Berjuang dari Pinggiran Intelektual dala

Berjuang dari Pinggiran?

Intelektual dalam Politik Demokrasi di Indonesia Pasca Orde Baru

Otto Adi Yulianto

“.. Bila aktivis pro-demokrasi tidak membangun konstituen, mengorganisasi massa dari bawah, dan tetap menempatkan diri sebagai kelompok lobi atau demonstrasi, mereka akan termarginalisasi. Gerakan pro-demokrasi hanya akan menjadi kelompok lobi permanen, sementara politik dimonopoli oleh orang-orang buruk ..” (Olle Tornquist, 2004) 1

Demokrasi secara substansial tidak berlangsung di masa pemerintahan Soeharto. Di masa itu, partisipasi rakyat amat ditekan, hanya muncul sebagai wacana yang serba terbatas, atau sekedar menjadi jargon. Partai politik, yang seharusnya berfungsi menyalurkan aspirasi rakyat yang menjadi konstituennya, amat dikontrol dan dikendalikan pemerintah. Para intelektual yang berusaha mengartikulasikan aspirasi rakyat juga mengalami pembatasan, pengendalian, maupun represi. Berbagai kebebasan dasar --seperti kebebasan bersuara, berekspresi, berkumpul, dan berserikat- - tidak dapat dinikmati secara memadai. Padahal berbagai kebebasan tersebut secara normatif merupakan hak yang asasi bagi setiap warga negara dan sangat vital untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Lumrah bila di masa itu muncul keyakinan bahwa demokrasi akan terwujud bila berbagai kebebasan dasar tersebut dapat berlangsung dan dinikmati secara memadai.

Pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998, terjadi perubahan yang mengesankan berkenaan dengan kebebasan dasar. Media massa menjadi lebih bebas, seiring ditiadakannya surat ijin usaha penerbitan pers (SIUPP) dan dibubarkannya Departemen Penerangan, institusi yang di masa Soeharto amat berkuasa dalam menentukan hidup-matinya sebuah media. Akses informasi relatif lebih baik bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kebebasan bersuara serta berorganisasi juga lebih baik. Partai bebas berdiri serta berkompetisi dalam pemilihan umum (Pemilu) yang kini relatif bebas dan fair. Pulihnya kebebasan bersuara, berekspresi, serta berorganisasi telah memungkinkan terjadinya ledakan jumlah media massa baru, lembaga swadaya masyarakat (LSM) baru, serta akademisi yang kritis dan muncul ke ruang publik. Ledakan jumlah juga terjadi dengan organisasi buruh, petani,

perempuan, dan jurnalis, sesuatu yang di masa Orde Baru sulit dibayangkan 2 .

1 Kompas, 31 Januari 2004 2 Di masa pemerintahan Soeharto, organisasi-organisasi massa amat dikontrol atau dikendalikan

pemerintah, di antaranya lewat proyek penyatuan, misalnya untuk organisasi: (a) buruh, lewat Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), (b) petani, lewat Himpunan Kerukunan Petani Indonesia (HKTI), (c) wartawan, lewat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), (d) pemuda, lewat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), (e) perempuan, lewat Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).

Sementara para tahanan dan narapidana politik yang dipenjarakan oleh pemerintahan Soeharto telah dibebaskan oleh pemerintahan Habibie, penggantinya 3 .

Sejumlah aspek ketatanegaraan juga mengalami perbaikan. Pada Juni 1999 dan April 2004 telah berlangsung proses Pemilu legislatif yang diikuti oleh 48 (empat puluh delapan) dan 24 (dua puluh empat) partai politik, berlangsung relatif bebas dan damai, serta derajat kecurangan yang terjadi relatif kecil bila dibandingkan dengan 6 (enam) Pemilu di masa pemerintahan Soeharto. Undang-Undang Dasar 1945, yang di masa pemerintahan Soeharto disakralkan, mengalami amandemen sebanyak 4 (empat) kali. Pemilihan presiden dan wakil presiden yang sebelumnya di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, kini dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme Pemilu, yang untuk pertama kalinya diadakan pada awal Juli dan September 2004.

Sentralisasi kekuasaan negara mencair, sebaliknya persoalan desentralisasi dan otonomi daerah mendapat perhatian yang menonjol, di antaranya lewat terbitnya UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang kemudian diperbaharui dengan UU

No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 4 . Mulai Juni 2005, pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, maupun walikota) secara langsung akan mulai berlangsung

di sejumlah daerah. Sementara instrumen yang mendukung tindakan represif negara, seperti Keppres No 29 tahun 1988 tentang pembentukan Bakorstanas dan Keppres No. 16 tahun 1990 tentang Penelitian Khusus (Litsus), dicabut di masa presiden Abdurrahman Wahid lewat Keppres No. 38 tahun 2000.

Dalam persoalan pemberantasan korupsi, sejumlah mantan pejabat yang cukup berpengaruh di masa pemerintahan Soeharto kini diadili karena kasus korupsi. Bahkan termasuk Akbar Tanjung, ketua Partai Golkar yang juga ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode tahun 1999-2004. Mantan presiden Soeharto yang sebelumnya amat berkuasa dan terkesan sulit disentuh hukum, sempat juga terancam diadili. Tommy Soeharto --putra kesayangannya-- dan Mohamad (Bob) Hasan -- konglomerat kroninya dan mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kabinet Pembangunan VII-- telah diadili dan dipenjarakan di Nusakambangan, lokasi yang mendapat citra menyeramkan karena merupakan penjara bagi narapidana kelas berat.

Demikian pula dengan militer. Mereka harus menerima kenyataan bahwa sejumlah prajurit dan perwiranya diadili serta dihukum karena kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang telah mereka lakukan, misalnya dalam kasus penculikan aktivis pro-demokrasi, Timor Timur, serta Tanjung Priok. Sebelumnya, setelah melalui berbagai proses politik yang panjang, jajak pendapat menyangkut status Timor Timur

sekedar lewat serah-terima, tidak melalui mekanisme MPR. Selain itu, Habibie juga mengalami masalah dengan legitimasinya karena dinilai sebagai “orangnya Soeharto”.

4 Berbeda dengan UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah disahkan dan diatur pemilihan langsung kepala daerah, baik

gubernur, bupati, maupun wali kota yang pelaksanaannya akan dilakukan sejak Juni 2005. Namun UU No 32 tahun 2004 ini bukannya tanpa kritik, bahkan sebagian kalangan menganggap lebih buruk dibanding UU No. 22 tahun 1999, di antaranya yang menonjol karena dalam UU yang baru diatur bahwa kepala desa --yang dipilih secara langsung oleh warganya-- tidak lagi bertanggung jawab kepada Badan Perwakilan Desa (BPD) namun kini bertanggung jawab kepada Bupati. Kewenangan Badan Perwakilan Desa dikurangi dan namanya kini berubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa, yang anggotanya tidak lagi dipilih langsung oleh warga desa namun lewat musyawarah elit desa.

akhirnya berlangsung pada Agustus 1999, dan berlanjut dengan pisahnya wilayah itu dari Indonesia karena mayoritas warganya memilih untuk menjadi negara sendiri.

