Merintis Representasi Politik di Tingkat Lokal

Merintis Representasi Politik di Tingkat Lokal

Meski masih minim dan tenggelam di bawah dominasi ketiga kecenderungan di atas, usaha-usaha untuk memajukan representasi politik sudah mulai tumbuh dan dirintis di sejumlah daerah. Membangun basis massa, merintis pembangunan partai lokal yang berbasis gerakan sosial, serta masuk ke lembaga-lembaga eksekutif maupun legislatif lewat Pemilu maupun pemilihan langsung kepala daerah (Pilsungkada), telah menjadi wacana dan agenda sejumlah intelektual muda di tingkat lokal.

Di Bengkulu, selain lewat gerakan sosial, sejumlah LSM dan organisasi rakyat di sana juga menempuh dan mengkombinasikan dengan strategi masuk ke sistem politik formal. Muspani, direktur Kantor Bantuan Hukum (KBH) Bengkulu, yang selama ini bersama kawan-kawannya aktif memberikan bantuan hukum, mengorganisir rakyat, mendidik rakyat dalam bidang pertanian dan politik, berhasil mengantongi suara sekitar 65.000 dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada April 2004 lalu. Jumlah itu sesuai dengan jumlah anggota organisasi-organisasi rakyat yang Di Bengkulu, selain lewat gerakan sosial, sejumlah LSM dan organisasi rakyat di sana juga menempuh dan mengkombinasikan dengan strategi masuk ke sistem politik formal. Muspani, direktur Kantor Bantuan Hukum (KBH) Bengkulu, yang selama ini bersama kawan-kawannya aktif memberikan bantuan hukum, mengorganisir rakyat, mendidik rakyat dalam bidang pertanian dan politik, berhasil mengantongi suara sekitar 65.000 dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada April 2004 lalu. Jumlah itu sesuai dengan jumlah anggota organisasi-organisasi rakyat yang

Meski berada pada peringkat ketiga, namun Muspani telah berhasil masuk ke parlemen dan menjadi salah satu representasi warga Bengkulu, khususnya rakyat kecil di sana. Keberhasilan Muspani disambut gembira oleh para aktivis, petani, nelayan, dan pedagang yang telah menggalang dukungan tanpa dibayar. Rakyat kecil membutuhkan corong untuk menyuarakan aspirasi mereka. Corong itu ditemukan pada diri Muspani. Di atas kertas, bila organisasi-organisasi rakyat itu dihimpun menjadi partai politik, partai mereka berada pada urutan kedua perolehan suara di Provinsi Bengkulu. Mereka kini tengah mengkaji apakah kelak akan membentuk partai politik sendiri atau bergabung dengan partai politik yang ada. Tidak dimungkinkannya partai politik lokal di Indonesia menghalangi organisasi-organisasi rakyat itu untuk bergabung dan mendirikan sebuah partai politik lokal. (Ibid.)

Keberhasilan Muspani telah menjadi inspirasi dan mendorong kepercayaan diri di kalangan aktivis organisasi rakyat setempat. Zaiful Anwar, 52 tahun, anggota Serikat Tani Bengkulu, salah satu pendukung utama Muspani, berharap bahwa pada satu saat nanti jabatan-jabatan DPR, bupati, dan gubernur akan dipegang oleh wakil-wakil petani, nelayan atau pedagang kaki lima. Dengan merebut posisi itu, mereka berharap mempunyai wakil yang representatif dan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang selama ini mereka hadapi. "Sekarang ini kita menggantungkan penyelesaian masalah pada orang lain. Mereka yang ada di DPR, yang menjabat sebagai kepala desa, bupati, dan gubernur bukan orang-orang kita," kata Zaiful.

Di Sulawesi Tenggara, Konsorsium Perluasan Partisipasi Politik Rakyat (KP3R), sebuah konsorsium 46 (empat puluh enam) LSM serta sejumlah organisasi rakyat di Sulawesi Tenggara, melihat betapa strategisnya posisi kepemimpinan formal di tingkat lokal. Sejak tahun 2003, mereka merancang program untuk merebut jabatan 1.000 kepala desa di Sulawesi Tenggara melalui jalan demokratis. Targetnya, hal tersebut dapat dicapai dalam rentang waktu 5 tahun. Keberhasilan merebut posisi kepala desa ini dapat menjadi basis untuk merebut posisi pemerintahan yang lebih tinggi. Menurut mereka, posisi kepala desa di daerahnya sangat berpengaruh dan didengar warganya. Selain untuk menjadi motor bagi pembaharuan desa, posisi tersebut juga dinilai strategis untuk menggalang dukungan bila suatu ketika dilakukan pemilihan langsung untuk jabatan kepala daerah, seperti bupati, walikota, maupun gubernur. (Otto Adi Yulianto, 2004)

