Eksistensi Serikat Pekerja Dalam Pembuatan dan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama Guna Mendukung Produksi dan Produktivitas Kerja
EKSISTENSI SERIKAT PEKERJA DALAM PEMBUATAN
DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA
GUNA MENDUKUNG PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS
KERJA
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
VANIA ISURA SITEPU 060200300
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA / HUKUM PERBURUHAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
EKSISTENSI SERIKAT PEKERJA DALAM PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA GUNA MENDUKUNG PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS KERJA
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
VANIA ISURA SITEPU 060200300
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA / HUKUM PERBURUHAN
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara
DR. Pendastaren Tarigan, SH, MS NIP:19540912184031001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. DR. Budiman Ginting SH, M.Hum Dr. Agusmidah, SH. M.Hum NIP: 195905111986011001 NIP: 197608162002122002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan kasihNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah:
“Eksistensi Serikat Pekerja Dalam Pembuatan dan Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Bersama Guna Mendukung Produksi dan Produktivitas Kerja”
Penulis menyadari bahwa “Tak Ada Gading Yang Tak Retak”, demikian pula skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dan juga dapat menyempurnakan skripsi ini.
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan,
2. Bapak Prof. DR. Suhaidi, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan,
3. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS , selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, 4. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum. selaku Ketua Hukum
(4)
sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah menyediakan waktu untuk memberi saran dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini,
5. Ibu Dr. Agusmidah, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah menyediakan waktunya untuk membimbing dan memberikan bantuan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini,
6. Bapak Sutiarnoto, SH, M.Hum. selaku Dosen Wali penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan ini,
7. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Dosen (khususnya: Pak Bukit, Pak Jelly, Pak Yusrin, Pak Arif, Pak Hayat, Bu Rafiqoh, Bu Ningsih) serta para pegawai dan staff yang membantu segala urusan perkuliahan dan administrasi penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, 8. Teristimewa untuk orangtuaku tersayang Bapak Simbela Sitepu dan Ibu
Inganlit br. Tarigan yang telah merawat, memberikan doa dan mendidik penulis untuk menjadi pribadi yang Takut akan Tuhan,
9. Kakak-kakakku, Susan Octarina Sitepu, SH dan Erin Karina Sitepu, SE untuk contoh yang diberikan kepada penulis, yang mampu memberi inspirasi untuk membanggakan kedua orang tua penulis, begitu juga dengan abang iparku Darma Perangin-angin terima kasih atas dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
10. Keluarga Besar Sitepu (Ribu, Bi Itha dan Kila David yang selalu mampu memberi semangat) dan Tarigan (Laki, Karo, Mamatua, Patengah, Pauda dan bibi-bibiku yang selalu memberi motivasi), Sepupu-Sepupuku (Ryan, Pingkan, Agi, Ocky, Angga, Aan, Ira, k’Ayu, B’boy, B’Ian, Kiki, Aurel,
(5)
Tia, Ricky, Rendi, Haga, K’Pipin, Natalie, Josua, Eka, Gaby, Kevin, Obed, Via, Mira) untuk dukungan sebagai keluarga sekaligus teman bagi penulis. 11. Orang-orang yang telah meninggalkan penulis, Alm. Bolang Lona (Semoga
nia bisa buat papa bangga seperti janji nia di umur 17 nia), Alm. Pak Chris dan Alm. Pak Darma untuk kehadiran di waktu-waktu terberat.
12. Sahabat-sahabatku, teman-teman SMP (Yoke, Via, Sarah, Grace, Bonar, Abed, Ary, Imo, Monang), dan SMA (Ina, Aci, Castri, Ipiq, Sandra, Danta, Gigih, Deni, Divan, Novandi, Anti Ipa dan seniorku, anak MOEL CAMP ) 13. Teman-teman seperjuanganku di Fakultas Hukum, Mita dan Desi untuk
kebersamaan selama 4 tahun ini, Yuni, Jeni, Astrya, Vani, Ela, Perista, Dewi, Vera, Dani, Rommy, Agnes, Ade, Fitri, Yaya dan teman-teman ’06 lainnya, seniorku, b’Polda, b’Rico, b’Erick, serta teman-teman PERMAHI, terima kasih atas dukungan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
14. Yang selalu menghibur dan menguatkanku, Rekan-rekan Permata Sion, khususnya: b’Guntur, Friska, Putra, Iyan, Fani, B’Pison untuk waktu, doa, semangat, dan segala bantuan selama penulisan skripsi ini. Terima kasih, Terima Kasih dan Terima Kasih.
Akhir kata, Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk semua pihak, Semoga Tuhan selalu memberkati kita semua.
Penulis,
(6)
ABSTRAK
Serikat Buruh/Pekerja sebagai wadah perjuangan aspirasi bagi segenap kaum buruh/pekerja memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan kaum buruh/pekerja dalam dunia ketenagakerjaan, khususnya dalam pembuatan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama yang memuat pengaturan syarat2kerja,serta hak dan kewajiban yang sering dianggap sebagai sebuah formalitas yang dalam pelaksanaanya ditemukan kendala, baik dari pihak pekerja maupun dari pihak pengusaha. Pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama pada prinsipnya telah berjalan dengan baik meskipun ada beberapa kesepakatan yang tidak dilaksanakan kedua belah pihak. Tidak terlaksananya kesepakatan oleh kedua belah pihak tersebut sebaiknya tidak sampai menimbulkan perselisihan hubungan kerja karena selalu mampu diselesailkan secara musyawarah untuk mufakat. Kurang optimalnya peranan Serikat Pekerja dalam memperjuangkan hak- hak pekerja, Ketidaktahuan dan masih kurangnya kepedulian pekerja terhadap hak-hak sebagai pekerja, serta Sumber Daya Pekerja yang rendah merupakan hambatan dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama. Reaksi dari pemerintah dengan menetapkan Kepmenakertrans No.48 Tahun 2004 jo Permenakertrans No.8 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama, merupakan bukti bahwa Pekerja/Buruh berhak untuk menyampaikan aspirasinya di dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama.
(7)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
ABSTRAK... iv
DAFTAR ISI... v
Bab I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 6
C. Tujuan Penelitian………... 6
D. Manfaat Penelitian……….... 7
E. Keaslian Penulisan……….... 7
F. Tinjauan Kepustakaan………... 8
G. Metodologi Penelitian………... 11
H. Sistematika Penulisan………... 13
Bab II : SEJARAH SERIKAT PEKERJA DI INDONESIA A. Serikat Pekerja di masa Kolonial Belanda (1920an)... 16
B. Serikat Pekerja Setelah Kemerdekaan (1945-1959)………... 21
C. Serikat Pekerja di Masa Orde Baru (1970-1998)…………... 27
D. Serikat Pekerja di masa Reformasi (1998-sekarang)……... 34
Bab III : PERAN SERIKAT PEKERJA DALAM PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA A. Perjanjian Kerja Bersama... 41
1. Pengertian Perjanjian Perburuhan/ Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)/ Perjanjian Kerja Bersama (PKB)... 42
2. Para Pihak yang membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB)... 44
3. Masa Berlakunya Perjanjian Kerja Bersama... 45
4. Perbedaan antara Perjanjian Kerja dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Tabel 1... 47
5. Hubungan antara Perjanjian Kerja dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)... 48
B. Sejarah Perjanjian Kerja Bersama dalam Peraturan Ketenagakerjaan 1. KUHPerdata... 50
2. Kep.Men-48 / MEN / IV / 2004... 54
C. Peran Serikat Pekerja dalam Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama 1. Hubungan Kerja... 56
(8)
Tabel 2... 60 2. Negoisasi dalam Proses Perjanjian Kerja Bersama... 61 D. Peran Serikat Pekerja dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Bersama... 67
Bab IV : EKSISTENSI SERIKAT PEKERJA DALAM PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA GUNA MENDUKUNG PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS KERJA
A. Pengertian Produksi dan Produktivitas……… 70 B. Peranan Perjanjian Kerja Bersama dalam Mendukung Produksi
dan Produktivitas Kerja di Perusahaan………. 73 C. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat dalam meningkatkan Produksi dan Produktivitas Kerja di Perusahaan……….. 76
Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………... 80
B. Saran………. 81
(9)
ABSTRAK
Serikat Buruh/Pekerja sebagai wadah perjuangan aspirasi bagi segenap kaum buruh/pekerja memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan kaum buruh/pekerja dalam dunia ketenagakerjaan, khususnya dalam pembuatan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama yang memuat pengaturan syarat2kerja,serta hak dan kewajiban yang sering dianggap sebagai sebuah formalitas yang dalam pelaksanaanya ditemukan kendala, baik dari pihak pekerja maupun dari pihak pengusaha. Pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama pada prinsipnya telah berjalan dengan baik meskipun ada beberapa kesepakatan yang tidak dilaksanakan kedua belah pihak. Tidak terlaksananya kesepakatan oleh kedua belah pihak tersebut sebaiknya tidak sampai menimbulkan perselisihan hubungan kerja karena selalu mampu diselesailkan secara musyawarah untuk mufakat. Kurang optimalnya peranan Serikat Pekerja dalam memperjuangkan hak- hak pekerja, Ketidaktahuan dan masih kurangnya kepedulian pekerja terhadap hak-hak sebagai pekerja, serta Sumber Daya Pekerja yang rendah merupakan hambatan dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama. Reaksi dari pemerintah dengan menetapkan Kepmenakertrans No.48 Tahun 2004 jo Permenakertrans No.8 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama, merupakan bukti bahwa Pekerja/Buruh berhak untuk menyampaikan aspirasinya di dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama.
