SISTEM SOSIAL BANTUL DALAM GUNCANGAN GEMPA

II. SISTEM SOSIAL BANTUL DALAM GUNCANGAN GEMPA

Bencana, sebagaimana juga tekanan dari pihak eksternal, adalah ujian ketangguhan bagi sistem sosial di dalam masyarakat. Mengacu kepada Murphy, dari aspek proses, bencana menjadi konteks yang melatarbelakangi dan mempengaruhi proses koordinasi, promosi dan interpretasi layanan sosial dalam beragam bentuk. Apakah ketika bencana, layanan sosial bisa terkoordinasi dan dipahami dengan baik oleh banyak pihak atau tidak, akan sangat menentukan ketangguhan sistem sosial yang ada. Sementara itu, dari aspek ruang, bencana menguji apakah suprastruktur yang dibentuk bisa bekerja dalam mengkoordinasikan kerja

layanan bagi publik 37 . Jawaban atas ini akan menjadi penanda apakah ujian berupa situasi abnormal yang bernama bencana bisa terlewati oleh sistem sosial yang ada. Dalam studi ini,

37 Murphy, op.cit., p. 29 37 Murphy, op.cit., p. 29

Lantas, bagaimana dengan wajah sistem sosial di Bantul ketika bencana terjadi dan juga pada masa sesudahnya? Salah satunya adalah suprastruktur bernama negara, yang sebagaimana dalam banyak kejadian bencana, ternyata juga mengalami kemandegan. Ini nampak dalam situasi ketika muncul isu tsunami dan juga gempa susulan yang beredar di masyarakat. Ketika isu tsunami hanya berselang beberapa saat setelah gempa terjadi, kepanikan yang luar biasa melanda masyarakat. Bahkan dalam situasi kepanikan ini, nalar dan rasionalitas juga tak bisa bekerja karena perangkat dan jalur komunikasi dan informasi juga terputus dan begitu juga komunikasi antara perangkat negara dengan rakyatnya. Tari, seorang diffabel menuturkan pengalamnnya :

..........Saya terbangun ketika rumah roboh diguncang gempa dan badan saya terbenam di antara puing ‐puing rumah. Tak sempat melarikan diri, karena kruk tak terjangkau. Setelah gempa selesai, kakak saya datang dan menolong saya dengan menarik saya dari reruntuhan bangunan. Tetapi, tak lama kemudian, isu tsunami membuat semua orang lari terbirit‐birit. Kali ini, tak ada yang mempedulikan saya karena semua orang berpikir untuk menyelamatkan dirinya sendiri 38

.(Tari, seorang diffabel korban gempa) Kepanikan ini luar biasa besarnya, karena sekitar jam 8 pagi Sabtu itu, hampir semua ruas jalan

dipenuhi ratusan ribu orang yang hendak menyelamatkan diri dari terjangan tsunami. Begitu tidak adanya informasi resmi yang beredar, dan begitu besarnya kepanikan ini, rasionalitas tentang besarnya cakupan tsunami pun tidak lagi menjadi dasar pijakan tindakan kebanyakan warga. Isu bahwa air laut sudah sampai di Jogjakarta sebetulnya sangat tidak masuk akal, mengingat ketinggian kota Jogja dan jaraknya dari laut yang lumayan jauh, yaitu sekitar 40 km. Begitu juga bila melihat hampir semua orang berlari menuju ke utara atau ke pegunungan, sebetulnya juga tidak nalar mengingat saat itu, Merapi juga dalam status awas dan setiap saat bisa meletus. Walau tak ada laporan resmi, kepanikan ini juga berbuah pada meninggalnya dipenuhi ratusan ribu orang yang hendak menyelamatkan diri dari terjangan tsunami. Begitu tidak adanya informasi resmi yang beredar, dan begitu besarnya kepanikan ini, rasionalitas tentang besarnya cakupan tsunami pun tidak lagi menjadi dasar pijakan tindakan kebanyakan warga. Isu bahwa air laut sudah sampai di Jogjakarta sebetulnya sangat tidak masuk akal, mengingat ketinggian kota Jogja dan jaraknya dari laut yang lumayan jauh, yaitu sekitar 40 km. Begitu juga bila melihat hampir semua orang berlari menuju ke utara atau ke pegunungan, sebetulnya juga tidak nalar mengingat saat itu, Merapi juga dalam status awas dan setiap saat bisa meletus. Walau tak ada laporan resmi, kepanikan ini juga berbuah pada meninggalnya

Di Wukirsari, Siti –bukan nama sebenarnya‐ juga mengatakan bahwa kepanikan terhadap berita akan munculnya gempa susulan yang lebih besar dan tidak bisa terkonfirmasi ke aparat yang berwenang, menjadikan hampir semua orang didusunnya memilih meninggalkan kampung dan bermalam di pegunungan di timur kampungnya. Akibatnya, kampungnya kosong melompong, dan sekaligus juga muncul kerawanan baru dari segi keamanan aset yang ditinggalkan.

