Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan

(1)

IMPLIKASI NORMALISASI SEI BADERA TERHADAP

PEMUKIMAN MASYARAKAT DI KECAMATAN

MEDAN MARELAN

TESIS

Oleh

MUHAMMAD HALDUN

057024014/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

IMPLIKASI NORMALISASI SEI BADERA TERHADAP

PEMUKIMAN MASYARAKAT DI KECAMATAN

MEDAN MARELAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Magister Studi Pembangunan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD HALDUN

057024014/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : IMPLIKASI NORMALISASI SEI BADERA TERHADAP PEMUKIMAN MASYARAKAT DI KECAMATAN MEDAN MARELAN Nama Mahasiswa : Muhammad Haldun

Nomor Pokok : 057024064

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Drs. Zulkifli Lubis, MA) (Drs. Agus Suriadi, M.Si) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur


(4)

Telah diuji pada :

Tanggal 12 September 2008

PANITIA PENGUJI TESIS:

Ketua : Drs. Zulkifli Lubis, MA Anggota : 1. Drs. Agus Suriadi, M.Si

2. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si 3. Drs. Henry Sitorus, MA


(5)

PERNYATAAN

IMPLIKASI NORMALISASI SEI BADERA TERHADAP PEMUKIMAN MASYARAKAT DI KECAMATAN

MEDAN MARELAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuna saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, atau kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, 12 September 2008


(6)

ABSTRAK

Tesis ini akan membahas tentang bagaimana implikasi dari normalisasi Sei Badera terhadap pemukiman penduduk di Kecamatan Medan Marelan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa persoalan pemukiman penduduk memang bukanlah hal yang gampang. Pemukiman penduduk merupakan bagian terpenting yang memang harus diperhatikan oleh pemerintah setempat mengingat pemukiman adalah masalah krusial yang jika penanganannya tidak baik akan menjadi persoalan besar. Oleh karena itu penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan guna mengetahui bagaimana implikasi dari proyek normalisasi Sei Badera yang telah dilakukan oleh Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara terhadap pemukiman penduduk khususnya yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Badera, Kecamatan Medan Marelan.

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pemilihan pendekatan kualitatif ini didasarkan pada tujuan dari penelitian yakni untuk menggali atau membangun suatu proposisi atau menjelaskan makna dibalik realita. Adapun strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi deskriptif kualitatif. Selain itu peneliti juga menggunakan penelitian berdasarkan studi kasus.

Dari penelitian ini ketahui bahwa proyek normalisasi Sei Badera yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sangat berhasil dan memiliki implikasi yang cukup nyata. Paling tidak hal ini dapat dilihat dari dua hal yakni ; Pertama. Aspek Pembangunan Sosial. Pada aspek ini didapati hasil pemukiman masyarakat bebas dari banjir karenanya harga tanah per meternya menjadi tinggi, kemudian masyarakat dapat memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk bertanam. Kedua. Aspek Pembangunan Ekonomi. Pada aspek ini didapati peningkatan pendapatan masyarakat yang tadinya tidak dapat setiap harinya ke laut sekarang hampir setiap hari dapat ke laut untuk mencari ikan dan kerang. Selain itu masyarakat yang sebahagian besar pengrajin daun nipah setiap harinya dapat menganyam daun nipah karena pasokan barang selalu datang untuk dikerjakan. Dengan demikian dapat membantu pendapatan rumahtangga masyarakat yang berada di pemukiman Sei Badera.

Dari implikasi yang cukup signifikan tersebut maka dianjurkan agar pemerintah terus meningkatkan proyek pembangunan yang memang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat.

Kata Kunci : Implikasi, Normalisasi, Pemukiman, Kebijakan


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya yang tiada tara sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bpk. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, DSAk, selaku Rektor USU

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU

3. Bpk. Prof. DR. M. Arif Nasution, MA., selaku Ketua Program Studi Pembangunan USU

4. Bpk. Drs. Agus Suriadi, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Pembangunan USU dan Penguji

5. Bpk. Drs. Zulkifli Lubis, MA, selaku Ketua Pembimbing dan Ketua Penguji 6. Bpk. Drs. Agus Suriadi, M.Si, selaku Pembimbing dan Penguji

7. Bpk. Prof. Dr. Badaruddin, MSI, selaku Pembanding dan Penguji 8. Bpk. Drs. Henry Sitorus, M.Si selaku Pembanding dan Penguji

9. Kedua orang tuaku Alm. Ali Bahnan dan Hj. Nurhafifa yang selalu memberikan kasih sayang sehingga penulis dapat menjejakkan kaki didunia


(8)

10.Mertuaku Drs. H. Abdul Muis Dalimunthe dan Hj. Dameria Panjaitan yang selula memberi dorongan hingga selesainya tulisan ini.

11.Istiku tercinta Maya Suhera yang selalu mendapingi penulis baik suka maupun serta kedua ananda tersayang Muhammad Fayyadh Hawwari dan Maulida Filzah hendaknya nanti memotivasi kalian agar dapat belajar lebih giat.

12.Bapak dan Ibu dosen/ staf pengajar di Program Studi Pembangunan USU 13.Rekan-rekan mahasiswa khususnya Angk. VII Studi Pembangunan USU serta

staf administrasi Program Studi Pembangunan USU

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada segenap keluarga yang telah memberikan doa dan motivasi, baik selama perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini.

Penulis berharap agar tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan menjadi tambahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, September 2008 Penulis,


(9)

RIWAYAT HIDUP

N a m a : Muhammad Haldun

N I M : 057024014

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 31 Oktober 1971

Alamat : Jl. Flamboyan Raya No. 26 Medan

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS

Status Perkawinan : Kawin

Nama Istri : Maya Suhera

Nama Anak : Muhammad Fayyadh Hawwari

Maulida Filzah Nama orang tua

Bapak Ibu

:

Alm. Ali Bahnan Hj. Nurhafifa

Pendidikan : 1. SD Negeri No. 060954 Medan (1985) 2. SMP Negeri No. 18 Medan (1988) 3. SMA Negeri Labuhan Deli Medan (1991) 4. UMSU Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(1998)

5. Mahasiswa Program S-2 MSP FISIP Universitas Sumatera Utara (2008)


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI... vi

DARTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Kerangka Dasar Pemikiran ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1. Sejarah Pembentukan Kota ... 15

2.1.1. Pemukiman ... 21

2.1.2. Implikasi ... 22

2.2. Proses Penyusunan Kebijakan Publik ... 27


(11)

2.2.2. Perspektif Teoritik Implikasi Kebijakan ... 31

2.3. Manajemen Proyek ... 32

2.4. Perencanaan dan Pembiayaan Daerah ... 33

2.5. Implikasi Kewenangan Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pemerintah Pusat dalam Penyediaan Prasarana Wilayah ... 34

2.5.1. Kewenangan Kabupaten/Kota ... 35

2.5.2. Kewenangan Provinsi ... 36

2.6. Normalisasi Sei Badera ... . 37

2.7. Pembangunan Masyarakat ... . 40

2.7.1. Pemberdayaan sebagai Program dan Proses ... .. 48

2.7.2. Pembangunan Sosial Ekonomi ... .. 51

2.7.2.1. Pengertian Pembangunan Sosial ... .. 51

2.7.2.2. Pengertian Pembangunan Ekonomi ... .. 52

2.7.3. Proses Pembangunan Sosial Ekonomi ... .. 55

BAB III METODE PENELITIAN ... 58

3.1. Bentuk Penelitian ... 58

3.2. Defenisi Konsep... 59

3.3. Lokasi Penelitian ... 61

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 61


(12)

3.5. Teknik Analisis Data ... 63

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 65

4.1. Deskripsi Lokasi Kecamtan Medan Marelan ... 65

4.1.1. Potensi Wilayah Kecamatan Medan Marelan ... 68

4.1.1.1. Data Umum ... 68

4.1.1.2. Pelayanan Umum ... 69

4.1.1.3. Pendidikan ... 70

4.1.1.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Gender (Jenis Kelamin) ... 70

4.1.1.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku ... 71

4.1.1.6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 73

4.1.1.7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan ... 74

4.2. Implikasi Normalisasi Sei Badera ... 75

4.2.1. Aspek Pembangunan Sosial ... 77

4.2.1.1. Kondisi Masyarakat di Sekitar Sei Badera Sebelum Normalisasi ... 78

4.2.1.2. Kondisi Masyarakat di Sekitar Sei Badera Setelah Normalisasi ... 81

4.2.1.2.1. Pergeseran Budaya Masyarakat di Sekitar Sei Badera Setelah Normalisasi ... 87

4.2.1.2.1.1. Arsitektur Rumah Panggung Melayu ... 88


(13)

4.2.2.1. Kondisi Masyarakat di Sekitar Sei Badera Sebelum

Normalisasi ... 93

4.2.2.2. Kondisi Masyarakat di Sekitar Sei Badera Setelah Normalisasi ... 96

BAB V PENUTUP ... 105

5.1. Kesimpulan ... 105

5.2. Saran ... 106


(14)

Nomor Judul Halaman

1. Teknik Pengumpulan Data... 62

2. Karakteristik Informan... 63

3. Data Umum... 68

4. Pelayanan Umum ... 69

5. Pendidikan... 70

6. Perbandingan Penduduk Kecamatan Medan Marelan... 82

7. Hasil Normalisasi Sei Badera... 101


(15)

Nomor Judul Halaman

1. Peta Kota Medan... 67

2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelamin... 71

3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku... 72

4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 73

5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan... 74


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tesis ini akan membahas tentang bagaimana implikasi dari normalisasi Sei Badera terhadap pemukiman penduduk di Kecamatan Medan Marelan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa persoalan pemukiman penduduk memang bukanlah hal yang gampang. Pemukiman penduduk merupakan bagian terpenting yang memang harus diperhatikan oleh pemerintah setempat mengingat pemukiman adalah masalah krusial yang jika penanganannya tidak baik akan menjadi persoalan besar.

Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air Republik Indonesia telah melakukan suatu kajian mengenai model pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara terpadu. Kajian yang pernah dilakukan tersebut bermaksud untuk menggunakan pendekatan yang menyeluruh dengan memperhatikan seluruh pihak dan sektor yang ada di dalam DAS (Tim Direktorat Kehutanan : 2000).

Paling tidak terdapat tiga sektor utama yang dianalisis peranannya yaitu sektor kehutanan, sektor sumber daya air, dan sektor pertanian. Metodologi yang dipakai adalah analisa ekonometrik untuk mengetahui dampak dari kebijakan pembangunan dari ketiga sektor yang ada terhadap kinerja DAS. Pada studi tersebut juga memasukkan variabel-variabel tambahan seperti permukiman untuk mewakili sektor-sektor lain yang ada di dalam DAS. Selain itu terdapat tiga sistem DAS yaitu, DAS


(17)

Ciliwung di Jawa Barat, DAS Jaratunseluna di Jawa Tengah, dan DAS Batanghari di Jambi. Ketiga sistem DAS tersebut lah yang menjadi objek kajian dan ketiga sistem DAS tadi dianggap mewakili 3 kondisi pengelolaan. Walaupun ketiga DAS ini mempunyai karakteristik yang berbeda, tetapi kinerja mereka hampir sama. Mereka mewakili gambaran umum kondisi DAS di Indonesia yang menunjukkan degradasi pengelolaan hutan dan lingkungan hidup (Tim Direktorat Kehutanan : 2000).

