Sumber : Dokumentasi Taman Mini Indonesia Indah
Gambar 6. Rumah Adat Melayu
4.2.1.2.1.1. Arsitektur Rumah Panggung Melayu
Secara historis desain atau arsitektur rumah seperti itu memiliki arti dan fungsinya. Arsitek bangunan ini berasal dari penduduk asli. Tangga terletak di depan
rumah biasanya jumlah anak tangganya selalu ganjil, hal ini didasari makna atau pengertian dan hitungan tangga, takik, tunggu, tinggal. Bilangan yang jatuh pada
hitungan bilangan takik kat takik dan tinggal menurut kepercayaan mereka akan membinasakan rumah itu sendiri. Misalnya takik berarti hancur dan tinggal berarti
tidak ada yang bersedia menunggu rumah itu, dan rumah itu ditinggal tanpa penghuni. Rumah terbuat dari bahan yang lembut tetapi tahan lama, misalnya kayu
medang kemuning, surian balam dan sebagainya. Lantainya dari papan dengan atap dan ijuk enau atau sirap. Pada dasarnya struktur rumah terbagai atas tiga bagian
besar, yaitu penig atau serambi, penduhuak bagian tengah, dan penyeyep bagian ruangan dalam, selain itu perluasan rumah terdapat dapur dan gang atau garang.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam bahasa Melayu, rumah tempat tinggal dinamakan juga “Rumah”. Rumah tradisional Melayu termasuk tipe rumah panggung. Rumah panggung ini
dirancang untuk melindungi penghuninya dari banjir. Disamping itu kolong rumah panggung juga dapat dipergunakan untuk menyimpan gerobak, hasil panen, alat-alat
pertanian, kayu api, dan juga berfungsi sebagai kandang hewan ternak. Bentuk rumah panggung melayu ini terbagi menjadi beberapa bagian, antara lain : Bagian atas
rumah adat melayu Bengkulu ini terdiri dari : Atap; terbuat dari ijuk, bambu, atau seng. Terdapat bagian tengah dan bagian bawah.
Susunan ruang rumah tempat tinggal memilki fungsi dalam kehidupan. Adapun susunan dan fungsi ruang pada rumah adat melayu ini adalah: Pertama,
Berendo.
Tempat menerima tamu yang belum dikenal, atau tamu yang hanya menyampaikan suatu pesan sebentar. Selain itu juga dipergunakan untuk relax pada
pagi atau sore hari. Bagi anak-anak, berendo juga sering dipergunakan untuk bermain
congkak, karet, dll. Kedua, Hall. Ruang untuk menerima tamu yang sudah dikenal
baik, keluarga dekat, atau orang yang disegani. Ruangan ini juga digunakan untuk tempat cengkrama keluarga pada malam hari, ruangan belajar bagi anak-anak, dan
sewaktu-waktu ruang ini digunakan untuk selamatan atau mufakat sanak family.
Ketiga, Bilik gedang. Bilik gedang atau bilik induk merupakan kamar tidur bagi kepala keluarga suami istri serta anak-anak yang masih kecil. Keempat, Bilik gadis.
Biasanya terdapat pada keluarga yang memiliki anak gadis, merupakan kamar bagi si
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
anak gadis. Selain untuk tidur juga digunakan untuk bersolak. Bilik gadis biasanya berdampingan dengan bilik gedang, demi keamanan dan kemudahan pengawasan
terhadap anak gadis mereka. Kelima, Ruang tengah. Biasanya dikosongkan dari
perabot rumah, dan di sudutnya disediakan beberapa helai tikar bergulung karena fungsi utamanya adalah untuk menerima tamu bagi ibu rumah tangga atau keluarga
dekat bagi si gadis. Di samping itu juga sering dipakai sebagai tempat belajar mengaji. Bagi keluarga yang tidak memilki kamar bujang tersendiri, kadang-kadang
dipakai untuk tempat tidur anak bujang. Keenam, Ruang makan. Tempat makan
keluarga. Pada rumah kecil biasanya tidak terdapat ruang makan, mereka makan di ruang tengah. Bila ada tamu bukan keluarga dekat, maka untuk mengajak tamu
makan bersama digunakan hal, bukan di ruang makan. Ketujuh, Garang.
