Intelektual dalam Politik Formal: Pengalaman dari Filipina

Intelektual dalam Politik Formal: Pengalaman dari Filipina

Secara teoretik, dalam negara yang besar dan luas seperti Indonesia, warga negara hanya bisa memberikan pengaruh yang sangat kecil sebagai individu, tetapi pengaruh itu bisa besar jika mereka bergabung dan membentuk perkumpulan. Partai-partai politik menyatukan orang-orang yang memiliki pandangan-pandangan serta kepentingan-kepentingan yang sama. Mereka bersama-sama memperjuangkan jabatan dan pengaruh politis. Bagi pemerintah, partai politik menyediakan pendukung politis yang cukup stabil yang akan memungkinkan mereka melaksanakan program- programnya setelah mereka terpilih. Partai politik juga menjadi sarana pendidikan politik, terlibat dalam masalah-masalah publik, dan saluran untuk mempengaruhi kebijakan publik. (Beetham & Boyle, 2000: h. 31).

Di Indonesia, intelektual masih cenderung bekerja berdasar nilai-nilai ideal yang mereka yakini, kasus-per-kasus, atau isu-per-isu, kemudian memperjuangkannya secara individual atau lewat lembaga-lembaga seperti organisasi profesi, LSM, atau jaringan LSM. Mereka kurang berusaha membangun organisasi-organisasi untuk kepentingan representasi dan memperluas konstituennya, misalnya membangun organisasi massa dengan mempertemukan dan merangkum berbagai organisasi rakyat, kelompok, kepentingan, dan gagasan yang sama-sama berorientasi kepada kesejahteraan bersama dan demokratis, kemudian masuk ke politik formal, membentuk partai dan ikut bersaing untuk merebut kekuasaan, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif, secara demokratis lewat Pemilu. Bukankah menang dalam Pemilu berarti ikut menjadi pihak yang menentukan kebijakan publik dan mempunyai posisi strategis dalam usaha memperbaiki institusi-institusi demokrasi yang masih dalam kondisi buruk?

Apakah membangun partai, ikut berkompetisi dalam Pemilu, serta berjuang di dalam mekanisme politik parlementer itu sesuatu yang buruk atau mustahil? Di negara tetangga, Filipina, sejumlah intelektual telah menempuh langkah tersebut dengan mendirikan partai dan mengikuti Pemilu. Menurut Dr Joel Rocamora (Rocamora, 2003: h. 552), direktur LSM Institute for Popular Democracy (IPD), berjuang melalui jalur politik formal itu perlu dikerjakan. Rocamora sendiri, selain direktur IPD juga merupakan presiden dari Partai Akbayan, sebuah partai politik berbasis LSM dan organisasi rakyat yang didirikan pada Januari 1998. Akbayan artinya aksi warga. Partai ini mengunggulkan dan berusaha konsisten dengan prinsipnya yang humanis, sosialistis, demokratis, pluralis, dan sensitif jender. Setidaknya tampak dari, paling tidak, 30% pengurus partai di semua level adalah perempuan. Rocamora dkk membangun partai ini dari nol dan mengembangkannya secara pelan-pelan. Tahun 2002 lalu, partai ini sudah mempunyai basis di 65 (enam puluh lima) provinsi dari 98 (sembilan puluh delapan) provinsi yang ada di Filipina.

16 Kompas, 18 Juli 2002.

Mengapa dan sejak kapan gagasan mengenai perlunya mendirikan partai politik tersebut tumbuh? Menurut Anton Prajasto (2004: h. 90), peneliti DEMOS yang melakukan studi terhadap Partai Akbayan ini, pada tahun 1991, di Filipina telah disahkan Undang-Undang (UU) Pemerintah Lokal, yang mengatur mengenai desentralisasi. UU ini memberikan kekuasaan yang besar kepada pemerintah daerah, namun sekaligus juga memungkinkan partisipasi masyarakat sipil dalam tata pemerintahan, seperti terlibat dalam badan-badan khusus di tingkat lokal misalnya Dewan Pembangunan Daerah, Dewan Pendidikan, Badan Pengawas Polisi, dsb. Meski UU ini mensyaratkan agar 25% anggota badan-badan khusus itu harus berasal dari LSM atau organisasi massa, ternyata para pejabat pemerintah di tingkat lokal tidak mentaati peraturan ini. Organisasi-organisasi masyarakat sipil perlu berjuang sendiri untuk dapat terwakili. Mereka perlu berjuang dengan kalangan reformis dalam pemerintahan. Dalam proses ini, organisasi masyarakat sipil menyadari bahwa cara terbaik untuk terwakili adalah dengan menjadi kandidat untuk posisi-posisi di pemerintahan lokal.

Desentralisasi kekuasaan, peningkatan akuntabilitas, dan kecekatan pemerintah lokal tidak-serta merta dapat menjawab kebutuhan masyarakatnya. Korupsi ternyata merajalela dan kepentingan vital rakyat tidak terakomodasi. Tata pemerintahan yang baik hanya menjadi slogan kosong. Dalam refleksinya, kalangan LSM di sana menyimpulkan bahwa tata pemerintahan yang baik perlu mensyaratkan adanya partisipasi rakyat yang efektif. Pengalaman mengajarkan bahwa partisipasi masyarakat tercapai jika warga terorganisasi dengan baik, warga mendapat cukup informasi, ada transparansi dari pemerintah, dan ketika kebutuhan dasar warga terpenuhi. Untuk itu, perlu dibangun organisasi berbasis massa. (Ibid.)

