Kerugian yang Dialami oleh Warga Akibat Privatisasi

4.5. Kerugian yang Dialami oleh Warga Akibat Privatisasi

Ibu Ella, ibu Ncih, dan ibu Halimah adalah warga Rawa Badak Utara RT 9 RW 9. Ibu Ella merupakan perempuan kelahiran tahun 1972. Ia tinggal bersama satu suami dan dua anak di sebuah kontrakan di Rawa Badak Utara. Ia memakai jasa PAM Jaya untuk mengkonsumsi air bersih sejak tahun 1994. Sedangkan, ibu Ncih seorang kelahiran 1965 telah berada di Rawa Badak Utara sejak tahun 1980. Ia tinggal bersama satu suami dan tujuh anak. Pada tahun 1983, ia sudah mulai mengonsumsi air bersih dari PAM Jaya. Ibu Halimah juga merupakan warga lama di Rawa Badak Utara, yaitu sejak tahun 1990 dan ia langsung berlangganan PAM. Ia tinggal di sana bersama satu suami, tiga anak, dan seorang cucu, serta lima orang ipar.

Mereka mengonsumsi air sehari-harinya dengan berlangganan PAM. Namun, sudah lama PAM tidak mengaliri rumah mereka. Pada siang hari, mereka mengaku tidak mendapat air sama sekali. Mereka harus menunggu dari jam satu pagi untuk hanya mendapatkan dua ember air yang banyak jentiknya. Selama air mati, warga tetap diharuskan membayar pelayanan air dari Aetra walaupun mereka tidak pernah mendapatkan pelayanan air bersih.

“... mungkin dulu itu kita dipenuhin ama pam jaya karena masih konsumennya kan masih dikit, pabrik pabrik baru ada di pos satu, sekarang kan pabrik banyak butuh air, udah banyak pabrik disini, dulu kelapa gading masih rawa, masih sawah, ya. Jadi ibaratnya belum dibutuhkan, sekarang kelapa gading udah jadi apartemen, udah tingkat-tingkat sampai berjulang tinggi ke atas langit apa ga butuh air banyak, sehingga ya mungkin kesininya kita dapatnya ga banyak lah ga seperti dulu. ”

(FGD dengan ibu-ibu di Rawa Badak Tanggal 29 Januari 2014)

Universitas Indonesia

Mereka menuturkan, bahwa sekarang ini banyak pabrik, apartemen, serta perumahan yang membutuhkan banyak asupan air bersih. Hal itu membuat permukiman-permukiman kumuh tidak mendapatkan air. Kadang memang air menyala, namun airnya berwarna hitam, bau, dan banyak jentiknya. Hal tersebut dibenarkan oleh pak Firdaus Ali, yang berkata bahwa air baku yang jumlahnya tetap tidak sebanding dengan banyaknya warga Jakarta sekarang sehingga warga banyak yang berebut air.

“... operator kan dibunyikan dia harus menambah layanannya dengan bertambahnya pelanggan. Sementara, jumlah air baku yang diolah kan tidak

bertambah. Otomatis jumlah pelanggan yang dulu pada saat kontrak itu 328 ribu, sekarang jadi 807 ribu, kan naik dua kali lipat lebih kan. Jadi apa, dengan air baku yang sama, air baku sama kan, ga bertambah kan. Pelanggan bertambah dua kali lipat lebih. Otomatis kan ya logikanya ada pelanggan yang tidak akan dapat air. Kalau ada pelanggan yang harusnya dapat air 24 jam, sekarang jadi 12 jam.Kalau dulu dia dapet 12 jam, sekarang dia dapet 6 jam.Kemudian, karena jumlah pelanggan bertambah, jumlah air yang dibutuhkan bertambah, sementara tidak tersedia air bakunya.Jadi orang berebut.Air susah, mahal, dan sebagainya. ”

(Wawancara dengan pak Firdaus Ali tanggal 3 Februari 2014)

Saat ditanya mengenai sosialisasi struktur dan besaran tarif serta tagihan, mereka mengaku tidak mendapat sosialisasi apa-apa. Merasa dirugikan, mereka pun protes. Awalnya, mereka menanyakan sebab air mati kepada RT dan RW. Namun, tidak ada yang tahu. Akhirnya, mereka meminta surat pengantar dari RT dan RW bahwa air PAM tidak menyala di wilayah Rawa Badak RT 9 RW 9 itu. Setelah itu, mereka melakukan protes kepada pihak operator. Namun, aduan mereka tidak ditanggapi oleh pihak operator. Mereka akhirnya melakukan demo di Kantor Gubernur DKI Jakarta. Puncaknya, mereka menjadi saksi dalam pengadilan tuntutan rakyat atas privatisasi air Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Hal itu membuat mereka harus beli air dengan gerobak-gerobak. Dengan memakai gerobak, mereka mengonsumsi air sebanyak 24 jerigen. Harga setiap dua jerigen adalah Rp4.500,00 sampai dengan Rp5.000,00. Gerobak-gerobak tersebut mengambil air dari hidran-hidran air yang selalu menyala. Hidran-hidran air itu merupakan milik Aetra yang dikelola oleh seseorang yang kemudian

Universitas Indonesia Universitas Indonesia