BAB II
PENGERTIAN PERJANJIAN DALAM KUHPerdata
A. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya
Perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa Perjanjian adalah : “ menyatakan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih “
1
Ketentuan dari pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Adapun yang menjadi kelemahan-kelemahannya adalah sebagai berikut
:
2
1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “ satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya “. 2.
Kata perbuatan mencakup juga terhadap konsensusnya. 3.
Pengertian perjanjian terlalu luas. 4.
Tanpa menyebut tujuan. 5.
Ada bentuk tertentu lisan dan tulisan. 6.
Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian, sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan dibawah ini :
a. Syarat ada persetujuan kehendak.
b. Syarat kecakapan pihak-pihak.
c. Ada hal-hal tertentu.
d. Ada klausa yang halal.
1
http:ihsan26theblues.wordpress.com20110602hukum-perjanjian
2
http:www.negarahukum.comhukumperjanjian-perikatan-kontrak.html
Universitas Sumatera Utara
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal yang dalam bentuknya
perjanjian itu dapat dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji dan kesanggupan yang diucapkan secara lisan ataupun secara tertulis.
3
Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam
bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Perjanjian mengandung pengertian bahwa : suatu hubungan hukum kekayaanharta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Dari pengertian singkat diatas dapat dilihat beberapa unsur yang memberi wujud
pengertian perjanjian, antara lain : “ hubungan hukum rechtsbetrekking yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban
pada pihak lain tentang suatu prestasi. Sehingga demikian, perjanjian adalah hubungan hukum rechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh
karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam
perjanjian bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan.
3
R.Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT.Intermasa, 1994, Hlm.1
Universitas Sumatera Utara
Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “ tindakan hukum “ rechtshandeling.
Tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh
prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. Jadi satu pihak memperoleh hak dan pihak satunya lagi memikul kewajiban
menyerahkanmenunaikan prestasi. Prestasi ini sendiri merupakan objek atau “ voorwerp ” dari perjanjian. Tanpa prestasi,
hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum sama sekali tidak memiliki arti apa-apa bagi hukum perjanjian.
Perjanjian atau verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan, akan tetapi tidak semua perjanjian atau verbintenis mempunyai sifat memaksa, pengecualiannya misalnya pada
natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat “ tanpa hak memaksa “. Jadi natuurlijke verbintenis adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa de verbintenis
met zonder rechtsdwang. Dengan demikian dapat di bedakan antara :
1. Perjanjian tanpa kekuatan hukum zonder rechtwerking yaitu : perjanjian yang ditinjau dari
segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum rechtsgevolg yang mengikat. Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.
2. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum “ tak sempurna “ onvolledige rechtswerking,
seperti natuurlijke verbintenis. Bahwa ketidaksempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur dalam memenuhi kewajiban prestasi.
Universitas Sumatera Utara
3. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya volledige rechtsweking. Disini
pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika dia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi.
A.1 Sistem Keterbukaan yang Terkandung Dalam Hukum Perjanjian Dalam hukum benda mempunyai suatu sistem tertutup, sedangkan dalam hukum
perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam membuat
suatu perjanjian para pihak diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka dapat mengatur sendiri keentingan
mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Namun jika para pihak yang akan melakukan perjanjian tersebut tidak mengatur sendiri, itu berarti para pihak tersebut akan tunduk
kepada undang-undang. Sistem terbuka, yang mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian, dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat 1, yang berbunyi : “ Semua perjanjian ynag dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya “. Selanjutnya, sistem terbuka dari hukum perjanjian itu juga mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang
hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibentuk.
A.2 Hukum Perjanjian Mengandung Asas Konsensualisme
Universitas Sumatera Utara
Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas konsensualisme
bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat
mengenai sesuatu hal. Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul
karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak-lah
diperlukan sesuatu formalitas. Dikatakan juga, bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya konsensuil.
Adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan secara tertulis perjanjian perdamaian atau dengan akta notaris
perjanjian penghibahan barang tetap, tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu kekecualian yang lain, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat. Apabila sudah tercapai
kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
4
1. sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
4
Prof. R. Subekti, Aneka Perjanjian, cet keenam, Alumni, Bandung, 1984. Hlm. 4
Universitas Sumatera Utara
Namun jika menyimak rumusan Pasal 1338 1 BW yang menyatakan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” Istilah “secara sah” bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah menurut hukum adalah mengikat vide Pasal 1320 BW, karena didalam asas ini terkandung
“kehendak para pihak”
5
untuk saling mengikatkan diridan menimbulkan kepercayaan vertrouwen diantara para pihak terdapat pemenuhan perjanjian. Didalam Pasal 1320 BW
terkandung asas yang esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang menentukan adanya perjanjian raison d’erte, het bestaanwaarde.
6
Didalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan vertrouwen
diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan vertrouwenleer merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.
7
Dalam perjanjian kerja sama antara PT. Djarum dengan CV. Pelangi ini terdapat kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan adanya asas kepercayaan
pada masing- masing pihak. Kalau tidak ada asas kepercayaan terhadap masing-masing pihak, maka perjanjian kerja sama ini tidak mungkin akan berjalan.
B. Asas-asas Hukum Perjanjian