(10)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kedudukan buruh yang lemah membutuhkan suatu wadah supaya menjadi kuat. Wadah itu adalah adanya pelaksanaan hak berserikat dan berkumpul di dalam suatu Serikat Pekerja / Serikat Buruh. Tujuan dibentuknya Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah menyeimbangkan posisi buruh dengan majikan. Melalui keterwakilan buruh di dalam Serikat Pekerja / Serikat Buruh, diharapkan aspirasi buruh dapat sampai kepada majikan. Selain itu, melalui wadah Serikat Pekerja / Serikat Buruh, diharapkan akan terwujud peran serta buruh dalam proses produksi. Hal ini merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hubungan industrial di tingkat perusahaan.1
Di dalam proses produksi barang dan jasa sedikitnya terdapat 2 (dua) pihak yang terlibat yaitu pengusaha dan pekerja di perusahaan.2
“Serikat Pekerja / Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja / buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kewajiban
Untuk menjamin kelancaran proses produksi tersebut diperlukan adanya pengaturan hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh, semakin di dapat gambaran yang jauh lebih jelas dari kapasitas Serikat Pekerja / Serikat Buruh dalam dunia ketenagakerjaan, yang mana dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa:
1
Asri Wijaya, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009), hal. 77.
2
Pedoman Peraturan Perusahaan, (Jakarta: Direktorat Persyaratan Kerja, Direktorat
Jendral Pembinaan Hubungan Industrial departeman Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005), hal.1.
(11)
pekerja / buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja / buruh dan keluarganya.3
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000, tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh didasarkan pada Pasal 28 E perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi ILO (Internasional Labour Organization) Nomor 98 Tahun 1949, tentang Hak Berorganisasi dan Kemerdekaan berserikat di ratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956, tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 Tahun 1949 mengenai Berlakunya Dasar- Dasar daripada Hak untuk berorganisasi dan untuk Berunding Bersama. Dengan telah diratifikasinya Konvensi ILO Nomor 98 Tahun 1949, tentang Hak Berorganisasi dan Kemerdekaan Berserikat serta diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000, tentang Serikat Keberadaan Serikat Pekerja/Buruh saat ini lebih terjamin dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor3898). Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000, kedudukan Serikat pekerja/Buruh secara umum hanyalah dianggap sebagai kepanjangan tangan atau boneka dari majikan, yang kurang meneruskan aspirasi anggotanya. Hal ini karena pada masa Orde Baru, Serikat Pekerja/Buruh hanya diperbolehkan satu, yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Pada Masa Reformasi, setelah adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000, dimungkinkan dibentuk Serikat Pekerja/Buruh lebih dari satu di dalam satu perusahaan.
3
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekeja / Serikat Buruh.
(12)
Pekerja/Serikat Buruh, maka bidang perburuhan sesungguhnya telah berubah secara radikal. Yang dimaksud Radikal ialah amat keras menuntut perubahan,4
Fungsi Serikat Pekerja / Buruh selalu dikaitkan dengan hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang atau jasa yang meliputi pengusaha, pekerja dan pemerintah.
yaitu berupaya keras menuntut perubahan bidang perburuhan kearah yang lebih baik.
5
1. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
Adapun fungsi dari serikat Pekerja/Buruh seperti yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) ialah:
2. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama dibidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
3. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
5. Sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 6. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham
di perusahaan.
4
KH.Muhamad Najih, Radikal Antara Pro dan Kontra, Sarang 2009.
5
Sentanoe Kertonegoro, Hubungan Industrial, Hubungan Antara Pengusaha dan
Pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), 1999, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta,
(13)
Dalam Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama, Serikat Pekerja/Buruh melakukan negoisasi dengan pengusaha/organisasi pengusaha untuk memperjuangkan hak-hak Buruh, seperti: upah yang layak, jaminan sosial yang memadai, pemenuhan hak-hak cuti, pembayaran lembur yang sesuai serta hak-hak pekerja lainnya yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Sedangkan di dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama, Serikat Pekerja/Buruh harus dapat memberikan informasi dan menjelaskan hak dan kewajiban anggota kepada anggotanya serta mewakili/mendampingi anggota.
Perjanjian Kerja Bersama sebagai salah satu Prasarana yang paling penting untuk peningkatan produksi dan produktivitas . Sering kali dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama tidak sesuai dengan apa yang tertulis dalam perjanjian, tidak terlaksananya PKB baik yang dilakukan oleh Pengusaha maupun Pekerja berdampak pada terjadinya perselisihan hubungan industrial, baik terjadi karena perbedaan penafsiran pasal-pasal yang ada dalam PKB maupun karena ketidakmampuan para pihak untuk melaksanakan isi PKB. Dampak itu dapat positif atau negatif . Berdampak positif apabila hubungan industrial itu berjalan dengan baik dan tercapai tujuannnya. Sebaliknya akan berdampak negatif apabila hubungan industrial itu gagal mencapai tujuannya.
Tujuan dari hubungan industrial pada dasarnya terkait dengan subjek hukum dalam hubungan industrial, yaitu meningkatkan produktivitas, kesejahteraan dan stabilitas nasional yang mantap. Meningkatkan produktivitas adalah tujuan utama dari majikan dalam mendirikan suatu usaha. Produktifitas yang meningkatkan akan menghasilkan keuntungan. Adanya keuntungan dari hasil proses produksi diharapkan dapat dikembalikan kepada buruh guna
(14)
meningkatkan kesejahteraannya. Peningkatan kesejahteraan merupakan tujuan utama semua buruh guna pemenuhan kebutuhan hidupnya. Apabila terjadi peningkatan kesejahteraan, secara otomatis penghasilan buruhpun mengalami peningkatan, sehingga akan tercipta ketenangan bekerja. Suasana yang tenang dalam proses produksi karena telah terjadi peningkatan produktifitas dan peningkatan kesejahteraan akan berdampak positif bagi masyarakat sekitarnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Adanya ketenangan usaha memperkecil terjadinya perselisihan perburuhan. Di sisi lain, akan menimbulkan stabilitas nasional yang baik, yang selalu diharapkan oleh pemerintah bagi suksesnya pembangunan ekonomi.6
6
Asri Wijaya, op cit, hal.90.
Melalui Latar Belakang di atas mengenai Serikat Pekerja / Serikat Buruh dan peranannya dalam Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama diharapkan para pelaku proses produksi barang dan jasa memahami dan melaksanakan tata cara pembuatan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama dengan baik dan benar agar terhindar dari berbagai kemungkinan kesewenang-wenangan dan tindakan merugikan dari pihak yang satu terhadap pihak yang lain dalam hal pelaksanaan hak dan kewajiban Pekerja / buruh dan Pengusaha, serta tidak hanya merupakan Formalitas belaka tetapi merupakan jembatan yang menjadikan buruh / pekerja dengan majikan / pengusaha sebagai mitra kerja yang baik dan dapat mendukung produksi dan produktifitas kerja. Serta dapat mewujudkan hubungan industrial yang baik antara pengusaha, pekerja dan pemerintah guna mensukseskan Pembangunan Nasional.
(15)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan skripsi ini, maka ada beberapa permasalahan yang akan menjadi bahasan penulis dalam skripsi ini. Adapun perumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sejarah eksistensi Serikat Pekerja di Indonesia?
2. Bagaimanakah peran Serikat Pekerja dalam pembuatan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama?
3. Apakah kaitan antara eksistensi Serikat Pekerja dalam pembuatan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama dalam mendukung produksi dan produktifitas kerja?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam pembahasan skripsi penulis yang berjudul” EKSISTENSI SERIKAT PEKERJA DALAM PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA GUNA MENDUKUNG PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS KERJA”. Sesuai dengan permasalahan yang diajukan,antara lain:
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah eksistensi Serikat Pekerja di Indonesia.
2. Untuk mengetahui Peran Serikat Pekerja dalam Pembuatan dan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama.
3. Untuk mengetahui Kaitan antara eksistensi Serikat Pekerja dalam Pembuatan dan Pelaksaan Perjanjian Kerja Bersama dalam mendukung Produksi dan Produktifitas kerja.
(16)
D. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian memberikan manfaat praktis dan manfaat dari sisi teoritis. Manfaat Teoritis dari penelitian ini adalah untuk memperkaya khazanah ilmu hukum terkhusus hukum perburuhan, khususnya mengenai peranan serikat buruh/serikat pekerja dalam pembentukan Perjanjian Kerja Bersama serta membantu kalangan akademisi dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengenai Ilmu Ketenagakerjaan/Perburuhan. Berbeda dengan penelitian hukum untuk keperluan praktik hukum, penelitian untuk keperluan akademis dipergunakan untuk menyusun karya akademis.
Dari segi Manfaat Praktisnya, skripsi ini bermanfaat bagi pengusaha, buruh/tenaga kerja serta serikat pekerja. Bagi Pengusaha penelitian ini bermanfaat sebagai bahan pegangan dan acuan dalam perjalanan perusahaan di waktu yang akan datang serta dapat dijadikan pembanding terhadap perusahaan lain dalam pembentukan Perjanjian Kerja Bersama. Bagi Buruh dan Serikat Buruh penulisan skripsi ini bermanfaat menyadarkan bahwa mereka memiliki kapasitasnya dalam perusahaan lebih dari hanya sekadar pekerja dan merupakan bagian dari perusahaan tersebut yang turut serta dalam menentukan jalannya perusahaan. Demikian juga memberikan masukan bagi pemerintah mengenai kondisi ketenagakerjaan yang terjadi sehingga dapat dijadikan masukan dan bahan dalam pembentukan aturan-aturan mengenai ketenagakerjaan.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini diangkat dari hasil pemikiran sendiri dan sudah diperbandingkan dengan judul-judul skripsi mengenai hukum ketenagakerjaan / Hukum Perburuhan yang diangkat di tempat dimana Penulis menimba ilmu di
(17)
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, seperti: “Eksistensi Serikat Pekerja dalam Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama antara Buruh dan Majikan di PT (Persero) Pelabuhan Indonesia 1 Medan” oleh Iwan Ginting di tahun 2001 dan “Peranan Serikat Buruh/Serikat Pekerja dalam Perjanjian Kerja Bersama (Studi Lapangan di PT. Putra Sumber Utama Timber di Jambi)” oleh David B. H. Aritonang di tahun 2008. Dari masalah yang diteliti dan tempat dilaksanakan penelitian maka skripsi penulis yang berjudul “ Eksistensi Serikat Pekerja dalam Pembuatan dan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama Guna Mendukung Produksi dan Produktivitas Kerja”, berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, keaslian penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan.