Persoalan dwifungsi serta bisnis militer, yang di masa pemerintahan Soeharto tabu untuk dibicarakan dan hanya sejumlah kecil warga negara yang berani mempersoalkan, kini disorot dan digugat secara terang-terangan. Sorotan dan gugatan tidak hanya muncul secara terbatas dari aktivis demonstran, namun juga datang dari kalangan pejabat negara dan politisi yang duduk di parlemen. Demikian juga dengan operasi militer. Daerah operasi militer yang telah diberlakukan di wilayah Aceh sejak 1989, sempat dicabut pada 1999, meski kemudian di masa pemerintahan Megawati darurat militer diberlakukan pada Mei 2003. Meski begitu, pengambilan keputusan dan implementasi menyangkut operasi militer tersebut kini tidak lagi semudah dan seleluasa seperti di masa Soeharto.

Pemahaman Mengenai Demokrasi

Meski ada sejumlah perbaikan, tidak serta-merta dapat dikatakan bahwa kini Indonesia telah menjelma menjadi negara yang demokratis. Berbagai perbaikan dalam hal kebebasan dasar dan sejumlah institusi demokrasi --misalnya kebebasan mendirikan partai, Pemilu yang bebas dan adil, kebebasan berpendapat dan berorganisasi, berdirinya pengadilan HAM, serta penerbitan media massa yang bebas serta independen-- memang telah berlangsung. Namun demokrasi secara substansial tidak sekedar persoalan adanya sejumlah perbaikan dalam hal kebebasan maupun institusi demokrasi tersebut.

Ada beragam pemahaman yang berkembang mengenai demokrasi. Mengikuti Uhlin (1997: h. 8-12), setidaknya ada dua kelompok pemahaman atas konsep demokrasi yang dominan, yakni mereka yang mendefinisikan demokrasi secara minimalis dan maksimalis. Definisi demokrasi yang minimalis cenderung membatasi makna demokrasi sebagai sistem politik, yang berbeda dari sistem ekonomi dan sosial. Menurut kelompok ini, jika isu ekonomi dan sosial disertakan maka konsep demokrasinya akan menjadi sangat luas sementara realitas empiris yang signifikan dengan teori ini akan menjadi sempit sehingga menyulitkan dalam mengkaji fenomena yang ada. Di sisi lain, kelompok yang mendukung definisi yang maksimalis menyatakan bahwa definisi yang terbatas pada demokrasi politik akan menyingkirkan diskusi tentang pembagian kekuasaan yang nyata dalam masyarakat dan membuat masalah ketimpangan sosial dan ekonomi menjadi tidak relevan. Isu tentang gerakan sosial dan gender juga ikut tersisihkan.

Dalam menjembatani kedua kelompok pemahaman tersebut, Uhlin mendukung definisi yang ditawarkan oleh David Beetham. Dia mendefinisikan demokrasi sebagai “sebuah cara pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang mengikat secara kolektif, yang dikenai kontrol oleh rakyat.” Tatanan yang paling demokratis adalah “yang memungkinkan seluruh anggota kolektivitas menikmati hak setara yang efektif untuk ikut ambil bagian secara langsung dalam pengambilan keputusan itu.” Elemen kunci dari definisi ini adalah kontrol rakyat dan kesetaraan politik (ibid.).

Tujuan demokrasi, mengikuti Beetham, adalah kontrol rakyat terhadap urusan-urusan publik atas dasar kesetaraan politik. Tujuan ini mensyaratkan seperangkat prinsip umum, yakni hak dan kemampuan bagi semua warga untuk berpartisipasi, Tujuan demokrasi, mengikuti Beetham, adalah kontrol rakyat terhadap urusan-urusan publik atas dasar kesetaraan politik. Tujuan ini mensyaratkan seperangkat prinsip umum, yakni hak dan kemampuan bagi semua warga untuk berpartisipasi,

Prinsip-prinsip umum tersebut mensyaratkan adanya seperangkat instrumen dalam berbagai tingkatan yang diharapkan mendorong: (1) kewarganegaraan yang setara, kepastian hukum, keadilan, hak-hak sipil dan politik, dan hak-hak sosial ekonomi menyangkut kebutuhan pokok; (2) pemilihan umum yang demokratis, keterwakilan, dan pemerintah serta administrasi publik yang responsif dan bertanggung jawab; (3) media, seni, akademi, masyarakat sipil yang bebas dan berorientasi demokratis, serta berbagai bentuk partisipasi masyarakat yang lain. Beetham mengidentifikasi dan merumuskan setidaknya ada 85 (delapan puluh lima) instrumen demokrasi, sementara Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia - DEMOS dalam risetnya tentang “Masalah-Masalah dan Pilihan-Pilihan Demokratisasi di Indonesia” telah merevisi dan mengolahnya kembali menjadi 40 (empat puluh) instrumen (hak-hak dan institusi-institusi) demokrasi – lihat tabel 1 (ibid).

Tabel 1. Empat Puluh Instrumen Demokrasi I : Kewarganegaraan, hukum, dan hak-hak

1. Kesetaraan warga negara 2. Hak-hak minoritas, migran, dan pengungsi 3. Rekonsiliasi konflik dalam masyarakat 4. Penghargaan dan dukungan pemerintah terhadap hukum internasional dan traktat hak asasi

manusia PBB 5. Ketaatan aparatur dan penyelenggara kekuasaan negara terhadap hukum 6. Akses yang setara dan aman terhadap keadilan 7. Integritas dan independensi peradilan 8. Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut atasnya 9. Kebebasan berbicara, berkumpul, dan berorganisasi

10. Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja/ buruh 11. Kebebasan beragama dan berkeyakinan 12. Kebebasan menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan 13. Kesetaraan dan emansipasi jender 14. Perlindungan terhadap hak-hak anak 15. Hak untuk mendapatkan pekerjaan, jaminan sosial, dan terpenuhinya kebutuhan dasar

lainnya

16. Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar, termasuk pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban warga negara 17. Tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan regulasi bisnis untuk kepentingan publik

II: Pemerintahan yang representatif dan bertanggung jawab

18. Pemilihan umum yang bebas dan adil di tingkat pusat, regional, dan lokal 19. Pemilihan yang bebas dan adil terhadap gubernur, bupati, walikota, dan kepala desa 20. Kebebasan mendirikan partai, merekrut anggota, dan berkampanye untuk menduduki 18. Pemilihan umum yang bebas dan adil di tingkat pusat, regional, dan lokal 19. Pemilihan yang bebas dan adil terhadap gubernur, bupati, walikota, dan kepala desa 20. Kebebasan mendirikan partai, merekrut anggota, dan berkampanye untuk menduduki