Berdasarkan analisis oleh tim dan menjadi hasil kajian tersebut diantaranya adalah dapat disimpulkan bahwa kinerja DAS tidak hanya dipengaruhi oleh satu atau dua sektor tertentu, tetapi paling tidak ketiga sektor pembangunan yang dianalisis memberikan pengaruh secara bersamaan dengan intensitas yang cukup signifikan. Alokasi dana pembangunan untuk kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan cenderung mempunyai pengaruh yang baik terhadap kinerja DAS. Demikian pula halnya investasi di sektor sumber daya air. Disisi lain, investasi di sektor pertanian cenderung memperburuk kondisi DAS. Sebab, kegiatan-kegiatan pertanian menambah pembukaan lahan. Berdasarkan hasil-hasil analisis tersebut, kajian ini merekomendasikan pengelolaan DAS terpadu, artinya bukan hanya mengembangkan satu sektor sementara mengabaikan pengembangan sektor lainnya. Pengelolaan DAS seharusnya melibatkan seluruh sektor dan kegiatan di dalam sistem DAS. Bila tidak, maka kinerja DAS akan memperburuk yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat produksi sektor-sektor tergantung pada kinerja DAS (Tim Direktorat Kehutanan :


(18)

Kajian yang hampir sama juga pernah dilakukan oleh Sigit Setiyo Pramono salah seorang peneliti di Universitas Gunadarma, Semarang. Sigit mengkaji tentang normalisasi sungai sebagai salah satu upaya penanggulangan banjir di Kota Semarang. Untuk upaya normalisasi tersebut Sigit memperkenalkan suatu sistem yang diberi nama Sistem Peringkat Komunitas (SPK) (Sigit S. Pramono : 2002).

Pendekatan Sistem peringkat komunitas (SPK) adalah metode pencegahan banjir dengan cara memberikan penilaian dari masyarakat terhadap suatu perencanaan yang telah disiapkan untuk diterapkan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria pada metode ini terdiri dari menentukan proses perencanaan, melibatkan peran masyarakat, mengkoordinasikan antara kelompok masyarakat dan pemerintah, memperkirakan bahaya dan resiko banjir, mengevaluasi permasalahan banjir, menyusun tujuan, mengevaluasi strategi dan ukuran yang diterapkan, memberikan konsep untuk pelaksanaan, menyetujui perencanaan dan mengaplikasikan, mengevaluasi dan memperbaiki perencanaan (Sigit S. Pramono : 2002).

Kajian yang dilakukan oleh Tim Direktorat Kehutanan dan Sigit S. Pramono di atas keduanya berawal dari upaya untuk memperbaiki sungai atau yang lazim kita sebut sebagai Normalisasi Sungai (NS). Dimana keduanya menghasilkan suatu rekomendasi yang sama dalam hal penanggulangan banjir melalui perbaikan DAS. Tim Direktorat Kehutanan menganjurkan agar pelaksanaan NS-DAS dengan menerapkan sistem yang mereka beri nama “Normalisasi Sungai Terpadu”. Tidak


(19)

jauh berbeda dari apa yang dipaparkan oleh Tim Direktorat Kehutanan di atas, Sigit S. Pramono juga menganjurkan penerapan Sistem Peringkat Komunitas (SPK). Perbedaan keduanya lebih pada menempatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan NS-DAS yang dilaksanakan.

Kembali pada topik yang menjadi fokus penelitian penulis di atas yakni menyinggung mengenai pemukiman penduduk. Ketika kita akan berbicara mengenai pemukiman penduduk sebagai salah satu varibel berarti sangat erat kaitannya dengan proses pembangunan yang tengah berlangsung. Proses pembangunan dalam hal ini khususnya terkait dengan pembangunan infrastruktur suatu wilayah. Kegiatan pembangunan infrastruktur perkotaan memiliki peran yang sangat signifikan terhadap keberhasilan pemanfaatan ruang wilayah (Bappenas : 1997)

Konsep dasar pembangunan sarana dan prasarana dasar perkotaan berorientasi pada pemenuhan pelayanan infrastruktur perkotaan yang mendukung bagi terwujudnya pola perkembangan kota menuju kota metropolitan, yang aman, tertib, lancar, asri dan sehat serta dapat menumbuh kembangkan perekonomian dan sosial budaya kehidupan masyarakat. Implikasi konsep tersebut di atas memiliki banyak tantangan, hal ini disebabkan kondisi infrastruktur perkotaan yang terbangun telah mengalami penurunan kualitas dan fungsi yang cukup tajam, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar untuk mengembalikan kondisi terbut pada titik yang dapat dikategorikan baik atau layak guna (Bappenas : 1997)


(20)

Di sisi lain kelengkapan infrastruktur yang tersedia masih kurang dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat perkotaan terlebih lagi bagi masyarakat kota metropolitan. Sebagai gambaran beberapa permasalahan dalam penataan ruang dan infrastruktur seperti kurangnya penataan ruang, belum meratanya penyebaran fasilitas perumahan dan lingkungan, belum optimalnya penanganan banjir, kurang optimalnya penanganan kebersihan kota belum optimalnya pengelolaan irigasi, DAS dan lain sebagainya yang memerlukan perencanaan dan perhatian yang lebih dari pemerintah, baik perintah propinsi maupun pemerintah kota/kabupaten (Bappenas : 1997).

Dalam rangka pembangunan Medan Metropolitan dan MeBiDang (Medan-Binjai-Deli Serdang), pihak Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kota Medan telah banyak melakukan kebijakan pembangunan untuk mendukung Kota Medan menjadi kota metropolitan seperti penataan pembangunan pemukiman, gedung-gedung pertokoan dan pusat perbelanjaan yang megah, perbaikan dan pembangunan sarana transportasi di seluruh Kota Medan.

Namun sampai saat ini yang menjadi salah satu permasalahan yang belum terselesaikan oleh Pemerintah Kota Medan secara khusus dan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara secara umum adalah masalah banjir yang selalu membanjiri dan mengenangi hampir seluruh daerah Kota Medan, terutama daerah-daerah pinggiran Kota Medan yang sering mengakibatkan implikasi langsung kepada seluruh anggota masyarakat yang terkena langsung dari akibat bahaya banjir yang melanda daerah pemukiman mereka. Sering kita lihat bahwa apabila suatu daerah tersebut digenangi


(21)

oleh air banjir dalam beberapa jam atau beberapa hari tentunya berimplikasi langsung terhadap kondisi tanah, pemukiman penduduk, sanitasi kesehatan masyarakat, dan berpengaruh pada aktivitas dari setiap anggota masyarakat yang tinggal dan bermukim di daerah yang dilanda banjir tersebut.

Dalam rangka menuju Medan sebagai kota metropolitan yang terkait dengan penanganan banjir, maka Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara berkoordinasi dengan Pemerintahan Kota Medan salah satunya adalah melakukan Normalisasi Sungai (NS). Normalisasi serta penanggulangan Sungai Sei Badera. Sungai Sei Badera adalah salah satu dari tiga sungai kecil yang alirannya melewati Kota Medan. Selain sungai-sungai kecil, tercatat ada beberapa sungai besar yang membelah kota yang berpenduduk sekitar dua juta jiwa ini, yaitu Sungai Belawan, Sungai Deli, Sungai Percut, dan Sungai Serdang. Sedangkan tiga sungai kecil yang melewati Kota Medan selain Sungai Badera adalah Sungai Batuan dan Sungai Kera.

Penanganan sungai Sei Badera yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara terdiri dari : normalisasi sungai, penanggulangan sepanjang lebih kurang 20 kilometer dan perbaikan jembatan yang melintas di atas sungai. Pelaksanaan konstruksi sungai tersebut sudah dimulai sejak tahun 2003, dan pekerjaannya telah rampung pada tahun 2005. Adapun yang menjadi sasaran proyek normalisasi sungai Sei Badera adalah pengendalian banjir dan pengamanan pantai di Kota Medan. Kedua hal ini telah masuk pada tahapan yang teramat penting. Karena


(22)

Medan dan daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Medan dari musibah banjir yang sudah dapat dipastikan akan mengancam daerah ini secara massif.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan diajukan adalah bagaimana implikasi dari normalisasi Sungai Sei Badera terhadap

pemukiman penduduk di Kecamatan Medan Marelan.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan; “untuk mengetahui implikasi normalisasi Sungai Sei Badera terhadap

pemukiman penduduk di Kecamatan Medan Marelan.”

1.4. Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap berbagai model atau konsep pembangunan sarana dan prasarana fisik perkotaan terutama mengenai upaya normalisasi sungai.

2. Secara pragmatis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap berbagai upaya normalisasi sungai guna meminimalisir banjir


(23)

sehingga memberikan dampak positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat.

1.5. Kerangka Dasar Pemikiran

Seperti telah dijelaskan bahwa ketika berbicara pemukiman maka akan sangat terkait erat dengan pola pembangunan yang sedang berlangsung. Pelaksanaan pembangunan sangat tergantung pada peran Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat serta pemerintah daerah itu sendiri, sehingga hal yang banyak mendapat perhatian masyarakat seperti bagaimana peran pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakannya melalui kegiatan pembangunan disegala bidang serta dapat dilihat dan dinikmati masyarakat. Tujuan pembangunan di tingkat daerah baik Provinsi maupun daerah kabupaten/kota untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah melalui pembangunan yang serasi dan terpadu, baik antar sektor maupun antara pembangunan sektoral dengan perencanaan pembangunan oleh daerah yang efisien dan efektif menuju tercapainya masyarakat mandiri, dan kemandirian daerah itu sendiri yang merata di seluruh tanah air. (Kartasasmita,1996:336).

Dalam pelaksanaan pembangunan tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan pemerintah, apakah itu menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan, selalu diiringi dengan tindakan-tindakan pelaksanaan yang kemudian memiliki implikasi


(24)

maka tidak akan banyak berarti bagi masyarakat sebagai yang merasakan langsung dari setiap tindakan-tindakan maupun kebijakan-kebijakan yang diambil dan dijalankan oleh pemerintah.