F. Tinjauan Kepustakaan
Penulis melakukan tinjauan kepustakaan berdasarkan referensi dari buku-buku yang berhubungan dengan tema skripsi ini. Buku-buku-buku tersebut didapat oleh penulis pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara karena penulis menilai bahwa perpustakaan tersebut memiliki buku-buku yang cukup lengkap. Penulis juga memakai Undang-Undang terbaru yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini serta pendapat-pendapat penulis lainnya sebagai pembanding dalam tulisan ini.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh Pasal 1 angka (6) mendefinisikan Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, definisi Pekerja/Buruh memiliki pengertian yang sama dengan apa yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Sedangkan Pengertian Tenaga Kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1
(18)
Angka (2) adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 1 Angka (17) yang dimaksud dengan Serikat Pekerja / Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk oleh, dari, dan untuk pekerja/ buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan buruh / pekerja dan keluarganya.
Sedangkan menurut undang-undang yang lain yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, definisi Serikat Pekerja/Serikat Buruh memiliki pengertian yang sama dengan apa yang
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Ini menunjukkan bahwa kedua Undang-Undang ini memiliki pemahaman yang sama tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Untuk definisi dari para ahli tidak banyak ditemukan definisi Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Salah satunya yaitu Pendapat Semaoen dimana Serikat PekerjaSerikat Buruh berasal dari kata Vakbond atau Vak Vereeniging yaitu suatu perkumpulan dalam bidang pekerjaan yang disebabkan karena kesamaan pekerjaan.7
Pengertian Perjanjian berdasarkan Undang-Undang yaitu KUHPerdata tidak dikenal adanya istilah perjanjian, yang ada hanya perikatan atau verbintenis ( Pasal 1233) dan persetujuan atau overeenkomst (Pasal 1313). Jika menggunakan
7
(19)
Pasal 1313 KUHPerdata batasan pengertian perjanjan adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan diri pada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal.8 Perjanjian Perburuhan menurut Pasal 1601a KUHPerdata adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah.9
Setelah mendapat pengertian mengenai Perjanjian maka Perjanjian Kerja Bersama memiliki pengertiannya sendiri pula. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 1 Angka (21) menyebutkan definisi Perjanjian Kerja Bersama adalah Perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara Serikat Pekerja / Serikat Buruh atau beberapa Serikat Pekerja / Serikat Buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenangakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Sedangkan pengertian lainnya yaitu menurut Pedoman Penyuluhan Kesepakatan Kerja Bersama (Depnaker RI, 1996/1997:2) ialah Perjanjian yang diselenggarakan oleh Serikat Pekerja atau serikat-serikat pekerja yang terdaftar pada Departemen tenaga Kerja dengan Pengusaha-Pengusaha, perkumpulan pengusaha berbadan hukum yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja. Namun yang menjadi acuan buku-buku pada saat ini mencantumkan definisi Perjanjian
8
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Terjemahan), Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 338.
9
(20)
Kerja Bersama sesuai yang disebutkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Produksi adalah segala kegiatan untuk menciptakan atau menambah guna atas sesuatu benda, atau segala kegiatan yang ditujukan untuk memuaskan orang lain melewati pertukaran.10 Dari studi Literatur diketahui Produktivitas adalah ukuran efisiensi dengan mana modal,material, peralatan (teknologi), manajemen, sumber daya manusia informasi dan waktu yang digunakan dengan tujuan memproduksi barang dan jasa secara ekonomis.11
G. Metodologi Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah, maka diperlukanlah data-data yang relevan dari skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skrpsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian yuridis normatif yaitu jenis penelitian yang dilakukan melalui kajian terhadap peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan bahan–bahan hukum yang berhubungan dengan skripsi ini.
2. Sumber Data
Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini dilakukan melalui pengumpulan data sebagai berikut:
10
Ace Partadiredja, Pengantar Ekonomika, (Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 1981), hal. 22.
11
Produktivitas dan Manajemen, (Jakarta: lembaga Sarana Informasi Usaha dan
(21)
a. Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaedah dasar seperti Pembukaan UUD 1945, peraturan dasar seperti peraturan Perundang-undangan yang meliputi Undang-Undang, peraturan Pemerintah.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa informasi-informasi yang didapat dari seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, dan karya tulis ilmiah.
c. Bahan hukum tertier yaitu kamus, bahan dari internet dan lain-lain bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua teknik pengumpulan data yaitu melalui Penelitian Kepustakaan atau Library Reaserch yaitu penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui sumber bacaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi. Penelitian yang dilakukan dengan membaca serta menganalisa peraturan Perundang-undangan maupun dokumentasi lainnya seperti karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet, maupun sumber teoritis lainnya yang berkaitan dengan materi skripsi yang penulis ajukan.
(22)
4. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan menggunakan teknik analisis kualitatif yaitu lebih fokus kepada analisis hukumnya dan menelaah bahan-bahan hukum baik yang berasal dari peraturan Perundang-undangan, dan buku-buku yang berhubungan dengan skripsi ini.
H. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan menguraikan pembahasan masalah skripsi ini, maka penyusunannya dilakukan secara sistematis. Skripsi ini terbagi dalam 5 (lima) BAB, yang gambarannya adalah sebagai berikut:
Bab I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini secara umum digambarkan garis besar tentang Latar Belakang Pemilihan Judul yang dipilih oleh penulis serta hal-hal yang mendorong penulis dalam mengangkat peranan serikat Pekerja dalam Perjanjian Kerja Bersama dan Bab ini juga mencakup Permasalahan pokok skripsi ini, Tujuan penulis melakukan penelitian, Manfaat dari Penelitian, Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan.
Bab II : SEJARAH SERIKAT PEKERJA DI INDONESIA
Bab ini menguraikan mengenai Sejarah Lahirnya Serikat Pekerja mulai dari masa Kolonial Belanda, setelah kemerdekaan, Masa Orde Baru hingga Masa Reformasi.
Bab III : PERAN SERIKAT PEKERJA DALAM PEMBUATAN
(23)
Awal dari Bab ini akan memberikan pengertian daripada Perjanjian Kerja Bersama. Pengertian ini akan diikuti dengan sejarah Perjanjian Kerja Bersama dalam Peraturan Ketenagakerjaan. Dalam Bab ini diberikan juga bagaimana Peran Serikat Pekerja dalam Pembuatan dan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama.
Bab IV : EKSISTENSI SERIKAT PEKERJA DALAM
PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN
KERJA BERSAMA DALAM MENDUKUNG PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS KERJA
Pada Bab ini merupakan Pembahasan dari judul yang diambil oleh Penulis sehingga dalam Bab ini dijelaskan Pengertian Produksi dan Produktifitas, Peranan Perjanjian Kerja Bersama dalam Mendukung Produksi dan Produktifitas Kerja di Perusahaan, serta Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat dalam meningkatkan Produksi dan Produktifitas Kerja di Perusahaan.
Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai bagian alinea dari skripsi ini dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai inti sari dari keseluruhan uraian skripsi ini. Seterusnya diikuti dengan mengemukakan saran-saran yang kemungkinan dapat dipergunakan untuk mengatasi masalah atau setidak-tidaknya sebagai bahan pertimbangan terhadap masalah yang dihadapi terutama dalam masalah Pembuatan dan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama.
(24)
BAB II
SEJARAH SERIKAT PEKERJA DI INDONESIA
A. Serikat Pekerja di masa Kolonial Belanda (1920an)
Pada masa penjajahan, Serikat Pekerja / Serikat Buruh dalam arti yang sebenarnya tidak ada, hanya ada dalam lapangan sosial dan Olahraga. Bentuk yang ada yaitu Vak Verband. Diantara Perkumpulan / Serikat Pekerja yang telah berdiri yaitu V.S.T.P (Vereniging Van Spooren Tramweg Personcel) yaitu perkumpulan pegawai dari semua angkutan darat kereta api dan trem, kemudian menyusul P.P.P.B (Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumi Putra), yaitu perkumpulan Pegawai dari jawatan Pegadaian.
Demikian juga di daerah-daerah lain bermunculan organisasi Serikat Pekerja, misalnya di Sumatera Selatan ada P.P.P.M (Persatuan Pegawai Petrokum Maatschap). Sejak tahun 1919 sudah dicanangkan rencana untuk mempersatukan Serikat Pekerja ini, namun masih selalu tidak berhasil.
Kegiatan Serikat Pekerja masih terbatas dalam usaha sosial dan olahraga dan ada kalanya ikut mencampuri politik sebagai usaha kaum politik dalam memperkuat untuk mengadakan pergerakan perjuangan kemerdekaan dan kebebasan dari penjajah.
Rencana perpusatan terbentuk dengan nama Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (P.P.K.B), dan pada tahun yang sama terjadilah pemogokan-pemogokan yang dilakukan buruh dengan tuntutan perbaikan nasib kaum buruh.Dengan adanya pemogokan ini maka pemerintah waktu itu mengeluarkan larangan mogok. Larangan ini dikeluarkan dengan alasan bahwa mogok itu bukan bertujuan menuntut kenaikan upah, tetapi adalah merupakan aksi politik.
(25)
Pemogokan terjadi di semua unit produksi. Pemogokan berjalan cukup lama (2bulan) dan menghasilkan sedikit perbaikan, juga membuka mata bahwa peraturan perburuhan yang ada sangat berat sebelah dimana pemilik modal dapat berbuat semaunya dan dapat mengakibatkan timbulnya pemogokan.
Pada waktu ini (1920) pemerintah telah mempersoalkan upah minimum bagi buruh dan mempersoalkan lembaga tetap untuk kaum pemilik modal dan buruh bersama-sama. Namun tindakan nyata atas persoalan tersebut belum ada.
Pertengahan tahun 1921 terjadi perpecahan gabungan Serikat Pekerja buruh yang telah dibentuk (PPKB) itu, yaitu dengan keluarnya beberapa perkumpulan dan mendirikan gabungan baru yang diberi nama “Revolitionaire Vakcentrale” berkedudukan di Semarang, selain PPKB yang masih terus menerus dan berkedudukan di Yogya.
