CATATAN DAN KESIMPULAN

BAB V CATATAN DAN KESIMPULAN

1. Penghargaan Itu Barang Yang Mahal

Dalam uraian di bab‐bab sebelumnya, bentuk dan model kerelawanan perempuan menunjukkan serangkaian strategi untuk mempertahankan hak akan hidup yang bermartabat setelah bencana. Ada banyak motif yang nampak, mulai dari kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan dalam jangka pendek seperti pada kasus dapur umum, hingga berbagi dukungan untuk kehidupan yang lebih baik seperti dalam model trauma healing. Begitu juga dalam cara yang dikembangkan, mulai dari cara yang personal dan sarat dengan persaudarian (sisterhood) sebagaimana nampak pada dapur umum, hingga harus menggunakan cara yang frontal dan konfliktual seperti dalam advokasi korupsi dana pembangunan kembali rumah.

Terhadap keragaman pola ini, persoalan pengakuan dan penghargaan terhadap kerja kerelawanan perempuan adalah salah satu isu kunci dalam kajian feminis tentang bencana. Bradshaw mengatakan, bahwa walaupun perempuan juga terlibat dalam kerja darurat dan bersih ‐bersih setelah bencana, seperti halnya laki‐laki, kerja perempuan mendapatkan

penghargaan yang lebih terbatas 55 . Sebagai contoh, di Nicaragua, hanya sebagian kecil laki‐laki yang mengaku bahwa perempuan tidak terlibat dalam aktivitas pada masa darurat, sementara beberapa menilai bahwa perempuan tidak terlibat dalam seluruh tahapan pasca bencana. Sebagian yang lain mengakui bahwa perempuan melakukan sesuatu, tetapi mereka tidak memberikan apresiasi atas kontribusi mereka. Sedangkan ketiadaan pengakuan terhadap peran tradisional peremuan bisa dimaknai bahwa pengakuan ini masih menganggap bahwa perempuan hanya sekedar membantu laki‐laki, daripada sebagai bentuk kontribusi perempuan

55 Bradshaw (2004), “Socio-Economic Impacts of natural Disasters : A Gender Analysis”, Manuales, Serie 32, GTZ-Cooperation Italiana-Naciones Unidas-CEPAL-Sustainable

Development and Human Settlements Division, Women and Development Unit, Santiago-Chile, May Development and Human Settlements Division, Women and Development Unit, Santiago-Chile, May

Ia juga menulis bahwa kebanyakan laki‐laki mengakui bahwa peran utama yang dimainkan perempuan hanyalah ketika mereka melakukan peran non tradisional. Sementara itu, Garcia mengatakan, bahwa persepsi kultural terhadap peran gender seringkali membuat kerja perempuan menjadi tidak nampak, dan bahkan menjadi sering didiskriminasi dalam program pasca bencana. Dalam banyak hal, ia mengutip yang dikatakan Fothergill, bahwa biarpun kontribusi perempuan sangatlah berarti, mereka tetap dianggap tidak sah dan tidak resmi.

Lantas, bagaimanakah penghargaan terhadap kerelawanan perempuan dalam situasi pasca bencana di Bantul. Beberapa responden, yang terdiri dari perwakilan perangkat pemerintah di tingkat lokal, anggota legislatif hingga beberapa aktivis LSM yang ditemui dalam riset ini mengatakan bahwa kerelawanan perempuan ini memang nampak dengan jelas. Hampir semuanya juga mengakui bahwa beberapa kerelawanan ini, dan terutama nampak jelas dalam kasus dapur umum, sangatlah berarti dalam menyelamatkan kehidupan komunitas. Namun, pada tingkat penghargaan, adalah menarik untuk mengkaji bahwa sebagian responden mengatakan bahwa ini adalah bentuk kerelawanan yang lumrah, natural dan sudah seharusnya dilakukan oleh perempuan. Lontaran seperti ’perempuan sudah seharusnya memasak’, atau ’memang apa istimewanya dengan dapur umum?’, beberapa kali ditemui peneliti dalam proses wawancara. Kesimpulan ini juga diperkuat dalam FGD yang melibatkan perwakilan komunitas, NGO dan pemerintah daerah.

Ini menunjukkan bahwa peran dan sekaligus juga kerelawanan perempuan yang dengan jelas menampakkan bentuknya, ternyata tak selalu diiringi dengan pengakuan yang setimpal sebagai balasannya. Padahal, urgensi sekaligus nilai dari kerelawanan perempuan untuk kerja reproduktif ini sungguh besar dan sangat berarti, sebagaimana diurai dalam bab 3 Ini menunjukkan bahwa peran dan sekaligus juga kerelawanan perempuan yang dengan jelas menampakkan bentuknya, ternyata tak selalu diiringi dengan pengakuan yang setimpal sebagai balasannya. Padahal, urgensi sekaligus nilai dari kerelawanan perempuan untuk kerja reproduktif ini sungguh besar dan sangat berarti, sebagaimana diurai dalam bab 3

seperti rusaknya jalan ke sumber air 56 . Dan sebagaimana kondisi sebelum bencana dimana kerja reproduktif ini seringkali tidak dihargai, demikian pula halnya yang terjadi dalam situasi setelah bencana. Pandangan yang melihat bahwa tugas ini memang sudah seharusnya dilakukan perempuan, sebagai bagian dari peran gender yang diemban, membuat penghargaan akan kontribusi perempuan dalam aktivitas reproduktif menjadi tidak nampak. Padahal tanpa itu, keberlanjutan kehidupan komunitas akan menjadi taruhannya.