Van Meter Van Horn merumuskan bahwa .” Implikasi sebagai hasil dari tindakan-tindakan yang dilakukan individu atau pejabat-pejabat maupun kelompok-kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam suatu kebijakan.” (Peter F.Drucker:1995)

Dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pembangunan terhadap kesejahteraan rakyat, Pemerintah Kota Medan dengan berkoordinasi dan memohon kepada Pemerintah Propinsi Sumatera Utara untuk melakukan pembangunan untuk mengatasi bahaya banjir di Kota Medan, baik yang ada di pusat Kota Medan maupun daerah-daerah pinggiran Kota Medan, yaitu dengan melakukan dan mengupayakan pengamanan areal potensial dari bahaya banjir yang sering melanda Kota Medan dan sekitarnya, akibat dari penampang sungai yang tidak dapat menampung debit air, pendangkalan sungai serta penyempitan aliran sungai. Hal ini diakibatkan oleh tingginya tingkat urbanisasi, kerusakan daerah tangkapan air dan volume air yang tidak tertampung pada penampang sungai.

Melihat rencana pembangunan daerah Provinsi Sumatera Utara khususnya daerah Kota Medan yang akan dikembangkan menjadi kota metropolitan. Dengan pengembangan daerah sekitarnya baik yang ada dipusat kota maupun daerah pinggiran kota maka untuk mengatasi banjir, beberapa sungai yang mengalir melalui


(25)

daerah yang sering mengalami banjir oleh pemerintah Kota Medan telah diprogramkan dan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk diusulkan supaya dinormalisasikan dalam rangka meningkatkan pengamanan banjir dari periode 5 tahunan,15 tahunan dan menjadi 25 tahunan.

Sungai Sei Badera merupakan anak ranting sungai dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan yang merupakan induk sungai yang mengalirkan air sungai dari anak ranting sungai dari hilir sungai menuju kelautan. Di dalam Undang-undang Republik Indonesia No.7 tahun 2004 pasal 11 disebutkan bahwa, Daerah Aliran Sungai adalah suatu daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau kelaut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah tofografis dan batas di laut sampai daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan..

Sungai Sei Badera dengan panjang lebih kurang 11,80 Km adalah salah satu sungai yang melintasi daerah pinggiran Kota Medan yang mengalir melalui Kecamatan Medan Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli dan Kecamatan Medan Marelan. Setiap tahunnya daerah sepanjang aliran sungai ini terjadi luapan air yang mengakibatkan banjir hal ini disebabkan kapasitas penampang Sei Badera yang relatif kecil dibandingkan dengan tingginya aliran air permukaan yang mengalir pada daerah sepanjang sungai, kemudian ditambah lagi dengan kondisi kerusakan pada daerah


(26)

tanggapan air yang ada disepanjang sungai, kemudian bertambah banyaknya aliran permukaan dan semakin tingginya tingkat urbanisasi di Kecamatan Medan Marelan.

Genangan banjir ini sangat mempengaruhi sarana transportasi perekonomian dan sosial yang tentunya berimplikasi negatif terhadap daerah sekitar aliran Sei Badera. Sesuai dengan pengamatan banjir pada tanggal 23 Desember 1992 dimana seluas 1.513 Ha areal tergenang air dengan ke-dalaman 1.5 m meliputi daerah pemukiman, jalan, perkebunan, dan transportasi umum disepanjang aliran Sungai Sei Badera. Kecamatan Medan Marelan adalah merupakan daerah yang paling banyak terkena dampak dari sering meluapnya air sungai Sei Badera yang mengakibatkan banjir setiap tahunnya. Akibat dari banjir tersebut ialah lumpuhnya kegiatan perekonomian masyarakat dan menghancurkan lahan areal pertanian dan perkebunan penduduk serta sarana transportasi berupa jalan dan jembatan.

Disepanjang aliran sungai Sei Badera, hidup dan bertempat tinggal masyarakat yang mempunyai mata pencaharian dari bertani, nelayan, wiraswasta, dan pegawai negeri. Dalam kegiatan kehidupan sehari-harinya masyarakat yang ada disekitar atau disepanjang aliran Sei Bedera tentunya sangat tergantung terhadap sungai Sei Badera. Karena itu lah ketika sungai Sei Badera tidak “bersahabat” dengan penduduk dengan seringnya banjir tentunya masyarakat sangat merasakan dampak dari itu. Seperti terhalang untuk menjalankan aktifitas sehari-hari untuk mencari nafkah, timbulnya masalah kesehatan yang dialami oleh warga seperti muntaber, gatal-gatal pada kulit,


(27)

masalah air bersih yang terganggu kejernihannya dan kehidupan sosial masyarakat yang terganggu akibat tergenang air banjir.

Melihat permasalahan sungai yang ada pada sekitar aliran Sei Badera, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dalam hal ini dinas teknisnya yang membidangi masalah sungai, irigasi dan rawa yaitu Dinas Pengairan Propinsi Sumatera Utara telah mengusulkan dan mengupayakan penormalisasian sungai Sei Badera yang bertujuan sebagai upaya penanganan banjir sekaligus untuk meningkatkan taraf hidup perekonomian, dan sosial masyarakat serta perkembangan masyarakat di Kecamatan Medan Marelan menuju daerah kecamatan yang berkembang dan maju, sehingga mampu berkembang dan maju bersama sama dengan kecamatan-kecamatan yang telah maju dan berkembang dalam wilayah administratif Pemerintahan Kota Medan.

Apalagi lahan yang cukup luas dan potensial dijadikan daerah pertanian dan pemukiman perumahan penduduk baik untuk perumahan real estate maupun Perumahan Nasional (Perumnas). Dengan demikian masalah pemukiman penduduk yang cukup padat di tengah Kota Medan bisa direlokasikan pada daerah kecamatan salah satunya adalah Kecamatan Medan Marelan. Pada tahun 2003 melalui dana LOAN (pinjaman) ADB (Asean Development Bank) 1587-INO dibantu dengan Sumber dana dari APBD Propinsi Sumatera Utara, teralokasi dana untuk pekerjaan normalisasi sungai Sei Badera kemudian diteruskan pada tahun 2004 hingga 2005 lalu yang pada akhirnya penormalisasian Sei Badera tersebut selesai dikerjakan.


(28)

Setelah pekerjaan normalisasi selesai maka peneliti mencoba untuk melihat secara objektif dan menggambarkan bagaimana implikasi normalisasi Sei Badera terhadap pemukiman penduduk di Kecamatan Medan Marelan. Melalui penelitian ini yang ingin dilihat adalah bagaimana manfaat dan implikasi yang dirasakan oleh masyarakat di Kecamatan Medan Marelan dari hasil penormalisasian Sei Badera terhadap pembangunan perekonomian, pemukiman penduduk dan sosial masyarakat di Kecamatan Medan Marelan.

Dimana pada tahun-tahun sebelum dilaksanakan pembangunan penormalisasian Sei Badera tersebut terutama masalah perekonomian masyarakat yang tinggal disepanjang aliran Sei Badera terganggu aktivitasnya karena seringnya banjir yang melanda mereka setiap tahunnya, jika terjadi banjir yang menggenangi pekarangan rumah-rumah dan akses jalan yang berada di sepanjang aliran Sei Badera. Dengan banjir tersebut secara otomatis mereka tidak bisa menjalankan kegiatan perekonomian mereka karena rata-rata penduduk yang tinggal disekitar aliran sungai Sei Badera tersebut harus tinggal di rumah dalam beberapa hari sambil menunggu air surut, tentunya berakibat pada terganggunya kegiatan pereknomian di daerah itu.

Belum lagi masalah kesehatan lingkungan yang diakibatkan genangan air selama beberapa hari dimana air yang ada diselokan, parit-parit, maupun lubang-lubang sampah yang berbaur jadi satu dibawak oleh aliran air sungai yang banjir menuju rumah rumah penduduk, hal demikian tentunya kita dapat memperkirakan bahwa kotoran-kotoran dan kuman-kuman pembawa penyakit akan dapat


(29)

menimbulkan serangan kepada setiap anggota masyarakat yang dilanda banjir. Apalagi areal persawahan yang tergenang banjir sudah barang tentu tidak dapat dimanfaatkan kembali untuk diteruskan menunggu panen, artinya padi yang ditanam gagal panen untuk tahun yang berjalan sehingga para petani penanam padi tentunya mengalami kesulitan dan kerugian finansial yang cukup besar.

Lain lagi untuk aktivitas-aktivitas masyarakat dalam melakukan fungsinya sebagai mahluk sosial yang hidup bermasyarakat dan saling tolong-monolong, kunjung-mengunjungi antara satu dengan yang lainnya jika ada kegiatan-kegiatan sosial tentunya terganggu akibat dari bahaya banjir yang melanda pada daerah aliran sungai Sei Badera tersebut. Belum lagi lahan-lahan kosong yang cukup luas yang bisa dijadikan pembangunan perumahan pemukiman penduduk menjadi tergenang dan menjadi pemandangan sebagai daerah genangan air dan terendam air, padahal apabila sungai yang ada disepanjang daerah tersebut normal dan sistem pengaliran airnya ke sungai baik maka hal yang demikian tidak mungkin dapat terjadi. Namun implikasi pembangunan normalisasi Sei Badera tersebut telah banyak memberikan manfaat yang cukup besar terhadap perekonomian, sosial dan budaya masyarakat dan pemukiman penduduk di Kecamatan Medan Marelan.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Pembentukan Kota

Seiring dengan persiapan Kota Medan menuju kota metropolitan maka dilakukanlah beberapa persiapan sebagai upaya pembentukan identitas kota metropolitan. Berbicara tentang kota maka pada dasarnya kota merupakan sebentuk kehadiran realitas sosial merupakan hal yang tak mungkin lagi terseleksi dalam neraca perkembangan zaman. Membaca fenomena kota sebagai sebentuk manifestasi modernitas yang dibayangkan dan dimungkinkan. Kota adalah sebuah teritori yang pengertiannya terus berubah sejalan dengan dinamika kota itu sendiri. Dalam konsep Jawa, contohnya, tak dikenal istilah kota. Yang ada hanya nagara, di mana wilayah itu adalah ke mana pun “orang pergi ke luar tanpa melintasi sawah”. Sementara, orang Melayu menyebutnya bandar: tempat persinggahan kapal-kapal, bongkar muat barang, transaksi jual-beli dan dari sini pula umumnya peradaban tumbuh, sebuah kota berkembang (Bainfokom Sumut : 2007).

Pemahaman ini tentunya datang dari mereka yang akrab dengan laut, dengan wilayah kepulauan, yang mengandaikan bandar/kota sekadar lokasi transit: tempat masuk dan keluar, datang untuk kemudian pergi lagi. Bandar/kota dalam hal ini adalah gerbang. Beberapa definisi (secara etimologis) “kota” dalam bahasa lain yang agak pas dengan pengertian ini, seperti dalam Bahasa Cina, kota adalah dinding, dan


(31)

dalam Bahasa Belanda Kuno, kota, tuin, bisa berarti pagar. Dengan demikian, kota adalah suatu batas (Bainfokom Sumut : 2007).