21. Partai yang mengartikulasikan isu-isu vital dan kepentingan-kepentingan masyarakat 22. Pencegahan penyalahgunaan sentimen religius atau etnis, ataupun simbol-simbol dan

doktrinnya, oleh partai 23. Independensi partai dari politik uang dan kepentingan kuat yang terselubung 24. Kapasitas kontrol anggota dan simpatisan terhadap partainya, dan respons serta tanggung

jawab partai terhadap konstituen 25. Kemampuan partai membentuk dan menjalankan pemerintahan 26. Transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah terpilih, di segala tingkatan 27. Transparansi dan pertanggungjawaban eksekutif/ pejabat publik pada semua tingkatan 28. Desentralisasi pemerintahan secara demokratis (atas dasar prinsip subsidiaritas) 29. Transparansi dan pertanggungjawaban militer dan polisi terhadap pemerintahan yang

terpilih dan publik 30. Kapasitas pemerintah untuk memerangi kelompok paramiliter, preman, dan kejahatan terorganisir

31. Kemerdekaan pemerintah dari intervensi asing (kecuali konvensi PBB dan hukum internasional yang positif) 32. Kapasitas pemerintah untuk bebas dari kelompok-kelompok kepentingan yang kuat, untuk menghilangkan korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan

III: Masyarakat sipil dan partisipasi langsung yang berorientasi demokratis

33. Kebebasan pers, seni, dan dunia akademis 34. Akses publik terhadap berbagai pandangan dalam media, seni, dan dunia akademis, juga

untuk merefleksikannya 35. Partisipasi warganegara dalam organisasi masyarakat yang independen 36. Transparansi, pertanggungjawaban, dan praktek demokratis dalam organisasi-organisasi

masyarakat

37. Akses dan partisipasi yang luas dari semua kelompok sosial –termasuk perempuan– terhadap kehidupan publik

38. Kontak langsung masyarakat dan akses terhadap layanan publik dan para pelayan masyarakat 39. Kontak langsung masyarakat dan akses terhadap para wakil politik mereka 40. Konsultasi pemerintah dengan masyarakat, dan bila mungkin, partisipasi rakyat secara

langsung dalam pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan publik Sumber : DEMOS, 2005: h. 10.

Ada Perubahan Namun Belum Demokratis

Patut diakui bahwa ada sejumlah perbaikan pada sejumlah instrumen demokrasi yang terjadi pasca jatuhnya Soeharto. Sejumlah kebebasan dasar dan institusi demokrasi kini relatif lebih baik bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Namun dalam hal kualitas atau substansinya, masih banyak instrumen demokrasi yang tetap saja buruk. Misalnya, meski kebebasan berpendapat dan bersuara kini dimungkinkan, namun suara masyarakat, terutama kelas bawah, masih sering diabaikan dalam kebijakan publik. Saat pemerintah mengambil kebijakan pencabutan berbagai subsidi yang berdampak kepada kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, ternyata keberatan masyarakat terhadap kebijakan tersebut tidak mempunyai pengaruh yang signifikan. Demikian juga protes masyarakat menyangkut berbagai program privatisasi badan usaha milik negara (BUMN) yang belakangan ini marak terjadi.

Sejumlah aktivis demonstran yang memprotes kebijakan pemerintah masih kerap mengalami tindak kekerasan dari aparat keamanan, bahkan mengalami pemenjaraan karena dituduh menghina pejabat pemerintah dan dikenai pasal-pasal dalam kitab Sejumlah aktivis demonstran yang memprotes kebijakan pemerintah masih kerap mengalami tindak kekerasan dari aparat keamanan, bahkan mengalami pemenjaraan karena dituduh menghina pejabat pemerintah dan dikenai pasal-pasal dalam kitab

Akses masyarakat, terutama kelas bawah, terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial tampaknya juga tidak mengalami perubahan yang berarti. Meski Komisi Pemberantasan Korupsi sudah didirikan dan pengadilan kasus korupsi marak dilakukan, namun korupsi masih tumbuh subur di berbagai tingkatan birokrasi negara, hanya sebagian kecil yang disentuh hukum, yang sering kali berakhir secara mengecewakan. Sejumlah pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di masa lalu tidak diusut secara memadai dan dituntaskan dengan memberi rasa keadilan kepada para korban, seperti yang dituntut banyak kalangan. Demikian juga berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di masa kini. Meski pemerintah berusaha menunjukkan citra populis, tetap saja penggusuran terhadap pedagang kaki lima serta warga kampung miskin sering terjadi, bahkan tak jarang disertai dengan tindak kekerasan. Demikian juga peminggiran terhadap masyarakat adat dan petani. Tingginya angka pengangguran, rendahnya upah buruh, serta banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja secara sepihak masih juga berlangsung. Ilustrasi yang mewakili pandangan publik terhadap kinerja pemerintah dalam beberapa bidang pokok yang menyangkut kepentingan publik dapat dilihat dalam tabel 2, tabel 3, serta tabel 4 berikut ini:

Tabel 2. Survei Kompas tentang Penilaian Responden terhadap Kinerja Presiden Habibie (1998-1999) No

Keberhasilan Sikap Responden

Setuju

Tidak setuju Tidak tahu/ jawab

3,8 kebebasan pers 2 Berhasil memperbaiki

1 Berhasil mewujudkan

2,5 kondisi ekonomi 3 Berhasil memberantas

2,2 korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)

1,9 Sumber : Salomo Simanungkalit (ed.), 2002: h. 209

4 Berhasil menjaga keamanan 17,7

Tabel 3. Survei Kompas tentang Kepuasan Responden terhadap Kinerja Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) No Bidang

Sikap responden

Januari Juli

19,7 10,3 2 Perbaikan kondisi politik

1 Perbaikan perekonomian

21,7 13,4 dan keamanan

30,0 18,9 sosial Sumber : Salomo Simanungkalit (ed.), 2002: h. 209

3 Perbaikan kesejahteraan

Tabel 4. Survei Kompas tentang Kepuasan Responden terhadap Kinerja Presiden Megawati Soekarnoputri (1999-2001) No Bidang

