Crime of Domination sebagai Bentuk Kejahatan Negara dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia akan Air Bersih

5.5. Crime of Domination sebagai Bentuk Kejahatan Negara dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia akan Air Bersih

Di awal bab ini, peneliti telah menyatakan, bahwa hak atas air merupakan suatu hak asasi manusia yang harus dipenuhi. Sidang Umum PBB pada tahun 2010 telah menyepakati bahwa air minum yang bersih dan sanitasi yang baik merupakan hak asasi manusia yang sangat penting untuk kehidupan dan keseluruhan hak asasi manusia.Hak atas air ini ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai kebutuhan akan air yang tidak bisa digantikan oleh apapun juga. Air merupakan penggerak roda kehidupan manusia. Seperti kata Hale (2007), bahwa Hak Asasi Manusia atas air ini tidak hanya sekadar izin untuk menggunakan air. Hak atas air ini merupakan hak sosial dan ekonomi yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia.

Manusia mempunyai hak yang kekal dan abadi untuk berkompetisi secara setara, adil, dan bebas dalam bidang sosial, ekonomi, dan poolitik. Kesempatan yang setara ini merujuk pada prinsip keadilan yang harus mengendalikan adanya ketidaksetaraan sosial di dalam masyarakat. Segala prasyarat kehidupan manusia, seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, rekreasi, dan keamanan harus dijamin. Hal-hal tersebut merupakan hal dasar yang tidak boleh dianggap sebagai hadiah. Hal tersebut merupakan hak yang harus dijamin pemenuhannya (Schwendinger & Scwendinger, 1975). Dalam hal ini, air bersih merupakan hak yang kekal dan abadi dan melekat pada manusia. Apabila kita membicarakan hak asasi manusia akan air bersih, kita harus pula membicarakan kesempatan yang setara dan adil dalam mengakses air bersih. Dengan akses yang bisa dicapai, air bersih pun dapat dicapai dan bisa membuat adanya kesejahteraan di dalam kehidupan manusia. Hak atas air ini tidak bisa dianggap sebagai hadiah semata. Hak atas air ini harus dipenuhi oleh pemerintah agar warga negaranya bisa hidup sejahtera.

Universitas Indonesia

Namun, air sekarang tidak bisa diakses dengan mudah, murah, dan berkualitas oleh masyarakat dengan kelas ekonomi bawah. Akses terhadap air bersih menjadi sangat sulit. Hal itu membuat pemenuhan hak asasi manusia akan air pun menjadi susah, karena pemenuhan HAM akan suatu hal tidak bisa dilakukan tanpa adanya akses terhadap hal itu. Oleh karena itu, ketiadaan akses akan air ini merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM.

Pun disebutkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 butir keenam, bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Dalam rangka menyesuaikan diri dari dominasi Bank Dunia, pemerintah RI membuat kebijakan privatisasi air dan mengadakan perjanjian kerjasama dengan pihak swasta. Mengacu pada Barak (2001), tindakan Indonesia dalam membuat kebijakan privatisasi air merupakan produk dari kegiatan yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam akumulasi modal. Quinney berkata, bahwa terdapat reaksi dan ekspresi dari adanya penekanan struktural dan perjuangan kelas. Reaksi dan ekspresi tersebut disebut sebagai adaptasi struktural, dan hal itu merupakan sebab dari adanya tindak kejahatan (Barak, 2001). Mengacu pada Vito, Maahs, & Holmes (2006), bentuk adaptasi struktural melahirkan adanya crimes of accommodation . Kebijakan privatisasi air ini lah yang menjadi bentuk reaksi dan ekspresi sebagai hasil adaptasi struktural dari pemerintah Indonesia dari adanya perjuangan kelas yang dilakukan oleh negara Indonesia dalam dunia global.

Mengacu pada Giddens dalam Priyono (2002), struktur signifikasi, dominasi, dan legitimasi yang terdapat pada praktik globalisasi membuat pemerintah Indonesia berada dalam lingkaran struktur yang membentuk praktik- praktik yang kemudian lebih menguatkan struktur tersebut. Dalam dominasi dan legitimasinya, Bank Dunia mengharuskan Indonesia membuat kebijakan

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Oleh karena itu, Indonesia pun menjalani proses pergeseran orientasi PAM Jaya, yang tadinya adalah sebagai pelayanan publik menjadi berorientasi pelanggan (costumer oriented) atau berorientasi pasar. Proses pergeseran orientasi PAM Jaya tersebut dijalani dengan proses yang cukup lama, yaitu sejak adanya Petunjuk Presiden RI pada 12 Juni 1995 sampai dengan ditandatanganinya perjanjian kerjasama antara PAM Jaya dengan kedua mitra swasta.

