1. Kerja Produktif : Yang Kecil Namun Subtil

IV. 1. Kerja Produktif : Yang Kecil Namun Subtil

Dampak langsung dari bencana juga menunjukkan kecenderungan terkait dengan peran gender dalam kerja produktif. Di Nicaragua, data di Social Audit yang dilakukan pada Februari 1999 menunjukkan bahwa sebagai dampak dari badai Mitch, sebanyak 24% rumah tangga kehilangan sumber pendapatannya, dimana mayoritas diantara mereka adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan. Datanya juga menunjuk 32% keluarga petani yang kepala rumah tangganya perempuan tidak bisa bertanam pada tahun berikutnya, sementara rumah tangga dengan kepala rumah tangga laki‐laki hanya 23%. Riset yang dilakukannya tahun 2000 juga menunjukkan perubahan dalam aktivitas produktif perempuan sebelum dan setelah bencana. Datanya menunjukkan bahwa 33% perempuan kepala keluarga tetap bekerja dalam pertanian setelah Mitch, sementara hanya 20% perempuan dalam keluarga dengan kepala rumah tangga laki‐laki yang meneruskan menjadi petani. Dengan kata lain, badai Mitch

mengurangi ringkat partisipasi perempuan dalam kerja di area pedesaan 41 . Begitu juga dengan gempa, yang membuat banyak kerusakan dan kerugian. Bagi petani,

sawah tidak bisa digarap karena saluran irigasinya rusak terkena gempa. Akibatnya, petani menganggur. Begitu juga dengan pengrajin aci seperti Bu warsinah dan banyak perempuan dusun Nangsri, Srihardono, Pundong, peralatan gerabah yang dipergunakan untuk membuat tepung aci hancur karena terkena reruntuhan rumah. Akibatnya, selama setengah tahun setelah gempa, praktis mereka tidak bekerja dan tidak memperoleh pendapatan. Lantas, bagaimana mereka menyambung hidup? Selain dari bantuan yang saat itu masih banyak mereka terima, mereka juga menjual asset yang dimiliki. Menurut Bu War :

...”Selama setengah tahun pasca gempa, kami menjual 6 ekor kambing, satu demi satu, kalau sedang membutuhkan uang. Kambing ini memang sengaja kami sisihkan dari penghasilan ...”Selama setengah tahun pasca gempa, kami menjual 6 ekor kambing, satu demi satu, kalau sedang membutuhkan uang. Kambing ini memang sengaja kami sisihkan dari penghasilan

Selama waktu tersebut, waktu dan tenaga yang mereka miliki tercurah untuk membersihkan rumah dari puing‐puing, menyelamatkan bagian dan material bangunan rumah yang bisa dipergunakan kembali, dan membangun rumah sementara selain tetap terlibat dalam aktivitas kemasyarakatan.

Lantas, apa saja bentuk‐bentuk kerelawanan dalam kerja di sektor produktif? Salah satu bentuk kerelawanan dalam kerja produktif adalah memulihkan kembali usaha sambil menghidupkan organisasi pengrajin, seperti yang dilakukan pengrajin tepung aci di Srihardono. Gempa memang sempat membuat usaha mereka terhenti, karena sarana produksi banyak yang hancur bersama dengan keruntuhan rumah mereka. Sambil menghidupkan kembali usaha, mereka merumuskan masalah dan solusinya, serta berbagi sumber daya dan informasi melalui organisasi, sebagaimana yang dilakukan perempuan pengrajin tepung aci ini. Buat perempuan yang sebelumnya hanya terlibat dalam urusan kerja domestik dan kegiatan seputar pembuatan tepung aci dan produk turunannya, kegiatan berorganisasi sebelum bencana belum banyak dilakukan.

Menurut cerita Bu Warsinah, sebelum bencana, organisasi pengrajin dikampungnya justru beranggotakan laki‐laki yang istrinya menjadi pengrajin aci. Hal ini juga dibenarkan oleh Pak Asy’ari yang merupakan suami Bu warsinah, yang mengatakan inilah salah satu penyebab mandegnya kelompok pengrajin aci. Kebetulan pada waktu itu, beberapa saat sebelum gempa terjadi, ada mahasiswa KKN sebuah universitas dikampungnya yang memfasilitasi transfer organisasi pegrajin ke ibu‐ibu yang sebetulnya memang menjadi pengrajin. Bagaimana perasaan ibu‐ibu waktu itu? Bu Warsinah mengatakan :

...’Wah ya pada awalnya banyak yang takut, ya pesimis lah. Wong kami nggak pernah punya pengalaman berorganisasi, ya masak bisa tho, ngopeni kelompok? Tapi ya walaupun ada rasa sedikit takut dan bingung karena tak punya bayangan, ya tetap kami terima....”

Sayangnya, belum sempat berjalan, gempa kemudian terjadi, dan denyut organisasi beranggotakan kaum perempuan ini kembali mati suri dan digantikan kesibukan menata kehidupan pasca bencana.