Sikap responden Oktober 2001 Januari 2002

April 2002

1 Perbaikan perekonomian

31,3 2 Perbaikan kondisi politik dan

40,1 keamanan 3 Perbaikan kesejahteraan sosial

36,4 Sumber : Salomo Simanungkalit (ed.), 2002: h. 209

Sementara studi Booz-Allen & Hamilton pada tahun 1999 menunjukkan bahwa indeks good governance 5 di Indonesia amat buruk, bahkan terburuk bila dibandingkan

dengan sejumlah negara di tingkat Asia Tenggara. Penilaian yang mirip juga datang dari studi Huther dan Shah (1998) mengenai indeks kualitas governance yang diukur dari indeks: (1) partisipasi masyarakat, (2) orientasi pemerintah, (3) pembangunan sosial yang berlangsung, dan (4) manajemen ekonomi makro. Menurut hasil studi

mereka, Indonesia termasuk dalam kategori poor governance (lihat tabel 5). 6

5 Good governance di sini dipahami sebagai suatu tata pemerintahan yang mengedepankan dan melaksanakan prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Sebagai sebuah

konsep, awalnya berasal dari Bank Dunia. Konsep good governance ini diperkenalkan pada akhir dekade 1980-an (1989), setelah kegagalan kebijakan penyesuaian struktural yang disuntikkan oleh Bank Dunia di Sub-Sahara Afrika. Bank Dunia menganggap kegagalan tersebut dikarenakan adanya krisis pemerintahan yang berlangsung dalam negara tersebut. Krisis yang terjadi misalnya tingginya tingkat korupsi serta lemahnya kontrol dari masyarakat, sebagaimana yang lazim terjadi dalam pemerintahan yang otoritarian. Namun karena konsep ini berasal dari Bank Dunia, dan kemudian lembaga-lembaga donor internasional seperti IMF dan Asian Development Bank (ADB) ikut mempopulerkan, banyak pihak mencurigai bahwa penyebarluasan gagasan tersebut bukan demi menegakkan demokrasi namun lebih sebagai usaha untuk memuluskan jalannya berbagai kebijakan neo-liberal dari lembaga tersebut di negara yang bersangkutan, yang lebih menguntungkan negara kapitalis maju yang menguasai lembaga tersebut, seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa Barat. Meski kecurigaan tersebut beralasan, namun sejumlah pihak --yang juga kritis terhadap kebijakan Bank Dunia, IMF, ADB, serta sejumlah lembaga donor lainnya-- melihat bahwa gagasan good governance dapat digunakan bagi perjuangan demokratisasi. Di Indonesia, konsep good governance awalnya justru dipopulerkan oleh kalangan LSM di awal dekade 1990-an, di antaranya saat mempersoalkan pembangunan bendungan Kedung Ombo, proyek pemerintah yang dibiayai dengan utang dari Bank Dunia dan bermasalah karena menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi dalam pelaksanaannya.

6 Cahyo Suryanto, 2002: h. 6.

Tabel 5. Indeks Good Governance Sejumlah Negara di Asia Tenggara Tahun 1999 Negara

Indeks Good Governance

Kategori Kualitas Governance

Malaysia

Good Governance Singapura

Good Governance Thailand

Fair Governance Filipina

Fair Governance Indonesia

Poor Governance Sumber : Booz-Allen & Hamilton, Alex Irwan (2000), dan Huther dan Shah (2000) dalam Cahyo Suryanto (2002).

Padahal isu good governance sudah muncul di Indonesia sejak awal tahun 1990-an dan sebagai wacana telah berkembang pesat dalam enam tahun terakhir ini. Pasca turunnya Soeharto, konsep ini makin populer di Indonesia, bahkan usaha untuk melaksanakannya menjadi salah satu butir kesepakatan dengan IMF pada tahun 1998, salah satu syarat bila pemerintah Indonesia masih berharap mendapat utang dari lembaga keuangan tersebut. Sementara sejumlah lembaga donor internasional, utamanya dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, telah mengalokasikan dan menyalurkan dana yang relatif besar bagi kegiatan LSM dan institusi negara di

Indonesia untuk mendukung isu tersebut. 7

Dalam risetnya, dengan mengacu kepada 40 instrumen demokrasi seperti dalam tabel

1 , DEMOS bahkan telah mengidentifikasi dan sampai kepada kesimpulan bahwa masih dan lebih banyak instrumen demokrasi yang kondisinya buruk dibanding yang mulai membaik. Keadaan ini disebutnya sebagai defisit demokrasi. Instrumen demokrasi yang kondisinya paling buruk menyangkut rule of law, keterwakilan kepentingan dan gagasan dalam politik (representasi politik), pemerintah yang bertanggung jawab (termasuk dalam persoalan desentralisasi), serta taraf hidup warga negara (kondisi hak ekonomi dan sosial). Di antara berbagai instrumen demokrasi yang masih buruk tersebut, menurut DEMOS, yang paling utama membutuhkan perhatian bagi perbaikan adalah soal representasi politik (lihat tabel 6), karena keberhasilan dalam memperbaikinya dapat menjadi sarana yang efektif bagi perbaikan instrumen demokrasi lainnya, termasuk untuk menciptakan good governance .

7 Padahal kecenderungan yang terjadi selama ini, pemerintah Indonesia masih tergantung dan sulit menghadapi desakan yang datang dari lembaga-lembaga dan negara-negara donor dibanding desakan

masyarakatnya. Salah satu lembaga penyalur dana untuk isu good governance di Indonesia adalah Partnership, sebuah funding agency yang didirikan oleh Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan United Nations Development Program (UNDP) pada Oktober 2000. Sekedar catatan, meski pendirian dan pengelolaan lembaga ini melibatkan unsur masyarakat dan pemerintah Indonesia, namun agenda dari ketiga institusi pendirinya cenderung tampak lebih dominan. Lihat dalam Crawford, Gordon & Yulius P. Hermawan (2002).

Tabel 6. Masalah-masalah utama dalam keterwakilan dan partisipasi langsung 8

No. Hak dan institusi demokrasi Kinerja Cakupan Buruk

Buruk

1. Independensi partai-partai dari politik uang dan kelompok 91% 69% kepentingan yang kuat

2. Kapasitas kontrol anggota dan simpatisan terhadap 84% 71% partainya 3. Aksesibilitas masyarakat kepada pejabat pelayanan publik 82%

70% dan pejabat terpilih 4. Sikap partai tentang isu-isu vital dan kepentingan vital di 81%

70% dalam masyarakat 5. Kemampuan partai untuk menjalankan pemerintahan

81% 70% 6. Partisipasi publik secara langsung dalam perumusan dan 75%

73% implementasi kebijakan publik 7. Pencegahan penyalahgunaan sentimen, simbol, doktrin 66%

58% agama atau etnis oleh partai Sumber : DEMOS, 2005: h. 33.

Memang beberapa instrumen demokrasi yang berkenaan dengan representasi politik kini telah eksis, namun dalam realitasnya banyak yang tidak berfungsi secara efektif karena dikuasai oleh para elit politik serta ekonomi. Partai kini bebas didirikan, pemilihan umum (Pemilu) telah berlangsung secara bebas dan relatif baik bila dibanding masa-masa sebelumnya, dan parlemen tidak lagi di bawah dominasi eksekutif seperti di masa Orde Baru, namun yang kemudian berlangsung: partai-partai dan para politisi yang ada tidak representatif dan responsif. Tampaknya, para elit kini telah beradaptasi dengan prosedur demokrasi, kemudian mereka menguasai, memonopoli, membengkokkan, dan menggunakan instrumen-instrumen demokrasi untuk kepentingannya atau kelompoknya sendiri, tidak untuk memajukannya sehingga menjadi bermakna bagi banyak orang (DEMOS, 2005: h. 17-38).