Tempat penyimpanan tempayan air atau gerigik atau tempat air lainnya, juga dipakai untuk tempat mencuci piring dan mencuci kaki sebelum masuk rumah atau dapur.
Kedelapan, Dapur. Ruangan untuk memasak. Kesembilan, Berendo belakang.
Serambi belakang, tempat relax bagi kaum wanita pada siang atau sore hari, melepas lelah setelah mengerjakan tugas, tempat mengobrol sambil mencari kutu Sumber :
Achmad, Ramli dkk. 1992. Pasca normalisasi Sei Badera, pada tahun 2005 lalu. Secara jelas dapat terlihat
penduduk yang tinggal di Das Sei Badera dan sekitarnya, mengganti arsitektur rumah mereka dengan arsitektur rumah “modern” pada umumnya. Dalam kurun waktu 3
tahun belakangan ini, keberadaan rumah-rumah panggung sudah mulai berkurang.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Penduduk sudah berani membangun rumah mereka langsung menyentuh dengan tanah tanpa ada, tiang-tiang penyangga lain. Hal ini dibenarkan oleh Sayuti sebagai
salah seorang tokoh masyarakat, yang juga telah bermukim lebih dari 30 tahun di daerah itu.
“Mungkin bisa dikatakan demikian... sejak wilayah kami ini tidak banjir, penduduk sini sudah membangun rumah nya langsung ke tanah. Padahal ia
orang melayu, asli melayu. Bahkan, bapak itu adalah salah seorang tokoh adat melayu di daerah ini. Rumah-rumah panggung yang sudah rusak,
banyak yang telah dirobohkan dan dibangun kembali tetapi bukan dengan rumah panggung yang baru tetapi rumah-rumah seperti di kota-kota. Rumah-
rumah jaman sekarang inilah.” “Tetapi saya tidak tahu apakah ini merupakan pergeseran budaya, atau
hanya karena ingin suasan yang baru saja...”
Hal yang hampir sama juga dikatakan oleh Syaiful sebagai kepala lingkungan. ”Memang semenjak sungai sudah tidak banjir lagi, penduduk sini sudah tidak
lagi membangun rumah panggung tapi sudah langsung saja ke tanah. Dah itu, rumah-rumah panggung yang sudah mau rubuh di gantikan ama
keluarganya, ama anak-anaknya dengan rumah biasa, bukan lagi rumah panggung.”
”Kalau dibilang ini pergeseran budaya, orang sini tak lagi memelihara budaya, bangunan rumah melayu... mungkin jugalah...”
Banyak faktor untuk sampai pada satu kesimpulan apakah suatu budaya mulai
bergeser atau sudah tergeser. Dan diperlukan sebuah penelitian tersendiri untuk itu. Namun, di dalam penelitian ini, berubahnya rumah-rumah panggung menjadi rumah-
rumah biasa yang langsung menempel ke tanah, pada masyarakat melayu yang memiliki ciri rumah panggung tersendiri. Merupakan suatu temuan lapangan yang
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
tidak tebantahkan sebagai salah satu aspek implikasi pasca normalisasi Sei Badera yang terdapat pada pemukiman penduduk Das Sei Badera.
Apakah ini diartikan sebagai sebuah implikasi yang bernuansa positif atau negatif, tentunya peneliti tidak ingin masuk pada domain itu. Karena bukanlah
menjadi fokus dari penelitian yang penulis lakukan. Penulis hanya melihat hal ini sebagai sebuah temuan yang merupakan implikasi dari normalisasi Sei Badera Lihat
Gambar I.
4.2.2. Aspek Pembangunan Ekonomi