Dalam hal ini, rakyatlah yang dirugikan. Terdapat viktimisasi struktural dalam kebijakan ini. Terdapat struktur yang secara kontinyu yang membuat warga miskin dirugikan. Adanya viktimisasi struktural membuktikan bahwa telah terjadi ketidakadilan yang dilahirkan oleh kebijakan publik ini. Menurut Neil Gilbert dalam Stoesz (1996), keadilan merupakan suatu gagasan bahwa kontrak sosial menentukan tanggung jawab timbal-balik antara individu dengan negara. Keadilan ini dapat diukur dengan kesejahteraan. Hal yang dialami oleh warga miskin di Rawa Badak Utara dan Muara Baru merupakan bentuk dari ketiadaan akses terhadap air bersih. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat ketidaksejahteraan karena tidak adanya akses terhadap air bersih yang merupakan kebutuhan mendasar bagi kehidupan manusia. Distribusi akan barang dan jasa dilandaskan pada kemampuan untuk membayar, bukan atas dasar kemanusiaan. Tidak ada konsep keadilan dalam kebijakan privatisasi air ini. Hal tersebut disebabkan oleh karena orang-orang berpaham neoliberal, yang menilai bahwa semua tindakan manusia merupakan tindakan pasar, menentang konsep welfare justice karena hal tersebut tidak bisa diukur oleh ekonomi.

Dalam Schwendinger & Scwendinger (1975), dikatakan bahwa prinsip keadilan harus mengendalikan adanya ketidaksetaraan sosial di dalam masyarakat. Individu harus dilihat dan diperhatikan sebagai lebih dari objek yang diperlakukan secara setara oleh institusi. Semua orang harus dijamin prasyarat kehidupannya, termasuk makanan, tempat berlindung, pakaian, pelayanan medis, pekerjaan, rekreasi, dan keamanan dari individu predator atau elit sosial yang imperialistik dan represif. Namun, kesetaraan seringkali dibela bukan atas dasar logika formal,

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Menurut Mustofa (2010), apabila masyarakat mengalami kerugian, baik secara fisik, psikologis, maupun materi yang disebabkan oleh adanya suatu pola tingkah laku, di situ terdapat kejahatan. Kejahatan dapat dilakukan baik secara individu maupun secara kelompok, baik dalam suatu organisasi, maupun di luar organisasi.

Negara merupakan suatu organisasi besar. Apabila suatu negara melakukan suatu tindakan, tindakan tersebut pastilah akan berdampak pada warga negaranya. Tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam melakukan suatu kebijakan, negara bisa melakukan kejahatan. Dalam hal ini, negara melakukan kejahatan dengan meniadakan akses air bersih bagi warga miskin. Warga miskin menjadi dirugikan karena mereka tidak mendapatkan air bersih. Namun, Barlow dan Decker (2010) menyebutkan, bahwa kejahatan negara merupakan hal yang kasat mata karena tidak dapat dengan mudah didefinisikan. Hal itu disebabkan oleh apa yang disebut Quinney sebagai pendefinian kejahatan oleh aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum merupakan representasi dari negara yang membuat hukum dan definisi kejahatan untuk mengontrol kelas bawah (Vito, Maahs, & Holmes, 2006) dan hal itu membuat negara sulit didefinisikan sebagai pelaku kejahatan.

Menurut Julia dan Herman Schwendinger, definisi kejahatan harus terbuka dengan isu moral (Schwendinger & Scwendinger, 1975). Isu tentang air bersih ini merupakan isu moral yang apabila dilanggar, akan menyebabkan kerusakan sosial. Pelanggaran hak asasi manusia atas air ini berwujud pada viktimisasi struktural oleh negara yang membuat warga miskin tidak bisa mengkses air bersih. Hal tersebut menyebabkan kerusakan sosial, dan oleh sebab itu kesempatan individu untuk memenuhi kehidupannya pun manjadi terbatas. Mengacu pada Schwendinger & Scwendinger (1975), terdapat sistem sosial yang menyebabkan ketidaksetaraan. Sistem sosial ini lah yang merupakan pelaku

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Keadaan ini bertentangan dengan sila kelima Pancasila yang berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Pemerintah sebagai institusi yang

netral dan mempunyai kuasa untuk mengatur negara dengan tujuan mensejahterakan rakyatnya, seharusnya menegakkan pemenuhan hak asasi manusia bagi warganya. Pemerintah harus dapat menyediakan pelayanan barang dan jasa untuk semua pihak yang berhak mendapatkannya. Hal tersebut membuat negara, sebagai pelaku yang membuat air bersih menjadi tidak bisa diraih, menjadi pelaku kejahatan.

Menurut Schwendinger & Scwendinger (1975), saat hak asasi manusia dibuat menjadi dasar dari definisi perilaku kejahatan, pelanggaran terhadap hak asasi manusia merupakan perhatian utama kriminologi. Keamanan dan jaminan kesehatan dan akses akan air bersih merupakan hal yang mendasar. Ancaman terhadap kesehatan seseorang akan membahayakan hal lainnya.Pemusnahan akan hak-hak asasi manusia, termasuk hak asasi atas air yang disebabkan oleh adanya hubungan dan sistem sosial yang teratur dan kontinyu menghasilkan suatu kerusakan sosial (Schwendinger & Scwendinger, 1975). Hal tersebut akan membatasi kesempatan individu untuk memenuhi kehidupannya. Penolak hak asasi manusia merupakan pihak pelaku kejahatan.

Hal itu membuat Julia dan Herman Scwendinger menyebutkan, bahwa pemerintah secara legal disebut sebagai pelaku kejahatan karena telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintah membuat sistem dan hubungan sosial yang secara terus-menerus membuat air bersih menjadi susah dan mahal diraih oleh warga miskin. Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia atas air.