Buruknya representasi mendorong sejumlah LSM untuk memperbaiki instrumen perwakilan. Mulanya dengan membentuk koalisi terbuka dari berbagai gerakan sosial. Namun koalisi LSM dan organisasi rakyat ini tidak cukup berhasil dalam menjawab kelemahan aksesibilitas rakyat dalam menentukan kebijakan umum. Lantas pemikiran pun berkembang bahwa partisipasi dalam politik hanya dimungkinkan melalui partai politik. Mereka kemudian bersama-sama membangun sebuah partai dan membiarkan organisasi-organisasi yang bergabung di dalamnya tetap independen, dapat mengurus dan mengelola lembaganya tanpa campur tangan partai. Keanggotaan partai tidak berbasis organisasi namun pada individu yang menjadi anggota organisasi-organisasi tersebut, sehingga basis massa dapat terukur. Inilah cikal bakal Partai Akbayan. (Ibid.)

Menurut Rocamora dkk (Rocamora, op.cit. h. 553), politik merupakan instrumen yang sangat penting. Tujuan politik yang utama adalah bagaimana membela rakyat agar tidak dijadikan obyek Pemilu saja. LSM sudah lama diindoktrinasi agar tidak menjadi partisan. Mereka digambarkan sebagai lembaga yang independen secara politik. Menurut alumnus Cornell University-Amerika Serikat ini, pemahaman tersebut perlu dikoreksi. LSM harus mempunyai keberpihakan secara politik. Hal tersebut merupakan tantangan karena masih banyak aktivis LSM di Filipina yang berpikir non- partisan. Selain itu, tantangan yang lain adalah berkaitan dengan dana. Sebagian dana LSM biasanya berasal dari lembaga-lembaga sponsor asing seperti dari Amerika atau Eropa Barat. Lembaga-lembaga itu seringkali curiga kalau LSM berpolitik. Mereka tidak mau memberikan sponsor pada LSM yang berpolitik secara langsung dan berkompetisi di parlemen.

Berdasar pengalaman Partai Akbayan (Rocamora, op.cit. h. 554), pembicaraan mengenai perlunya LSM bekerja di dalam dan melalui sistem politik formal tetap harus dikaitkan dengan seberapa jauh kalangan LSM berhasil membangun jaringan pergerakan baik di kalangan mereka sendiri maupun antara mereka dengan masyarakat. Sebelum LSM masuk ke arena politik, mereka harus punya basis di kalangan masyarakat, setidaknya dengan membangun dan mengembangkan serikat- serikat buruh, organisasi petani, gerakan lingkungan, gerakan perempuan, dan sebagainya.

Partai Akbayan dibangun berbasiskan organisasi-organisasi rakyat. Basis paling signifikan dari partai ini adalah kalangan petani dan buruh. Sekitar 80% dari petani progresif Filipina dan 30% buruh progresif berafilisasi ke partai tersebut. Di samping itu, ia juga memperluas konstituen ke kalangan perempuan, gay, lesbian, dan para aktivis lingkungan. Pembangunan di internal partai juga dilakukan, di antaranya dengan mengembangkan tradisi komunikasi politik. Misalnya cara untuk melakukan kontrol, pengawasan, dan koreksi internal antar anggota partai, atau anggota dengan pengurus partai, adalah dengan menyindir. Mereka menggunakan medium humor dan tertawa sebagai alat komunikasi untuk pembicaraan-pembicaraan yang serius. Banyak cara dilakukan untuk menghindari ketegangan. (Rocamora, op.cit. h. 552-553)

Menurut Rocamora (Rocamora, op.cit. h. 553), di banyak tempat, revolusi ditempuh untuk mengubah keadaan. Sementara para aktivis Partai Akbayan percaya bahwa perubahan juga bisa dilakukan sambil menikmati kehidupan. Syaratnya, harus punya tujuan, program, dan melaksanakannya dengan serius. Kalau tidak mau menikmati hidup, akan mati sebelum revolusi berhasil. Salah satu yang menjamin agar bisa melakukan pekerjaan politik secara serius adalah dengan cara membangun keanggotaan partai dari kalangan muda, di bawah 30 tahun. Mereka inilah yang meyakini bahwa mereka bisa menikmati hasil dari perjuangan yang sedang dilakukan.

Mereka (Anton Prajasto, op. cit.) juga meyakini bahwa partisipasi luas dari warga dalam politik tidak cukup diukur melalui pemilihan umum, tetapi juga melalui proses- proses pemerintahan dan melalui partisipasi langsung di tingkat desa. Strategi yang dipilih merupakan kombinasi gerakan sosial dengan masuk ke dalam sistem politik formal. Sudah sekitar 36 bupati, 50 wali kota, 250 kepala kecamatan, dan 700 kepala desa berasal atau mengikatkan diri dan menjadi representasi dari konstituen partai ini. Jumlah ini memang belum seberapa bila dibandingkan keseluruhan wali kota di Filipina, namun setidaknya mereka telah mulai memperbaiki representasi politik. Salah satu yang memungkinkan prestasi tersebut adalah partai tidak sekedar menjadi kendaraan untuk mengakumulasi kekuatan massa, namun juga meningkatkan kapasitas para calonnya, baik untuk jabatan di eksekutif maupun legislatif, sehingga dapat benar-benar akuntabel kepada publik dan konstituennya. Termasuk mengembangkan pendidikan di antara mereka dan mekanisme penyusunan kebijakan yang berbasis rakyat.