Pada tahun 1922 pemogokan masih berlangsung terus dan pengikutnya diantaranya 20% adalah pegawai pemerintah. Pemogokan ini bukan karena hal gaji, tetapi karena perlakuan yang merendahkan dan menghina Pegawai Bumi Putra. Revolitionaire Vakcentrale menganjurkan pemogokan umum yang akan memberikan manfaat bagi buruh karena pemerintah H.B takut akan hal ini. Dan sebagai balasan dari pemerintah H.B. ditangkap beberapa tokoh kaum buruh dan dibuang / dikeluarkan dari Hindia Belanda.
Namun tokoh Revolitionaire Vakcentrale (Semaun) tidak ikut campur di dalam pemogokan itu karena dia keluar negeri mengikuti Kongres Kaum Buruh dari Timur Jauh di Rusia. Dan sekembalinya dari sana direncanakan mengembalikan gabungan yang telah pecah itu. Dan rencananya ini terlaksana
(26)
pada tahun 1922 dengan nama Persatuan Vakbonden Hindia (P.V.H) dengan anggota-anggotanya dari buruh partikulir dan serikat sekerja buruh pemerintah.
Serikat-Serikat Sekerja timbul tenggelam dalam aksi pemogokan yang sebagaimana diketahui bahwa Serikat Pekerja waktu itu banyak dipengaruhi aliran-aliran kebangsaan sosialis agama dan netral yang tujuannya untuk menuju kemerdekaan dan kebebasan. Jadi Serikat Pekerja pada zaman penjajahan berfungsi dua, yaitu dalam usaha cita-cita untuk mencapai kesejahteraan dikalangan buruh khususnya, rakyat umumnya dan keduanya ikut memperjuangkan kemerdekaan.
Pemogokan yang dilakukan oleh suatu serikat sekerja merembet ke serikat sekerja yang lain. Adanya pemogokan dibeberapa tempat, kaum majikan bersatu dengan pemerintah untuk menindas dengan kekerasan dan bahkan disusul dengan penangkapan. Campur tangan Pemerintah itu adalah dengan mencantumkan larangan mogok dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yaitu pada pasal 161 Bis yang berbunyi :
“Dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah barang siapa menyebabkan atau memudahkan beberapa orang tidak menjalankan pekerjaan atau meskipun diperintah dengan syah, enggan menjalankan pekerjaan yang dijanjikannya itu atau ditanggungnya kepada jabatannya, yaitu dengan maksud supaya tertib umum terusik atau rusak keadaan ekonomi masyarakat atau dengan diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa karena perbuatan itu tertib umum itu akan terusik atau keadaan ekonomi masyarakat itu akan rusak.”12 Dengan larangan mogok dari pemerintah masa itu dan dengan mengasingkan pemimpin-pemimpin kaum buruh, maka pemogokan terhenti. P.V.H mendapat pukulan keras dengan pembuangan tokoh-tokohnya dan tahun
12
(27)
1926 P.V.H boleh dikatakan mati walaupun serikat-serikat sekerja anggotanya tetap ada.
Tahun 1929 muncul gabungan serikat buruh yang terdiri dari serikat pekerja pegawai pemerintah dan tidak terlibat dalam politik, nama gabungan ini adalah P.V.P.N (Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri). Selain itu juga ada pegawai negeri yang tidak masuk dalam PVPN, mereka disebut Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putra (PPBB). PPBB bertujuan memajukan semangat yang baik dan bekerja bersama dalam pangreh praja, memperhatikan kepentingan pemerintah, membangun rasa pertalian diantara pegawai pangreh praja dan memperhatikan kepentingan anggotanya.
Juga Pada tahun 1930 berdiri Persatuan Serikat Sekerja Indonesia (P.S.S.I) yang terdiri dari Serikat Buruh yang bukan pegawai pemerintah. PSSI ini ada dibawah pengaruh Studieclub dan bekerja di luar lapangan politik, tetapi untuk perbaikan nasib kaum buruh yaitu penilaian upah, waktu kerja dikurangi dan undang-undang sosial untuk melindungi kaum Buruh. Dan untuk itu, kaum sekerja harus mempunyai rasa senasib seperjuangan, teratur tegap dan berdisiplin. PVPN sebagai gabungan serikat sekerja negeri tidak berpolitik dan anggotanya mencapai 29.700 orang dan 13 perkumpulan, antara lain perkumpulan guru-guru.
Tahun 1931 dapat dikatakan merupakan tahun yang sulit (artinya kunjungan) terus menerus turun, pemerintah Hindia Belanda merencanakan pemotongan gaji bagi pegawai-pegawainya. PVPN merencanakan mengadakan fonds / dana penganggur bagi anggotanya yang kehilangan pekerjaan. PVPN menentang keras rencana pemerintah dalam penghematan belanja Negara. Atas aksi PVPN ini pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang pegawai negeri
(28)
untuk menjadi anggota suatu serikat sekerja jika dalam pengurusnya tidak ada pegawai negeri. Pengurus serikat sekerja (yang pegawai negeri) itu selainnya menjadi pengurus Serikat sekerja harus menerangkan bahwa Ia akan memperingati dan mempertahankan kepentingan pemerintah (jajahan) dan akan menentang propaganda dan aksi yang merugikan tata tertib dan suasana, baik di kalangan pegawai negeri (dengan kata lain keterangan setia kepada pemerintah).
Mulai sejak berdirinya PVPN hingga akhir tahun 30an telah melakukan beberapa kali kongresnya. Dan terkahir pada tahun 1939 pada kongres yang ke-8 diperoleh beberapa keputusan yang menyangkut:
1. Peraturan gaji
2. Peraturan buruh bulanan dan pekerja biasa 3. Gaji minimum
4. Peraturan sosial 5. Lama waktu kerja
6. Fonds / dana anak yatim dari pegawai negeri (bangsa Bumi Putra) 7. Terhadap pasal 161 bis KUHPidana
Mengenai Pasal 161 bis KUHPidana, gerakan serikat sekerja mengatakan bukan maksud mereka untuk mengadakan pemogokan. Mereka mengakui perlu adanya larangan mogok. PVPN mengharap pasal 161 bis KUHPidana ini dicabut, karena susunan kata-katanya kurang jelas dan bersifat luas sehingga mudah menafsirkan dan pemakaian yang tidak benar.
Disamping Serikat Sekerja Buruh pegawai negeri, ada juga serikat sekerja buruh pegawai / buruh partikulir yang bernama P.S.S.I (Persatuan Serikat Sekerja Indonesia). Jika dibanding dengan PVPN, anggota P.S.S.I masih kecil.
(29)
Selain itu gerakan-gerakan politik juga menyusun tenaga kaum buruh sehingga diantara partai politik memiliki organisasi anak dikalangan buruh misalnya CPBI (Centrale Perkumpulan Buruh Indonesia) dari PNI.
Pada tahun 1941 di Semarang berdiri gabungan Serikat Sekerja Partikuler Indonesia (GASPI) dengan tujuan mengusahakan pekerjaan bersama-sama yang tetap dan teratur, untuk kepentingan serikat-serikat sekerja bersama.
Pada waktu mendirikan GASPI telah diambil keputusan:
1. Meminta kepada Pemerintah supaya serikat sekerja diberi suatu tempat kedudukan dan diberi suatu tempat kedudukan dan diberi hak ikut mengatur hal penetapan penghargaan buruh di perusahaan-perusahaan. 2. Meminta kepada perusahaan-perusahaan Indonesia untuk bekerja ke arah
itu.
Selama masa penjajahan Belanda, gerakan serikat sekerja menunjukkan aktivitas kaum buruhnya sejalan dengan gerakan kebangsaan dan kemerdekaan Tanah Air disamping cita-cita untuk mencapai kesejahteraan dikalangan buruh khususnya. Dengan masuknya pendudukan Jepang, suasana perkumpulan agak lain dari zaman Belanda. Jepang membawa angin seolah-olah Jepang akan menjadi pembebas bangsa untuk menuju kemerdekaan. Sebenarnya Jepang memperalat Indonesia dalam menghadapi Sekutu. Jepang mengundangkan undang-undang perang, sehingga kaum Buruh sangat tertindas. Tenaganya dikerahkan untuk kepentingan perang. Namun demikian semangat juang bangsa dan rakyat Indonesia tetap besar, dimana organisasi tetap bermunculan walaupun secara illegal.13
13
(30)
B. Serikat Pekerja Setelah Kemerdekaan (1945-1966)
Dengan lenyapnya belenggu kekuasaan penjajahan di Indonesia, timbullah organisasi buruh di segala lapangan perusahaan, baik partikulir maupun perusahaan pemerintah atau kantor / jawatan. Organisasi-organisasi buruh yang ada masih dalam tingkatan pertumbuhan dengan segala kelemahan-kelemahannya, hal ini dapat dimaklumi karena masih muda dan baru tumbuh.
Perkembangan pertumbuhan masih sejalan dengan jalannya perkembangan politik perjuangan Negara. Seperti diketahui bahwa walaupun telah diproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, namun bangsa dan Negara Indonesia masih menghadapi tantangan. Kaum buruh sebagai warga Negara pada waktu itu telah merasa insaf untuk ikut mempertahankan kemerdekaan. Jadi perjuangan atau kegiatan serikat buruh masih juga sejalan dengan kegiatan perkumpulan politik.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama (19 September 1945) dibentuk BBI (Barisan Buruh Indonesia) yang bertujuan ikut mempertahankan kemerdekaan. BBI juga sepakat untuk menuntaskan revolusi nasional. Untuk mempertahankan tanah air dari serangan musuh, BBI membentuk Laskar Buruh Bersenjata di pabrik-pabrik. Untuk kaum perempuan dibentuk Barisan Buruh Wanita (BBW).14
14
Asri Wijaya, op. cit, hal. 83.
Kemudian (dalam waktu beberapa bulan saja BBI ini pecah menjadi dua, yaitu : P.B.I (Partai Buruh Indonesia) yang bertujuan mempertahankan kemerdekaan serta bergabung dengan perkumpulan politik. Dipihak lain yang tidak menghendaki adanya campur tangan dibidang politik, hanya ingin bergerak di bidang sosial ekonomi adalah GASBI (Gabungan Serikat Buruh Indonesia) yang
(31)
pada tahun 1946 menjadi luas dan menyebut dirinya SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).