Definisi kota yang acapkali diajukan menjadi semacam teori-teori yang tidak baku. Setiap kota memiliki hak keanekaragamannya sendiri. Menelusuri sejarah pembentukannya dengan mitos kelahiran dan perkembangannya sekaligus, misalnya, dekolonisasi menyeruak menyebarkan aroma kisah-kisah perubahan sosial, ekonomi dan juga kultural. Berbagai proses tersebut menjadi monumen perkotaan yang kelak menjadi sejarah perkotaan (Bainfokom Sumut : 2007).

Kota tidak hanya mengemukakan fenomena wilayah geografis tertentu (place), tapi juga seperangkat kegiatan (work) dan dinamika penduduk (folk) yang terus bergerak. Hal tersebut mengantarkan pada benang merah untuk terus dipetakan dalam tiga kontinum pembahasan. Setidaknya pembicaraan akan diurai dengan kajian perkotaan yang bermaksud mengenali kondisi perkotaan secara demografis yang pelik. Selain itu disertai kompleksnya perspektif sosiologis yang kaya dan dinamik. Kemudian muasal kota dirunut dari turunan studi perencanaan kota (urban planning), suatu kajian yang mengarah pada penataan ruang yang dekat hubungannya dengan kewilayahan lalu bermuara pada tata guna lahan dengan mengadaptasi setiap lekuk tata ruang perkotaan. Sedangkan yang terakhir ialah pembahasan perkotaan dalam telaah perancangan kota (urban design). Di sini, kota lebih berdimensi fisik dan lebih dekat dengan dinamika arsitektural dengan menekankan pada keindahan dan


(32)

Benang merah kehadiran perkotaan tidak terlepas dari gesekan-gesekan spasial. Dalam sejarahnya, selalu saja ada yang ditelikung dan didominasi, digusur dan dikonversi demi terbentuknya sistem perkotaan yang seragam. Termasuk bagaimana lahan-lahan pertanian dikonversikan fungsinya menjadi kemegahan kota yang lebih strategis secara ekonomis. Industrialisasi tampak mewah bagi pertanian yang lengang dan terpojok. Desa-desa mengungsikan penduduknya secara tak sadar ke kota. Menggadaikan sawah untuk menjadi tenaga kerja di kota. Menjadi bagian kecil dari seluruh sistem perkotaan, sistem industri. Akan tetapi, seperti pernah dituturkan James C. Scott, selalu ada perlawanan sederhana, walaupun pada kenyataannya pembangunan kota terus berjalan.

Artikulasi globalisasi, integrasi nasional sekaligus lahirnya euforia lokalisasi yang meriah, menciptakan kontradiksi-kontradiksi kultural (Dieter Evers: 2002). Ketegangan-ketegangan sosial. Penyebaran komposisi etnis yang tidak melulu konsentris dan merata. Konsekuensi sosial, kultural, ekonomi, dan politik perkotaan merupakan peristiwa penting yang mewarnai konsensus zamannya. Panggung kehadiran kota sebagai wilayah, memiliki impak yang besar terhadap masyarakat (Dieter Evers: 2002).

Lanskap perkotaan saat ini mencitrakan kekuatan generasi universalisme. Menampakkan konsepsi ruang-ruang yang seragam dalam gelagat taktik ekonomi transnasional. Gedung-gedung kotak menjulang menengadah pada langit, menengarai kesibukan kinetis dan kerja-kerja mekanik. Gerai-gerai pertokoan, etalase-etalase


(33)

dalam mal-mal yang sejuk dan lapang, juga sajian kuliner yang beraneka ragam. Kota menjadi manifestasi dunia yang dimampatkan. Menjadi garis-garis labirin spasial dunia. Koneksi inter subyektif sosial politik dalam-kota-kota peradaban (Dieter Evers: 2002).

Akan tetapi, tampak pula kontradiksi kultural dalam perkembangannya. Semangat lokal dalam nuansa global terjadi pula di kota. Kolong-kolong sosial yang diciptakan terbatas dan parsial, setidaknya, secara simbolik, dapat terbaca bahwa terdapat ruang-ruang yang dibatasi kelas sosial, kultural maupun politik. Ambil contoh permukiman sebagai ukuran simbolik kelas sosial tertentu. Cermin yang tepancar adalah ruang-ruang yang gaduh sekaligus sepi. Gaduh dalam keberagaman lokal, sepi dalam simponi kebersamaan kelas sosial. Kondisi ini dipicu oleh perkembangan kota itu sendiri, baik dari paradigma struktural mengenai masalah tata ruang serta konsep sebuah kota modern dan pascamodern yang melampaui nilai etis humanisme. Selain itu perlu juga mencermati sebentuk kehadiran dinamika kultural, politik identitas, dan struktur sosial ekonomi yang terjadi (Prinsen : 1999)

Kondisi yang centang-perenang seperti itu tak ketinggalan ditingkahi oleh padatnya laju migrasi dan pergerakan penduduk. Sehingga kota lalu berubah menjadi magnet bagi wilayah-wilayah sekitarnya. Kota bergerak ke masa depan menjadi moda ekonomi yang krusial bagi kehadiran negara-bangsa. Kota menjadi pusat laju perekonomian suatu negara lewat ‘modus operandi’, menunjukkan representasi dari


(34)

mungkin. Dorongan fenomena global yang menggurita mengakomodasi hal-hal tersebut terwujud (Prinsen : 1999).

Pergolakan perkotaan ala Indonesia sebagai representasi negara dunia ketiga membangun kotanya dengan kearifan yang khas. Walaupun tetap ada tarik ulur atas serbuan mondial dari peradaban sekarang. Sejarah pembentukan kota tampaknya menjadi komponen penting pembicaraan mengenai kota. Secara konseptual, kota memiliki penjelasan atas setiap konteksnya. Dengan analisis Marxian, Manuel Castells, gemas memaparkan kota yang terbentuk atas landasan sistem ekonomi. Menurutnya, awal mula kota terbentuk akibat dari adanya teknologi dan jaringan rel kereta api. Transformasi perkembangan kota terpola atas dorongan industri. Hal tersebut bisa menjelaskan konsentrasi teritorial maupun kultural karena dua hal penting dari sistem industri: tenaga kerja dan produksi (Prinsen : 1999).

Pertentangan antara kota dan desa, awal mulanya bukan sesuatu hal yang harus dibesar-besarkan. Sifatnya komplemen (saling melengkapi). Kota acapkali merupakan tempat raja bersemayam, teritori dimana tidak lagi dijumpai sawah-sawah, tempat peribadatan, pusat perdagangan. Dua hal, desa dan kota, merupakan sebentuk kehidupan yang utuh dan saling melanjutkan. Namun ketika muncul gairah produksi ala modern, cara pandang dan gaya hidup berubah. Di era industri (produksi) manusia hanya unsur dari gegap sistem produksi:tenaga kerja. Hanya salah satu dari alat produksi yang lain seperti modal, SDA, teknologi dll (Prinsen : 1999).


(35)

Lain halnya dengan kehidupan sebelumnya yang menyebut manusia adalah sesama, keluarga, tetangga dan saudara. Dari sinilah dikotomi kota dan desa mulai muncul. Klasifikasi termasyhur Ferdinand Tonnies, membentangkan kota dan desa menjadi pengertian gamaenschaft dan gesselschaft. Penjelasan klasik yang popular untuk memaparkan definisi desa, kota di dunia ketiga (Ferdinand : 1992)

Kota dalam pengertian fisik maupun segala kulturnya terutama dalam masyarakat bercorak agraris, cikal bakal kota-kota besar di Pulau Jawa, kemudian berkembang pesat, kendati sering kali tertatih-tatih dan pada satu waktu melompat-lompat. Tertatih-tatih karena ia mengalami kolonialisasi dan feodalisasi dalam suatu kurun waktu (dan berulang-ulang dalam berbagai modus dan wujud), dan mengalami lompatan ketika modernitas telah mengalir deras ke sana. Modernitas, yang diawali dari bergesernya pemahaman yang kosmosentris ke antroposentris, kemudian secara sekaligus telah mengangkut pelbagai fasetnya: rasional, fungsional, efektif, dan seterusnya. Ia kemudian menciptakan suatu wilayah yang tertata, terprediksi, terkontrol. Ia mengatur yang privat dan yang publik, mewujudkan suatu lingkup administratif, merapikan segala sesuatu yang tadinya karut marut. Dan, tentu saja, memperkenalkan dan menempatkan moda-moda ekonomi sebagai faktor yang begitu determinan (Ferdinand : 1992).


(36)

2.1.1. Pemukiman

Globalisasi, yang mencita-citakan kesadaran manusia seluas dunia menjadi tumpul. Perubahan dan kemajuan yang dibawa rupanya telah memancing kerinduan akan sebuah keintiman. Keintiman akan kenyamanan nilai lokalitas yang coba dimunculkan kembali. Sebentuk lokalitas baru yang memunculkan sebuah konsep integritas: terkhusus masyarakat berpagar. Kondisi ini dipicu oleh perkembangan kota itu sendiri, baik dari paradigma struktural mengenai masalah tataruang serta konsep sebuah kota modern dan postmodern hingga kultural mengenai masalah identitas, interaksi, dan tindakan sosial (Mubyarto : 1994).

Pemukiman merupakan masalah yang tak kunjung memperoleh penyelesaian. Bagaimana mewujudkan standar pemukiman yang manusiawi tetap tak lebih menjadi sebuah keinginan tak terwujudkan. Di perkotaan, pemukiman ini menjadi persoalan vital dan terus menuai ganjalan. Laju modernisasi dan urbanisasi telah menuntut kota, untuk terus dapat menaungi para penghuninya.

Seperti yang sudah dijelaskan di muka, perkembangan kota-kota modern telah memunculkan konsep integrasi baru dan diantaranya melahirkan masyarakat barpagar: komunitas sosial terbatas yang dibatasi oleh pagar atau tanda/batas fisik yang lain. Keterbatasan lahan, kemacetan transportasi, kesibukan, dan yang muncul kemudian adalah gedung-gedung menjulang ke langit, apartemen-apartemen mewah, rumah-rumah yang ditumpuk ke atas lengkap dengan fasilitas-fasilitas yang berlokasi di jantung kota.


(37)

Seiring dengan kamajuan kota maka persoalan pemukiman semakin kompleks dengan segala permasalahannya. Banjir merupakan salah satu contoh kasus yang sering terjadi di Kota-Kota Besar di Indonesia. Dengan demikian, persoalan banjir sebenarnya terkait dengan persoalan fungsi sungai. Banyak sekali dijumpai bahwa sungai tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Melainkan sungai telah menjadi tempat sampah yang panjang dan praktis bagi masyarakat perkotaan. Sehingga harus ada upaya untuk melakukan normalisasi terhadap fungsi sungai.

Untuk melakukan normalisasi tersebut sangat erat kaitannya dengan implikasi yang ditimbulkan dari normalisasi sungai tersebut. Sehingga, selanjutnya kita akan mendefinisikan terlebih dahulu tentang implikasi dari sebuah kebijakan.

