Warisan Orde Baru?

Warisan Orde Baru?

Usaha membangun representasi dan masuk ke dalam politik formal, seperti yang dilakukan para intelektual Filipina yang mendirikan dan mengembangkan Partai Akbayan, masih minim dilakukan intelektual di Indonesia. Setidaknya ada 3 kecenderungan dominan yang dapat diamati dalam mengidentifikasi mengapa mereka Usaha membangun representasi dan masuk ke dalam politik formal, seperti yang dilakukan para intelektual Filipina yang mendirikan dan mengembangkan Partai Akbayan, masih minim dilakukan intelektual di Indonesia. Setidaknya ada 3 kecenderungan dominan yang dapat diamati dalam mengidentifikasi mengapa mereka

Kurangnya intelektual di Indonesia dalam membangun organisasi berbasis massa, pertama-tama dan terutama karena warisan politik massa mengambang dari masa Orde Baru. Kebijakan “massa mengambang” serta politik pengendalian dan pengawasan yang ketat terhadap kehidupan organisasi massa yang diterapkan di masa pemerintahan Soeharto merupakan hambatan terbesar bagi tumbuhnya organisasi massa yang berorientasi kepada perubahan. Hal tersebut kemudian mengkondisikan intelektual untuk bergerak secara individual atau melalui pembentukan organisasi- organisasi skala kecil. Misalnya LSM yang tumbuh sebagai organisasi-organisasi staf berskala kecil dan tidak berambisi menjadi organisasi besar dengan cakupan wilayah yang meluas dan dukungan massa yang besar pula. Pengembangan yang terjadi lebih kepada usaha membentuk jaringan dengan sejumlah LSM lainnya. Kecenderungan untuk membentuk organisasi-organisasi skala kecil selama periode pemerintahan Soeharto tersebut kemudian tetap berlanjut hingga kini, selain juga membuat mereka miskin pengalaman dalam membangun organisasi massa yang besar dan efektif.

Minimnya usaha untuk membangun representasi politik juga tidak bisa lepas dari paradigma yang dominan dianut intelektual di Indonesia, yakni non-partisan dan menjaga jarak dengan kekuasaan. Berbeda dengan kecenderungan intelektual di masa pergerakan dan awal kemerdekaan hingga pra-Orde Baru, yang populer misalnya Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka, kecenderungan atau paradigma intelektual di masa Orde Baru adalah menjaga jarak dengan kekuasaan. Intelektual yang masuk ke dalam kekuasaan mendapat sebutan peyoratif sebagai teknokrat, bukan lagi intelektual. Sementara LSM lebih nyaman dan bangga dengan sebutan Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) dari pada LSM, selain juga nyaman dan bangga dengan bersikap non-partisan. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat di masa itu negara sangat otoriter dan terkesan kuat sehingga tampak mustahil untuk diperbaiki dengan masuk ke dalamnya. Yang berlangsung kemudian, paradigma negara versus masyarakat sipil (state versus civil society) menonjol dan makin dominan di kalangan intelektual di tahun 1990-an. Paradigma tersebut masih berpengaruh hingga sekarang, meski situasinya sudah mengalami perubahan.

Pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto, wacana berkenaan dengan transisi demokrasi makin dan amat marak. Pendekatan-pendekatan transisi demokrasi yang dominan dianut oleh intelektual di Indonesia lebih menekankan kepada pembangunan hukum dan institusi-institusi good governance, selain juga penguatan masyarakat sipil. Mereka yang lebih menekankan kepada pembangunan hukum dan institusi-institusi good governance mendapat kritik keras bahwa meski sudah dibangun atau dibentuk, bila masih dikuasai oleh kepentingan elit-elit politik yang lama maka hasilnya akan terbatas. Penciptaan demokrasi dan pemerintahan yang baik bukan sekedar masalah mengutak-atik secara teknis kerangka institusional yang ada, tetapi memerlukan kemenangan politik kekuatan-kekuatan yang punya kepentingan terhadap reformasi atas kekuatan lama (Vedi R. Hadiz, 2003: h. 64). Mereka yang sepaham dengan kritik tersebut cenderung mengunggulkan usaha-usaha pengorganisasian dan penguatan Pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto, wacana berkenaan dengan transisi demokrasi makin dan amat marak. Pendekatan-pendekatan transisi demokrasi yang dominan dianut oleh intelektual di Indonesia lebih menekankan kepada pembangunan hukum dan institusi-institusi good governance, selain juga penguatan masyarakat sipil. Mereka yang lebih menekankan kepada pembangunan hukum dan institusi-institusi good governance mendapat kritik keras bahwa meski sudah dibangun atau dibentuk, bila masih dikuasai oleh kepentingan elit-elit politik yang lama maka hasilnya akan terbatas. Penciptaan demokrasi dan pemerintahan yang baik bukan sekedar masalah mengutak-atik secara teknis kerangka institusional yang ada, tetapi memerlukan kemenangan politik kekuatan-kekuatan yang punya kepentingan terhadap reformasi atas kekuatan lama (Vedi R. Hadiz, 2003: h. 64). Mereka yang sepaham dengan kritik tersebut cenderung mengunggulkan usaha-usaha pengorganisasian dan penguatan

Tabel 10. Pendekatan-Pendekatan yang Dominan dalam Politik Demokratisasi Agen

Struktur

Negara

• Crafting elite • Kerangka kebijakan dan legal • Konvergensi elite

• Capacity building • Kepemimpinan yang kuat

• Reorganisasi dan reformasi birokrasi

Masyarakat

• Pendidikan politik masyarakat • Penguatan modal sosial (organisasi dan jaringan)

• Penguatan voice aktor-aktor • Penguatan partisipasi masyarakat masyarakat sipil

• Aksi kolektif organisasi masyarakat

sipil

Sumber : Sutoro Eko, 2004: h. 322

Sementara kecenderungan intelektual di Indonesia yang menghindari atau tidak berusaha masuk ke arena politik formal juga tidak bisa dilepaskan dan merupakan warisan Orde Baru. Selain “massa mengambang”, pemerintahan Soeharto juga telah mengkonstruksikan suasana anti politik. Di masanya, pertumbuhan ekonomi dijadikan prioritas dengan menekan kehidupan politik, yang dicitrakannya dapat mengganggu stabilitas, prasyarat utama bagi pertumbuhan ekonomi. Ia juga membangun hegemoni bahwa politik itu kotor. Partai-partai politik yang ada tidak berfungsi dan di bawah kendalinya. Kemudian intelektual menempatkan diri sebagai substitusi partai politik yang kondisinya buruk, selain juga paradigma negara versus masyarakat, dalam mengartikulasikan suara rakyat kecil. Kondisi tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Intelektual lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai individu-individu yang bebas dan tidak ingin terlibat dalam kegiatan “politik praktis” yang dinilainya penuh tipu daya, kekerasan, dan politik uang. Mereka lebih nyaman sebagai substitusi dari partai-partai politik yang kondisinya buruk, atau mengomentarinya, daripada secara intens berusaha memperbaiki politik kepartaian yang justru amat strategis serta butuh untuk diperbaiki.