Tumbangnya pemerintahan Soeharto dan gegap gempitanya “reformasi”, yang diyakini dapat membawa Indonesia kepada transisi ke arah demokrasi, sudah hampir tujuh tahun berlalu. Namun demokrasi yang substansial --di mana instrumen- instrumen demokrasi tidak sekedar eksis namun juga efektif dan dapat diakses oleh setiap warga negara sehingga bermakna-- belum juga berlangsung secara signifikan di Indonesia. Good governance juga masih jauh dari harapan. Yang terjadi kini malah para elit sudah menyesuaikan diri dengan prosedur demokrasi dan menguasainya untuk kepentingannya atau kelompoknya sendiri. Mengapa hal ini terjadi? Bukankah dalam rentang waktu tujuh tahun terakhir ini telah bertumbuh ribuan media massa serta para jurnalisnya yang makin kritis, organisasi massa dan LSM berikut para aktivisnya, serta para akademisi kritis yang konon merupakan aktor penting dan berpengaruh dalam perjuangan menegakkan demokrasi? Ada apa dengan intelektual di Indonesia?

Menaruh Harapan kepada Intelektual

Mengapa intelektual? Karena mereka mempunyai citra, diyakini, dan meyakini sebagai pihak yang memperjuangkan keadilan bagi kelompok masyarakat yang lemah

8 Angka pada tabel merujuk pada proporsi informan riset DEMOS –para aktor pro-demokrasi yang terpercaya dari berbagai wilayah di Indonesia yang menjadi nara sumber riset, jumlahnya sekitar

800-an orang-- yang mengatakan hak-hak dan institusi-institusi yang memiliki kinerja dan cakupan yang buruk.

dan dipinggirkan, aktor penting dalam perubahan sosial ke arah yang lebih baik, termasuk perubahan ke arah demokrasi. Secara empirik, intelektual bukanlah entitas yang homogen, termasuk dalam pemihakannya. Penulis tidak menafikkan bahwa intelektual dapat atau berpotensi juga menjadi pihak yang ikut memberikan legitimasi terhadap kekuasaan atau kebijakan negara meski kekuasaan atau kebijakan tersebut

tidak demokratis, seperti yang pernah berlangsung di masa pemerintahan Soeharto 9 , atau secara praktik berbeda dengan citranya 10 . Konsep intelektual yang menjadi topik

bahasan dalam tulisan ini lebih kepada kategori intelektual yang cenderung berorientasi demokratis, yang menggunakan dan berusaha memajukan instrumen- instrumen demokrasi.

Dalam tulisan ini, intelektual tidak hanya ditujukan secara terbatas kepada para akademisi serta peneliti di lembaga-lembaga penelitian, namun juga para jurnalis maupun para aktivis organisasi massa dan LSM. Tidak sekedar akademisi karena berbagai kategori tersebut secara empirik sulit untuk dipilah-pilah secara tegas. Yang terjadi tidak hanya sekedar saling bahu-membahu, namun juga telah berlangsung tumpang tindih, kait-mengkait, persilangan, dan percampuran antar mereka. Banyak akademisi yang juga sebagai jurnalis, aktivis organisasi massa, atau aktivis LSM. Sementara banyak juga jurnalis yang menjadi akademisi, peneliti, serta aktivis organisasi massa maupun LSM. Demikian juga aktivis LSM, banyak juga yang menjadi akademisi, peneliti, maupun bertindak sebagai jurnalis.

Alasan kedua, bahwa intelektual dipahami sebagai mereka yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang mendalam tentang berbagai persoalan sosial- kemanusiaan yang dihadapi masyarakatnya. Seorang intelektual dapat melakukan refleksi kritis, berani mengemukakan pendapatnya, serta mempunyai pemihakan dan komitmen sosial-kemanusiaan yang tinggi dalam arena sosial-politik. Kapasitas dan posisi seperti ini bukan monopoli atau tidak sekedar berpeluang dimiliki oleh mereka yang mempunyai latar belakang akademisi, namun juga bisa datang dari mereka yang berlatar belakang aktivis LSM maupun jurnalis. Dalam arena politik demokrasi, ketiganya sama-sama menonjol dalam hal kepemilikan modal budaya, selain dan

lebih dari modal sosial, simbolik, maupun ekonomi. 11

9 Tentang keterlibatan intelektual dalam rezim yang tidak demokratis, lihat artikel utama dalam Media Kerja Budaya edisi 09 tahun 2002.

10 Misalnya seperti yang dikatakan Antariksa (2002) bahwa jika di tahun 1970-an dan 1980-an kita sering mendengar negara “menggunakan” ilmuwan sosial buat merancang dan menjalankan

proyek-proyeknya yang membuat kelompok-kelompok marjinal menjadi semakin marjinal, kini kita sering mendengar kelompok-kelompok marjinal yang mengatakan bahwa mereka telah “dimanfaatkan” oleh para peneliti atau aktivis LSM buat menurunkan dana-dana bantuan dari lembaga-lembaga donor internasional. Dalam suatu penelitian yang menjadi bagian dari proyek pengentasan kemiskinan misalnya, kita sering mendengar sindiran masyarakat bahwa pada akhirnya peneliti dan aktivis LSM-lah yang akhirnya justru mentas dari kemiskinan, sementara masyarakat sendiri tetap tinggal miskin. ( http://www.kunci.or.id/misc/a_subaltern.htm )

11 Konsep modal di sini merujuk kepada konsep dari Pierre Bourdieu, di mana modal merupakan hubungan sosial, artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil dalam arena

perjuangan di mana ia memproduksi dan mereproduksi. Yang termasuk modal budaya ialah pengetahuan yang sudah diperoleh, kode-kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan- kedudukan sosial. Termasuk modal sosial ialah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan- hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Sementara modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus suatu mobilisasi. Modal simbolik bisa berupa kantor yang luas di

Apa yang selama ini telah dikerjakan oleh intelektual bagi perbaikan ke arah demokrasi di Indonesia? Tak dapat dipungkiri bahwa banyak yang sudah dikerjakan, tidak hanya di tataran nasional namun juga di tingkat lokal. Pasca pemerintahan Soeharto, intelektual cenderung lebih banyak dan menonjol bekerja dalam isu reformasi institusi hukum dan politik kenegaraan bagi pencapaian good governance, baik dengan melakukan kerja-kerja pemantauan maupun advokasi kebijakan, serta penguatan masyarakat sipil. Secara garis besar, kerja-kerja mereka dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, melakukan mempromosikan terjadinya perubahan dan perbaikan pada bermacam kebijakan dan institusi (institusional and policy reform) demokrasi dengan harapan dapat mempercepat terciptanya good governance. Kedua, melakukan pemberdayaan dan penguatan berbagai kelompok dalam masyarakat sipil untuk mengontrol dan berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan negara. (Cahyo Suryanto, 2002: h. 4-5).