2.1.2. Implikasi

Dalam setiap setiap perumusan kebijakan apakah itu menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan dan kemudian dapat dirasakan implikasinya. Karena betapapun baiknya suatu kebijakan tanpa menghasilkan implikasi yang jelas, maka tidak akan banyak berarti bagi masyarakat.

Merujuk secara etimologis terminologi implikasi adalah suatu hasil atau keadaan yang dapat dilihat dan dirasakan (Kamisa, 1997:241). Burhani juga mengatakan bahwa implikasi merupakan hasil akhir dari suatu kebijakan atau


(38)

Selanjutnya pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn (Peter F.Drucker,1075) yang mengemukakan bahwa:

“Implikasi sebagai hasil dari tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat maupun kelompok-kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam suatu kebijakan.”

Standar dan sasaran kebijakan didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang menentukan pencapaian kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn, identifikasi indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis Implikasi kebijakan. Indikator-Indikator pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran Dasar dari tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan. Sumber daya layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implikasi kebijakan yang tepat guna. Sumber daya yang dimaksud adalah mencakup dana atau perangsang (insentive). (Winarno,2002:110).

Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan akan mendukung implikasi yang efektif. Dengan demikian, sangat penting untuk memberi perhatian yang besar kepada kejelasan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan, ketepatan komunikasinya dengan para pelaksana, dan konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan-tujuan yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi (Winarno,2002:111).

Karakteristik badan-badan pelaksana juga mempengaruhi pencapaian kebijakan. Menurut Van Meter Van Horn. Pembahasan ini tidak bisa lepas dari


(39)

struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karateristik, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dan badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial mapun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dan model ini terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari organisasi-organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari para personil (Winarno,2002:116).

Sedangkan menurut Edward III dalam Winarno, implikasi adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Menurut Winarno ada empat faktor atau variable krusial dalam implikasi kebijakan publik. Faktor-faktor atau variabel-variabel tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan-kecenderungan, dan struktur birokrasi (Winarno,2002:126).

Menurut Edward persyaratan pertama bagi tercapainya implikasi yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Secara umum Edward membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yaitu, transmisi, konsistensi, dan kejelasan (Winarno,2002:126).

Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat meng-implikasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk


(40)

Faktor kedua yang dikemukakan Edward III adalah kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan diimplikasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Sering kali instruksi-instruksi yang diteruskan kepada pelaksana-pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana suatu program dilaksanakan. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implikasi kebijakan, akan mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna peran awal (Winarno,2002:128).

Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah konsistensi. Jika implikasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsistensi dan jelas.Walaupun perintah-perintah-perintah-perintah yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. Di sisi yang lain, perintah-perintah implikasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan meng-implikasikan kebijakan (Winarno,2002:129).

Implikasi yang efektif dapat terjadi menurut Grindle ditentukan oleh pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan yang telah diputuskan atau ditetapkan oleh para pengambil keputusan. Langkah ini tidak berhenti sampai disini, karena


(41)

konsistensi antara pembuat keputusan dan para pekerja atau pelaksana keputusan dilapangan juga memiliki peran yang teramat penting dalam hal melahirkan implikasi yang tepat guna dan berdaya guna (Wibawa dkk,1994 :32).

Ide Dasar Grendel adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual dan biaya telah disediakan, maka kebijakan dilaksanakan. Tetapi ini tidak berjalan mulus, tergantung pada implementability dari program itu yang dapat dilihat daripada isi dan konteks kebijakannya (Wibawa dkk,1994 :32).

Isi kebijakan mencakup : pertama, kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan. Kedua, jenis manfaat yang akan dihasilkan. Ketiga, derajat perubahan yang diinginkan. Keempat, kedudukan pembuat kebijakan. Kelima, siapa pelaksana program. Keenam, sumber daya yang dikerahkan (Wibawa dkk.1994:22).

Yang dimaksudkan oleh Grindle dengan konteks kebijakan adalah pertama, kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat. Kedua, karakteristik lembaga dan penguasa. Ketiga, kepatuhan serta daya tanggap pelaksana (Wibawa dkk,1994:24).

Sementara Winarno mengatakan bahwa dalam rangka melaksanakan suatu program atau kebijakan yang harus dijalankan sehingga akan memiliki implikasi yang memuaskan dimasyarakat, terdapatnya konsistensi antara keputusan dan implementasi di lapangan. Suatu kebijakan harus terencana dengan baik sehingga


(42)

Kemudian dalam merumuskan suatu kebijakan perlu dilakukan proses penyusunan kebijakan publik agar dalam menerapkan kebijakan tersebut benar-benar bermanfaat dan berguna bagi pembangunan dan masyarakat khususnya sebagai implikasi dari kebijakan tersebut.

2.2. Proses Penyusunan Kebijakan Publik

Proses sebuah kebijakan publik itu terlahir dari beberapa tahapan-tahapan atau langkah-langkah mekanisme pembuatan sebuah kebijakan.

1. hal yang pertama sekali ada adalah gejala atau isu yang menjadi masalah publik, disebut isu apabila masalahnya bersifat strategis, yakni bersifat mendasar, menyangkut banyak orang atau bahkan keselamatan bersama, biasanya berjangka panjang, tidak bisa diselesaikan oleh orang seorang dan memang harus diselesaikan. Isu ini diangkat sebagai agenda politik untuk diselesaikan

2. Isu ini kemudian menggerakkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut. Rumusan kebijakan ini akan menjadi hukum bagi seluruh negara dan warganya termasuk pimpinan negara.

3. Setelah dirumuskan kemudian kebijakan publik ini dilaksanakan baik oleh pemerintah, masyarakat, atau pemerintah bersama-sama dengan masyarakat.


(43)

4. Namun dalam proses perumusan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan, diperlukan tindakan evaluasi sebagai sebuah siklus baru sebagai penilaian apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan dengan baik dan benar dan implikasinya apakah telah seperti yang diharapkan, terlaksana dengan baik dan benar.

5. Implikasi kebijakan bermuara kepada out put (hasil) yang dapat berupa kebijakan itu sendiri maupun manfaat langsung yang akan dapat dirasakan oleh pemanfaat.

6. Di dalam jangka panjang kebijakan tersebut menghasilkan out come dalam bentuk implikasi kebijakan yang diharapkan semakin meningkatkan tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan tersebut.

Dalam melihat hal di atas ada 3 hal yang pokok berkenaan dengan kebijakan publik yaitu : perumusan kebijakan, implikasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Namun yang menjadi perhatian dalam pembahasan penelitian ini adalah bagaimana implikasi suatu kebijakan terhadap objek yang terkena kebijakan tersebut.

2.2.1. Implikasi Kebijakan

Implikasi kebijakan merupakan tahapan dimana kita dapat melihat hasil dari sebuah kebijakan yang telah dijalankan. Dengan demikian program tersebut untuk kemudian dapat dievaluasi untuk mengetahui apa yang menjadi kelebihan dan


(44)

menganjurkan bahwa disetiap tahap proses kebijakan publik, termasuk tahapan implikasi kebijakan penting dilakukan analisa. Analisa disini tidak identik dengan evaluasi, karena tahapan penyusunan agenda (Policy Agenda) hingga Policy

Evaluation sudah harus dilakukan analisa. Ungkapan Dunn yang terkenal adalah; ”lebih baik perumusan masalah publik benar tetapi pelaksanaan salah, daripada perumusan masalah keliru tapi pelaksanaannya benar”. Hal ini memberi arti penting

kesinambungan tahapan kebijakan, termasuk implikasi yang tepat bagi proyek pembangunan untuk kepentingan publik yang memang telah ter-agresi berdasarkan kebutuhan faktual masyarakat (need for assessment), sehingga persoalan-persoalan publik (public problems) mendapatkan solusi yang tepat.

Seperti dimaklumi bahwa kebijakan publik pada dasarnya merupakan suatu proses yang kompleks yang berangkat dari tahap pendefenisian masalah hingga eveluasi implikasi kebijakan. Oleh karena itu, implikasi kebijakan merupakan salah satu tahap sejak dari sekian tahap kebijakan publik. Hal ini berarti bahwa Implikasi kebijakan hanya merupakan salah satu variable penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kebijakan di dalam memecahkan persoalan-persoalan publik.

Van Meter dan Van Horn (Winarno :2002) membatasi impelementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah


(45)

keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang telah ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Perlu ditekankan di sini adalah bahwa tahap implikasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan saran-saran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap implikasi terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai pelaksanaan kebijakan tersebut, dan program telah selesai dilaksanakan.

Model proses implikasi yang diperkenalkan Van Meter van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan apa yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai implikasi substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin memiliki implikasi yang efektif, tetapi gagal memperoleh implikasi substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif.


(46)

2.2.2. Perspektif Teoritik Implikasi Kebijakan

Biasanya pembicaraan awal mengenai kerangka kerja teoritik berangkat dari kebijakan itu sendiri, dimana tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan. Disinilah proses implikasi bermula. Proses implikasi akan berbeda-beda tergantung pada sifat kebijakan yang dilaksanakan. Macam-macam keputusan yang berbeda akan menunjukkan karakteristik, struktur-struktur dan hubungan-hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan publik sehingga proses implikasi juga akan mengalami perbedaan.

Suatu implikasi akan sangat berhasil bila perubahan besar ditetapkan dan konsensus tujuan adalah tinggi. Sebaliknya, bila perubahan besar ditetapkan dan konsensus tujuan rendah maka prospek implikasi yang efektif akan sangat diragukan. Disamping itu, kebijakan-kebijakan perubahan besar/konsensus tinggi diharapkan akan memperoleh implikasi lebih efektif daripada kebijakan-kebijakan yang mempunyai perubahan kecil dan konsensus rendah. Dengan demikian, konsensus tujuan akan diharapkan pula mempunyai implikasi yang besar pada proses implikasi kebijakan daripada unsur perubahan. Dengan saran-saran atau hipotesis-hipotesis seperti ini akan mengalihkan kepada penyelidikan terhadap faktor-faktor atau variable-variabel yang tercakup dalam proses implikasi menjadi suatu hal yang penting untuk dikaji.


(47)

2.3. Manajemen Proyek

Pengelolaan yang dikenal sebagai , “Managemen Proyek“ adalah salah satu cara yang ditawarkan untuk maksud tersebut, yaitu suatu metode pengelolaan yang dikembangkan secara intensif sejak pertengahan abad 20 untuk menghadapi kegiatan khusus yang berbentuk proyek. Penjabaran manajemen proyek bisa digambarkan dari kegiatan-kegiatan, identifikasi objek yang akan dikelola, yaitu kegiatan proyek, membahas konsep pengelolaan yang akan dipakai ialah manajemen proyek, menjabarkan konsep di atas menjadi metode, teknik dan tata laksana, mengkaji kelayakan sebelum memutuskan untuk mewujudkan suatu gagasan menjadi bentuk fisik, menyiapkan dan menyediakan perangkat dan peserta, dan implikasi fisik di lapangan (Hessel, 2003:100).

