Kajian Kepustakaan dengan Isu Sebidang

2.3. Kajian Kepustakaan dengan Isu Sebidang

Terdapat penelitian di Manila, Filipina yang dilakukan oleh Sarah Hale (2007). Manila adalah tempat dengan banyak kebijakan air baru. Penduduk Manila tidak memiliki hak atas air. Biaya akan air meningkat karena adanya privatisasi air. Selain itu, kualitas air menurun pula. Kebijakan yang ada di Manila adalah bahwa individu memiliki hak untuk menggunakan air. Hak tersebut melindungi aksesibilitas, keterjangkauan, dan kualitas air. Hal tersebut disebut dengan water right atau lisensi air. “ Individuals may apply for a water rughts permit allowing use of the water, but all uses must be beneficial.” tulis Hale. Kebijakan tersebut bukannya menjamin right to water bagi masyarakat Manila, namun malah membuat penduduk manila tidak memiliki hak atas air. Hale berpendapat bahwa menerapkan HAM dalam masalah hak air ini adalah langkah penting dalam perbaikan privatisasi air yang jelas gagal di Manila. Hukum dan peraturan arus air tidak memadai untuk melindungi dan memberikan solusi bagi pengguna air individu. Pemerintah Filipina harus mengakui peran penting air dalam menopang kehidupan. Langkah pertama dan paling signifikan adalah mengadopsi hak hukum positif terhadap air untuk semua warga negara.

Jessica Budds dan Gordon McGranahan (2003) melakukan penelitian yang berjudul “ Are the Debates on Water Privatizaion Missing the Point? Experiences from Africa, Asia, and Latin America. ” Prtivatisasi di Timur Tengah dan Afrika utara menggunakan subsidi dan tidak menerapkan pemulihan biaya penuh. Kontrak manajemen yang ada sangat merugikan masyarakat. Perusahaan yang dominan adalah Suez dan Veolia. Budds dan McGranahan ingin mengungkap beberapa argumen dengam masalah privatisasi yang kontroversial. Selain itu, mereka juga ingin meninjau skala dan sifat penyediaan sektor swasta air dan sanitasi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Air dan sanitasi umum atau pribadi dioperasikan dengan kebingungan dan banyak hambatan. Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa daerah tidak diimbau untuk bekerjasama dengan perusahaan swasta dalam hal air dan sanitasi, namun hal ini menunjukan bahwa tidak ada pembenaran dan persetujuan bagi badan internasional untuk dapat membuat partisipasi sektor swasta lebih besar.

Universitas Indonesia

Dalam tulisannya, Budds dan McGranahan (2003) berpendapat bahwa kekuatan privatisasi air adalah perubahan politik internasional dan pergeseran kebijakan di arena pembangunan internasional, khususnya lembaga keuangan internasional di akhir 1970an. Penyediaan sarana umum yang gagal dalam hal penyediaan air diberi solusi berupa privatisasi air yang merupakan kebijakan tanpa pembuktian bahwa kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang efektif. Permukiman informal dan kepemilikan lahan pun menjadi hambatan privatisasi. Sektor swasta tidak dapat meningkatkan pelayanan dan menghilangkan politisasi penyediaan air.

Rhodante Ahlers (2010) melakukan penelitiannya yang berjudul Fixing and Nixing: The Politics of Water Privatization . Ahlers melakukan penelitian di Meksiko dengan fokus sistem irigasi di sana. Kebijakan penyesuaian struktural di Meksiko didefinisikan oleh Bank Dunia dan IMF. Awal tahun 1990-an di Meksiko telah ada kebijakan air yang mengarah pada desentralisasi manajemen dan mengandalkan harga. Pemulihan biaya penuh dan peningkatan partisipasi oleh semua pemangku kepentingan di sektor air dibuat sebagai barang ekonomi. Hal itu membuat definisi air yang tadinya merupakan barang publik menjadi komoditas.

Ahlers menemukan bahwa adanya konsep pasar global yang bertemu dengan sektor publik merupakan gagasan untuk komodifikasi dan privatisasi barang dan aset publik. Kelangkaan air dibuat menjadi produksi pertanian dalam neoliberal sehingga dapat menjadikan lahan air dan tenaga kerja untuk sarana pasar.

Sementara itu, Terhorst (2008) melakukan penelitian yang mengeksplorasi kontra-hegemonik kasus air minum dan sanitasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membahas signifikansi dari jaringan transnasional dan dampaknya pada sektor air dan sanitasi. Proyek reclaiming public water merupakan proyek yang disajikan dalam konteks pembangunan dan pergerakan globalisasi. Argumen dan materi perkara yang proyek reclaiming public water tersebut kembangkan dirangkum dan diproses serta dieksplorasi secara signifikan dengan gagasan globalisasi. Ruang publik transnasional akan proyek ini diperiksa potensinya untuk mengembangkan masyarakat melawan agenda privatisasi.