Gerakan Serikat Buruh pada zaman kemerdekaan ini masih diwarnai oleh gerakan pada zaman penjajahan yaitu yang bersifat politik dan non politik. Perjuangan nasional sangat banyak mendapat dukungan dari perjuangan kaum buruh. Penderitaan kaum buruh sebenarnya merupakan pendorong utama bagi perjuangan mencapai kemerdekaan bangsa. Karena kaum buruh yang paling merasa tindakan kaum penjajah baik melalui Koeli Ordonansi ataupun Poenale Sanctie. Kesadaran Nasional kaum buruh bangkit karena ada tekanan dari kaum majikan.
Oleh karena itu gerakan dari kaum buruh adalah untuk menghapuskan sisa-sisa kolonialisme Belanda. Teknis organisasi Serikat/Organisasi Buruh masih belum jelas. Kaum buruh bersatu dalam suatu ikatan organisasi hanya keinsafan dan kesadaran atas harga diri dan mendorongnya untuk melepaskan diri dari tekanan penjajahan.
Sesudah kemerdekaan, kaum buruh mulai menyadari untuk memperbaiki nasib yaitu perbaikan upah dan jaminan-jaminan sosial serta lebih jauh menghendaki ikut campur tangan dalam perusahaan. Hal ini di beberapa daerah masih menimbulkan pemogokan-pemogokan. Pemerintah (Republik Indonesia) memberi penghargaan terhadap Buruh yang dinyatakan dengan mengajak kaum buruh turut serta dalam memecahkan persoalan Negara baik sosial, ekonomi maupun politik. Ini terlihat dengan adanya menteri Perburuhan dalam susunan Kabinet (Kabinet Amir Syarifuddin I, 1947), sedang pada empat kabinet sebelumnya tidak terlihat adanya Menteri Perburuhan, tetapi kaum buruh sudah
(32)
ikut berunding dengan pemerintah tentang masalah politik, ekonomi dan sosial yang langsung mengenai kepentingan buruh. Ini terlihat dengan duduknya wakil-wakil golongan Buruh di KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).
Perjuangan buruh mendapat simpati dari kaum buruh di luar negeri. Dan kemudian GABSI menggabungkan diri dengan badan internasional yaitu WFTU (Worle Federation of Trade Union). Kontak kaum buruh Indonesia dengan kaum buruh di luar negeri di pakai untuk memperkokoh perjuangan Negara dan berhasil dengan tercapainya solidaritas dan simpati kaum buruh Internasional terhadap perjuangan Bangsa Indonesia.
Perhatian pemerintah kepada buruh telah ditunjukkan selain dengan di ikut sertakan kaum buruh dalam membicarakan masalah-masalah Negara juga dengan diundangkannya beberapa undang-undang dan peraturan mengenai buruh atau tenaga kerja, antara lain Undang-Undang kecelakan Nomor 33 tahun 1947, Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1948 tentang kecelakaan, Undang-Undang Nomor 23 tahun 1948 tentang Peraturan Perburuhan, Undang-Undang kerja Nomor 12 tahun 1948.
Peraturan atau Undang-Undang dari zaman kemerdekaan ini lain dengan peraturan atau undang-undang dari zaman penjajahan. Karena Undang-Undang dan peraturan pada zaman kemerdekaan itu perhatian pada buruh, sedang pada zaman penjajah peraturan atau undang-undang melindungi pemilik modal.
Perubahan situasi politik di Indonesia membawa perubahan juga pada gerakan perburuhan. Dengan tumbuhnya organisasi politik di Indonesia maka tiap-tiap organsasi politik juga mempunyai anak. Sehingga serikat-serikat buruh
(33)
telah diwarnai oleh corak dan gambaran idiologi politik dari masing-masing partai politik.
Pergolakan perjuangan kaum buruh masih berlangsung terus terutama pemogokan masih juga terjadi. Untuk mengatasi kesulitan sebagai akibat pemogokan yang banyak terjadi di tahun 1950-1951 dengan peraturan kekuasaan Militer tanggal 13 Februari 1951 Nomor 1 diadakan Panitia Penyelesaisan Pertikaian Perburuhan di Pusat dan di daerah dibentuk Instansi Penyelesaian Pertikaian Perburuhan, yang pada tahun 1957 dengan Undang-Undang Panitia dan Instansi itu dirobah menjadi Panitia Pertikaian Perburuhan Pusat dan Daerah (Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957).
Seperti telah diuraikan di atas bahwa situasi politik menyebabkan tumbuhnya partai-partai politik dan diiringi dengan lahirnya Serikat-Serikat Buruh. Serikat-Serikat Buruh ini kebanyakan adalah Onderbouw dari partai politik. Keadaan politik yang tidak stabil sebagai akibat banyaknya partai politik menuntut penyederhanaan kepartaian. Juga di lingkungan Serikat Buruh tuntutan penyederhanaan itu mengakibatkan lahirnya BKS-BUMIL (Badan Kerja Sama Buruh Militer) pada tahun 1956.
Kemudian Pada Tahun 1959 Pemerintah mengajukan dibentuknya persatuan yang disebut OPPI (Organisasi Persatuan Pekerja Indonesia),namun usaha ini gagal karena tantangan pihak SOBSI. Tetapi terbentuk Sekertaris Bersama Perjuangan Buruh Pelaksana Trikora (Sekber Buruh) pada tahun 1961.15
15
T. Moestafa, op. cit, Hal. 20-25.
(34)
perundang-undangan yang dilahirkan untuk kepentingan buruh, antara lain, selain yang telah disebut di atas, adalah:
1. Mengenai waktu kerja dan waktu istirahat (Peraturan Menteri Perburuhan Nomor10 tahun 1951)
2. Mengenai hari libur buruh (Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 55 tahun 1952)
3. Mengenai Peraturan Istirahat Buruh (Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1954)
4. Mengenai Perjanjian Perburuhan (Undang-Undang Nomor 1 tahun 1954) 5. Mengenai Labilun kerja bagi kaum buruh (Peraturan Menteri Perburuhan
Nomor 7 tahun 1955)
6. Mengenai bantuan untuk usaha-usaha Penyelenggaraan kesejahteraan buruh (Peraturan Menteri Perburuhan Nomor tahun 1956)
7. Mengenai Dasar-Dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk berunding bersama (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956)
8. Mengenai Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957)
9. Mengenai Penempatan Tenaga Asing (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958).
10.Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta (Undang-Undang Nomor 12 tahun 1964)
11.Mengenai Pembentukan Lembaga Keselamatan dan kesehatan buruh (Peraturan Menteri Perburuhan Nomor tahun 1965)
(35)
Dari Peraturan atau Undang-Undang tersebut di atas,terlihat adanya perhatian terhadap nasib buruh. Dengan demikian berarti gerakan atau aksi buruh untuk mendapat kedudukan dan perbaikan nasib telah mendapat tanggapan pemerintah.
Juga mengingat pentingnya akan kelangsungan tujuan nasional dan tujuan pembangunan dengan Keputusan Presiden Nomor7 tahun 1963 telah dikeluarkan: Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan di Perusahaan-Perusahaan, jawatan dan Badan-Badan vital.
C. Serikat Pekerja di Masa Orde Baru (1966-1998)
Meletusnya G-30-S/PKI pada tahun 1965 banyak membawa perobahan dalam gerakan serikat buruh. Semua organisasi yang di bawah naungan PKI serta simpatisannya dinyatakan dilarang.
Pada tahun 1966 dibentuklah KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia). Tujuan KABI adalah bersifat politis, sedangkan soal-soal yang bersifat sosial-ekonomis diselesaikan oleh Sekretaris Bersama Buruh.
Keinginan untuk memiliki satu wadah organisasi serikat buruh dalam rangka menyehatkan perjuangan murni bagi anggota-anggotanya (artinya tidak dipengaruhi oleh organisasi induk/organisasi politik), maka pada tanggal 1 November 1969 berdirilah MPBI (Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia) dengan anggota 21 organisasi. Azas MPBI adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Namun MPBI masih belum dapat bekerja seperti yang diharapkan, artinya belum dapat menyelesaikan masalah perburuhan. Hal ini karena kelemahan Struktur organisasi dan kepemimpinannya. MPBI hanyalah baru
(36)
merupakan tempat bertemu dan berdialog para anggota, tetapi belum dapat menghasilkan sesuatu hal yang prinsipil.
Setelah tahun 1966 masalah peburuhan tidak lagi di bawah naungan Departemen Perburuhan, tetapi namanya dirubah dengan Kementrian Tenaga Kerja, yaitu sejak Kabinet Dwikora 1966. Perhatian Pemerintah terhadap buruh dapat dilihat pada instruksi Presiden Kabinet Ampera Nomor 01/U/8/1966 disebutkan:
“Mengusahakan perbaikan nasib tenaga kerja terutama mengenai demokratisasi upah dan jaminan sosial yang memenuhi syarat-syarat minimal, layak, wajar, dilihat dari segi prestasi kerja, jumlah jam kerja dan norma hidup”
Serikat Buruh merupakan suatu economical-force yang penting dan oleh karena itu peranan Serikat Buruh dalam pembangunan juga penting untuk ikut serta dalam merealisir cita-cita masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Tanpa pengertian serta bantuan dari Serikat Buruh, maka akan sulit bagi pemerintah dapat memecahkan masalah yang dihadapi mengenai tenaga kerja.
Penyederhanaan dibidang politik (1973) meleburkan beberapa partai politik dalam satu partai saja, sehingga hanya ada 2 partai, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (yang merupakan fusi dari P.N.I, Parkindo, Katolik, I.P.K.I dan Murba) dan Partai Persatuan Pembangunan (yang terdiri dari N.U, Parmusi, P.S.I.I dan Perti). Hal ini menyebabkan serikat-serikat buruh kehilangan induk organisasi politiknya dan dengan demikian serikat buruh bebas menentukan sikap, hanya bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, dakwah dan sebagainya dan tidak ada
(37)
segi politik. Kembali serikat buruh merasakan perlunya mempersatukan serikat-serikat buruh dalam satu wadah. Diantara Pemimpin-pemimpin serikat-serikat buruh saling mengadakan pendekatan juga dengan pimpinan pemerintah untuk melahirkan suatu wadah bagi serikat buruh itu.
