Pembangunan sosial yang dilakukan oleh pemerintah itu sendiri atau atau lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah government agencies.
Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan statis.
Terkait dengan upaya pembangunan sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung, haruslah disadari bahwa pembangunan sosial tidaklah mungkin
dikembangkan tanpa melibatkan aspek pembangunan fisik. Dalam hal ini aspek pembangunan fisik yang menjadi unit penelitian penulis yakni upaya normalisasi
sungai Sei Badera di Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan. Seperti yang dikemukakan oleh Midgley di atas bahwa terdapat tiga strategi
besar pembangunan sosial yang dapat dilaksanakan salah satu diantaranya adalah Pembangunan Sosial melalui Pemerintahan Social Development by Governments.
Maka, strategi ini-lah yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kota Medan yakni melakukan pembangunan fisik normalisasi sungai Sei
Badera.
4.2.1.1. Kondisi Masyarakat di Sekitar Sei Badera sebelum Normalisasi
Normalisasi sungai Sei Badera yang dimulai sejak tahun 2003 dan berakhir hingga tahun 2005 yang lalu merupakan kebutuhan yang paling mendasar yang
diperlukan oleh warga masyarakat yang bermukim di sepanjang DAS Daerah Aliran Sungai Sei Badera hingga wilayah 3 sampai 5 kilometer dari wilayah DAS. Ketika
pemerintah melaksanakan proyek normalisasi sungai menjadi sebuah hal yang sudah terlalu lama mereka dambakan. Mengapa demikian ? itu lah yang menjadi pertanyaan
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
mendasar bagi penduduk DAS Sei Badera. Lebih dari 20 tahun warga yang tinggal di DAS Sei Badera tidak pernah menyaksikan tanah yang berada di halaman rumahnya
kering tanpa ada genangan air. Tidak perduli meskipun berada dalam musim kemarau atau panas. Halaman rumah mereka tetap saja tergenang oleh air seperti yang
dikemukakan oleh Yung Baharuddin, berusia 75 tahun. Yung Baharuddin merupakan penduduk asli DAS Sei Badera, sejak Ia lahir hingga sekarang ini tetap mendiamin
rumah panggung yang terbuat dari kayu. Yung Baharuddin mengatakan, “Sejak saya lahir, sampai terakhir dua-tiga tahun yang lalu tanah kami ini
tak pernah kering, tegenang air terus. Apalagi kalau sudah ada hujan sedikit saja, sudahlah siap-siap lah kami untuk ngungsi. Gitulah kondisi rumah ni.”
Hal yang sama juga dikatakan oleh Mahmuddin, Mahmuddin yang sekarang berusia 46 tahun, mengaku telah tinggal di DAS Sei Badera ini sejak ia lahir. Ketika
ditanyakan bagaimana kondisi lingkungan disekitar rumah nya sebelum dilaksanakan program normalisasi Sei Badera, Mahmuddin mengatakan,
“Awak dulu tak pernah terbayang mau melihat, bisa melihat tanah di halaman rumah kami ni, kering. Air semua isinya. Tanah rawa-rawa lah
kalau kita bilang. Tegenang air terus tanah kami ini, kalau hujan janganlah tanyak, pastilah banjir, sedang kan kamarau panas terik saja air di halaman
ini tinggi apalagi musim hujan. Tinggal masuk saja lah air, tuh’.”
Permukaan sungai yang rata atau sejajar dengan daratan atau tanah penduduk tentulah
menjadi sebab utama mengapa tanah yang terdapat di halaman penduduk tidak pernah kering, dan kondisi seperti ini tidak hanya dirasakan oleh penduduk yang
rumahnya berada persis di bantaran sungai, tetapi juga bagi penduduk yang berada hingga 1 kilometer dari sungai masih merasakan hal yang sama. Lihat Gambar A
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Dengan kondisi yang seperti itu, banjir merupakan masalah terbesar dan utama yang selalu menghantui penduduk DAS Sei Badera hingga 3 kilometer dari
sungai. Ketika banjir datang sudah dapat dipastikan sebahagian penduduk mengungsi ke rumah-rumah saudara mereka yang tinggal lebih jauh dari sungai dan tidak terkena
banjir. Dan kondisi seperti inilah yang dialami oleh seluruh penduduk yang tinggal di DAS Sei Badera hingga radius 3 kilometer dari sungai.
Bagi Ramlah 44 tahun salah seorang ibu rumah tangga yang memiliki rumah di DAS Sei Badera mengatakan, bahwa selama musim hujan, ia dan suaminya tidak
bisa tidur nyenyak dan tenang, karena takut kalau tiba-tiba air sungai sudah tinggi dan menghanyutkan rumahnya.
“Awak sama bapaknya anak-anak ini tidak bisa tidur kalau udah musim hujan, mulai dari agustus sampe desember biasanya. Macem mana kami mau
enak tidur, tau-tau nanti rumah awak dah penuh ama air, dah tebawak air pulak. Takutlah kami, kalau dah musim hujan.”
Banjir yang telah mengganggu ketenangan hidup penduduk DAS Sei Badera juga
memiliki dampak terhadap kesehatan penduduk. Dengan kondisi tanah yang selalu tergenang sudah barang tentu, ketersediaan air bersih untuk keperluan sehari-hari
juga tidak memadai. Kondisi yang seperti itu membuat sebahagian besar penduduk DAS Sei Badera rentan terserang penyakit kulit seperti : panu, kurap, kadas kutu
air, dan penyakit kulit lainnya, yang mengakibatkan gatal-gatal. Pemanfaatan air sungai Sei Badera sebelum dan setelah normalisasi memang
tidak pernah dipergunakan untuk minum dan memasak. Pemanfaatan Sei Badera oleh masyarakat hanya sebatas untuk mandi dan mencuci. Hal ini dikarenakan Kecamatan
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Medan Marelan merupakan bagian hilir sungai. Sekitar 5 hingga 7 kilometer lagi bertemu ke laut Belawan. Dengan demikian kualitas air sungai menurut pemaparan
penduduk dan telah peneliti buktikan sendiri rasanya payau atau keasin-asinan. Selain itu, kebersihan air sungai juga tidak terjaga dengan baik. Terlihat banyak sekali
sampah yang hanyut atau pun berada di pinggiran sungai. Berbicara mengenai kebersihan sungai merupakan persoalan lain, karean hal
ini memiliki banyak faktor penyebab mengapa hampir seluruh sungai yang berada di wilayah kota besar di seluruh Indonesia tidak bisa terbebas dari sampah.
4.2.1.2. Kondisi Masyarakat di Sekitar Sei Badera setelah Normalisasi