Manajemen proyek dalam artian ini dibedakan dari manajemen sistem administratif, dan hal ini berhubungan dengan perlakuan (exercise) dari tanggungjawab langsung bagi produk akhir organisasi yakni pembangunan dan pemberlakuan perundang-undangan publik. Dalam hal ini adalah normalisasi sungai Sei Badera yang masuk dalam fasilitas atau sarana dan prasarana umum.(Hessel, 2003:101).

Manajemen proyek memiliki peran yang cukup penting. Apalagi proyek yang dikerjakan memiliki nilai penting terhadap publik, tentunya mendapatkan perhatian yang cukup luas dari publik atau seluruh stakeholder yang terlibat baik secara


(48)

pengawasan dikarenakan interpretasi dan defenisi kebutuhan publik. Hal ini merupakan titik awal dasar bagi disain program publik dan untuk defenisi sasaran (goals) dan tujuan (objectives) jangka panjang dan bahkan tujuan jangka pendek (Hessel, 2003:102).

2.4. Perencanaan dan Pembiayaan Daerah

Perencanaan pembangunan meliputi juga lingkup regional atau daerah. Daerah dapat diartikan dari sudut politik maupun ekonomi. Dari sudut politik, daerah merupakan wilayah dalam suatu negara yang dibagi secara administratif. Dari sudut ekonomi, daerah merupakan wilayah dengan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh kondisi alam, kesuburan tanah, iklim dan lain sebagainya. Perencanaan daerah sebagai bagian dari suatu negara dapat diartikan sebagai (1) Perencanaan kota, daerah metropolitan atau wilayah yang mempunyai otoritas tersendiri, misalnya otorita Batam (2) Perencanaan yang meliputi beberapa daerah yang mempunyai kondisi hampir bersamaan (3) Perencanaan pembangunan proyek-proyek yang berlokasi di daerah dengan tujuan mengurangi ketimpangan pada masing-masing daerah tersebut.

Pembangunan daerah merupakan semua kegiatan pembangunan termasuk maupun yang tidak termasuk urusan rumah tangga daerah yang meliputi berbagai sumber pembiayaan, baik yang berasal dari pemerintahan (APBD, APBN, LOAN


(49)

atau dana bantuan luar negeri) atau mungkin dana yang bersumber dari partisipasi masyarakat.

Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dibiayai oleh : (a) Pemerintah pusat sebagai pelaksana asas dekonsentrasi (b) Pemerintah Propinsi, pemerintah kabupaten/kota sebagai pelaksana asas desentralisasi atas tugas bantuan. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat termasuk: (a) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), (b) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau kegiatan masyarakat lainnya.

Pembangunan yang merupakan kewajiban pemerintah daerah dibiayai dari sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD menggambarkan kemampuan daerah dalam memobilisasi potensi keuangannya. Apabila penerimaan dari sumber daerah cukup besar maka berarti pula mengurangi ketergantungan daerah yang bersangkutan terhadap pusat. Disamping besarnya APBD suatu daerah juga akan berarti besar pula tingkat pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat.

2.5. Implikasi Kewenangan Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pemerintah Pusat dalam Penyediaan Prasarana Wilayah

Pada dasarnya, setelah diundangkan melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999, semua kewenangan pemerintah diserahkan kepada daerah otonom


(50)

peradilan, dan politik luar negeri. Oleh karena itu, tugas-tugas yang sebelumnya ditangani oleh berbagai departemen sekarang diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota, terutama tugas-tugas teknis atau pelaksanaan. Disamping itu, ada kewenangan bidang lain yang meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional, pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi yang strategis, konservasi dan dan standardisasi nasional.

Kewenangan-kewenangan yang diatur dalam pasal 7 UU No. 22 tahun 1999 itu, kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom. Kewenangan itu tidak didasarkan pada tugas-tugas departemen, tetapi dikelompokkan dalam bentuk bidang kegiatan. Oleh karena itu, bila terjadi penghapusan atau penggabungan suatu departemen, fungsi itu tetap ada mesti pengelolaannya berbeda.

2.5.1. Kewenangan Kabupaten/Kota

Wewenang daerah otonom ini tidak dijabarkan dalam UU maupun PP, karena selain hal-hal yang dikecualikan sebagaimana tersebut di atas adalah menjadi wewenang kabupaten. Karena tidak ada ketentuan yang bisa dipedomani untuk menentukan jumlah urusan di kabupaten/kota, maka masing-masing daerah otonom berwenang merancang sendiri tugas-tugas yang dilaksanakan dalam bidang sarana


(51)

dan prasarana. Hal ini tergantung pada kebutuhan,kemampuan dan sumberdaya yang terserdia di masing-masing daerah .

2.5.2. Kewenangan Provinsi

Tugas-tugas di bidang penyediaan sarana dan prasarana wilayah oleh propinsi pada umumnya bersifat lintas kabupaten, sehingga banyak tugas-tugas dinas propinsi yang harus dikoordinasikan agar terjalin keserasian hubungan dan keseimbangan dalam pertumbuhan pembangunan. Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 tahun 2000 merinci tugas-tugas propinsi menyangkut bidang pekerjaan umum sebagai berikut:

1. Penetapan standart pengelolaan sumberdaya air permukaan lintas kabupaten. 2. Pemberian izin pembangunan jalan bebas hambatan lintas kabupaten/kota. 3. Penyediaan dukungan/bantuan untuk kerjasama antar kabupaten/kota dalam

pengembangan prasarana dan sarana wilayah yang terdiri atar,pengairan,bendungan,jalan dan jembatan beserta simpul-simpulnya serta jalan bebas hambatan.

4. Penyediaan dukungan/bantuan untuk pengelolaan sumberdaya air permukaan, pelaksanaan eksploitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dan drainase lintas kabupaten/kota beserta bangunan-bangunan pelengkapnya. Mulai dari bangunan pengambilan sampai pada saluran percontohan sepanjang 50 meter, dan bangunan sadap.


(52)

5. Perijinan untuk mengadakan perubahan/pembongkaran bangunan-bangunan dan saluran jaringan, serta sarana dan prasarana pekerjaaan umum yang lintas kabupaten/kota.

6. Perijinan untuk mendirikan, mengubah maupun membongkar bangunan, bangunan lain, selain yang dimaksud pada angka 5, termasuk yang berada di dalam,di atas maupun yang melintasi saluran irigasi.

7. Pelaksanaan pembangunan dan perbaikan jaringan utama irigasi lintas kabupaten/kota beserta bangunan pelengkapnya.

8. Penyusunan rencana penyediaan air irigasi.

Di luar tugas-tugas tersebut tentu saja propinsi dapat menangani tugas-tugas pada bidang yang sama yang tidak/belum mampu ditangai oleh kabupaten/kota tertentu seperti ketidakmampuan penyediaan dana yang cukup besar jumlahnya. Tetapi dengan syarat adanya penyerahan wewenang dari kabupaten/kota dan dengan persetujuan DPRD, Gubernur atau Presiden.

2.6. Normalisasi Sei Badera

Normalisai sungai adalah menormalisasi kondisi sungai ke kondisi semula dengan bentuk yang berbeda maksudnya bahwa apabila kondisi sungai sekarang baik dilihat dari kedalaman sungai, penampang sungai sudah tidak dapat lagi menampung atau menahan arus air sungai sehingga terjadi peluapan air atau bahkan mungkin mengakibatkan banjir di sepanjang daerah aliran sungai, untuk itulah


(53)

dinormalisasikan dengan membuat atau mengkondisikan kedaaan kedalaman sungai atau perbaikan penampang sungai seperti kedaan sungai semula atau sebelumnya walaupun dalam bentuk yang berbeda.

Sei Badera adalah salah satu anak ranting sungai yang berada dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan yang mengalir melalui daerah Helvetia ke Kecamatan Medan Marelan menuju Sungai Belawan. Sei Badera yang mempunyai panjang 11.80 Km.selama ini kondisinya tidak sesuai dengan sungai-sungai yang dapat menampung banyak debit air ataupun menahan arus sungai yang datangnya dari hulu sungai yang diakibatkan curah hujan yang lebat atau bahkan banjir kiriman dari sungai-sungai yang ada dihulu sungai Sei Badera. Di sepanjang aliran sungai Sei Badera terdapat daerah-daerah pertanian yang produktif dan juga jumlah penduduk yang cukup banyak.

Menurut E.Walter Coward Jr.(Michael M.Chernea 1988:31) Proyek – proyek yang merehabilitasi atau memperbaiki suatu sistem yang harus bertolak dari suatu pengertian yang komprehensif mengenai aparat fisik dan organisasi sosial yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan irigasi. Dari pengertian ini harus muncul suatu analisis yang lebih tajam mengenai masalah-masalah irigasi yang memerlukan perhatian dan suatu strategi untuk Implikasi yang mengandalkan sumberdaya lokal yang ada (termasuk pengetahuan dan pengalaman dan kapasitas bersama) dan perubahan yang diinginkan mengenai keadaan tersebut. Kemudian beliau juga


(54)

akan datang tersirat atau tersurat didalam rencana atau dokumen proyek, dan juga dalam bentuk formal dan informal, dikuasai oleh staf dinas atau tidak, memerlukan tindakan perorangan atau bersama dan sebagainya, yang terpenting pengaturan yang akan datang, mungkin atau tidak mungkin bertentangan dengan pola sosial pra proyek.

Michael M.Cernea (1988:3) menyatakan,”Mengutamakan manusia,” dalam proyek-proyek pembangunan dapat dipandang sebagai keinginan yang manusiawi dari para perencanaan, dimana dalam suatu proyek pembangunan prioritas faktor Dasar harus sangat diperhatikan dalam kegiatan tersebut. Dan dalam setiap kegiatan dalam proyek-proyek pembangunan berarti memberikan manusia lebih banyak peluang dan berperan secara efektif dalam kegiatan pembangunan,”. Proyek-proyek pembangunan merupakan usaha berencana dengan tujuan mempercepat pembangunan ekonomi. Akan tetapi seringkali kehidupan masyarakat dilupakan dalam sebuah perencanaan untuk pengambilan suatu keputusan pelaksanaan pembangunan, apalagi para tehnokrat dalam melakukan perencanaan pembangunan tidak mau melibatkan para ilmuan sosiologi, karena mereka menganggap yang lebih diutamakan adalah implikasi pembangunan ekonominya bagi masyarakat bukan masalah yang akan timbul setelah beberapa waktu setelah pembangunan suatu proyek dilakukan. Maka sering kita lihat cenderung suatu proyek pembangunan menciptakan kantung-kantung (enclaves), mengalihkan sumberdaya dari kegiatan kegiatan non proyek yang paralel, dan mungkin tidak menghasilkan pembangunan yang langgeng


(55)

diluar jangka waktu yang terbatas. Mengutamakan manusia dalam pembangunan adalah memberikan manusia lebih banyak peluang untuk berperan aktif dalam kegiatan pembangunan seperti; dengan mengawasi kegiatan yang mempengaruhi setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan,kemudian bagaimana mewujudkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pelaksanaan pembangunan serta bagaimana sosial planner mengidentifikasi variable-variabel sosial dan merumuskannya dalam kegiatan operasional proyek.