Maka pada tanggal 10 Februari 1973 berdirilah F.B.S.I (Federasi Buruh Seluruh Indonesia). Pembentukan F.B.S.I ini adalah merupakan realisasi kehendak bersama dari serikat-serikat buruh yang dilontarkan pada Sidang Pleno M.P.B.I tanggal 24-26 Mei 1972 yang berdasarkan pelaksaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Ketetapan M.P.R.S tahun 1966, Undang-Undang Nomor 14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai Tenaga Kerja, Konvensi-Konvensi I.L.O dan peraturan dasar M.P.B.I. Serikat-Serikat buruh pada satu unit produksi meleburkan diri menjadi satu wadah. Sebelum 1973 pada satu unit produksi (misalnya dilapangan pekerjaan Pertanian/Perkebunan) ada beberapa serikat buruh yang bernaung pada partai-partai politik. Sesudah 1973 mereka melebur diri menjadi satu serikat buruh atau Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan (SBLP) Pertanian/Perkebunan dan ini menjadi anggota F.B.S.I. Demikian juga pada unit-unit produksi lainnya misalnya Pertambangan, Perkayuan, Maritim, Pariwisata, Transport dan sebagainya. Sehingga terciptalah “One Union in one industry”.
Dengan Federasi ini diharapkan tidak ada lagi perpecahan karena kotak-kotak politik (Tentu saja bagi anggota yang ingin berpolitik masih diberi izin untuk masuk ke dalam partai politik, namun sebagai anggota SBLP/FBSI tidak dapat membawakan atributnya sebagai anggota partai politik).
(38)
F.B.S.I tidak berpolitik dan falsafah F.B.S.I adalah falsafah Negara Pancasila dan perjuangan hanya dibidang sosial ekonomi untuk kepentingan kaum buruh khususnya. Dan tentu saja tidak terlepas kepada mensukseskan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Kedudukan F.B.S.I dilingkungan kaum buruh menjadi kuat setelah keluarnya “Surat PenguKitab Undang-Undang Hukuman FBSI sebagai Vaksentral di Indonesia” oleh Pemerintah tanggal 11 Maret 1974.
Hubungan persahabatan dan persetujuan bersama bilateral dengan organisasi berbagai Negara di dunia semakin berkembang. Hubungan banyak dilakukan untuk meningkatkan pendidikan dan hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keejahteraan buruh. Walaupun pada tahun 1962 telah mulai dibahas masalah pendidikan buruh adalah menjadi tanggung jawab serikat buruh.
Pendidikan buruh yang diharapkan dapat diberikan adalah mencakup:
1. Melatih buruh dan menyiapkannya menjadi seorang anggota serikat buruh yang baik, berguna bagi diri sendiri, bagi keluarganya dan bagi Serikat Buruhnya.
2. Melatih buruh dan menjadikannya seorang warga Negara yang baik. Berguna bagi masyarakat dan tanah airnya.
3. Melatih buruh dan menjadikannya seorang internasionalis yang baik dengan penuh jiwa solidaritas dengan saudara-saudaranya sesama kaum buruh di seluruh dunia dan dengan umat manusia.
Sehingga dengan demikian serikat buruh menjadi kuat, bebas demokratis dan dinamis (Pidato Agus Sudono di depan Kongres Dunia ke VII di Berlin Barat
(39)
12 Juli 1962 yaitu Kongres ICFTU ”International Confederation of Free Trade Union” atau ”Gabungan Serikat – Serikat Buruh Merdeka Se Dunia”.
F.B.S.I diakui sebagai satu-satunya wadah yang mewakili buruh Indonesia di dalam International Labour Organization (I.L.O) yang berkedudua n di Geneva. Namun dalam ICFTU dan W.C.L ( World Confederation of Labour), F.B.S.I masih belum sebagai satu-satunya wakil, tetapi serikat buruh lama masing-masing karena mereka ini berafiliasi dan menjadi anggotanya. Walaupun F.B.S.I telah mengadakan hubungan kerja sama dalam bidang pendidikan dan bidang lain. Sehingga dengan demikian terlihat keadaan yang bersifat dualistis. Inilah yang dapat dilihat sebagai kelemahan dari FBSI yang masih belum dapat menjadikan peleburan dari serikat-serikat buruh.
Gerakan buruh atau serikat-serikat Buruh di semua Negara mempunyai sikap yang sama yaitu bahwa mereka dapat mendukung gerakan produktivitas apabila mereka mendapat jaminan bahwa keuntungan dari kenaikan produktivitas itu sebagian dinikmati oleh kaum buruh. Meningkatkan produktivitas adalah sebagai sumbangan utama pembangunan nasional dan pertumbuhan ekonomi dalam rangka menaikkan taraf hidup rakyat.
Sering pada gejala rasa khawatir dilingkungan buruh bahwa usaha meningkatkan produktivitas berarti menambah beban kerja dan ada ketidakadilan di dalam membagi keuntungan sebagai akibat kenaikan produktivitas tersebut. Hal inilah yang harus diatasi dengan cara kerjasama yang harmonis, saling mengerti dan saling membantu dan percaya mempercayai antara buruh dan majikan sehingga berhasilnya Program Kenaikan Produktivitas dapat dicapai bila Serikat Buruh berpartisipasi.
(40)
Partisipasi Serikat Buruh ini sebenarnya adalah sejalan dengan tujuan dari serikat buruh itu sendiri, yaitu:
1. Mencapai perbaikan nasib, syarat-syarat kerja dan jaminan sosial yang lebih baik bagi anggota pada khususnya dan kaum buruh pada umumnya. 2. Membantu menciptakan kesejahteraan umum yang adil dan merata,
dengan jalan antara lain menjadi partner alam pembangunan, khususnya pembangungan sosial ekonomi.
Hal ini semua dapat dipahami karena itu sewajarnya serikat buruh harus membantu mempercepat proses pembangunan. Dan ini hanya akan dapat terlaksana bila serikat buruh itu sehat, kuat, demokratis, independent dan bertanggung jawab. Semuanya sesuai dengan definisi Serikat Buruh yaitu: Serikat Buruh adalah suatu organisasi yang sifatnya permanen, demokratis dan dibentuk secara sukarela dari, oleh dan untuk kaum buruh, untuk memberikan perlindungan kepada mereka dalam pekerjaan mereka untuk memperbaiki syarat-syarat kerja mereka dengan jalan perundingan kolektif serta untuk memperbaiki keadaan-keadaan penghidupan mereka dan untuk memiliki alat guna menyatakan pendapat kaum buruh mengenai maslah-masalah yang timbul dalam masyarakat.
Sebagai suatu serikat buruh, maka F.B.S.I mempunyai cita-cita dan tujuan meningkatkan kesejahteraan kaum buruh serta memperjuangkan perbakan nasib, syarat-syarat kerja dan penghidupan yang layak sesuai dengan kemanusiaan juga memperjuangkan terciptanya perluasan kesempatan kerja dalam rangka mensukseskan pembangunan.
(41)
Jadi secara umum, tugas dan fungsi F.B.S.I itu adalah:
1. Sebagai partner dalam pembangunan nasional, khususnya dalam bidang sosial eknomi.
2. Sebagai wahana untuk melindungi pekerjaan, memperjuangkan perbaikan nasib, syarat-syarat kerja dan penghidupan yang layak bagi buruh dan keluarganya.
3. Sebagai Partner untuk ikut menciptakan dan memelihara ketenagaan kerja (Industrial peace) di tiap perusahaan dalam rangka menjaga dan meningkatkan produksi.
4. Sebagai partner untuk ikut menciptakan stabilits sosial (Sosial Stability) sebagai sarana mutlak untuk pembangunan.
5. Sebagai Partner dalam meratakan hasil Pembangunan Nasional untuk seluruh rakyat Indonesia termasuk kaum Buruh, antara lain melalui P.K.B (Perjanjian Kerja Bersama) / C.L.A (Colective Labour Agrement).16
Pada Tahun 1992 Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) didirikan pada 25 April oleh sekelompok aktivis prodemokrasi yang dipimpin Mochtar Pakpahan sebagai Sekjen SBSI. Namun Hingga Tahun 1995 SPSI tetap merupakan satu-satunya Federasi Serikat Pekerja yang diakui oleh Departemen Tenaga Kerja. Menteri Tenaga Kerja menyatakan bahwa serikat pekerja yang dibentuk harus berafilisasi dengan SPSI, dan bahwa pemerintah tidak akan mengakui setiap serikat pekerja di luar federasi.17
16
T. Moestafa, op. cit, Hal. 28-37.
17
(42)
Reaksi terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam mempersulit terbentuknya organisasi buruh tersebut tidak hanya mendapat tanggapan dari dalam negeri, tetapi juga luar negeri yang menyatakan bahwa buruh Indonesia tidak diberikan kemerdekaan untuk berserikat/berorganisasi. Statement ini didukung pula oleh hasil penelitian ILO yang menyimpulkan bahwa “Union Right” buruh di Indonesia sangat dibatasi tanpa diberikan kelonggaran untuk berorganisasi.
