Implementasi Kebijakan Privatisasi Air

5.3. Implementasi Kebijakan Privatisasi Air

Salah satu poin perjanjian kerjasama antara PAM Jaya dengan kedua mitra swasta adalah tentang hak dan kewajiban PAM Jaya sebagai pihak pertama dan mitra swasta sebagai pihak kedua. Beberapa dari hak PAM Jaya adalah memeriksa, mengawasi, menilai, dan mengevaluasi pelaksanaan kewajiban- kewajiban pihak kedua. Kemudian, PAM Jaya juga berhak menerima laporan proyek, menerima dan menyetujui program lima tahun untuk setiap periode berikutnya. Sedangkan, kewajibannya adalah menyediakan, memperbaharui, memperpanjang perizinan; memberi seluruh bantuan yang wajar kepada pihak kedua, memberikan data dan informasi yang disimpan kepada mitra swasta dalam rangka pengelolaan dan operasi. Sedangkan, hak pihak kedua adalah melaksanakan proyek, menerima bantuan umum,menerima pendapatan, mengatur pengukuran meter dan penagihan para pelanggan. Kewajibannya di antaranya adalah mengatur seluruh pendanaan yang diperlukan untuk proyek; memenuhi target teknis dan standar pelayanan sementara bertindak sesuai dengan tata cara pengoperasian yang baik.

Dalam perjanjian tersebut disebutkan, bahwa pihak yang mengatur pendanaan, target teknis, standar pelayanan, pengukuran dan penagihan, dan melaksanakan seluruh operasional adalah pihak swasta. Sedangkan, pihak pertama hanya berhak menerima dan menyetujui laporan dan target, serta berkewajiban untuk memberi bantuan kepada pihak swasta.

Universitas Indonesia

Selain itu, perjanjian kerjasama ini telah melanggar Pasal 2 Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 13 Tahun 1992 tentang PDAM DKI Jakarta, yang menjelaskan bahwa PAM Jaya adalah badan hukum yang bewenang melakukan pengusahaan, penyediaan dan pendistribusian air minum serta usaha-usaha lain berdasarkan Peraturan Daerah ini. Perjanjian kerjasama disebut melanggar karena dalam hak dan kewajiban yang disebutkan di dalam perjanjian, PAM Jaya hanya menjadi pengawas atas hak dan kewajiban yang diberikan kepada pihak swasta.PAM Jaya menjadi kehilangan fungsi karena kewenangannya dialihkan kepada pihak swasta. Isi dari perjanjian tersebut sangat mencerinkan prinsip neoliberalisme yang meminimalisasi peran negara dan memaksimalisasi peran swasta.

Peraturan perundangan tentang sumber daya air kemudian diatur pada UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada pasal 2, pasal 5, dan pasal 6 dijelaskan bahwa sumber daya air dikelola dengan menganut asas keadilan, kemandirian, transparansi, dan akuntabilitas.Hal itu dijamin oleh negara bahwa setiap orang berhak untuk mendapat air bagi kebutuhan pokok mereka.Air yang didistribusikan merupakan air yang sehat, bersih, dan produktif supaya warga negara bisa memenuhi standar kehidupan yang layak untuk bertahan hidup.Oleh karena itu, sumber daya air dikuasai oleh negara.Masyarakat, sebagai warga negara mempunyai peran dalam pengelolaan sumber daya air. Peran ini mempunyai korelasi dengan pemenuhan hak serta penjaminan pemenuhan hak asasi manusia atas air itu sendiri. Dalam pasal 84 ayat 1 disebutkan bahwa masyarakat berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya air.

Namun, UU Nomor 7 Tahun 2004 ini bersifat tidak konsisten akan peraturan yang diproduksi. Pada pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin pemerintah atau pemerintah daerah.Jelas, badan usaha merupakan badan yang bersifat mencari untung. Penjaminan hak atas air menjadi tidak ada karena pemberian hak guna usaha kepada perseorangan atau badan usaha merupakan hal yang membuat air diubah sifatnya dari yang tadinya barang publik menjadi barang ekonomi.Rupanya, pasal 9 UU Nomor 7 Tahun 2004 merupakan bentuk

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Di dalam kontrak kerjasama antara PAM Jaya dengan pihak swasta, disebutkan bahwa pihak swasta adalah pihak yang bertanggung jawab untuk mendistribusikan air kepada masyarakat. Hal itu membuat PAM Jaya harus memberikan bantuan kepada swasta agar swasta dapat menjalankan kewajibannya dengan baik, yaitu dengan cara memberikan imbalan air kepada swasta. Imbalan air ini disebut dengan water charge . Tingginya water charge ini disesuaikan setiap semester sesuai dengan indikator inflasi dan beberapa penghitungan lain yang ditetapkan oleh PAM Jaya bersama swasta.

Hal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya keinginan perusahaan untuk mencapai surplus. Surplus tidak akan dicapai apabila water charge tidak disesuaikan dengan perhitungan-perhitungan seperti inflasi. Kemudian, terdapat water tariff . Water tariff merupakan biaya yang dibebankan kepada masyarakat untuk membayar jasa pelayanan distribusi air. Kenaikan water tariff ini disesuaikan dengan water charge sehingga besarnya water tariff tersebut lebih tinggi daripada water charge . Hal itu akan membuat adanya selisih yang menjadi surplus. Namun, apabila water tariff lebih rendah daripada water charge, akan terjadi shortfall (lihat Grafik 4.2.). Shortfall merupakan utang yang harus dibayarkan PAM Jaya kepada mitra swasta sehingga PAM Jaya mengalami kerugian seperti yang dialami oleh PAM Jaya sekarang ini.