Saat ini, nyaris tiap hari ada saja intelektual yang berkomentar, dikutip pendapatnya, dan melakukan kritik terhadap kekuasaan negara, dalam kerangka mempromosikan gagasan demokrasi dan good governance di berbagai media massa. Mereka juga mempromosikan reformasi kebijakan dan institusi demokrasi serta melakukan pemantauan dan advokasi terhadap berbagai macam isu, misalnya anti korupsi, hak asasi manusia, keadilan jender, desentralisasi dan otonomi daerah, reformasi hukum, institusi, serta aparat penegak hukum, Pemilu yang bebas dan jujur, dan sebagainya. Selain membangun opini lewat media, mereka juga mengorganisasikan diri atau ikut ke dalam suatu institusi, forum, koalisi, atau jaringan, kemudian melakukan kajian, menyusun rekomendasi, melakukan lobi, dan advokasi. Misalnya, Koalisi LSM (organisasi non-pemerintah, penyebutan lain untuk LSM) untuk Perubahan Konstitusi, Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Koalisi untuk Kebijakan Partisipatif, Koalisi RUU (rancangan undang-undang) Pertahanan, dan sebagainya.

Dalam usaha memperbaiki kinerja institusi-institusi negara dan demokrasi, banyak intelektual yang juga melakukan kerja pemantauan (monitoring) terhadap kinerja institusi-institusi tersebut dengan mendirikan lembaga-lembaga pemantau seperti media watch , parliament watch, judicial watch, corruption watch, police watch, atau government watch . Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya, banyak melakukan investigasi kasus korupsi serta melakukan advokasi lewat kampanye di media. Berbeda dengan ICW yang relatif luas lingkup korupsi yang menjadi perhatiannya, Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita) lebih memfokuskan kegiatannya pada pengawasan aset negara. Government Watch (Gowa) memusatkan perhatiannya pada kejahatan yang dilakukan oleh partai-partai politik atau para elit politik terhadap keuangan dan fasilitas negara, misalnya terhadap Bulog, yang mereka yakini bahwa di lembaga tersebut banyak dana yang tidak tersentuh kegiatan audit, yang dikenal sebagai dana non-budgeter. Sementara Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) yang dipimpin oleh Mar'ie Muhammad, mantan menteri keuangan di masa Soeharto yang dikenal relatif jujur, melakukan aktivitas pemantauannya dengan mengkaji

daerah mahal, mobil dengan sopirnya, namun bisa juga petunjuk-petunjuk yang tidak mencolok mata yang menunjukkan status tinggi pemiliknya: misalnya gelar pendidikan yang dicantumkan di kartu nama, cara bagaimana membuat tamu menanti, cara mengafirmasi otoritas (dalam Haryatmoko, 2003: h. 11-12). Untuk modal ekonomi, tidak hanya terbatas kepada assets dan finansial namun juga termasuk misalnya kemampuan untuk melakukan blokade ekonomi dan boikot produksi (Harriss et. al, 2004: h. 28) daerah mahal, mobil dengan sopirnya, namun bisa juga petunjuk-petunjuk yang tidak mencolok mata yang menunjukkan status tinggi pemiliknya: misalnya gelar pendidikan yang dicantumkan di kartu nama, cara bagaimana membuat tamu menanti, cara mengafirmasi otoritas (dalam Haryatmoko, 2003: h. 11-12). Untuk modal ekonomi, tidak hanya terbatas kepada assets dan finansial namun juga termasuk misalnya kemampuan untuk melakukan blokade ekonomi dan boikot produksi (Harriss et. al, 2004: h. 28)

Apakah kerja-kerja yang mereka lakukan dapat berhasil secara efektif? Tampaknya, sering kali efektifitas dari kerja tersebut baru pada tahap pembentukan opini publik. Temuan-temuan hasil investigasi serta opini yang mereka sampaikan tak jarang menjadi wacana publik yang cukup hangat. Namun yang sering kali terjadi kemudian, tidak mendapat respon yang memadai dari para pengambil kebijakan atau pemegang kekuasaan. Bisa juga tenggelam dengan berlalunya waktu atau adanya persoalan- persoalan baru yang lebih hangat. Sebagian contoh, Gempita selalu kalah setiap kali membawa temuannya ke pengadilan. Mulai dari kasus mobil Timor, penyalahgunaan dana reboisasi, kasus BRI, hingga kasus Pertamina Balongan. Sementara, dari sejumlah masukan yang disampaikan MTI ke pemerintah maupun DPR, hanya gagasan tentang dibentuknya badan independen anti-korupsi yang tampaknya ditindaklanjuti oleh pemerintah. Saat akan dibentuk, perumusan kewenangan dan proses seleksi bagi keanggotaannya masih membutuhkan pemantauan lagi. Begitu pula yang dialami oleh ICW. Kasus-kasus yang ditemukannya hingga kini belum ada yang dituntaskan secara berkeadilan oleh aparat penegak hukum, mulai dari kasus korupsi di Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dugaan suap (mantan) Jaksa

Agung M Ghalib, bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan sebagainya. 13

Menurut Indro Cahyono, yang sudah lebih dari 20 tahun berkecimpung dalam dunia aktivis, ketidakefektifan ini terjadi karena lembaga-lembaga tersebut tidak muncul dari gerakan rakyat. Apalagi tugasnya cenderung memantau saja. “Mestinya mereka

tidak hanya memantau, tetapi juga mampu menggerakkan”, tegasnya. 14 Opini publik dan wacana yang berlangsung dalam media tentu saja penting, namun sering kali kandas ketika berhadapan dengan kepentingan kekuasaan bila tidak mampu menggerakkan dan memperoleh dukungan massa yang riil.

Intelektual dalam Politik Lokal

Apakah menggerakkan dan membangun dukungan massa telah diabaikan oleh para intelektual? Tampaknya, perubahan konteks dan pentingnya menggerakkan massa tidak juga diabaikan oleh sebagian intelektual, bahkan sangat diperhatikan. Selain mendorong reformasi dan perbaikan kebijakan serta institusi demokrasi, sebagian

intelektual juga melakukan penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil 15 . Kebanyakan kerja ini dilakukan di tingkat lokal, seiring dan dalam konteks

berlangsungnya desentralisasi dan otonomi daerah.