Respon pemerintah dalam mengatasi situasi darurat juga disayangkan banyak responden penelitian ini. Menurut Bu Ponirah di Gedongan, Kasihan, pemerintah relatif kurang perhatian terhadap kondisi masyarakat setelah gempa mengguncang. Ia mengatakan :

....”Bukannya menuduh siapa‐siapa, tetapi dari pemerintah, bahkan yang paling bawah sekalipun, harusnya kan perhatian terhadap warganya... Tapi di sini tidak begitu..”

Di Kadisoro, Bu Wiranti membandingkan cepat dan banyaknya dukungan berupa logistik dari saudara, teman, kenalan di gereja dan masjid, hingga teman anaknya di kampus. Dukungan yang sudah datang hanya pada hitungan jam setelah gempa ini menjadi skema pengaman bagi kehidupan masyarakat pasca bencana. Namun menurutnya, hingga 1 minggu pasca bencana, bantuan logistik dari pemerintah belum masuk dikampungnya.

Kondisi yang senada juga dilontarkan oleh Pak Jawadi, yang menjadi kepala dukuh Nangsri, Srihardono, Pundong, Bantul. Ia mengatakan bahwa banyak pelayanan pemerintah yang mandeg dalam waktu yang cukup lama. Ia mencontohkan, pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Puskesmas yang terhenti ketika bencana terjadi. Penuturan ini juga dibenarkan oleh Agung Laksmono, anggota DPRD Bantul yang juga mantan sekretaris Pansus Monitoring Bencana, yang mengatakan bahwa dalam situasi kemandegan struktur negara ketika bencana, masyarakat sendirilah yang justru berperan dalam mengatasi masa kritis. Ia mengatakan :

...”Saya kira, rakyat Bantul yang nota bene orang Jawa dan memiliki kebiasaan kerjasama dan gotong ‐royong memiliki peran yang cukup besar dalam situasi bencana. Ini terjadi pada saat pemerintah daerah tidak dapat berfungsi dan berperan secara maksimal ketika itu..”.

Bahkan, Pemerintah propinsi DIY pun mengakui bahwa walaupun saat itu pemerintah daerah menyiapkan diri terhadap kemungkinan erupsi Merapi, tetapi aparatus dan pranata yang ada tidak mengantisipasi kejadian yang jauh lebih besar sebagaimana dalam kondisi gempa. Hal ini, ditambah dengan minimnya kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat untuk menghadapi bencana gempa, sehingga menjadikan dampak gempa bagi kehidupan masyarakat sangatlah

besar 39 . Begitulah, dalam situasi ketika kemandegan negara dan perangkatnya terjadi dalam

situasi bencana, inisiatif dan proses komunitaslah yang justru menjadi penyelamat kehidupan. Hanya dalam hitungan hari, ditengah perasaan yang hancur karena tertimpa bencana, geliat kebangkitan kehidupan warga nampak dalam beragam bentuk. Menepis keraguan tentang terulangnya kemandegan semangat dan kehidupan masyarakat seperti dalam banyak bencana yang lain, masyarakat Bantul segera melakukan langkah‐langkah penting dalam penyelamatan kehidupan dan memastikan roda kehidupan tak berhenti ketika gempa mengguncang dan meluluhlantakkan banyak sendi kehidupan. Proses evakuasi korban dilakukan oleh masyarakat pada hari yang sama ketika gempa terjadi. Dan kehidupan yang diliputi rasa kebersamaan dan perasaan senasib menjadi suasana yang nampak di wilayah yang terkena bencana.Bu Wiranti dan Bu Sartini dari Kadisoro menuturkan semangat inilah yang dirasakan pada periode awal pasca bencana :

....”Sesaat setelah terjadi gempa, suasananya sangat guyub. Mungkin merasa senasib sepenanggungan, karena sama‐sama terkena bencana dan sama‐sama tidak punya. Jadi kalau ada yang punya, ya dibagi untuk semua...”

39 Lihat makalah Pemerintah Propinsi DIY berjudul, “Bijak dari Belajar : Mewujudkan Tata Pemerintahan DIY yang Tangguh Membangun dan Siaga terhadap Bencana”. Makalah disampaikan

pada seminar Menjajagi Prospek Yogyakarta sebagai Pusat Keunggulan Penanggulangan Bencana, Yogyakarta, 26 Mei 2007

Tentang ini, AB Widyanta yang mantan koordinator OC Suara –jaringan NGO untuk bencana di Jogja dan Jateng mengatakan bahwa dalam suasana bencana yang mencekam, mental perkawanan dan sisi manusia menjadi sikap yang muncul dan mengatasi batas dan sekat yang ada. Suasana yang mencekam inilah yang menjadi stimulus pencairan konflik dan mencairnya batas ‐batas yang ada.