Namun jika menyimak rumusan Pasal 1338 1 BW yang menyatakan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” Istilah “secara sah” bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah menurut hukum adalah mengikat vide Pasal 1320 BW, karena didalam asas ini terkandung
“kehendak para pihak”
5
untuk saling mengikatkan diridan menimbulkan kepercayaan vertrouwen diantara para pihak terdapat pemenuhan perjanjian. Didalam Pasal 1320 BW
terkandung asas yang esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang menentukan adanya perjanjian raison d’erte, het bestaanwaarde.
6
Didalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan vertrouwen
diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan vertrouwenleer merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.
7
Dalam perjanjian kerja sama antara PT. Djarum dengan CV. Pelangi ini terdapat kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan adanya asas kepercayaan
pada masing- masing pihak. Kalau tidak ada asas kepercayaan terhadap masing-masing pihak, maka perjanjian kerja sama ini tidak mungkin akan berjalan.
B. Asas-asas Hukum Perjanjian
a. Asas Personalia
Asas ini diatur dan dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 1315 BW, yang berbunyi “ pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri”. Dari rumusan
tersebut dapat ketahui bahwa pada dasarnya suatu pejanjian yang dibuat oleh seseorang dalam
5
Artinya kehendak para pihak itu harus tercermin dalam wujud kontrak yang seimbang.
6
Mariam darus Badrulzaman., Kompilasi Hukum Perikatan, bandung: Citra aditya Bakti, 2001, Hlm. 82.
7
Ibid Hlm. 108-109.
Universitas Sumatera Utara
kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.
8
Pada umumnya sesuai dengan asas personalia, yang diberikan dalam pasal 1315 BW, masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan dalam :
a Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri;
b Sebagai wakil dari pihak tertentu;
c Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa.
Jika dilihat lebih lanjut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW, maka akan sampai pada ketentuan pasal 1340 yang menyatakan bahwa:
“Perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Perjanjian tidak dapat merugikan pihak ketiga; dan perjanjian tidak dapat memberi keuntungan
kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam pasal1317”
9
Dari rumusan yang diberikan pasal 1340 BW secara jelas dan tegas menyatakan bahwa suatu perjanjian yang diadakan antara dua pihak, hanya berlaku dan mengikat bagi kedua belah
pihak tersebut. Pihak ketiga manapun juga, diluar para pihak yang bersepakat,tidak dapat dirugikan kepentingannya, karena adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat
perjanjian tersebut. Demikian juga bahwa pihak ketiga, diluar para pihak yang berjanji, tidak dimungkinkan untuk memperoleh keuntungan dari suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak
yang saling bersepakat tersebut. Prinsip lebih lanjut diatur dalam pasal 1341 BW, yang dikenal juga dengan nama Actio
Pauliana, merupakan suatu sifat perjanjian yang hanya berlaku dan mengikat para pihak yang
8
Kartini muljadi gunawan widjaja., Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian ,jakarta: Rajawali pers, 2002, Hlm. 15.
9
Ahmadi Miru, dan Sakla Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233-1456 BW, 2008 , Jakarta, Rajawali Pers. Hlm. 80
Universitas Sumatera Utara
membuatnya. Dengan asas personalia, pihak ketiga, diluar para pihak yang bersepakat atau berjanji, tidak berhak untuk mencampuri perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
b. Asas Kebebasan Berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral dalam hukum perjanjian, meskipun asas ini tidak dibuat menjadi aturan hukum namun memilki pengaruh yang
kuat dalam hubungan perjanjian para pihak. Asas ini dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang secara dari lahir dari zaman Yunani, yang kemudian dilanjutkan oleh kaum Epicuristen dan
berkembang pesat pada zaman Renaissance melalui ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Rousseau. Sebagai asas yang bersifat universal yang bersumber dari paham
hukum,asas kebebasan berkontrak muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas.
10
Kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya didasari semangat
liberalisme yang mengutaakan kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan penyusunan BW di negeri Belanda, dan semangat liberalisme ini juga dipengaruhi semboyan
Revolusi Prancis “liberte, egalite et fraternite” kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Menurut arti individualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki,
sementara itu didalam hukum perjanjian filsafat ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak.
11
Buku III BW menganut sistem terbuka, artinya hukum “ Buku III BW memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang di
10
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposinalitas dalam Kontrak Komersil, 2011, Jakarta, Kencana, Hlm. 108
11
Ibid, Hlm. 109
Universitas Sumatera Utara
atur dalam Buku III BW hanya sekedar mengatur dan melengkapi regelend recht - aanvullendecht. Berbeda dengan pengaturan Buku III BW yang menganut sistem tertutup atau
bersifat memaksa dwingen recht, di mana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku III BW tersebut.