Universitas Indonesia

Tanpa adanya gerakan publik menentang privatisasi, hanya akan ada ruang yang kecil bagi masyarakat transnasional untuk mengembangkan sistem air publik. Tanpa tekanan populer, kebijakan liberalisasi yang bias akan tetap dikembangkan. Terhorst menulis bahwa untuk itu, kesempatan politik ada harus diciptakan untuk membuka level baru dari lokal ke global untuk melakukan delegitimasi privatisasi air.

Allen, Davila, dan Hofmann (2006) melakukan penelitian di peri-urban lima kota metropolitan, yaitu Kairo, Caracas, Chennai, Dar es Salaam, dan Mexico City. Kota-kota tersebut adalah kota dengan penduduk yang sulit sekali mendapatkan akses air bersih dan sanitasi untuk kebutuhan kehidupan mereka. Di Dar es Salaam, terdapat privatisasi air yang berbentuk Public-Private Partnership (PPP) dengan komponen komunitas. Di Kairo, terdapat dua agensi publik yang terpisah untuk pelayanan air dan sanitasi. Sedangkan di Mexico City, terdapat sistem publik yang melayani air dan sanitasi, namun dengan konsesi privat.Di Caracas dan Chennai, yang melakukan pelayanan air dan sanitasi adalah agensi publik.

Lima studi kasus ini memberikan gambaran yang kompleks tentang berbagai sarana pelayanan air dan sanitasi dasar penduduk pinggiran kota. Kegagalan pelayanan yang dilakukan oleh publik dan swasta untuk mendukung pelayanan air dan sanitasi memperlihatkan bahwa kaum miskin seringkali tertinggal dalam pelayanan-pelayanan publik. Mereka seringkali “ invisible ” untuk sektor publik. Untuk itu, Allen, Davila, dan Hofmann mengeluarkan istilah, bahwa warga negara terlihat sebagai konsumen atau pelanggan, bukan sebagai warga negara yang harus dipenuhi haknya dalam pelayanan publik.

Cynthia Morinville dan Lucy Rodina (2012) menulis artikel yang berjudul Rethinking the Human Right to Water: Water Access and Dispossession in

Botswana‟s Central Kalahari Game Reserve. Artikel itu berisikan penelitian Morinville dan Rodina tentang perdepatan akan hak manusia atas air melalui eksplorasi hukum antara San dan Bakgaladi dengan pemerintah Botswana tentang akses terhadap air di Central Kalahari Game Reserve. Morinvillr dan Rodina menawarkan evaluasi kontekstual dari proses yang memungkinkan realisasi sebenarnya dari hak asasi manusia atas air bagi penduduk Central Kalahari Game

Universitas Indonesia

Reserve. Morinville dan Rodina menggunakan kata “perampasan” sebagai lensa analitis titik awal yang berguna untuk mengonsepkan hak asasi manusia atas air.

Akses terhadap air adalah bagian tak terpisahkan dari mata pencaharian.Dalam kasus San dan Bakgaladi ini, hak atas air dan hak atas tanah merupakan hak yang tidak dapat dipisahkan untuk menjamin kehidupan mereka. Konseptualisasi yang lebih luas dari hak atas air ini fokus pada perampasan dan implikasi yang bersamaan untuk pertanyaan reproduksi sosial. Hak atas air ini tidak hanya menjamin hak manusia atas air, tapi juga turut menjamin keadilan sosial yang lebih luas.

Dalam artikel jurnal yang berjudul Water Rights in the Context of Pluralism and Policy Changes in Malawi, Wapulumuka O. Mulwafu (2010) meneliti tentang sumber daya air yang digunakan oleh banyak pengguna dan digunakan untuk berbagai kegiatan dengan menggunakan kerangka kerja pluralisme legal. Tahun 1990-an merupakan tahun dengan penuh pembangunan akan berbagai kebijakan dan legislasi yang diselaraskan dengan politik dan ekonomi bari di Afrika. Tujuan dari pembangunan tersebut adalah untuk melonggarkan cengkraman negara akan kekuasaan dan sumber daya dari struktur yang dikendalikan secara terpusat ke sistem desentralisasi dengan partisipasi yang lebih besar dari negara-negara stakeholders.

Mulwafu mengkaji dampak perubahan kebijakan tentang hak atas air di Malawi. Ia berargumen bahwa, di Malawi, seperti tempat lain di Afrika, reformasi kebijakan tidak berarti akan menghasilkan peningkatan akses orang miskin dan kelompok marjinal lainnya terhadap hak atas air. Namun, peningkatan partisipasi dan memperluas akses terhadap hak atas air oleh kelompok miskin dan marjinal adalah salah satu argumen terkuat untuk melakukan pengubahan kebijakan. Kajian ini menggarisbawahi kenyataan bahwa jika tidak dipahami dengan jelas, perubahan kebijakan dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan jutaan orang yang bergantung pada air dan sumber daya alam lainnya.