Pemahaman bahwa perempuan hidup dalam situasi yang tidak aman dan secara otomatis juga menjadi lebih rentan terhadap bencana, seringkali juga diikuti oleh stereotype atau anggapan yang minor dalam memandang perempuan ketika menghadapi bencana. Tetapi justru kebalikannya, pembagian kerja secara seksual bisa mendorong perempuan unuk secara proaktif mengambil tindakan untuk menyelamatkan kehidupan. Dalam situasi dimana komunitas terkena bencana, kerja kerelawanan perempuan yang tidak tampak, justru banyak membantu dalam mengorganisir masyarakat untuk perubahan sosial. Kontribusi yang mereka berikan pada pendapatan keluarga adalah sangat berarti ketika keluarga dihantam oleh bencana dan harus memulai segala sesuatunya dari awal. Di tingkat domestik, kerja perempuan mulai dari memasak, mencuci, menjahit, mengurus kebun dan mengurus rumah adalah kerja yang sangat penting. Tetapi, apakah perempuan menjadi korban ataukah menjadi pahlawan dalam situasi bencana, akan ditentukan ketika ketrampilan, pengetahuan, kapasitas dan jaringan perempuan diperhitungkan. Dan sayangnya, ini tak selalu didapatkan para perempuan ketika bencana terjadi di Bantul.

56 Bradshaw (2004), op.cit.

Dan begitu juga di ranah komunitas, minimnya penghargaan di beberapa tempat bahkan nampak lebih jauh dalam resistensi terhadap bentuk‐bentuk kerelawanan perempuan di ranah ini. Alih‐alih berharap akan adanya akses berupa keterlibatan dalam ruang‐ruang komunitas pasca bencana, kondisi di beberapa tempat justru menunjukkan kuatnya dominasi kultur dan kuasa patriarkhi dalam ruang‐ruang publik yang formal. Pengacuhan, ketidakterlibatan dan bahkan intimidasi menjadi respon yang diterima beberapa perempuan yang mencoba menerobos kebuntuan dan sekat gender dalam ruang‐ruang publik, seperti nampak dengan kuat dalam kasus Pokmas.

2. Mo d a l So sia l Be rna m a Ke re la wa na n

Walaupun berhadapan dengan isu minimnya penghargaan, tetapi riset ini menunjukkan begitu tanggap dan bersikukuhnya perempuan dalam melakukan kerja kerelawanan. Spirit altruisme untuk berbagi dan saling dukung dalam situasi krisis terlontar dari banyak perempuan yang menjadi responden riset ini. Dan lebih dari yang diperkirakan pandangan kaum misoginis, jaringan, ruang dan pola hubungan yang dimiliki perempuan ternyata bekerja dengan cepat dan efektif ketika gempa terjadi. Dalam situasi kemandegan sistem sosial yang ada, jaringan informal dan tidak nampak ini justru bekerja dengan sangat cepat dan juga terhubung dengan pihak yang cukup luas. Jaringan ini bekerja dan melengkapi ruang ‐ruang formal perempuan yang sudah ada sebelumnya, seperti PKK dan posyandu.

Sebagaimana nampak dalam bab 4, ruang‐ruang produksi kerelawanan perempuan menunjukkan beragamnya tipe modal sosial yang terbangun dan bekerja dalam situasi bencana. Walaupun ada beberapa perkecualian seperti nampak dalam kasus dapur umum yang hanya menjadi kepanjangan dapur domestik, modal sosial baik dari tipologi bonding, bridging dan linking bekerja dengan baik di beberapa dapur umum sekaligus posko yang dibangun masyarakat.

Begitu juga dalam kerelawanan ketika fase rehabilitasi‐rekonstruksi. Di tengah guncangan gempa bagi sektor produktif, dukungan dan keterikatan sesama perempuan usaha kecil menunjukkan dimensi bonding yang kuat, dan begitu juga aspek linking dengan aktor luar bernama LSM yang bekerja untuk pemulihan ekonomi. Namun, dimensi bridging dalam kasus ini tidak nampak dengan kuat, karena tarikan berupa keengganan dan ketiadan dukungan dari warga lain yang bukan pengrajin dan bahkan sebagian pengrajin dengan karakter usaha yang berbeda, ditemui dalam riset ini.

Dalam fase yang sama, kerelawanan perempuan dalam program pembangunan kembali rumah juga menunjukkan aspek linking yang mulai terbangun. Peran ini sebetulnya krusial di tengah tekanan yang diterima perempuan, tetapi pengelolaan dukungan yang tidak cukup terkelola membuat masalah kunci yang dihadapi tidak terselesaikan.

Beberapa ilustrasi dan analisis yang diurai dalam bab sebelumnya menunjukkan beberapa keberhasilan intervensi dan pengelolaan modal sosial, dan sekaligus juga beberapa kegagalan yang masih nampak. Ke depan, pihak‐pihak yang bekerja dalam situasi bencana tampaknya perlu menggali lebih dalam kajian tentang dimensi modal sosial dalam merespon kerelawanan perempuan. Pelajaran dari beberapa keberhasilan menunjukkan bahwa kerelawanan perempuan adalah modal berharga untuk penyelamatan komunitas dalam situasi krisis. Tetapi pelajaran dari kegagalan pengelolaan menunjukkan bahwa tantangan dan kendala bukanlah alasan untuk mematikan kerelawanan perempuan. Di sini, strategi dan taktik yang lebih jitu diperlukan, sebagaimana upaya mempengaruhi dan menggalang dukungan banyak pihak juga tak boleh dilupakan. Proses memperjuangkan inilah yang tampaknya masih perlu dilakukan, dan yang pasti, ini bukan proses yang mudah untuk dilakukan walaupun tentu saja tak mustahil untuk diwujudkan.