Sistem tertutup Buku III BW ini tercermin dari substansi Pasal 1338 1 BW yang menyatakan bahwa,”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.” Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan
berkontrak adalah dengan jalan menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat 1 itu seolah-olah membuat suatu
pernyataan proklamasi bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu
hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan”. Istilah “semua” didalamnya terkandung - asas patij autonomie; freedom of contract; beginsel van de contract
vrijheid - memang sepenuhnya menyerahkan kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan dalam bentuk kontrak standart.
12
Kebebasan berkontrak disini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apa pun tertulis, lisan, scriptless, paperless, autentik,
nonautentik, sepihakeenzijdig, adhesi, standartbaku dan lain-lain, serta dengan isi atau subtansi sesuai yang diinginkan para pihak.
Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “ tindakan hukum “ rechtshandeling.
12
Sebagai asas yang bersifat universal, hal itu juga terdapat dalam common law system, dimana terdapat kesimbangan posisi tawar bergaining power para pihak sebagai perwujudan dari liberty of contract, merupakan
pengakuan pada eksistensi dan kemandirian para pihak untuk membuat kontrak
Universitas Sumatera Utara
Tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh
prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. Jadi satu pihak memperoleh hak dan pihak satunya lagi memikul kewajiban
menyerahkanmenunaikan prestasi. Menurut Sutan Remi Sjahdeini asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian
Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:
13
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian .
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat
opsional aanvullend, optional. Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana
tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 1 BW tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam satu sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Dalam praktik
dewasa ini, acap kali asas kebebasan berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak memunculkan kesan pola hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat sebelah.
Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi
13
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 110
Universitas Sumatera Utara
tawar bergaining position yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang .
Menurut Konrad Zweight dan Hein Kotz, kebebasan berkontrak yang akan eksis jika para pihak didalam kontrak memiliki keseimbangan secara ekonomi dan sosial. Pengertian ini
memberikan peluang luas kepada golongan ekonomi kuat untuk mengatasi golongan ekonomi lemah, suatu “exploitation de l’homme par l’homme”. Pembentuk undang-undang pada waktu
tak terduga bahwa yang berhadapan dengan kontrak itu ternyata menyangkut dua pihak yang berbeda kekuatan ekonomisnya. Karenanya lambat laun dirasakan bahwa kebebasan berkontrak
menjurus pada adanya ketidakadilan.
14
Menurut Suhardi, kebebasan dan kesamaan yang diotorisir oleh tertib hukum abad XIX yang jiwanya individualis tidak memberi garansi untuk realisasi hakikat zat maupun eksistensi
manusia sebagai bagian dari rakyat terbanyak. Hubungan keperdataan karena dipandang melanggar hak kebebasan manusia. Disini kita menjumpai keganjilan. Untuk kepentingan
mempertahankan kodrat kebebasan, maka golongan terbanyak yang sosial ekonominya lemah harus menderita berat dan mengorbankan kesempatan realisasi hakikat eksistensi mereka sendiri.
Kegamangan eksistensi kebebasan berkontrak juga diungkapkan oleh Soepomo yang menyatakan bahwa :
15
“ BW mempunyai landasan liberalisme, suatu sistem berdasarkan atas kepentingan individu. Mereka yang memiliki modal yang kuat menguasai mereka yang lemah ekonominya. Didalam
sistem liberal terdapat kebebaan yang luas untuk berkompetisi sehingga golongan yang lemah tidak mendapat perlindungan”
14
Ibid, Hlm. 111
15
Ibid, Hlm. 112
Universitas Sumatera Utara
Namun demikian dalam perkembangannya, asas kebebasan berkontrak semakin tereduksi perannya sebagaimana sinyalemen beberapa sarjana. Subekti menyatakan bahwa hukum kontrak
sesudah perang dunia II ditandai dengan semakin meningkatnya pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak. Pengaruh paham individualisme mulai memudar pada akhir abad XIX
seiring dengan berkembangnya paham etis dan sosialis. Paham individualis dinilai tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapatkan
perlindungan. Oleh karena itu kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif, selalu dikaitkan dengan kepentingan umum. Sementara menurut Pitlo didalam abad ini
terutama setelah tahun 1945 perkembangan kearah pembentukan masyarakat sosialis dari masyarakat individualis berada dalam proses menanjak. Salah satu gejalanya ialah dengan
penerobosan Hukum Publik terhadap Hukum Perdata. Penerobosan ini adalah demi kepentingan umum. Penerobosan ini terjadi baik dalam bidang hak atas benda maupun dalam bidang hukum
harta kekayaan. Jika selama ini ada “uitholling van eigendom”, maka sekarang ada “uitholling van contactenvrijheid”.
