Kerangka Konsep

2.1.7. Privatisasi Air

Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.

Sesuai dengan pasal 2 Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-01/MBU/2010 tentang Cara Privatisasi, Penyusunan Program Tahunan Privatisasi, dan Penunjukan Lembaga dan/atau Profesi Penunjang serta Profesi lainnya, privatisasi dilakukan dengan cara: pertama, penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal. Yang kedua adalah penjualan saham secara langsung kepada investor. Yang ketiga adalah penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan persero yang bersangkutan. Privatisasi dilakukan

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Salah satu bentuk privatisasi adalah privatisasi air. Privatisasi air merupakan fenomena internasional yang terjadi di berbagai tempat di dunia, seperti Inggris, Cina, Argentina, Filipina, Afrika Selatan, dan tidak terkecuali Indonesia. Gelombang neoliberalisme yang dibawa oleh globalisasi membuat privatisasi air ini juga melibatkan institusi global, seperti World Bank dan the United Nations . Kelompok pendukung privatisasi berpendapat, bahwa pemerintah itu korup, tidak akuntabel, tidak imajinatif, dan kekuarangan keuangan tidak mampu memperluas dan meningkatkan pelayanan air. Hal itu membuat sektor swasta harus menjadi pusat komponen strategi penyaluran air bersih (McDonald & Ruiters, 2005).

Privatisasi air adalah berpindahnya pengelolaan air, baik sebagian maupun seluruhnya dari sektor publik kepada sektor swasta (Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air, 2011). Dalam privatisasi, perusahaan swasta diberikan hak untuk mengelola air di area tertentu dan bisa mematok harga jual air tersebut (Spronk, 2007). Para pendukung privatisasi air berpendapat bahwa privatisasi adalah cara yang paling baik untuk mengatasi persoalan sulitnya akses masyarakat miskin untuk memperoleh air bersih. Selain itu, privatisasi, dengan menjual-belikan air, dipandang membantu untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi layanan air yang selama ini dikelola oleh pemerintah.Namun, menurut para penentang privatisasi air, air merupakan kebutuhan dasar manusia dan bukan merupakan barang ekonomi yang diperjual-belikan.Memperjual-belikan barang tersebut merupakan salah satu tindakan dari adanya keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan dan penyediaan air bersih. Sektor swasta akan lebih memprioritaskan keuntungan daripada pelayanan kepada masyarakat.(Janmaat, 2011)

Dalam perkembangannya, terdapat dua model privatisasi air. Yang pertama adalah model United Kingdom (UK) yang diterapkan di Inggris dan Wales yang kepemilikan dan pengelolaan utilitas air dilakukan oleh sektor swasta. Yang kedua adalah model Prancis, yang kepemilikannya ditangan publik, namun pengelolaannya dilakukan oleh swasta. Perbedaan tersebut adalah kalau model

Universitas Indonesia

UK, di bentuk Office of Water Services sebagai badan independen. Sedangkan, di Prancis, peran economic regulator- nya diperankan oleh pemerintah daerah.

2.1.8. Barang Publik dan Barang Ekonomi

Bannock, Graham, Baxter, dan Davis (1987) dalam Budds & McGranahan (2003) menyebutkan bahwa barang publik ( public goods) didefinisikan sebagai:

 Non-rivalrous – pemakaian satu orang tidak mengurangi atau menghilangkan hak orang lain dalam memakai barang tersebut.

 Non-excludable – jika satu orang mengonsumsi barang tersebut, hal itu menjadi mustahil untuk melarang orang lain dalam mengonsumsi

barang tersebut.  Non-rejectable – individu tidak bisa menjauhkan diri dari konsumsi

bahkan apabila ia menginginkan hal itu. Menurut Nancy Holstrom (2000), terdapat banyak macam barang publik dan beberapa pengertian akan barang publik. Namun, semua barang publik mempunyai hal yang sama, yaitu secara definisi, barang publik adlah barang untuk semua orang atau kebanyakan orang dan kebutuhan orang-orang tersebut bisa dipuaskan hanya dengan barang tersebut.