Hal ini sangat sesuai dengan nilai-nilai yang dikemukakan oleh paham neoliberal yang melihat bahwa semua interaksi antarmanusia merupakan interaksi pasar yang mana isinya adalah tentang untung dan rugi. Bank Dunia dalam Loan Agreement Number 3219 IND mengatakan bahwa untuk mencapai efisiensi pendistribusian air bersih kepada warga, Indonesia harus melakukan privatisasi. Paham neoliberal di sini melihat, bahwa pengadaan anggaran untuk pelayanan publik merupakan bentuk inefisiensi finansial. Dalam hal ini, Badan Regulator PAM Jaya, yang telah memutuskan untuk tidak menaikkan water tariff agar tarif air masih bisa dicapai oleh masyarakat yang kurang mampu, secara tidak langsung melakuan pelayanan publik. Pelayanan publik tersebut menyebabkan adanya inefisiensi anggaran sehingga PAM Jaya mengalami kerugian karena paham yang

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

“ Kemudian, water lossnya ini. Kehilangan air.50% hilang.Ini pada kontrak pertama kali, tahun 1998. Pada tahun 2003, mereka mengalami kehilangan air dari 58% turun menjadi 43%. Tapi yang terjadi adalah realisasinya 45%.Bukannya mereka itu kemudian menyatakan bahwa „saya mau perbaiki‟, tidak.Yang mereka lakukan mengoreksi targetnya. Jadi deket kan realisasi sama targetnya? Kalau deket, dendanya murah. Maka lebih baik mereka bayar denda ketimbang kerja keras. Koreksi ini dilakukan tanpa sepengetahuan BR. ..., setiap kontrak kerjasama dengan asing, itu basisnya adalah performance kan. Kalau orang performance ga bisa, dia cabut kan. Ini enggak.Ini berdasarkan yang namanya kebutuhan keuangan. Liat kata-katanya: Water charge is not based on kinerja. But based on a great finpro.Finpro tuh financial projection. Kalau mereka menyatakan, tahun depan harus untung sekian, nah itu acuannya. Bukan performance. ”

(Wawancara dengan Riant Nugroho tanggal 20 Januari 2014)

Dalam Tabel 4.2. pada bab Temuan Data dipaparkan data target upaya penurunan kehilangan air oleh mitra swasta dan PAM Jaya. Realisasi yang dicapai tidak sesuai dengan targetnya. Hal itu akan membuat denda yang harus dibayarkan oleh swasta kepada PAM Jaya lebih besar, dan pertanggungjawaban PAM Jaya juga akan dinilai buruk. Kemudian, untuk mengakali hal itu, PAM Jaya dan swasta melakukan koreksi target selanjutnya agar realisasi dekat dengan angka target. Hal itu akan membuat denda yang dibayarkan akan menjadi lebih murah. Dapat dilihat dari hal ini, bahwa capaian yang ingin dicapai adalah target untung, bukan target performa.

Hal ini menunjukkan, bahwa air, yang tadinya merupakan barang publik, diubah menjadi barang ekonomi. Bannock, Graham, Baxter, dan Davis (1987) mendefinisikan barang publik sebagai hal yang non-rivalrous, non-excludable, dan non-rejectable. Pemakaian air oleh satu orang tidak akan mengurangi hak orang lain untuk memakai air. Kemudian, apabila ada satu orang yang mengonsumsi air bersih, orang lain tidak boleh dilarang untuk mengonsumsi air bersih tersebut. Dan lagi, air bersih merupakan hal yang tidak bisa dijauhkan dari setiap individu, bahkan apabila individu tersebut menginginkan hal tersebut.

Universitas Indonesia

Namun, kebijakan privatisasi air yang mencerminkan nilai neoliberalisme membuat air menjadi barang jualan yang dijual kepada masyarakat. Dengan demikian, air sekarang menjadi barang ekonomi yang memiliki nilai jual-beli yang tinggi. Nilai jual beli yang tinggi tersebut disebabkan oleh adanya sistem yang membuat pelayanan air yang telah disepakati bersama tidak lah murah. Pengelolaan air membutuhkan biaya yang tinggi karena air harus dirancang untuk meningkatkan penggunaan air yang efektif dan efisien. Pandangan pasar adalah bahwa apabila pelayanan pendistribusian air meningkat, berarti harga air juga meningkat.

Dalam Hadi, Sitepu, Soraya, Kusumaningtyas, Ndaru, & Arumsari (2007), terdapat pandangan yang menggabungkan air sebagai barang publik dan air sebagai barang ekonomi. Hal ini juga merupakan bentuk privatisasi air. Kontrol atas sumber air merupakan hak pemerintah dan pemerintah pun harus ikut andil. Namun, swasta juga dapat masuk untuk mengelola air. Pandangan ini merupakan bentuk kamuflase atau bentuk pelembutan kata privatisasi karena apabila swasta masuk ke dalam pengelolaan air, swasta pasti akan mencari untung di situ.