Mariam Darus Badrulzaman menambahkan, jika dilihat dari segi perkembangan hukum perdata, maka campur tangan pemerintah merupakan pergeseran hukum perdata kedalam proses
pemasyarakatan vermaatschappelijking untuk kepentingan umum. Sesuai dengan UUD 1945 yang telah melepaskan diri dari konsepsi hukum yang liberal dan menganut konsepsi hukum
yang Pancasilais. Didalam konkretonya, Hukum perdata khususnya hukum kontrak mencari bentuk baru demi memenuhi tuntutan itu antara lain melalui campur tangan pemerintah. Materi-
materi yang menyangkut kepentingan umum dengan demikian akan memperoleh perlindungan.
Universitas Sumatera Utara
Bahkan cenderung untuk memperbanyak peraturan-peraturan hukum pemaksa dwingend recht demi kepentingan umum dan melindungi yang lemah.
16
Dalam perkembangannya asas ini semakin digerogoti. Memang asas ini belum mati dalam arti sebenarnya, namun asas ini setidak-tidaknya sudah tidak lagi tampil dalam bentuknya
yang utuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembatasan kebebasan berkontrak, yaitu:
a. Semakin berpengaruhnya ajaran iktikad baik dimana iktikad baik tidak hanya ada pada
pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya kontrak. b.
Semakin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan misbruik van omstandigheden atau undue influence.
Setiawan, menyatakan bahwa pembatasan kebebasan berkontrak dipengaruhi oleh:
17
a. Berkembangnya doktrin iktikad baik;
b. Berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan;
c. Makin banyaknya kontrak baku;
d. Berkembangnya hukum ekonomi.
Sedangkan Purwahid Patrik menyatakan bahwa terjadinya berbagai pembatasan kebebasan berkontrak disebabkan:
18
16
Ibid, Hlm. 113
17
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas: Doktrin Peraturan Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Jakarta: Total Medika, 2009. Hlm 2.
18
Ibid, Hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
a. Berkembangnya ekonomi yang membentuk persekutuan dagang, badan-badan hukum
atau perseroan-perseroan, dan golongan-golongan masyarakat lain misal: golongan buruh dan tani
b. Terjadinya pemasyarakatan keinginan adanya keseimbangan antar-individu dan
masyarakat yang tertuju kepada keadilan sosial; c.
Timbulnya formalisme perjanjian; d.
Makin banyak peraturan dibidang hukum tata usaha negara.
Menurut Sri Soedewi Maschoen, pembatasan kebebasan berkontrak diakibatkan karena adanya:
19
a. Perkembangan masyarakat dibidang sosial ekonomi misal:kaena adanya penggabungan
atau sentralisasi perusahaan; b.
Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum atau pihak yang lemah.
c. Adanya aliran dalam masyarakat yang menginginkan adanya kesejahteraan sosial.
Terlepas dari semakin tereduksinya supremasi asas kebebasan berkontrak, keseimbangan para pihak dalam berkontrak merupakan konsep dasar yang tidak dapat ditawar. Karena itu
dalam diri para pihak yang berkontrak harus terdapat pemahaman dan penghormatan terhadap hak masing-masing. Oleh karena itu, dapat dipahami, perkembangan asas kebebasan berkontrak
yang cenderung mengarah pada ketidakseimbangan para pihak kemudian dibatasi oleh berbagai ketentuan yang bersifat memaksa agar pertukaran hak dan kewajiban dapat berlangsung secara
proprosional.
19
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 115
Universitas Sumatera Utara
Melalui pemahaman tersebut diatas, kiranya pola interaksi yang selama ini berkembang dimasyarakat sehubungan dengan perjanjian yang dibuat para pihak, dimana dalam berkontrak
para pihak dihadapkan sebagai “lawan kontrak” , adalah pola fikir yang harus dihilangkan, khususnya dalam dunia bisnis. Pemikiran “lawan kontrak” pada dasarnya psikis sadar atau
tidak sadar, disengaja atau tidak disengaja akan mewarnai pola fikir, sikap dan tindakan para pihak yang kesemuanya itu muncul, berkembang dan tertuang dalam penyusunan kontrak yang
mereka buat. Hal ini dapat dicermati dalam pola kontrak. Kontrak standart yang cenderung berat sebelah.