D. Serikat Pekerja di masa Reformasi (1998-sekarang)
Sejalan dengan babak baru pemerintah Indonesia yakni era Reformasi yang menuntut pembaharuan di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, karena itu pemerintah melalui Kepres No. 83 Tahun 1998 telah mengesahkan Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (Convention Concorning Freedom of Association and Protection of The Right to Organise). Tahun 1998 Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) diakui oleh pemerintah. Mochtar Pakpahan, dibebaskan pada bulan Mei setelah beberapa tahun mendekam di penjara. Tahun 2000 Undang-Undang Nomor 21 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh disahkan di Jakarta pada 4 Agustus oleh Presiden Abdurahman Wahid.Tahun 2003 Kongres Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang merupakan gabungan dari 12 organisasi serikat pekerja melaksanakan kongres pendirian pada bulan Januari di Jakarta.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang bertujan untuk
memperjuangkan aspirasi Buruh Migran Indonesia di tingkat nasional maupun internasional dideklarasikan di Semarang pada 10 Juli 2004. Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Sumatera Utara mendapat kehormatan menjadi
(43)
tuan rumah kongres World Federation of Clerical Workers (WFCW) pada 1-4 November 2004. WFCW beranggotakan 70 negara Asia, Afrika, Eropa dan Amerika merupakan federasi dari World Confederation of Labour (WCL), organisasi buruh yang terkuat.18
Keberadaan Serikat Pekerja / Buruh pada masa Orde Baru belum memenuhi prinsip dasar serikat buruh. Prinsip dasar serikat buruh ada tiga, yaitu kesatuan, mandiri dan demokratis. Prinsip kesatuan, yaitu adanya solidaritas di kalangan buruh bahwa mereka merupakan satu bagian tak terpisahkan dalam organisasi. Prinsip kemandirian maksudnya organisasi buruh harus bebas dari dominasi kekuatan dari luar buruh, baik itu pemerintah, majikan, partai politik, organisasi agama atau tokoh-tokoh individual. Prinsip demokratis, artinya mendapat dukungan dan partisipasi penuh para anggotanya.19
Tiga prinsip dasar Serikat Pekerja/Buruh itu belum dapat dilaksanakan dengan penuh pada masa Orde Baru karena serikat buruh yang diakui saat itu hanya ada satu, yaitu Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SPSI). Upaya pemerintah untuk memberikan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul bagi buruh selanjutnya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Hak berserikat dan berkumpul mendapat perhatian yang besar dari pemerintah. Terdapat norma perlindungan hak berserikat yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000.20
18
http ://rumahkiri.net di-up date tanggal 14 Oktober, 2007.
19
International Union of Food and Allied Worker’s Associations, Buku pegangan untuk serikat buruh, hal. 17-24.
20
(44)
Pengertian serikat pekerja/buruh menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Sifat dari serikat pekerja/buruh adalah sebagai berikut:
1. Bebas, yaitu bahwa sebagai organisasi dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, serikat pekerja/buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/buruh tidak di bawah pengaruh atau tekanan dari pihak lain.
2. Terbuka, yaitu bahwa serikat pekerja/buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/buruh dalam menerima anggota dan atau memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh tidak membedakan aliran politik, agama, suku bangsa dan jenis kelamin.
3. Mandiri, yaitu bahwa dalam mendirikan, menjalankan, dan
mengembangkan organisasi ditentukan oleh ketentuan sendiri tidak dikendalikan oleh pihak lain di luar organisasi.
4. Demokratis, yaitu bahwa dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus, memperjuangkan, dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi.
5. Bertanggung jawab, yaitu bahwa dalam mencapai tujuan dan
melaksanakan hak dan kewajibannya, serikat pekerja/buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/buruh bertanggung jawab kepada anggota, masyarakat, dan Negara.
(45)
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000, Serikat Pekerja bertujuan untuk memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya.
Fungsi Serikat Pekerja/Buruh selalu dikaitkan dengan keadaan hubungan industrial. Hubungan industrial diartikan sebagai suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi dan jasa yang meliputi pengusaha, pekerja dan pemerintah.21
1. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
Adapun fungsi dari serikat Pekerja/Buruh seperti yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) ialah:
2. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama dibidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
3. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
5. Sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 6. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham
di perusahaan.
21
Sentanoe Kertonegoro, Hubungan Industrial, Hubungan Antara Pengusaha dan
Pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), 1999, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta,
(46)
Di dalam Penerimaan Anggota Serikat Pekerja, Serikat Pekerja/buruh, federasi dan konfederasi Serikat Pekerja/Buruh harus terbuka untuk menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku bangsa, dan jenis kelamin (Pasal 12 UU No.21 Tahun 2000). Seorang Pekerja/Buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat pekerja/buruh di satu perusahaan. Dalam hal seorang pekerja/buruh dalam satu perusahaan ternyata tercatat pada lebih dari satu serikat pekerja/buruh yang bersangkutan harus menyatakan satu pilihan secara tertulis mana serikat pekerja/buruh yang dipilihnya.22
Menurut Payaman Simanjuntak, Pengamat ketenagakerjaan, dengan pengalaman di berbagai Negara dan dengan mempertimbangkan kondisi sosial, perjuangan serikat pekerja akan lebih efektif jika mereka sepakat hanya memiliki dua sampai maksimal federasi. Selain itu, serikat pekerja disusun menurut sektor atau subsektor industri dan di setiap perusahaan didirikan hanya ada satu serikat pekerja/buruh.23
Federasi adalah perkumpulan serikat pekerja/buruh, sedangkan konfederasi merupakan gabungan dari sejumlah federasi yang ada di Indonesia. Saat ini, ada tiga konfederasi Serikat Pekerja/Buruh di Indonesia, yakni: KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) yang mencakup 16 Federasi dengan anggotanya sekitar 1.601.378 orang, KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) dengan 7 Federasi dan 458.345 orang anggotanya, serta KSBSI (Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) dengan 12 Federasi dan 337.670
22
Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004), hal. 148
23
(47)
orang anggotanya. Sampai akhir 2008 tercatat ada 10.786 serikat pekerja/buruh dengan anggota sebanyak 3.405.615 orang pekerja.24
“Saling pengertian dalam hal ini maksudnya di antara serikat pekerja/buruh dan para pengusaha mengerti tugas dan kewajibannya selama proses produksi berlangsung,” tegasnya.
Ketua Umum KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), Syukur Sarto mengatakan hubungan industrial di masa mendatang diharapkan dapat lebih kondusif dengan adanya saling pengertian di antara serikat pekerja/buruh dan para pengusaha.
25
1. Orde Baru
Adapun perbedaan signifikan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh di era Orde Baru khususnya dengan era Reformasi adalah sebagai berikut:
a. Pada masa Orde Baru, perbaikan nasib tenaga kerja terutama mengenai demokratisasi upah dan jaminan sosial yang memenuhi syarat-syarat minimal, layak, wajar, dilihat dari segi prestasi kerja, jumlah jam kerja dan norma hidup.
b. Adanya perundingan kolektif, serta untuk memperbaiki keadaan-keadaan penghidupan mereka dan untuk memiliki alat guna
menyatakan pendapat kaum buruh mengenai masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.
c. Pada masa Orde Baru belum memenuhi prinsip dasar serikat buruh, yaitu kesatuan, mandiri dan demokratis.
24
http://bataviase.co.id/node/104891
25
(48)
d. Pada masa Orde Baru serikat buruh yang diakui saat itu hanya ada satu, yaitu Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SPSI).
2. Reformasi
a. Di era Reformasi ini, Pemerintah memberikan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul bagi buruh yang selanjutnya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh.
b. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000, Serikat Pekerja bertujuan untuk memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya.
c. Pada masa Reformasi, Serikat Pekerja/Buruh selalu dikaitkan dengan keadaan hubungan industrial yang diartikan sebagai suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi dan jasa yang meliputi pengusaha, pekerja dan pemerintah.
d. Di era Reformasi, Serikat Pekerja disusun menurut sektor atau subsektor industri dan di setiap perusahaan didirikan hanya ada satu serikat pekerja/buruh.
(49)
BAB III
PERAN SERIKAT PEKERJA DALAM PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA
A. Perjanjian Kerja Bersama
Istilah Perjanjian Perburuhan dikenal dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, undang-undang ini merupakan salah satu dari undang-undang yang dinyatakan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 lahir pada saat bangsa kita menganut demokrasi liberal, sehingga semangat undang-undang ini juga tidak lepas dari filosofi tersebut.26
Sesuai dengan semangat itu masing-masing pihak yang membuat perjanjian perburuhan cenderung berupaya membela kepentingannya sehingga tidak jarang pihak yang satu melakukan tekanan kepada pihak yang lain jika kepentingannya tidak terpenuhi. Konsep tersebut tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, dan sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam hukum perburuhan khususnya dengan lahirnya konsepsi Hubungan Industrial Pancasila (HIP), maka istilah perjanjian perburuhan diganti dengan istilah Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang dalam pembuatannya mengutamakan musyawarah dan mufakat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menggunakan istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) karena substansi PKB ini
26
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers , 2001), hal. 45
(50)
sendiri memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak yang dihasilkan melalui perundingan (perjanjian) dan isinya bersifat mengikat.
1. Pengertian Perjanjian Perburuhan/ Kesepakatan Kerja Bersama
(KKB)/ Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Perjanjian Perburuhan/ Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau istilah yang dipergunakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Collective Labour Agreement (CLA), atau dalam bahasa Belanda disebut dengan Collective Arbeids Overemkomst (CAO), perjanjian ini dikenal dalam khasanah hukum Indonesia berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata.
Dalam KUHPerdata Pasal 1601n disebutkan bahwa Perjanjian Perburuhan adalah peraturan yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang perkumpulan majikan yang berbadan hukum dan atau beberapa serikat buruh yang berbadan hukum, mengenai syarat-syarat kerja yang harus diindahkan pada waktu membuat perjanjian kerja. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Majikan, disebutkan Perjanjian Peburuhan adalah perjanjian yang diselengarakan oleh serikat atau serikat-serikat buruh yang terdaftar pada Kementerian Perburuhan, dengan majikan, majikan-majikan, perkumpulan majikan yang berbadan hukum, yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat kerja yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja.
Dari Pengertian tersebut di atas tampak adanya perbedaan yakni menurut ketentuan dalam KUHPerdata, serikat buruh sebagai pihak yang membuat perjanjian perburuhan diisyaratkan harus berbadan hukum, sedangkan menurut
(51)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 hanya cukup terdaftar di Kementerian perburuhan (sekarang Depnaker). Kemudahan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 ini dimaksud agar tidak memberatkan serikat buruh untuk mengurus badan hukum dalam membuat perjanjian perburuhan dengan majikan.
Jika hal itu tetap disyaratkan maka sangatlah sulit bagi serikat buruh untuk mendapatkannya, sehingga dengan demikian tidak akan dapat melahirkan perjanjian perburuhan, padahal perjanjian perburuhan sangat penting artinya sebagai pedoman dalam pembuatan perjanjian kerja.
Dalam Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/buruh atau beberapa serikat pekerja/buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Pengertian ini hampir sama dengan pengertian KKB berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997, hanya saja pengertian dalam Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyesuaikan diri dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat Buruh/Pekerja yang mensyaratkan Serikat Buruh/Pekerja yang terbentuk harus memberitahukannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk dicatat.
