RUANG PRODUKSI PEREMPUAN RELAWAN

I. RUANG PRODUKSI PEREMPUAN RELAWAN

Kerelawanan perempuan bukanlah sebuah produk sosiologis yang instan. kerelawanan diproduksi dalam mesin sosial dengan dimensi waktu yang panjang dan ruang yang beragam. Perempuan relawan diproduksi dalam beragam ruang‐ruang bias gender yang mana secara social, politik dan budaya dikonstruksi bagi perempuan (socially, culturally and politically constructed ).

Oleh karena itu, menganalisis kerelawanan tak bisa dilepaskan dari analisis atas relasi kuasa antara negara dengan masyarakat, dalam hal ini perempuan. Dalam kasus Indonesia, salah satu kritik yang muncul adalah kuatnya pandangan dan juga kebijakan yang

berlandaskan pada pandangan state‐ibuism 46 . Julia Suryakusuma menyebut fenomena tersebut dengan ideologi pengibu‐rumahtanggaan (housewifization), yang memposisikan perempuan

46 Suryakusuma, Julia, “ State-ibuism : the Social Costruction of Womanhood in New Order Indonesia”, the Hague, thesis MA, Institute of Social Studies (ISS).

sebagai ibu rumah tangga adalah perpaduan dari unsur‐unsur terburuk dari paham golongan petit ‐bourgeois Barat dan masyarakat feodal Jawa. Gabungan ini menghasilkan potret perempuan dibawah dominasi laki‐laki.

Kuatnya ideologi pengibu‐rumahtanggaan yang ditanamkan oleh negara, terutama pada orde baru menjadikan ruang perempuan sebagai sesuatu yang bisa dengan mudah diciptakan, dan sekaligus pula bisa dibatasi dan bahkan diberangus sesuai dengan kepentingan negara. Tentu saja yang dimaksud di sini bukan hanya ruang dalam pengertian fisik, karena juga mengacu kepada batasan ruang gerak, ide dan juga pola pikir. Ruang bagi perempuan, menjadi sesuatu yang tidak natural, tidak kodrati karena ia adalah hasil dari proses pembentukan yang panjang. Sementara itu, peran dalam perspektif sosiologi menunjukkan pola yang komperhensif terhadap perilaku dan sikap, yang terdiri dari strategi untuk menyesuaikan diri

dengan kondisi dan karenanya bersifat socially identified 47 . Karenanya, pola peran ini berbeda‐ beda antar komunitas. Dalam banyak hal, peran menjadi dasar yang penting dalam mengidentifikasi dan menempatkan seseorang dalam masyarakat.

a. PKK ‐DASA WISMA

PKK yang maksud pendiriannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dalam skala nasional, memiliki cakupan lebih luas dengan menyasar secara spesifik ibu atau perempuan yang sudah menikah. Walaupun keanggotaannya bersifat sukarela, tetapi pola kepemimpinannya biasanya melekat dengan jabatan publik di semua level. PKK juga menjadi bagian tak terpisahkan dari program pemerintah, terutama melalui posyandu dan program KB. Relasi yang menjadikan perempuan sebagai pendamping suami juga nampak dari konsep Panca Darma PKK yang berisi 5 konsep, yaitu perempuan sebagai istri pendamping suami, pengelola rumah tangga, penerus keturunan dan pendidik, pencari nafkah tambahan dan sebagai warga masyarakat. Salah satu studi yang dilakukan oleh Sullivan di salah satu

47 Turner, RH, “Role, Sociological Aspects”, dalam Sills, Davis L. (International Encyclopedia of the Social Sciences”, New York, MacMillan, 1968-1979, (italics in the original), sebagaimana dikutip oleh

Dzuhayatin (2002), op.cit. .

kampung di perkotaan Jogjakarta menunjukkan, bahwa melalui PKK, tokoh perempuan menjadi penghubung yang efektif antara wilayah teori dan pendekatan pembangunan yang didominasi laki‐laki, dengan perempuan pada level praksis. Dalam PKK pula, tempat perempuan tetaplah di rumah, walaupun konsep rumah mengalami perubahan sehingga rumah dianggap sebagai area penting dalam pembangunan nasional. Sebagaimana tujuan besarnya untuk pengendalian kehidupan politik, peran PKK sebagai jalur instruksi dari atas, jauh lebih kentara daripada sebagai wadah dan ruang bagi perempuan di level terbawah. Sullivan juga mengatakan, karena pendekatan ini cenderung tidak menaruh perhatian pada

struktur sosial yang ada 48 .

Dalam perjalanannya, peran penting yang diemban oleh PKK adalah sebagai jembatan antara tujuan pembangunan dengan aktivitas organisasi perempuan. Begitupun PKK yang terdapat di Kabupaten Bantul, Istri Bupati secara langsung diposisikan sebagai Ketua PKK Kabupaten, begitupun dengan istri Camat dan istri Lurah di tingkat Kecamatan dan Desa. Dengan struktur yang mengedepankan kekuasaan elite, PKK hanya menjadi ajang bagi perempuan yang benar‐benar kuat yang bisa mengambil peran dalam pengambilan keputusan politik. Akibatnya, perempuan biasa yang lain tereksklusi dari perdebatan seputar kebijakan negara. Gambaran PKK yang bias elite dan kekuasaan ini terderivasi hingga level yang paling lokal, seperti dusun maupun RT. Dalam substruktur pemerintahan dusun/RT masih dimungkinkan bagi sejumlah individu perempuan yang berkapasitas untuk muncul sebagai kader, meski ketika masuk dalam struktur PKK yang lebih tinggi kapasitas mereka tidak lebih dihargai dibandingkan jabatan istri dari kepala pemerintahan.