12 Kompas, 4 Juni 2000. 13 Ibid. 14 Media Indonesia, 4 Oktober 2001. 15 Masyarakat sipil di sini melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir

secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat kepada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Ia berbeda dengan pengertian “masyarakat” secara umum, yakni keterlibatan warga negara yang bertindak secara kolektif dalam ruang publik untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat, pilihan, dan ide-ide mereka untuk bertukar informasi, mencapai sasaran kolektif, mengajukan tuntutan pada negara, memperbaiki struktur dan fungsi negara, dan untuk menuntut akuntabilitas pejabat negara. Masyarakat sipil adalah fenomena penengah, berdiri di ruang privat dan negara, serta tidak bermaksud untuk mencapai kekuasaan atas negara atau setidaknya posisi di dalamnya. (Diamond, 2003: h. 278-279)

Menurut Sutoro Eko, Direktur Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, desentralisasi secara bertahap dan pelan telah mendorong pemerintahan lokal yang semakin terbuka. Fenomena pergeseran dari pemerintahan birokratis ke pemerintahan partai merupakan contoh hadirnya pemerintahan yang terbuka. Sebelumnya, di masa pemerintahan Soeharto, kekuasaan lokal dimonopoli oleh birokrasi dan militer, yang notabene dikendalikan dari Jakarta. (Sutoro Eko, 2004: h. 312).

Meski begitu, desentralisasi dan otonomi daerah tidak secara otomatis memberikan akses dan kontrol masyarakat lokal yang besar atas sumber daya di daerahnya, seperti yang diharapkan dan dibayangkan banyak pihak. Yang terjadi saat ini, desentralisasi dan otonomi telah memberikan distribusi kekuasaan yang lebih besar kepada elit lokal, sehingga yang cenderung tampak paling berkepentingan terhadap otonomi daerah adalah para elit tersebut. Desentralisasi dan otonomi daerah telah menyuguhkan kebangkitan raja-raja kecil di tingkat lokal, memindahkan korupsi dari Jakarta ke lokal, konflik kewenangan dan sumber daya, pelipatgandaan pajak dan retribusi daerah yang menjadi beban berat masyarakat setempat, oligarki elit yang jauh dari sentuhan masyarakat, dan sebagainya. (Ibid. h. 313)

Namun tidak dapat diabaikan bahwa desentralisasi juga telah mendorong bertumbuhnya berbagai organisasi dan jaringan sosial (gerakan sosial) yang dimotori oleh para intelektual di tingkat lokal. Mereka membuka ruang publik seluas-luasnya, termasuk membentuk berbagai forum, memperkuat institusi lokal, prakarsa lokal, partisipasi masyarakat (voice, akses, dan kontrol) dalam proses pemerintahan dan pembangunan, serta mentransformasikan gerakan masyarakat sipil yang berbasis kelas menengah kota menjadi jaringan dan gerakan sosial massif yang berbasis berbagai komunitas dan organisasi rakyat, yang menjadi kekuatan oposisi yang menekan partai politik dan elit politik agar mereka punya komitmen dan tanggung jawab. Mereka juga mendorong peningkatan partisipasi rakyat serta menantang akuntabilitas dan transparansi lembaga legislatif serta pemerintah daerah, selain juga membuka dan mendorong kerja sama serta kemitraan antara masyarakat, legislatif, dan pemerintah daerah (ibid. h. 324-325). Mengenai tipologi gerakan sosial yang tumbuh dan dibangun oleh intelektual di tingkat lokal dapat dilihat dalam tabel 7.

Tabel 7. Tipologi Gerakan Sosial di Tingkat Lokal No Basis Konstituen

Contoh

Sifat dan

Orientasi Pendekatan

1 Komunitas atau satuan

Membangun geografis (forum yang

Forum Masyarakat Kemitraan

komunikasi dan mewadahi berbagai

Majalaya

multi-

stakeholders , trust , pemangku kepentingan

Sejahtera, Forum

mengembangkan dalam wilayah tertentu,

warga Bandung,

dialog

partisipasi warga, misalnya desa, kecamatan,

Forum Desa,

partisipatif

pengelolaan kabupaten)

Rembug Desa, dll

kebijakan publik secara bersama

2 Isu (forum lahir sebagai

Sebagai pressure respons atas isu-isu spesifik, Sumatera Barat,

Forum Peduli

Aliansi

groups untuk misalnya korupsi)

terbuka,

Aliansi Rakyat

konfrontatif melakukan

anti Korupsi

tekanan terhadap

Klaten, Koalisi

ketidakberesan

Rakyat Anti

pemerintah

Militerisme, dll

3 Kelompok atau profesi

Memperjuangkan (forum yang dilahirkan oleh Forum Petani

Forum Guru,

Advokasi

nasib, kelompok-kelompok khusus Tembakau Klaten,

kepentingan, dan karena kesamaan profesi)

Paguyuban Kepala

aspirasinya kepada

Desa, Forum

pemerintah.

Komunikasi BPD, Paguyuban Tukang Becak, Forum Petani, Formasi (Forum Masyarakat Sipil), dll

4 Sektoral (forum yang lahir

Sebagai arena karena kepedulian terhadap Pengembangan

Forum

Sharing ,

pembelajaran sektor-sektor khusus dalam

learning ,

antar-stakeholders pembangunan atau

Partisipasi

multi-

stakeholders , dan policy reform pelayanan publik)

Masyarakat,

Forum

dan advokasi secara

Pengembangan

berkelanjutan

Pembaruan Desa, Forum Masyarakat Kehutanan

Sumber : Sutoro Eko, 2004: h. 317.

Minimnya Usaha Membangun Representasi dan Masuk Politik Formal

Apakah yang dikerjakan para intelektual selama ini, baik di tingkat nasional maupun lokal, termasuk lewat strategi membangun dukungan dan menggerakkan massa, berhasil memajukan dan mengkonsolidasikan demokrasi secara efektif? Dengan mempertimbangkan bahwa masih (lebih) banyaknya instrumen demokrasi yang kondisinya buruk, atau meminjam istilah dari DEMOS, terjadi defisit demokrasi, tampaknya kerja-kerja mereka sulit untuk dikatakan berhasil. Secara moderat dapat dikatakan bahwa ada keberhasilan, namun masih jauh dari cukup. Seperti yang sudah disampaikan di awal, dalam hal eksisnya kebijakan atau institusi demokrasi memang sudah berlangsung sejumlah perbaikan. Namun dari segi substansi atau kualitasnya, masih banyak yang buruk. Banyak yang sudah dikerjakan, namun kerja-kerja mereka masih belum efektif dalam menghasilkan perubahan ke arah demokrasi yang lebih bermakna. Mengapa? Mungkinkah karena strateginya?

Seperti yang pernah diingatkan oleh Ariel Heryanto (dalam Uhlin, 1997: h. 212-213), strategi untuk membangun dan mengkonsolidasikan demokrasi pasca kejatuhan pemerintahan otoriter tentunya berbeda dengan strategi untuk menjatuhkan pemerintahan yang otoriter tersebut. Dengan mengambil contoh Filipina, menurutnya, orang-orang awam di sana banyak yang ambil bagian dalam menggulingkan pemerintahan otoriter Ferdinand Marcos, tetapi mereka enggan bergabung dengan para aktivis dalam membangun dan memperkokoh demokrasi pasca Marcos. Aktivis dapat dikatakan sebagai orang yang hidupnya berjuang demi suatu prinsip, nilai, moralitas demokrasi, tetapi orang kebanyakan tidak. Mereka berjuang demi suatu yang pragmatis, sesuatu yang sangat nyata. Mereka membenci pemerintahan Marcos, tetapi ketika pemerintahan itu tumbang, berakhir pula perjuangan mereka.