(52)
2. Para Pihak yang membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
PKB disusun oleh pengusaha dan serikat pekerja yang terdaftar dan dilaksanakan secara musyawarah untuk mencapai mufakat. PKB hanya dapat dirundingkan dan disusun oleh serikat pekerja yang didukung oleh sebagian besar pekerja di perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian para pihak atau subyek yang membuat PKB adalah dari pihak buruh/pekerja diwakili oleh serikat pekerja/buruh atau beberapa serikat pekerja/buruh diperusahaan itu dengan pengusaha atau perkumpulan pengusaha. Pekerja diwakili oleh serikat pekerja dimaksudkan agar pekerja lebih kuat posisinya dalam melakukan perundingan dengan majikan karena pengurus serikat pekerja umumnya akan dipilih dari orang yang mampu memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/buruh, maka serikat pekerja tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50%(lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan (Pasal 119 ayat 1).
Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara (Pasal 119 ayat 2). Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dia atas tidak tercapai maka serikat
(53)
pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur semula.
Jika dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut (Pasal 120 ayat 1). Dalam hal ketentuan tersebut tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha (Pasal 120 ayat 2).
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/buruh (Pasal 120 ayat 3).
Ketentuan tentang cara pembuatan Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana paparan di atas menunjukkkan bahwa pekerja/buruh maupun pengusaha harus menjunjung tinggi asas demokrasi khususnya dalam menentukan serikat buruh/pekerja yang paling berhak membuat PKB dengan pihak pengusaha.
3. Masa Berlakunya Perjanjian Kerja Bersama
Masa berlakunya PKB paling lama 2 (dua) tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara serikat pekerja/buruh dengan pengusaha.
(54)
Dalam Pasal 124 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa Perjanjian Kerja Bersama paling sedikit memuat:
a. Hak dan kewajiban pengusaha;
b. Hak dan kewajiban serikat pekerja/buruh serta pekerja/buruh;
c. Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; d. Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 124 ayat 2). Jika isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 124 ayat 3).
Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama (Pasal 127 ayat 1). Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama (Pasal 127 ayat 2). Demikian halnya jika perjanjian kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama (Pasal 128).
Ketentuan ini menggariskan tentang acuan hukum dalam membuat berbagai perjanjian dalam hubungan kerja Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sebagai perjanjian induk di perusahaan dalam pembuatannya harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, demikian halnya dengan perjanjian
(55)
kerja substansinya tidak boleh bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/buruh (Pasal 129 ayat 1).Dalam hal di perusahaan, tidak ada lagi serikat pekerja/buruh dan perjanjian kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama (Pasal 129 ayat 2).27
4. Perbedaan antara Perjanjian Kerja dengan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB).
Berdasarkan uraian mengenai Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana uraian di atas, maka dapat dikemukakan perbedaannya dengan Perjanjian Kerja ialah sebagai berikut:
TABEL 1
PERBEDAAN ANTARA PERJANJIAN KERJA DENGAN PERJANJIAN
KERJA BERSAMA28
NO. PERJANJIAN KERJA
PERJANJIAN PERBURUHAN/ PERJANJIAN KERJA BERSAMA
(PKB) 1. Dari segi istilah:
Untuk perjanjian kerja dipergunakan juga istilah persetujuan perburuhan (Wirjono Projodikoro), begitu
juga dengan Subekti menggunakan istilah yang sama.
Untuk perjanjian perburuhan, Wirjono Projodikoro menyebutnya dengan
istilah persetujuan perburuhan
bersama, sedangkan Subekti menyebutnya dengan istilah persetujuan perburuhan kolektif. Sedangkan konsepsi Hubungan Industrial Pancasila menyebutnya
27
Lalu Husni, op. cit, hal. 46-47.
28
(1)
kerja itu sendiri menunjukkan langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam pelaksanaan perencanaan tenaga kerja.45
Produktivitas Kerja = F(MOT. X KEC. X KEPR. X PER.) – KEPE.
Hubungan yang ada antara produktivitas kerja dengan beberapa faktor yang mempengaruhi dapat dilihat dari formula psikologis berikut:
46
45
ibid 46
Op. cit, hal. 25.
MOT. = MOTIVASI, termasuk motivasi berprestasi, motivasi terhadap mutu kerja dan mutu kehidupan hari esok yang lebih baik.
KEC. = KECAKAPAN, termasuk kecakapan menggunakan peralatan dan teknologi, kecakapan manajerial, hubungan antarmanusia, pemecahan permasalahan, yang dihasilkan melalui pendidikan dan pelatihan serta pengalaman.
KEPR. = KEPRIBADIAN, termasuk pandangan terhadap nilai-nilai, sikap dan etika kerja, disiplin, pendidikan, kerja sama dan partisipasi penuh serta kesesuaian pada pekerjaan.
PER. = PERAN, yaitu pandangannya terhadap peran yang dilakukan terhadap pengembangan dan pembangunan, yang dipengaruhi oleh rasa ikut memiliki, pengalaman serta rasa solidaritas kelompok.
KEPE. = KEPENATAN, sebagai faktor yang mengurangi produktivitas, dipengaruhi oleh suasana kerja, motivasi, gaya hidup, gizi serta kesehatan.
(2)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN
Serikat Pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan. Seiring berkembangnya waktu, serikat pekerja juga semakin dapat memenuhi prinsip dasar serikat buruh, yaitu: kesatuan, mandiri, dan demokratis guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Serikat Buruh/Pekerja sebagai wadah perjuangan aspirasi bagi segenap kaum buruh/pekerja memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan kaum buruh/pekerja dalam dunia ketenagakerjaan, khususnya dalam pembuatan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama yang memuat pengaturan syarat2kerja,serta hak dan kewajiban yang sering dianggap sebagai sebuah formalitas yang dalam pelaksanaanya ditemukan kendala, baik dari pihak pekerja maupun dari pihak pengusaha.
Perjanjian Kerja Bersama sebagai salah satu Prasarana yang paling penting untuk peningkatan produksi dan produktivitas, karena di dalam Perjanjian Kerja Bersama perlu diatur tentang hal-hal yang mendukung peningkatan produksi dan produktivitas di Perusahaan. Dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama, perhatian utama Serikat Pekerja atau Serikat Buruh adalah mendapatkan di lapangan hak-hak karyawan yang telah diberi oleh managemen dalam dokumen perjanjian. Perhatian utama managemen adalah mempertahankan haknya untuk mengelolah perusahaan dan agar kegiatan-kegiatan perusahaan berjalan efektif .
(3)
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan dalam penelitian ini penulis menyampaikan saran sebagai berikut :
1. Supaya Serikat Pekerja dapat berperan secara maksimal dalam memperjuangkan hak-hak yang ada dalam Perjanjian Kerja Bersama, dengan adanya peningkatan kualitas sumber daya pengurus melalui pendidikan lanjutan, pelatihan advokasi dan peningkatan wawasan tentang hukum ketenagakerjaan melalui orientasi dan sosialisasi Peraturan Perundang-undangan.
2. Peningkatan kesadaran Karyawan terhadap hak-haknya yang ada dalam Perjanjian Kerja Bersama melalui pembagian naskah Perjanjian Kerja Bersama kepada seluruh Karyawan dan Sosialisasi atau penjelasan materi Perjanjian Kerja Bersama secara komprehensif baik oleh Serikat Pekerja maupun Direksi, serta peningkatan disiplin kerja dengan penerapan sanksi dengan tegas dan bijaksana, peningkatan ketrampilan ataupun pendidikan lanjutan mengingat tingkat pendidikan yang rendah, lebih selektif lagi dalam memilih karyawan terutama karyawan pada tingkat pelaksana. 3. Peningkatan Produksi dan Produktifitas melalui Peran Serikat Pekerja
dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama perlu ditingkatkan lagi yaitu dengan memenuhi hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja agar terjadi keseimbangan dalam hubungan Industrial.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Anugroho, Sigit, 2006, Pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama Periode 2004-2005 Antara Direksi PT Perkebunan Nusantara IX dengan Federasi Serikat Pekerja Kebun IX Divisi Tanaman Tahunan PT Perkebunan Nusantara IX Kebunan Nusantara IX di Pabrik Kebun Getas Kabupaten Semarang.
Husni, Lalu, 2001, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
International Union of Food and Allied Worker’s Associations, Buku pegangan untuk serikat buruh,
Kertonegoro, Sentanoe, 1999, Hubungan Industrial, Hubungan Antara Pengusaha dan Pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta.
Moestafa, T, 1981, Sekilas Gerakan Buruh di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
Najih, Muhamad, 2009, Radikal Antara Pro dan Kontra, Sarang.
Partadiredja, Ace, 1981, Pengantar Ekonomika, Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rachmat, Martoyo, 1991, Serikat Pekerja, Pengusaha dan Kesepakatan Kerja Bersama, Fikahai Aneska, Jakarta.
(5)
Rusli, Hardijan, 2004, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Ghalia Indonesia, Jakarta.
R. Fitriana, Pengusaha pekerja belum saling memahami, 2010.
Semaoen, Penuntun Kaum Buruh, Penerbit Jendela, Yogyakarta .
Subekti, R dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Terjemahan), Pradnya Paramita, Jakarta.
Wijaya, Asri, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta.
PerUndang-Undangan dan Ketentuan Peraturan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat Buruh.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekeja / Serikat Buruh.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Kepmenakertrans No.48 Tahun 2004 jo Permenakertrans No.8 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
Pedoman Peraturan Perusahaan, 2005, Direktorat Persyaratan Kerja, Direktorat Jendral Pembinaan Hubungan Industrial departeman Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Jakarta.
(6)
Makalah / Artikel:
Budiarti, Indah, Perjanjian Kerja Bersama, 2008
Produktivitas dan Manajemen,1985, lembaga Sarana Informasi Usaha dan Produktivitas, Jakarta.
Peter Mayer dan Erwin Schweisshelm, Modernisasi Hubungan Industrial di Jerman
Michael R.Carrel & Christina Heavrin, Labor Relation and Collective Bargaining sixth edition.
Internet:
http ://rumahkiri.net di-up date tanggal 14 Oktober, 2007.
http://bataviase.co.id/node/104891