Dalam tulisan yang ditulis oleh Karen Bakker (2007), terdapat bingkai paradigma atas hal privatisasi ini, yaitu neoliberalization of nature. Penelitian yang dilakukan oleh Bakker fokus pada dampak negatif dari bentuk neoliberalisme, termasuk dampak lingkungan dan distributif pada akumulasi

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

nature, kampanye anti-privatisasi yang dilakukan oleh orang-orang pergerakanhanyalah mengatasnamakan hak asasi manusia tanpa melihat kemungkinan dari privatisasi yang berhasil. Namun, kelompok neoliberalization of nature dengan begitu hanyalah memberi batasan kepada istilah hak asasi manusia itu sendiri.

Privatisasi di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh fragmentasi politis yang dimainkan oleh peran yang dignifikan dalam menjelaskan keputusan pemerintah untuk melakukan privatisasi. Hal itu disebutkan dalam artikel jurnal yang berjudul Delayed Privatization yang ditulis oleh Bernardo Bortolotti dan Paolo Pinotti (2008). Proses penetuan kebijakan dilakukan atau tidaknya privatisasi sangat ditentukan oleh banyaknya partai politik dan pemegang kepentingan. Dengan begitu, bentuk ekonomi yang ditentukan juga akan bisa terombang-ambing selama para pemegang kepentingan itu masih beradu argumen.

Dalam artikel jurnal yang berjudul Subaltern Strategies and Development Practice: Urban Water Privatization in Ghana , Ian Yeboah (2006) menulis bahwa praktik pembangunan di Ghana ditandai dengan ketergantungan pada sumber-sumber asing modal dan keahlian yang menggambarkan jiwa dan pola pikir Eurosentrisme terkait dengan elit pengambil keputusan di Ghana itu sendiri. Dasar pemikiran untuk adanya privatisasi air tidak hanya menunjukkan ketergantungan, namun juga sejauh mana pembuat keputusan bersedia mengorbankan kedaultan dan budaya yang sensitif dalam melakukan sesuatu, modal global, dalam pertukaran untuk dana pembangunan.

Privatisasi air ternyata juga sangat berpengaruh bagi kehidupan para perempuan di Jakarta, seperti yang diltulis oleh Triyananda (2013) dalam skripsinya. Privatisasi air oleh PAM Jaya sebagai Perusahaan Daerah Air Minum setempat dilakukan dengan alasan efisiensi dan efektivitas yang tida dapat dihasilkan oleh PAM Jaya. Namun, pada kenyataannya, pelayanan air memburuk dan krisis air bersih menjadi berkepanjangan. Pertanyaan yang dicoba dijawab

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Terdapat tiga pola diskriminasi yang terjadi dalam tiga bentuk. Pertama, telah ada larangan hidran umum di daerah yang memiliki jaringan pipa, namun pengusaha hidran umum masih bertebaran. Yang kedua, tidak ada upaya signifikan dari Palyja untuk menutup usaha hidran umum sehingga hidran umum tersebut bisa dimanfaatkan dan ada oknum-oknum yang meraih keuntungan dari situ. Yang ketiga adalah bantuan fasilitas yang diberikan Palyja kepada masyarakat tidak lah signifikan sehingga masyarakat tidak dapat mendapatkan air bersih secara layak, terutama perempuan yang bekerja di rumah.

Intias Maresta Buditami (2012) juga melakukan penelitian terkait pengawasan Public-Private Partnership (PPP) di PAM Jaya dalam tinjauan akuntabilitas publik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan apa saja lembaga-lembaga pengawas dalam proses pengawasan PPP serta bagaimana pengawasan tersebut berjalan dalam tinjauan akuntabilitas publik. Hasil dari penelitian tersebut adalah pengawasan internal dan eksternal PPP PAM Jaya masih memiliki banyak masalah dan pengawasan tersebut tidak berjalan optimal.

Sedangkan, dalam Irwansyah (2001), dituliskan dalam skripsinya, bahwa terdapat perlakuan diskriminatif dalam hal wewenang, kepercayaan, dan sistem gaji. Pada temuannya, Irwansyah menemukan bahwa dengan adanya privatisasi ini, karyawan PAM Jaya mempunyai wewenang dan kepercayaan yang kurang daripada karyawan swasta. Selain itu, karyawan PAM Jaya mempunyai gaji yang lebih kecil daripada karyawan swasta. Dalam pergerakan Serikat Pekerja di PAM Jaya, terdapat rasa ketidakadilan yang menjadi sentral dalam teori mobilisasi tentang eksploitasi dan dominasi dalam ekonomi kapitalis yang diturunkan dari analisa Marxis.