Yang terjadi dilapangan merupakan konsekuensi logis dari pola fikir dan pemahaman yang salah kaprah mengenai asas kebebasan berkontrak. Sehingga yang terjadi justru para pihak
berusaha semaksimal mungkin untuk mengamankan dirinya menguntungkan dirinya dalam berhadapan dengan lawan kontraknya. Ia berusaha untuk membentengi dirinya dengan mencoba
membuat kontrak yang isinya cenderung hanya menguntungkan dirinya sendiri, tanpa menghiraukan pihak lawan, bahkan kalau perlu menjerat pihak lawan dengan klausul-klausul
yang mematikan. Dengan pemahaman bahwa dalam berkontrak akan saling berhadapan lawan kontrak, berarti mereka siap dengan senjata masing-masing untuk diarahkan dan ditembakkan
sewaktu-waktu.
Kesalahan dalam memahami filosofi asas kebebasan berkontrak tersebut harus segera diluruskan dan dikembalikan pada pemahaman yang sebenarnya. Asas ini menempatkan para
pihak yang berkontrak dalam posisi yang setara secara proporsional, asas ini tidak menempatkan para pihak sebagai partner - mitra kontrak dalam pertukaran kepentingan mereka.
Universitas Sumatera Utara
Melalui pemahaman pola kemitraan, maka bangunan konsep lama yang terpola dibenak para pihak harus dirombak, artinya didalam membuat kontrak dengan mitranya itu harus
diupayakan untuk selalu memikirkan bagaimana selain dia aman dan diuntungkan dengan kontrak itu, maka mitra kontrak tersebut memperoleh hasil dan manfaat yang sama dengan
dirinya. Dengan pemahaman kemitraan niscaya akan terbangun suatu situasi yang saling menghargai, menguntungkan, mengamankan tujuan para pihak sebagaimana yang tertuang
dalam kontrak. Situasi kondusif yang dilandasi sikap win-win attitude
20
pada akhirnya akan bermuara pada situasi “win-win solution”.
Jika dikaitkan dengan perjanjian yang dibahas dalam skripsi ini menjelaskan bahwa para pihak sama-sama saling menguntungkan dan dengan saling menghargai yang terjadi pada para
pihak maka perjanjian akan berjalan sesuai dengan yang di harapkan.
Asas Konsensualitas Asas konsensualitas menjelaskan pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan
antara dua atau lebih orang telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai
kesepakatan atau consensus, ,meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata- mata. Ini berarti ada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi
para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walaupun demikian, untuk menjaga kepentingan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi diadakanlah bentuk-bentuk
formalitas, atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu.
20
Merupakan sikap yang dilandasi oleh itikad bahwa kontrak itu sedapat mungkin akan menguntungkan secara timbal balik.
Universitas Sumatera Utara
Asas konsensualitas
adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanian konsensuil.
Sebagai pengecualian dikenallah perjanjian formil dan perjanjian riil, oleh karena dalam kedua jenis perjanjian yang disebut terakhir ini, kesepakatan saja belum mengikat pada pihak yang
berjanji. Dalam perjanjian formil, sesungguhnya formalitas tersebut diperlukan karena dua hal
pokok, yaitu yang meliputi:
a. Sifat dari kebendaan yang dialihkan, yang menurut ketentuan pasal 613 dan pasal 616
BW penyerahan hak milik atas kebendaan tersebut harus dilakukan dalam bentuk akta otentik atau akta dibawah tangan. Oleh karena itu pengalihan dari kebendaan yang
demikian mensyaratkan diperlukannya akta, berarti harus dibuat secara tertulis, maka segala perjanjian yang dimakud untuk memindahkan hak milik atas kebendaan tersebut
haruslah dibuat secara tertulis. b.
Sifat dari isi perjanjian itu sendiri, yang harus diketahui oleh umum, melalui mekanisme pengumuman kepada khalayak umum atau masyarakat luas. Jenis perjanjian ini pada
umumnya dapat ditemukan dalam perjanjian yang bertujuan untuk mendirikan suatu badan hukum, yang selanjutnya akan menjadi suatu persona standi in judicio sendiri,
terlepas dari keberadaan para pihak yang berjanji untuk mendirikannya sebagai subyek hukum yang mandiri.
c. Hubungan dengan penjamin kebendaan. Pada mulanya Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata hanya mengenal dua macam jenis penjaminan, yang dikaikan dengan jenis kebendaannya, yaitu kebendaan bergerak dan kebendaan tidak bergerak.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan dalam perjanjiaan riil, suatu tindakan atau perbuatan disyaratkan karena sifat dari perjanjian itu sendiri yang masih emerlukan tindak lanjut dari salah satu pihak dalam
perjanjian, agar syarat kesepakatan bagi lahirnya perjanjian tersebut menjadi ada demi hukum.
C. Syarat-syarat Sahnya Sebuah Perjanjian