Secara tradisional, air merupakan hal yang digunakan oleh masyarakat secara bebas.Hal ini berarti air merupakan barang publik yang bisa bebas digunakan oleh masyarakat. Dengan hak atas air, manusia diperbolehkan mengonsumsi air untuk bertahan hidup dan untuk berproduksi dalam pekerjaannya.

Kebutuhan akan air bersih terus meningkat seiring meningkatnya populasi manusia. Hal ini membutuhkan manajemen air yang bagus di dalam masyarakat.Manajemen air tersebut seharusnya diambil alih oleh negara, namunpemerintah dianggap tidak mampu dalam memberikan pelayanan air.Air, yang merupakan ranah publik, merupakan arena terbuka. Arena terbuka ini mejadi arena yang dapat diperebutkan untuk dibentuk menjadi apa saja, tergantung pada kekuatan mana yang punya sumber daya paling kuat untuk menguasainya (Priyono, 2005). Kemudian, pelayanan air diambil alih oleh pihak swasta yang mempunyai sumber daya yang kuat.Jaringan air di perkotaan, drainase, dan

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Dalam mengelola air bersih, Peter Gleick mengatakan bahwa terdapat tiga pandangan yang berbeda-beda: memperlakukan air sebagai public goods, memperlakukan air sebagai economic goods, dan gabungan keduanya (Hadi, Sitepu, Soraya, Kusumaningtyas, Ndaru, & Arumsari, 2007):

1. Pandangan untuk tetap mengelola air sebagai public goods mempunyai alasan bahwa harus terdapat pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan air. Dalam setiap proses privatisasi yang terjadi, warga yang berada di wilayah pelayanan harus dijamin pasokan airnya. Selain itu, harus ada pula pemenuhan kebutuhan ekosistem alami akan air. Ekosistem alami harus mendapatkan perlindungan. Penyediaan air dilakukan dengan menggunakan subsidi, terutama bagi warga yang tidak mampu membayar akses air bersih.

2. Sedangkan, pandangan untuk mengelola air sebagai economic goods, beralasan bahwa pengelolaan air membutuhkan biaya yang tinggi arena air harus dirancang untuk meningkatkan penggunaan air yang efektif dan efisien. Pelayanan yang telah disepakati bersama tidak lah murah. Peningkatan pelayanan juga berarti peningkatan harga air. Subsidi yang dilakukan adalah kepada pengguna air, bukan mengurangi harga air. Hal itu disebabkan karena pengurangan harga air akan berdampak pada pengurangan efisiensi penggunaan air.

3. Pandangan yang menggabungkan keduanya menuntut untuk menjaga pengawasan dan pengaturan dari pemerintah. Kontrol atas sumber air merupakan hak pemerintah. Kepemilikan atau sumber daya air tidak boleh sepenuhnya dikuasai oleh pihak swasta. Pemerintah harus ikut andil. Lembaga publik dan pengelola air juga harus mengawasi kualitas air. Pemerintah dan lembaga publik independen harus bekerjasama

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

2.1.9. Viktimisasi Struktural

Intensi manusia akan pencapaian tujuan politik dan ekonomi dicerminkan dalam setiap kebijakan yang diambil. Kebijakan tersebut tentu akan berdampak pada orang-orang yang terlibat dan mempunyai relasi dengan pembuat keputusan yang tentunya mempunyai kepentingan. Seringkali, orang lain yang terlibat di dalamnya namun tidak mempunyai daya apa-apa akan disingkirkan.