48 Norma Sullivan, “Indonesian Women in Development : State Theory & Urban Kampung Practice ”, tanpa tahun.

b. Posyandu : Kerelawanan Dari Zaman ke Zaman

Selain PKK, ruang lain yang tersedia yakni ruang bagi kader kesehatan yang muncul pada dekade 70‐an. Hal ini erat dengan peran dan pandangan yang menjadikan urusan perawatan dan pengurusan kesehatan sebagai sangat berwajah perempuan. Pada tahun 1986, setelah melalui proses pengkaderan dan pembinaan yang relatif luas, akhirnya disederhanakan menjadi program pelayanan terpadu keluarga berencana dan kesehatan yang dinamakan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang bersifat sukarela. Posyandu ini secara struktural berada di bawah PKK namun secara fungsional di bawah pembinaan puskesmas dan dinas kesehatan.

Tetapi, dalam studi yang dilakukan oleh Suratiyah menunjukkan bahwa terdapat dilema dalam kerelawanan perempuan dalam posisi mereka sebagai kader. Ia mempertanyakan, dengan beban ganda yang disandang perempuan, apakah kerelaan ataukah justru yang terjadi adalah kondisi memaksakan diri? Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa cukup banyak keluhan yang diutarakan oleh perempuan dengan keterlibatan mereka dalam kader kesehatan. Ada beberapa cerita yang muncul dari kader kesehatan, organisasi berbasis kerelawanan yang sering menjadi tumpuan program kesehatan pemerintah. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan yang ditunjukkan oleh penelitian Suratiyah mengenai kader kesehatan di Kulon Progo, yang menunjuk ketangguhan perempuan kader menampakkan buktinya dengan kerelawanan yang mengatasi banyak hambatan.

Di Bantul secara keseluruhan jumlah posyandu sebanyak 1902. Di Kecamatan Pleret saja, jumlah kader kesehatan‐nya sebanyak 55 orang, diantaranya terdapat 1 orang laki‐laki kader. Untuk mengerjakan tantangan kesehatan masyarakat yang besar, termasuk di antaranya gizi buruk sebanyak 36 orang, kader kesehatan ini bekerja dengan 10 meja. Pola perekrutan kader kesehatan melalui 2 metode, yakni penunjukan dan ditawarkan. Kegiatan posyandu dilakuan rutin 1 bulan sekali, kegiatan diantaranya penimbangan balita, pemberian makanan tambaan, penyuluhan kesehatan. Namun disamping kegiatan periodic tersebut, kader yandu Di Bantul secara keseluruhan jumlah posyandu sebanyak 1902. Di Kecamatan Pleret saja, jumlah kader kesehatan‐nya sebanyak 55 orang, diantaranya terdapat 1 orang laki‐laki kader. Untuk mengerjakan tantangan kesehatan masyarakat yang besar, termasuk di antaranya gizi buruk sebanyak 36 orang, kader kesehatan ini bekerja dengan 10 meja. Pola perekrutan kader kesehatan melalui 2 metode, yakni penunjukan dan ditawarkan. Kegiatan posyandu dilakuan rutin 1 bulan sekali, kegiatan diantaranya penimbangan balita, pemberian makanan tambaan, penyuluhan kesehatan. Namun disamping kegiatan periodic tersebut, kader yandu

c. “Sambatan” dan “Rewang”

Di luar kegiatan pembangunan sebagaimana tersebut di atas, perempuan‐perempuan di jawa terikat pada peran pelayanan ritual kemasyarakatan. Dalam setiap siklus hidup masyarakat jawa biasanya dilakukan upacara selamatan. Masyarakat Bantul hingga sekarang rata ‐rata masih menjalankan ritual ini. Mulai dari seorang bayi lahir, sunatan, menikah hingga meninggal selalu ditandai dengan menggelar perayaan dengan mengundang tetangga‐ tetangganya untuk makan‐makan berdoa. Ritual‐ritual tersebut selalu menuntut tersedianya makanan dalam jumlah besar. Secara masal dan kolektif perempuan yang bertempat tinggal di sekitar rumah pemilik hajatan memasak makanan untuk disediakan kepada tamu yang datang. Aktivitas yang disebut sambatan ini bisa berlangsung mulai dari 3 sampai 7 hari berturut‐turut.

Perempuan yang datang disebut nyambat/rewang (menolong). Untuk aktifitas sosial yang dilakukannya itu dia tidak mendapat imbalan berupa uang karena bila nanti dia mempunyai hajat, tetangganya akan melakukan hal yang sama padanya. Sambatan dan Rewang merupakan kegiatan yang secara wajar diterima sebagai kerja perempuan terkait dengan aktivitas dapur sebagai tanggung jawab perempuan. Kegiatan ini terpola melalui ideologi pembagian kerja secara seksual yang beririsan dengan kepentingan tradisi. Sehingga perempuan tersosialisasikan untuk secara terus menerus memelihara pola pembagian kerja secara seksual di ruang publik tersebut.

49 Wa wa nc a ra d e ng a n Wa sing a tu Za kia h, p e ng urus Id e a , Ma re t 2008.