomitmen mengakhiri dan mencegah kembali perekrutan dan penggunaan anak-anak dikelompok militer Tatmadaw Kyi dan BGFs. Kedua belah pihak sepakat untuk dapat mengatasi masalah ini selama 18 bulan setelah perencanaan ditandatangani. 95 Joint Action Plan ini ditandatangani di ibukota Nay Pyi Taw oleh Mayor Jenderal Ngwe Thein Kepala Direktorat Kekuatan Militer dari Kementerian Pertahanan, Mayor Jenderal Tin Maung Win Wakil Ajudan Jenderal angkatan bersenjata Myanmar, Koordinator kependudukan PBB di Myanmar, Ashok Nigam dan Perwakilan PBB yaitu Mr. Ramesh Shrestha. Penandatanganan ini 94 http:daccess-dds-ny.un.orgdocUNDOCGENN1328364PDFN1328364.pdf?OpenElement diakses pada tanggal 7 Mei 2014 95 http:daccess-dds-ny.un.orgdocUNDOCGENN1328364PDFN1328364.pdf?OpenElement diakses pada tanggal 8 Mei 2014 51 disaksikan oleh Letnan Jenderal Hla Min, dan Radhika Coomaraswamy, Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB perihal anak dan konflik bersenjata. 96 Penandatanganan Joint Action Plan ini menandakan adanya itikad baik dari Myanmar untuk bekerjasama menghentikan dan mencegah perekrutan tentara anak. Kedua belah pihak menyetujui sejumlah gagasan dalam Joint Action Plan yang akan mempercepat penyelesaian masalah tenatara anak.

4.2 Upaya UNICEF Melalui Joint Action Plan Dalam Mengatasi Perekrutan

dan Penggunaan Anak Ke Dalam Tentara Penandatanganan Joint Action Plan pada tahun 2012 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan titik pencerahan untuk penyelesaian perekrutan tentara anak di Myanmar yang telah berlangsung sejak lama.UNICEF dan Country Task Force on Monitoring and Reporting CTFMR yang terdiri dari beberapa badan-badan khusus dan agen-agen khusus PBB yaitu United Nations Development Programme UNDP, United Nations High Commissioner for Refugees UNHCR, United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs UNOCHA, United Nations Population Fund UNFPA, World Food Programme WFP, dan International Labour Organization ILO, United Nations Education, Scientific, and Cultural Organization UNESCO, Save the Children sepakat untuk bekerja sama dengan Myanmar bahwa anak tidak seharusnya dan tidak akan lagi menjadi sasaran rekrut oleh Tatmadaw Kyi dan BGFs. 97 96 Myanmar and UN sign landmark plan of action to release children from armed forces http:www.unicef.orgmediamedia_65180.html 97 http:www.unicef.orgmediamedia_65180.html diakses pada tanggal 19 Maret 2014 52 Kedua belah pihak juga setuju untuk melakukan pembebasan anak dari tentara dan mengembalikan anak-anak tersebut kepada keluarga dan komunitasnya sehingga mereka dapat melakukan aktivitas anak pada umumnya, seperti sekolah dan merasakan hidup yang layak. Karena aktivitas militer yang melibatkan anak di bawah umur merupakan pelanggaran HAM berat termasuk penculikan, pelecehan, dan kekerasan yang terjadi di dalamnya. Joint Action Plan ini merupakan kepanjangan tangan program UNICEF untuk segera menyelesaikan masalah tentara anak di Myanmar secara khusus. Penandatanganan Joint Action Plan ini bersifat prospektif dalam menengahi segala bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia secara khusus yang terjadi pada anak di bawah umur. Di dalam kerangka Joint Action Plan ini UNICEF menerapkan strateginya untuk melakukan reintegrasi tentara anak dan bekerjasama dengan berbagai organisasi internasional untuk turut serta membantu dalam rangka penghentian perekrutan tentara anak. Dalam Joint Action Plan ini pula ditekankan bahwa Myanmar harus bersedia dipantau dan