Viktimisasi merupakan tindakan yang membuat pihak tertentu menderita secara baik mental, fisik, maupun sosial yang dilakukan oleh pihak tertentu dan demi kepentingan tertentu (Gosita, 2004). Kemudian, Fattah mengklasifikasi viktimisasi ke dalam beberapa tipe, salah satunya adalah viktimisasi struktural. Terdapat korelasi positif antara ketidakberdayaan ( powerlessness ) dengan perampasan dan frekuensi viktimisasi. Hal ini meningkatkan risiko atas timbulnya viktimisasi dengan cara merancang kelompok tertentu sebagai korban (Fattah, 2000). Perancangan ini dimasukkan ke dalam struktur sosial yang melembaga. Fattah (1991) dalam Andari (2012) menyebutkan, bahwa viktimisasi struktural memiliki beragam bentuk, seperti perang, genosida, tirani, kediktatoran, opresi, represi, penyiksaan, penderitaan, eksploitasi, diskriminasi, rasisme, seksisme, ageism, dan classism. Viktimisasi ini kemudian berujung pada adanya kerusakan sosial.

Mengacu pada Chambliss, Michalowski, & Kramer(2010), dari perspektif kerusakan sosial, konten kriminologi harus ditentukan dengan hasil dari aksi-aksi daripada status legal. Kerusakan sosial mengacu pada intensi aksi manusia akan pencapaian tujuan politik dan ekonomi, yang di dalamnya terdapat kebijakan publik, yang menghasilkan kerusakan kesetaraan sebagai tindakan yang disebut sebagai kejahatan.

Universitas Indonesia

2.1.10. Welfare Justice

Berbicara tentang kejahatan tidak terlepas dari kesejahteraan ( welfare ), kemudian, kesejahteraan tersebut menjadi salah satu tujuan dari diadakannya kebijakan publik, termasuk kebijakan sosial seperti air bersih. Mustofa (2010) menyebutkan, bahwa kesejahteraan sosial sebagai tujuan dari kemerdekaan bangsa tidak dapat dilepaskan dari konsep kejahatan. Keadaan tidak terwujudnya kesejahteraan berhubungan secara umum dengan konsep kejahatan. Goodin (1988) yang dikutip oleh Mustofa (2010) menyatakan, tujuan dari kesejahteraan sosial bukanlah persamaan keadaan dari kelas-kelas dalam masyarakat, atau untuk menatur kegiatan ekonomi, namun adalah untuk menyediakan pelayanan barang dan barang untuk pihak yang berhak mendapatkannya. Perwujudan kesejahteraan sangat berhubungan dengan hak-hak asasi manusia yang diwujudkan oleh pemerintah.

Menurut Neil Gilbert dalam bukunya yang berjudul Welfare Justice , kesejahteraan dilandaskan pada keadilan ( equity ), bukan pada persamaan ( equality ). Keadilan itu sendiri merupakan suatu gagasan bahwa kontrak sosial menentukan tanggung jawab timbal-balik antara individu dengan negara (Stoesz, 1996). Keadilan tersebut bisa diukur dengan kesejahteraan. Kesejahteraan itu mencakup pendidikan, kesehatan, dan pangan. Ketiadaan akses terhadap hal-hal mendasar tersebut membuat tidak adanya keadilan kesejahteraan.

Gilbert melihat pada kasus Amerika Serikat, di mana kebijakan untuk memajukan kesejahteraan menjadi tidak adil. Hal itu disebabkan oleh adanya redistribusi akan barang dan jasa yang dilandaskan pada kemampuan untuk membayar. Hal tersebut menjadi isu yang sangat serius, yaitu ketidakadilan (Borgatta, 1996). Apa yang Gilbert nyatakan berlaku juga di Indonesia. Kebijakan privatisasi air juga telah menjadikan air sebagai objek yang didistribusikan pada kemampuan untuk membayar. Oleh karena itu, kebijakan privatisasi bertentangan dengan kebijakan kesejahteraan.

Konsep welfare justice selalu ditentang oleh orang-orang berpendekatan ekonomi karena tidak bisa diukur oleh ekonomi. Dalam welfare justice , negara tetap boleh menjalan bisnis. Bisnis dapat menjadi salah satu jalan

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

2.1.11. Crime of Domination sebagai Kejahatan Negara

Vito, Maahs, dan Holmes (2006), dalam bukunya, menjelaskan tentang Quinney yang menggambarkan beberapa tipe kejahatan. Gregg Barak (2001) mengutip tulisan dari Quinney (1977), bahwa dalam konteks pembangunan kapitalis dan perjuangan kelas, terdapat berbagai macam bentuk dan ekspresi dari kejahatan itu sendiri yang disebut sebagai adaptasi struktural. Adaptasi struktural tersebut yang membuat muncul atau terjadinya kejahatan.