Bagi mereka, usaha merebut kepemimpinan di tingkat lokal amatlah perlu mengingat jabatan tersebut amat strategis dan menentukan dalam pembuatan kebijakan daerah yang berdampak langsung terhadap warganya. Menurut La Ode Ota, koordinator KP3R yang juga direktur WALHI Sulawesi Tenggara ini, ada problem yang sangat serius di Sulawesi Tenggara, yakni sumber daya alamnya melimpah namun masyarakatnya miskin secara finansial dan pengetahuan untuk mengolahnya. Yang terjadi kemudian, investor melakukan eksploitasi dan mereguk untung, yang tak jarang berbuntut konflik dan jatuh korban di pihak masyarakat. Hal ini perlu adanya pemecahan yang berpihak kepada masyarakat yang menjadi korban.

Awalnya, KP3R mencalonkan La Ode Ota untuk menjadi anggota DPD Sulawesi Tenggara. Dengan adanya wakil di DPD, mereka berharap usaha memperjuangkan Awalnya, KP3R mencalonkan La Ode Ota untuk menjadi anggota DPD Sulawesi Tenggara. Dengan adanya wakil di DPD, mereka berharap usaha memperjuangkan

Kekalahan Ota dalam pemilihan anggota DPD bukannya menyurutkan langkah mereka untuk masuk ke wilayah politik formal, namun justru sebaliknya. Belajar dari pengalamannya saat pemilihan DPD, KP3R mulai mengantisipasi pemilihan kepala daerah secara langsung. Mengingat strategisnya posisi kepala daerah dalam pembuatan kebijakan publik, KP3R berharap suatu ketika wakil-wakilnya dapat menduduki posisi-posisi tersebut. Untuk itu, mengembangkan dukungan dan konstituen yang selama ini telah ada perlu dilakukan.

Di Sulawesi Tenggara ada kira-kira 1.581 desa. Bila dari 1 desa direkrut 10 orang kader, maka dari 1581 desa akan ada 15.810 orang kader. Kader-kader tersebut bisa berasal dari community leaders, aktivis mahasiswa, masyarakat adat, aktivis-aktivis setempat, dan sebagainya. Mereka ini kemudian menjadi calon serta orang-orang kunci untuk memenangkan pemilihan kepala desa di desa mereka masing-masing. Sementara KP3R akan menjadi konsultan dan fasilitator bagi mereka.

Usaha masuk ke dalam sistem politik formal dan merebut kepemimpinan lokal di wilayah pedesaan juga dilakukan oleh beberapa Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang didampingi USC-Satunama, sebuah LSM di Yogyakarta. Menurut Agustinus Satwoko, koordinator pendamping usaha kecil dan sektor informal USC- Satunama, beberapa KSM dampingan mereka telah menempatkan wakil-wakilnya ke dalam Badan Perwakilan Desa (BPD) dan kepala desa di daerah mereka masing- masing. Misalnya Tumini dan Sumadyo dari KSM Andini Mulyo, yang menjadi kepala desa serta ketua BPD desa Logandeng, Kecamatan Playen, Gunung Kidul sejak 2002. Juga Sularti, dari KSM Anggrek, yang menjadi kepala desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul. (Ibid.)

Sejak masa kepemimpinan Bu Sularti, rembuk desa di Beji dihidupkan setelah sebelumnya desa dipimpin oleh kepala desa yang mantan militer dan otoriter. Kepemimpinan Tumini dan Sumadyo dinilai telah membantu meningkatkan akses pasar bagi usaha daging sapi yang dikelola para anggota KSM Andini Mulyo. Bagi mereka yang berharap perubahan radikal secara revolusioner, mungkin hal-hal tadi kelihatannya remeh temeh. Namun yang pasti, apa yang berhasil dicapai oleh KSM- KSM tersebut telah memberikan kontribusi yang kongkrit bagi usaha membangun representasi dan memajukan demokrasi.