diawasi segala bentuk kegiatan di dalam angkatan militernya. Hal ini tentunya menunjukkan bahwa Joint Action Plan bekerja sebagai kerangka dan sekaligus media bagi upaya UNICEF. Sebagai organisasi internasional, UNICEF memiliki tanggung jawab besar tidak hanya memonitor permasalahan tentara anak tetapi juga untuk menyelesaikan kemudian mencegah kembali perekrutan tentara anak di negara anggotanya. Upaya UNICEF dalam masalah tentara anak menentukan prospek kehidupan yang bersifat humanis dan manusiawi bagi anak di bawah umur. 53 Terdapat hak-hak yang sudah seharusnya diperoleh oleh anak di bawah umur untuk hidup layak, bebas dari ancaman, berpendidikan dan mendapat perlindungan. Peristiwa-peristiwa perekrutan, penggunaan, pembunuhan, penculikan anak merupakan bukti bahwa terjadi pelanggaran hak asasi manusia secara masif di Myanmar. Perampasan hak individu selalu menjadi pusat perhatian internasional karena isu kemanusiaan bersifat universal. Keamanan kemanusiaan sudah menjadi tanggung jawab bersama masyarakat internasional sehingga penyelesaian masalah kemanusiaan ini memerlukan campur tangan pihak lain diluar negara. Seperti yang dijelaskan dalam konsep Human Security bahwa Human Security ini mencakup adanya jaminan kehidupan dengan adanya hak asasi terkait dengan sosial, politik, ekonomi, hak memperoleh pendidikan, kesehatan dan keamanan. Pelanggaran dan kekerasan yang terjadi di Myanmar secara jelas menunjukkan bahwa jaminan hidup masyarakat Myanmar masih tergolong kritis. Keadaan Myanmar secara internal tidak menyediakan rasa aman dan sejahtera bagi rakyatnya. Secara dominan, masyarakat akan selalu merasa terancam dengan kekerasan dan pelanggaran yang sering terjadi. Disaat yang bersamaan, prospek Myanmar untuk menjadi negara yang aman dan jauh dari konflik belum terwujud. Adanya rasa tidak aman dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Myanmar menghasilkan suatu pola pelanggaran Hak Asasi Manusia. Negara sebagai penyelenggara pemerintahan sudah seharusnya menjamin hak 54 asasi manusia rakyatnya bukan menjadi sumber dari pelanggaran hak asasi manusia itu sendiri. Penegakkan Human Security ini tentunya tidak dapat dilakukan secara paksa. Kekuatan militer dan senjata bukan cara terbaik untuk menerapkan Human Security . Perlu adanya kepanjangan tangan aktor internasional, misalnya organisasi internasional untuk ikut serta menyelesaikan masalah kemanusiaan yang universal ini. Korban dari kekerasan dan pelanggaran di Myanmar memang bersifat individual, tetapi konsep Human Security menegaskan bahwa kemanusiaan bersifat People-Centred, namun bukan berarti penyelesaiannya pun bersifat individualis. Kajian ini memfokuskan kembali poin penting upaya UNICEF sebagai organisasi internasional. Seperti yang dijelaskan dalam kerangka pemikiran, organisasi internasional memiliki 3 fungsi yaitu salah satunya sebagai aktor. Dalam sistem internasional, aktor memegang peran penting untuk menjalankan hubungan dengan aktor lainnya. Eksistensi dan tindakan aktor dalam sistem internasional; dalam hal ini adalah organisasi internasional, tidak terlepas dari tujuan organisasi tersebut. Dilihat dari tujuannya, UNICEF memiliki tujuan besar yakni mereformasi standar kualitas hidup anak-anak khususnya di negara berkembang sesuai dengan isi yang tertera pada Konvensi Hak-Hak Anak 1989. UNICEF juga memiliki otoritas yang bersifat persuasif untuk secara mendasar mempengaruhi proses formulasi kebijakan atau keputusan pemerintah suatu negara. Selain permasalahan