Tipe kejahatan yang pertama yang pertama adalah crimes of domination , yang merupakan kejahatan yang dilakukan oleh para kapitalis dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan kontrol mereka atas masyarakat. Di dalamnya termasuk crimes of control, crimes of government, crimes of economic domination, dan social injuries. Kemudian, tipe kejahatan yang kedua adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di kelas pekerja atau kelas bawah. Kejahatan ini disebut sebagai crimes of accommodation, yang di dalamnya termasuk predatory crimes, personal crimes, dan crimes of resistance . Kejahatan negara ini dimasukkan Quinney ke dalam tipe crimes of domination . (Vito, Maahs, & Holmes, 2006)

Alan Doig (2011) menyatakan, bahwa state crime merupakan gagasan jangka panjang yang merujuk hanya pada tindak kejahatan yang dapat pemerintah lakukan. Istilah kejahatan itu sendiri harus dijelaskan. Kejahatan menurut Mustofa (2010) sesuai dengan definisi sosiokriminologis adalah

a. Pola tingkah laku yang dilakukan oleh individu, sekelompok individu baik yang terstruktur ataupun tidak, dan suatu organisasi baik formal maupun nonformal di dalam masyarakat yang merugikan masyarakat secara fisik, psikologis, ataupun materi. Tingkah laku tersebut diberikan definisi sebagai tingkah laku jahat dan dirumuskan di dalam hukum tertulis. Pelaku dari kejahatan ini diberi reaksi formal, seperti sanksi pidana.

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Kejahatan negara itu adalah salah satu kategori penyimpangan organisasi, seperti kejahatan korporasi, kejahatan terorganisasi. Analisis kejahatan negara lebih meluas ke arah bagaimana politik dan ekonomi negara yang brutal pada abad kedua puluh satu. Negara dan ekonomi merupakan kerangka pikir untuk studi kejahatan negara. Kejahatan negara merupakan kejahatan dengan definisi yang lebih terfokus pada kerugian sosial. Dominasi ekonomi yang berasal dari sistem perekonomian suatu negara merupakan sebab dari adanya kerugian sosial. Namun, faktanya adalah bahwa kejahatan negara sangat jarang diekspos atau dihukum dalam sistem peradilan pidana. (Chambliss, Michalowski, & Kramer, 2010)

Barlow dan Decker (2010) menyebutkan, bahwa perilaku kriminal pada tingkat organisasi mempunyai tekanan untuk mencapai tujuan. Namun, kejahatan pada tingkat negara ( state crime) , merupakan kejahatan kasat mata sehingga tidak dapat dengan mudah didefinisikan, bahkan ditentukan siapa pelakunya. Hal itu disebabkan oleh karena konsep kejahatan itu sendiri merupakan bentukan negara. Kejahatan merupakan pelanggaran hukum. Tidak peduli dengan tingkat imoralitasnya, tingkat ketercelaannya, dan tingkat ketidaksenonohannya suatu tindakan, tindakan tersebut tidak akan disebut sebagai tindakan jahat apabila tidak dituliskan dalam hukum oleh negara. (Sutherland & Cressey, 1978)

Kejahatan negara yang kasat mata dan sangat jarang diberikan perhatian serius dalam praktiknya disebutkan sebagai crime of omission atau crimes against humanity yang merupakan kejahatan dalam pengabaian hak asasi manusia. Kejahatan ini dibatasi oleh pendefinisian kejahatan dalam hukum pidana. Hasilnya, kegagalan dalam mengakui kemanusiaan ini mendorong untuk membentuk gagasan baru akan kejahatan, kerusakan, dan kerugian. (Barak, 2009)

Universitas Indonesia