Menurut sejarah, pintu masuk pertama bagi ilmu sosial adalah evaluasi hasil-hasil pembangunan oleh sosiologi dikonsultasi untuk menilai apakah program atau proyek tertentu telah benar-benar mencapai seluruh tujuannya dan cepat mengamati akibat-akibat baik dan buruknya.

Kecamatan Medan Marelan adalah daerah yang paling panjang dilalui oleh aliran Sei Badera dan merupakan daerah yang paling banyak terkena implikasi dari banjirnya sungai tersebut. Apalagi kalau kita melihat tingginya tingkat urbanisasi penduduk ke Kecamatan tersebut yang tentunya pasti terkena implikasi langsung dari akibat banjir yang sering melanda di daerah tersebut terutama masalah sosial dan perekonomian masyarakatnya.

2.7. Pembangunan Masyarakat


(56)

menaikkan kualitas hidup masyarakat (community). Pembangunan masyarakat yang melibatkan berbagai jenis kegiatan, pada dasarnya ditujukan guna menaikkan standar hidup serta mengembangkan taraf hidup (sosial ekonomi) pada suatu masyarakat. Bebarapa program dalam rangka pelaksanaan pembangunan cenderung untuk memusatkan perhatian pada komunitas yang memiliki potensi sangat terbatas untuk perkembangan ekonominya atau komunitas-komunitas dengan berbagai masalah-masalah pembangunan yang dimilikinya. Pendekatan pembangunan masyarakat adalah penekanan pada penyatuan masyarakat sebagai suatu kesatuan (Brokensha, 1982:122).

Aspek khusus dalam perubahan sosial yang menjadi pemikiran pokok pada berbagai program pembangunan masyarakat adalah adanya ketimpangan baik di dalam maupun diantara komunitas-komunitas tersebut. Hal ini terlihat jelas pada kenyataan bahwa pembangunan masyarakat cenderung untuk lebih aktif pada komunitas-komunitas yang belum atau perlu mendapat perhatian pembangunan, seperti wilayah pedesaan yang amat kecil kemungkinan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang sehat, serta daerah pemukiman daerah yang berpenghasilan rendah. Secara teoritis, masukan dalam program pembangunan masyarakat memang dibuat guna mendorong dan merancang inisiatif dan usaha lokal dan juga membentuk perolehan bantuan-bantuan teknis, keuangan serta bentuk-bentuk bantuan lainnya yang sekiranya dibutuhkan oleh komunitas yang bersangkutan (Brokensha, 1982:124).


(57)

Telah banyak dilakukan usaha untuk mengklasifikasikan program-program pembangunan masyarakat ke berbagai tipe yang berbeda berdasarkan beberapa kriteria, seperti misalnya luasnya cakupan program, organisasinya serta ruang lingkup program. Klasifikasi semacam ini cenderung untuk menjadi rumit karena terdapat sedemikian banyaknya kegiatan dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Sehingga nilai program tersebut sangatlah terbatas. Namun kiranya perlu kita bedakan tipe-tipe pokok program pembangunan masyarakat yang dikoordinasikan oleh suatu departemen pemerintah yang khusus bertanggungjawab atas pembangunan masyarakat (Brokensha,1982:125).

Defenisi pembangunan masyarakat dari beberapa versi setelah melalui studi dari berbagai kajian tentang pembangunan diberbagai negara. Pembangunan masyarakat dalam arti yang sangat terbatas pada usaha pembangunan komunikasi dan perbaikan cara berproduksi. Pembangunan masyarakat dapat dipahami dalam arti luas dan dapat dari arti sempit (lebih khusus). Dalam arti luas pembangunan masyarakat berarti perubahan sosial berencana, dalam arti ini sasaran pembangunan masyarakat adalah perbaikan dan peningkatan bidang ekomomi, teknologi bahkan politik dan sosial. Dalam arti sempit, pembangunan masyarakat berarti perubahan sosial berencana lokalitas tertentu seperti kampung, desa, kota kecil atau kota besar. Pembangunan masyarakat dalam arti sempit ini dikaitkan dengan berbagai aspek atau program yang langsung berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan dan


(58)

pengurusan kepentingan lokalitas atau masyarakat setempat sepanjang mampu dikelola oleh masyarakat setempat itu sendiri (Brokensha, 1982:127).

Defenisi pembangunan masyarakat yang telah diterima secara luas adalah defenisi yang ditetapkan oleh PBB tahun 1956. Pembangunan masyarakat atau pembangunan komunitas adalah suatu proses, baik ikhtiar masyarakat yang bersangkutan yang diambil berdasarkan prakarsa sendiri, maupun kegiatan pemerintah, dalam rangka memperbaiki kondisi ekonomi, sosial dan kebudayaan berbagai komunitas, mengintegrasikan berbagai komunitas itu kedalam kehidupan bangsa, dan memampukan mereka untuk memberikan sumbangan sepenuhnya demi bangsa dan negara yang berjalan secara terpadu di dalam proses tersebut.

Proses tersebut meliputi dua elemen besar, yaitu : Pertama, partisipasi masyarakat itu sendiri dalam rangka usaha mereka untuk memperbaiki taraf hidup mereka sedapat-dapatnya berdasarkan kekuatan dan prakarsa sendiri, dan Kedua, bantuan dan pelayanan teknis yang bermaksud membangkitkan prakarsa, tekad untuk menolong diri sendiri dan kesediaan membantu orang lain dari pemerintah.

Proses tersebut dinyatakan di dalam berbagai program yang dirancang untuk melancarkan perbaikan terhadap berbagai proyek-proyek khusus. Program tersebut biasanya menyangkut kepentingan umum komunitas setempat, karena mereka mempunyai kepentingan yang sama.Adapun urusan yang lain yang bersifat khusus atau kepentingan kelompok,ditangani oleh kelompok fungsional yang melakukan hal-hal yang tidak merupakan kepentingan umum komunitas.


(59)

Berhasil tidaknya pembangunan pada umumnya bergantung pada beberapa faktor seperti tenaga ahli, pendanaan, informasi, peralatan, partisipasi dan kewenangan yang sah (Katz,1969:213). Kendatipun ada beberapa faktor namun dinegara-negara sedang berkembang faktor pemerintahlah yang terpenting, karena pemerintah yang berperan menggali, menggerakkan dan mengkombinasikan faktor-faktor tersebut, dengan kata lain pemerintah yang memegang peranan sentral dalam pembangunan nasionalnya yaitu dalam menetapkan kebijakan umum (policy) dan melaksanakannya.

Telah banyak dilakukan usaha untuk mengklasifikasikan program-program pembangunan masyarakat ke berbagai tipe yang berbeda-beda berdasarkan beberapa kriteria-kriteria, seperti misalnya luas cakupan program, organisasi serta lingkup program. Klasifikasi semacam ini cenderung untuk menjadi rumit karena terdapat sedemikian banyaknya kegiatan dalam pembangunan masyarakat, sehingga nilai program tersebut sangat terbatas. Namun kiranya perlu kita bedakan tipe-tipe pokok program pembangunan masyarakat yang dikoordinasikan oleh suatu departemen pemerintah yang khusus bertanggungjawab atas pembangunan masyarakat.

Pembangunan masyarakat (community development) merupakan salah satu diantara gerakan sosial yang paling berperan dalam perubahan sosial. Para ahli pembangunan masyarakat mengidentifikasikannya sebagai proses, metode, program dan gerakan sosial artinya bahwa perubahan sosial yang baik adalah perubahan sosial


(60)

kepada setiap kelompok dan lapisan masyarakat untuk berperan di dalamnya. Sebagai suatu metode, pembangunan masyarakat tidak saja bermaksud membina hubungan kehidupan setiap orang untuk hidup dan bermasyarakat, melainkan juga membangun masyarakat karena setiap satuan masyarakat mempunyai kekuatan sendiri seperti kerukunan, keakraban, solidaritas dan kebersamaan (Brokensha, 1982:131). Suatu masyarakat bisa kehilangan kekuatannya jika masyarakat itu mengalami community

disorganization. Untuk mangatasi hal tersebut community development atau

pembangunan masyarakat dilancarkan (Brokensha, 1982:132).

Masyarakat dalam konteks pembangunan masyarakat adalah masyarakat dalam arti community (komunitas) yang mempunyai dua arti yaitu pertama, sebagai kelompok sosial yang bertempat tinggal dilokasi tertentu, memiliki kebudayaan dan sejarah yang sama. Kedua, sebagai satuan pemukiman yang terkecil. Sebagai realitas sosial, komunitas diidentifikasikan sebagai pemukiman kecil penduduk, bersifat mandiri (self contained) yang satu berbeda dengan yang lain (Robert Redfield, Taliziduhu Ndraha,1990:49) .

Berbagai Karakteristik Komunitas yang ideal, kemandirian merupakan indikator terpenting sebagai suatu prasyarat utama bagi suatu masyarakat untuk berkembang lepas landas. Dilihat dari sudut ini, masyarakat yang dianggap dapat berfungsi sebagai subyek pembangunan ialah masyarakat yang mampu berkembang secara mandiri atau masyarakat mandiri (Dunham, 1962:94).


(61)

Secara konseptual masyarakat mandiri ialah masyarakat yang mampu mengendalikan atau mempengaruhi masa depannya sendiri. Konsep ini dapat dioperasionalkan menjadi beberapa indikator, yaitu: Pertama. Kemampuan masyarakat untuk mengusahakan, memelihara atas segenap sumber, asset dan sarana yang ada, baik yang berbentuk fisik maupun non fisik. Kedua. Kemampuan masyarakat untuk bangkit kembali dari keadaan jatuh atau mundur sebagai akibat kekeliruan yang pernah ditempuh. Ketiga. Kemampuan masyarakat untuk mengembangkan atau meningkatkan sumber, asset atau peralatan yang ada. Keempat. Kemampuan masyarakat untuk memberi respon positif terhadap setiap perubahan sosial yang berlangsung (Dunham, 1962:104)

Pada umumnya masyarakat pembangunan komunitas bersifat komprehensif dan dijadikan bagian internal pembangunan nasional. Dalam hubungan ini pembangunan komunitas diperlakukkan sebagai metode dalam rangka mencapai tujuan nasional (Brokensha, 1982:152). Sebagai metode, pembangunan komunitas diharapkan menghasilkan tiga hal, Pertama. Kesatuan pemikiran dan tindakan antar instansi dan badan yang menyelenggarakan atau mengambil bagian dalam pembangunan komunitas, baik pemerintah maupun masyarakat swasta. Kedua. Perubahan cara berpikir dan cara hidup sosial dan ekonomi masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan. Ketiga. Pengembangan wilayah berdasarkan pendekatan tujuan (Brokensha,1982:155).