Bisa jadi mengkonsolidasikan demokrasi di Indonesia juga merupakan hal yang sangat berbeda dan lebih sulit dibanding menjatuhkan pemerintahan otoriter, sehingga lumrah bila kemudian membutuhkan strategi yang berbeda dan mungkin lebih sulit.

Lantas, setelah pemerintahan Soeharto jatuh, adakah perubahan strategi yang diambil oleh para intelektual yang berorientasi demokratis? Mengapa?

Berbeda dengan apa yang terjadi di masa Soeharto, saat ini partai-partai pemenang Pemilu secara riil menjadi sangat berkuasa dalam menentukan berbagai kebijakan kenegaraan. Seideal apa pun gagasan dari intelektual, namun bila tanpa dukungan yang signifikan dari partai-partai yang berkuasa maka gagasan tersebut akan menjadi tidak efektif. Mereka memang berwenang dan mempunyai legitimasi karena memperoleh dukungan suara secara sah lewat Pemilu, yang kini sudah berlangsung secara bebas dan fair. Kekuasaan mereka besar dan diperoleh berkat dipilih oleh rakyat melalui mekanisme yang demokratis. Namun kecenderungan yang terjadi saat ini, mereka banyak yang mengabaikan persoalan representasi. Kepentingan pribadi, kelompok, atau elit partainya lebih diutamakan dibanding dengan kepentingan rakyat pemilih. Yang terjadi, demokrasi tanpa representasi.

Tabel 8. Survei Kompas tentang Penilaian Publik atas Kinerja DPR Periode 1999-2004 Masa Pemerintahan

Megawati Soekarnoputri Penilaian publik

Abdurrahman Wahid

Oleh sebagian besar

43,8% responden menuding

responden (70,8%), para

anggota DPR mulai

wakil rakyat dinilai lebih

mengedepankan urusan

memperjuangkan

pribadi di atas kepentingan

kepentingan partainya

rakyat. Responden lain

masing-masing daripada

(42,5%) menuding anggota

menyuarakan kepentingan

DPR mementingkan partai

rakyat (jajak pendapat 8-9

(jajak pendapat 30-31 Januari

2002) Sumber : Salomo Simanungkalit (ed.), 2002: h. 203.

Agustus 2000)

Untuk memajukan demokrasi di Indonesia, menurut pandangan Olle Tornquist (Kompas, 31 Januari 2004), profesor ilmu politik dari Oslo University, Norwegia, yang sudah lebih dari sepuluh tahun mengamati dan meneliti politik demokrasi di Indonesia, saat ini para aktor pro-demokrasi perlu meninggalkan cara-cara lama -- seperti lobi serta demonstrasi-- dan masuk ke sistem politik formal serta membangun representasi politik. Dalam konteks yang sudah berubah, di mana tidak lagi untuk melawan pemerintahan otoriter namun untuk mengkonsolidasikan demokrasi, membangun dukungan massa tidak hanya untuk mobilisasi, atau sekedar menumbuhkan partisipasi masyarakat, namun juga untuk membangun konstituen, dukungan dalam Pemilu, dan representasi politik.

Tampaknya masalah tidak hanya sekedar dalam membangun dukungan massa, namun juga keterlibatan dalam politik formal, yang kini sangat berkuasa dalam pengambilan keputusan atau kebijakan publik. Sementara yang berlangsung saat ini, strategi yang ditempuh para intelektual masih cenderung menggunakan strategi lama, meng- unggulkan konsep penguatan masyarakat sipil --untuk mendorong partisipasi serta menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja eksekutif dan legislatif-- dan tetap mengabaikan keterlibatan dalam sistem politik formal.

Dalam sebuah riset yang dilakukan dalam kurun waktu 2003-2004, DEMOS (DEMOS, 2005: h. 47) menemukan bahwa aktor pro-demokrasi di Indonesia banyak yang berkiprah serta memilih strategi demokrasi-langsung lewat masyarakat sipil dan cenderung mengabaikan instrumen-instrumen demokrasi yang berkenaan dengan politik formal dan representasi. Kondisi politik formal serta representasi politik yang buruk, di mana elit lama maupun baru telah memonopoli dan menguasainya, oleh para aktor pro-demokrasi bukannya diperbaiki dengan membangun kapasitas politik mereka dan masuk ke dalamnya, namun malah dijauhi (lihat tabel 9). Mereka kurang berusaha men-demonopoli kekuasaan para elit atas instrumen-instrumen demokrasi yang berkenaan dengan politik formal serta representasi tersebut. Padahal dengan penguasaan atas instrumen-instrumen tersebut memungkinkan mereka untuk secara efektif memperbaiki instrumen-instrumen demokrasi lainnya yang masih buruk, termasuk instrumen yang berkaitan dengan persoalan rule of law serta taraf hidup warga negara.

Tabel 9. Hak-hak dan institusi-institusi berkaitan dengan keterwakilan yang menurut para informan paling kurang perlu digunakan dan dimajukan, dan proporsi informan yang berusaha untuk menemukan alternatifnya

No.

Hak dan Institusi

Memanfaatkan Mencari dan Memajukan

Alternatif

1. Partai untuk menjalankan pemerintahan 30% 19% 2. Kapasitas kontrol anggota dan simpatisan terhadap

33% 21% partainya 3. Pencegahan penyalahgunaan sentimen, simbol,

33% 19% doktrin agama atau etnis oleh partai

4. Independensi partai-partai dari politik uang dan 35% 24% kelompok kepentingan yang kuat 5. Aksesibilitas masyarakat kepada pejabat pelayanan

37% 15% publik dan pejabat terpilih 6. Sikap partai tentang isu-isu dan kepentingan vital di

38% 18% dalam masyarakat 7. Kebebasan membentuk partai, merekrut anggota dan

42% 13% mengkampanyekan calon-calon untuk menduduki kekuasaan pemerintah

Sumber : DEMOS, 2005: h. 34

Kesimpulan ini tampaknya juga relevan bagi para intelektual yang dimaksud dalam tulisan ini karena para aktor pro-demokrasi yang dirujuk serta menjadi informan dalam riset ini dapat dikategorikan sebagai intelektual. Mereka adalah para aktivis, baik di tingkat nasional maupun lokal, yang reflektif, berlatar belakang aktivis LSM, organisasi rakyat, organisasi politik pro-demokrasi, jurnalis, akademisi termasuk guru, yang bergerak dari berbagai macam isu, seperti agraria, perburuhan, kaum miskin kota, HAM, anti korupsi, rekonsiliasi konflik, demokratisasi pendidikan, pers dan jurnalisme, jender, pengembangan partai, organisasi massa dengan isu yang diperluas, dan pembangunan representasi di tingkat lokal.