(62)

Walaupun demikian bahwa pembangunan komunitas dijadikan bagian pembangunan nasional. Peranan Pemerintah dalam kontek pembanguan msyarakat dimaksudkan sebagai aspek dinamis suatu lembaga atau peranan mewakili tata institusional (institusional order) suatu lembaga (dalam hal ini pemerintah). Semua peranan mewakili suatu lembaga secara menyeluruh tetapi ada beberapa diantaranya secara simbolis dapat dianggap mewakili lembaga yang bersangkutan secara total. Peranan seperti ini mempunyai makna strategis dalam masyarakat, sebab peranan tersebut tidak saja mewakili lembaganya sendiri melainkan juga merupakan faktor integratif antara seluruh lembaga.

Peranan strategis disebut oleh Collin sebagai peranan dasar (basic roles). Perincian dan pelaksanaan peranan dasar inilah yang kemudian disebut sebagai peranan administratif (administrative roles) yaitu pola perilaku yang diharapkan dari atau yang telah ditetapkan oleh pemerintah selaku administrator disetiap jenjang pemerintah. Kendatipun kebijaksanaan umum pembangunan telah ditetapkan dan berbagai masukan telah tersedia, hal ini tidak berarti apa-apa jika administrasi tidak digerakkan atau jika administrasi yang digerakkan itu tidak berkemampuan (Ross, 1967:76).

Pemberdayaan ekonomi harus memperhatikan lingkungan sehingga tidak terjadi eksploitasi terhadap sumber daya alam yang dapat mengancam kerusakan lingkungan, demikian juga dengan bidang-bidang lainnya. Upaya mensinergikan dalam kaitan dengan masalah-masalah seperti inilah kadangkala menjadi


(63)

pernasalahan tersendiri.belum lagi dengan upaya mengkoordinasikan dan mengsinkronkan gerak internal lembaga-lembaga pemerintah dan sinergi eksternal dengan lembaga-lembaga non pemerintah merupakan hal yang sulit untuk dilaksanakan, meskipun dengan segala keterbatasan yang ada,upaya-upaya tersebut sudah dicoba untuk dilaksanakan (Ross, 1967:98).

2.7.1. Pemberdayaan sebagai Program dan Proses

Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi hanya dimanfaatkan oleh wilayah, Sektor atau golongan ekonomi yang lebih siap dan lebih maju. Perbedaan dalam hal pemanfaatan ini akan mendorong munculnya perbedaan tingkat produktivitas dan kemajuan. Dalam lingkup yang lebih luas, ketidaksamaan dalam pendapatan kesempatan akan menyebabkan timbulnya masalah kesenjangan. Dalam menghadapi masalah seperti inilah, pemerintah perlu memberi perhatian khusus kepada wilayah, sektor dan golongan ekonomi yang kurang siap tadi. Penanggulangan masalah kesenjangan dan pemerataan pembangunan yang telah dilakukan melalui berbagai arah kebijakan pembangunan yang pada dasarnya merupakan suatu upaya pemberdayaan masyarakat (Brokensha, 1982:125).

Berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan


(64)

perubahan) yang menjalankan dan mempercepat perubahan atau fasilitator. Sebaga fasilitator, keberadaan agen perubah tidak mutlak harus hadir terus menerus pada suatu kelompok sasaran. Fasilitator lebih berfungsi untuk membuat agar kelompok sasaran menjadi lebih pandai agar dapat nantinya mengembangkan kelompoknya sendiri (Brokensha, 1982:143).

Pembahaasan pemberdayaan masyarakat sebagai program dan sebagai proses yang berkelanjutan sebenarnya merupakan pemikiran yang juga terkait dengan proses agen pemberdayaan masyarakat. Bila agen pemberdayaan masyarakat merupakan pihak eksternal (dari luar komunitas) maka program pemberdayaan masyarakat akan diikuti dengan adanya terminasi atau disengagement. Sedangkan jika agent berasal dari internal komunitas, maka pemberdayaan masyarakat akan lebih diarahkan ke proses pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan (on going process) (Brokensha, 1982:155).

Pemerintah yang sentralis di dalam pembangunan biasanya dibuat di tingkat atas dan kemudian dilaksanakan oleh instansi propinsi dan kabupaten/kota.masyarakat seringkali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberikan masukan. Hal ini bisanya disebabkan oleh adanya anggapan bahwa untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan, masyarakat tidak mempunyai kemampuan menganalisa kondisi dan merumuskan persoalan serta kebutuhannya (Ross, 1967:106).


(65)

Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumber daya pembangunan didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan kehidupan meraka. Pada prinsipnya, masyarakat mengkaji tantangan utama pembangunan mereka, lalu mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah ini. Aktivitas ini kemudian menjadi basis program lokal, regional dan bahkan nasional. Target utama pendekatan ini adalah kelompok yang termarjinkan dalam masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses siklus terus-menerus dimana anggota masyarakat bekerjasama dalam kelompok formal dan informal untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan serta berusaha mencapai tujuan bersama. Mengembangkan pendekatan pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi pembengunan sumber daya pembangunan yang secara langsung akan meningkatkan relevansi program pembangunan (pemerintah) terhadap masyarakat lokal dan meningkatkan kesinambungan, dengan mendorong rasa memiliki dan tanggungjawab masyarakat. hal terpenting yang dilakukan sebelum memulai penerapan pendekatan ini adalah menciptakan kesadaran dan keyakinan semua pihak terkait yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat. Penyadaran ini khususnya dilakukan kepada mereka yang terkait dalam proses kegiatan tersebut (Ross, 1967:105).


(66)

2.7.2. Pembangunan Sosial Ekonomi

Pembangunan sosial ekonomi masyarakat telah banyak dilakukan pemerintah melaui program-program, pemerintah seperti; program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dan dimantapkan dengan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) dan program-program lainnya yang bertujuan untuk pembangunan peningkatan ekonomi dan sosial masyarakat. Program pembangunan sosial ekonomi yang menekankan pendekatan wilayah dikembangkan berdasarkan pengalaman progam pemerintah seperti program IDT atau program sejenis. Dalam Pembangunan prasarana wilayah terutama yang melaksanakan pembangunan fisik meletakkan atau menginginkan pembangunan sebagai upaya peningkatan pembangunan sosial ekonomi masyarakat pedesaaan atau kelurahan. Peran serta aktif masyarakat lokal dalam kegiatan pembangunan ditingkat lokal, dan pelestarian hasil pembangunan melalui pemanfaatan sistem pelaporan, pemantauan dan evaluasi program pembangunan yang dilaksanakan (Berartha, 1982:55).

2.7.2.1. Pengertian Pembangunan Sosial

Pembangunan Sosial menurut Midgley (1995) adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana yang dirancang untk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, dimana pembangunan tersebut dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi. Sedangkan bila dilihat


(67)

dari strategi pembangunan sosial yang dapat diterapkan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat, Midgley mengemukakan ada 3 (tiga) strategi besar, yaitu:

1. Pembangunan sosial melalui individu yakni dimana individu-individu dalam masyarakat secara swasembada membentuk usaha pelayanan masyarakat guna memberdayakan masyarakat.

2. Pembangunan sosial melalui pemerintah yakni dimana pembangunan sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah.

3. Pembangunan sosial melalui komunitas yakni dimana kelompok masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan komunitas lokalnya. Terkait dengan upaya pembangunan sosial dan pemberdayaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, haruslah disadari bahwa pembangunan sosial tidaklah harus dikembangkan tanpa melibatkan aspek pembangunan fisik. Misalnya saja mengembangkan pola hidup sehat dan lingkungan yang sehat pada masyarakat, maka sekurang-kurangnya harus tersedia sarana dan prasarana air bersih, saluran pembuangan, tempat-tempat sampah yang memadai, serta lancarnya arus sungai dan tidak seringnya banjir suatu daerah tersebut serta pembangunan rumah yang layak huni dan bebas dari bahaya banjir (Adelman, 1973:246).

2.7.2.2. Pengertian Pembangunan Ekonomi


(68)

dalam jangka waktu yang lama, untuk meningkatkan dan mempertahankan suatu pertumbuhan produk domestic bruto (PDB)-nya antara 5 sampai 7 persen atau lebih per tahun. Pengertian ini sangat bersifat ekonomis. Dalam dinamikanya, pengertian pembangunan ekonomi mengalami perubahan karena pengalaman pada tahun 1950-an d1950-an tahun 1960-1950-an, yaitu, menunjukk1950-an bahwa pemb1950-angun1950-an ekonomi y1950-ang berorientasi pada kenaikan PDB saja tidak mampu memecahkan permasalahan pembangunan secara mendasar. Hal ini tampak pada taraf dan kualitas hidup sebagian besar masyarakat yang tidak mengalami perbaikan kendatipun target kenaikan PDB per tahun telah tercapai. Dengan kata lain tanda-tanda kesalahan besar dalam mengartikan isilah pembangunan ekonomi secara sempait (Adelman, 1973:244). Oleh karena itu, Todaro (1999) mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh 3 nilai pokok yaitu;

1. Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

pokoknya.

2. Meningkatnya rasa harga diri masyarakat sebagai manusia.

3. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih yang merupakan salah satu dari hak azasi manusia.

Akhirnya didasari pengertian pembangunan itu sangat luas, bukan hanya sekedar menaikkan PDB per tahun saja. Pembangunan ekonomi itu bisa diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara atau daerah untuk mengembangkan kegiatan ekonominya dan kualitas hidup masyarakatnya. Dengan


(69)

demikian, maka pembangunan ekonomi pada umumnya didefenisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil, per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan (Adelman, 1973:245).

Dari defenisi di atas jelas bahwa pembangunan ekonomi mempunyai pengertian; Pertama. Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi secara terus menerus. Kedua. Usaha untuk menaikkan pendapatan per kapita. Ketiga. Kenaikan pendapatan per kapita itu harus terus menerus dalam jangka panjang. Keempat. Perbaikan sistem kelembagaan disegala bidang (misalnya ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya) sistem kelembagaan ini bisa ditinjau dari dua aspek yaitu aspek perbaikan dibidang organisasi institusi dan perbaikan dibidang regulasi (baik formal maupun non formal) (Lincoln Arsyad,1999:135).

Jadi, pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama. Dengan cara tersebut bisa diketahui rentetan peristiwa yang timbul yang akan mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan mesyarakat dari suatu tahap pembangunan ke tahap pembangunan berikutnya (Lincoln Arsyad, 1999:136).


(1)

http//www.pemprovsu.go.id. Tim Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara. Diakses

pada 12 Maret 2008.

http//www.pemkomedan.go.id. Tim Pemerintah Kota Medan. Diakses

pada 12 Maret 2008.

Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008


(2)

LAMPIRAN

Gambar A


(3)

Gambar C

Gambar D

Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008


(4)

Gambar E


(5)

116

Gambar H

Gamber G

Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008


(6)