Tetapi, dibalik bencana, tak selamanya kerugian dan kemunduran yang terjadi, karena bisa jadi terdapat hikmah di sebaliknya. Begitu juga dengan kelompok perempuan pengrajin aci yang kemudian berhubungan dengan IHAP –sebuah NGO perempuan‐ dalam program pemulihan ekonomi. Dalam hal ini, Bu War kembali menuturkan bahwa walaupun ia menjadi menjadi ketua kelompok, tetapi keputusan penting selalu diambil secara musyawarah. Sebagai pengurus bersama dengan anggota pengurus yang lain, menurutnya ia hanya menjalankan keputusan anggota, apalagi karena dalam kelompok juga ada aturan mainnya.

Yang juga penting adalah kegiatan pengadaan kembali faktor produksi dengan dukungan program ekonomi, yang bersama dengan dorongan ke arah mekanisme kolektif dengan menghidupkan kembali kelompok pengrajin menguatkan proses dan kerja produktif yang dilakukan oleh masyarakat. Bu Warsinah mengatakan :

...”Program dari LSM memungkinkan kami membeli kembali peralatan untuk membuat aci yang rusak kena gempa. Selain itu, dengan proses kelompok yang sebelumnya macet dan didorong oleh mereka, usaha kami menjadi lebih cepat bangkit. Memang kalau keahlian seperti membuat tepung aci sudah kami miliki, tetapi ketrampilan seperti manajemen dan administrasi, dan bagaimana menyiasati bahan baku dan pemasaran yang mereka ajarkan, membawa banyak manfaat untuk kami..”

Perjalanan setahun mengelola kelompok pengrajin menunjukkan hasil yang berbeda antar dusun. Dalam pemetaan masalah, teridentifikasi isu ketergantungan modal dan bahan baku kepada tengkulak yang menjadikan pengrajin tak ubahnya buruh dengan catatan hutang yang tidak sedikit. Masalah ini adalah salah satu masalah kunci yang diidentifikasi kelompok pengrajin di dusun Nangsri. Ketika kemudian muncul bantuan stimulan permodalan, mereka mengalokasikan lebih dari separuhnya untuk memutus rantai ketergantungan tersebut. Caranya?

...”Ketika stimulan dana turun, kami menyisihkan separuh lebih diantaranya untuk membeli bahan baku dalam jumlah banyak. Ini membuat kami tidak tergantung lagi kepada suplai bahan baku dari tengkulak. Begitu juga ketika menjual produknya, kami jadi lebih bisa menentukan harga dan ini jauh lebih menguntungkan....”

Bagaimana awal mula persoalan ketergantungan bahan baku untuk usaha ini terjadi? Sudah sejak tahun 80‐an, mereka tergantung kepada supply bahan baku dari juragan ketela – begitu mereka menyebut‐ yang juga warga dusun sebelah mereka. Dahulunya, mereka mengambil bahan baku berupa ketela pohon mentah dari pasar Telo, di daerah Karangkajen yang berjarak sekitar 25 km dengan naik sepeda. Tetapi sekarang, mereka mengandalkan supply dari juragan karena lebih dekat dan lebih murah. Dari pasar Telo, bilamana barang dagangan tidak laku, barulah dilempar ke pengrajin dan itupun hanya ketela sisa yang tidak laku dijual untuk keperluan gorengan dan bahan baku makanan.

Apa perbedaan akses bahan baku sebelum dan sesudah ada kelompok? Mereka mengatakan bahwa dengan kelompok, harga bahan baku menjadi lebih murah karena volume pembelian yang lebih banyak dan dibayar secara cash. Keuntungan selisih harga inilah yang kemudian dimasukkan sebagai kas kelompok. Selain itu, ketika masuk program pemulihan ekonomi yang dibawa oleh LSM, kelompok ini menyepakati untuk mengalokasikan 70% dari modal kelompok untuk pengadaan bahan baku, sementara sisanya sebanyak 30% yang diputar untuk simpan pinjam. Pilihan ini didasarkan pengalaman di masa yang lalu, bahwa simpan pinjam berisiko tinggi macet sehingga hanya sedikit yang diputar. Juga karena kebutuhan akan bahan baku menjadi kebutuhan bersama yang dianggap penting. Walaupun begitu, mereka tidak serta merta memutus hubungan dengan jurangan ketela di dusun mereka, melainkan membeli langsung dari supplier sebagian dan sebagian yang lain tetap membeli ke juragan, walaupun membeli langsung dari supplier sebetulnya lebih murah. Ketika hal ini ditanyakan, mereka mengatakan bahwa ini justru untuk meminimalkan risiko, bila suatu waktu tak lagi bisa membeli dalam jumlah banyak ke supplier, maka juragan masih bisa menjadi pemasok bahan baku. Bila langsung diputus, mereka khawatir juragan akan marah, tidak mau memberi ketela atau memberi dengan harga yang tinggi, dan akibatnya akan merugikan usaha mereka.

Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengelolaan usaha berbasis kelompok adalah tidak semua pengrajin menyambut baik berdirinya kelompok. Dari 27 pengrajin yang diundang, 4 orang diantaranya tidak memenuhi undangan dan kemudian tidak menjadi anggota kelompok, dan ini sudah diperkirakan sebelumnya. Hal ini karena dalam kegiatan kemasyarakatan yang lain, mereka juga relatif enggan untuk menyisihkan waktu dan perhatian untuk aktivitas komunal. Satu diantara mereka ini justru pengrajin besar, dengan omset sehari sekitar 1 ton ketela mentah sebagai bahan baku, dan yang lain adalah tetangga dekat yang terpengaruh oleh mereka. Sebagai pembanding, Bu War saja hanya mampu mengolah sekitar 2 kuintal ketela mentah. Keengganan ini juga nampak antara lain mereka enggan berbagi akses ke bahan baku dan sarana penunjang usaha yang lain.

Kendala yang lain, selain warga yang sehari‐harinya bekerja sebagai pengrajin, mereka juga menghadapi kondisi di mana hampir semua pengrajin aci musiman, yang hanya membuat aci dimusim kemarau, tidak menjadi anggota kelompok.

....”Ketidaksertaan mereka dalam kelompok seringkali merugikan kami. Soalnya, ketika berhadapan dengan tengkulak, mereka cenderung membanting harga supaya hasil kerja mereka cepat terjual. Ini beda dengan kami, karena kami sering menyimpan tepung aci ketika harga jatuh, dan baru menjual lagi ketika harga kembali naik di musim hujan....”

Menurut Bu war, keberadaan pengrajin musiman di luar kelompok dengan ’kelakukan’ membanting harga inilah yang menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi pengrajin saat ini.

Begitulah dengan caranya, perempuan mengambil langkah untuk menghidupkan kembali usaha dan basis ekonomi produktifnya. Dengan cara yang khas perempuan, yang komunal dan berbasis sumber daya kolektif, mereka tak hanya membuat usahanya yang sempat ambruk karena gempa bisa bangkit kembali. Lebih jauh, mereka bahkan menjadikan bencana sebagai momentum untuk perbaikan kehidupan dengan memutus rantai eksploitasi oleh tengkulak terhadap usaha mereka.

IV.2. Yang Tercecer dari Pembangunan Kembali Rumah

Di sini, catatan penting yang muncul adalah terkait dengan keterlibatan kelompok rentan dalam program pembangunan kembali rumah pasca gempa, yang menunjukkan masih adanya lubang dalam hal partisipasi publik. Salah satunya adalah ketiadaan aturan secara eksplisit tentang keterlibatan perempuan dalam kelompok masyarakat (Pokmas) sebagai organ inti pelaksanaan pembangunan rumah yang menurut pemerintah adalah model yang partisipatif. Aturan yang dimaksud disini adalah Pergub No 23 tahun 2006 tentang Petunjuk Operasional (PO) Rehab Rekons Pasca Gempa di DIY. Ketiadaan aturan ini, membuat rendahnya keterwakilan perempuan dalam organ pelaksana pembangunan kembali rumah di banyak dusun. Sebagai catatan, setelah gempa, pemerintah pusat mengucurkan dana pembangunan kembali rumah yang hancur melalui mekanisme pokmas untuk pengelolaan dana dari APBN ini.

Dalam situasi rendahnya keterwakilan perempuan dalam kelembagaan Pokmas ini, potensi peminggiran suara dan sekaligus juga kebutuhan perempuan memang terjadi. Di Imogiri, kondisi ini nampak dari penuturan Mbak Siti, yang menuturkan praktek pelaksanaan pembangunan kembali rumah didusunnya.

....Walau rumah kami rusak, nama kami dicoret dari daftar nama penerima dana pembangunan rumah 42 yang diajukan dusun, bersama dengan tujuh nama lain di RT saya. Beberapa orang yang rumahnya tidak rusak tetapi merupakan tokoh atau orang berada justru masuk daftar. Setelah itu, dalam pencairan dana tahap ketiga, penerima dana yang dibagikan ternyata berbeda dengan yang tertera dalam daftar. Beberapa nama lagi‐lagi dicoret, bahkan yang janda dan rumahnya benar‐benar rusak. Yang menerima juga dipotong, katanya shodaqoh, sebesar Rp 5 juta per keluarga dari total dana Rp 15 juta yang seharusnya mereka terima...”

Peminggiran perempuan dalam program‐program pembangunan kembali rumah memang sangat mungkin terjadi, terlebih dalam program tanpa design khusus. Hal ini juga terkonfirmasi dalam pembangunan kembali pasca badai Mitch dimana keluarga dengan kepala Peminggiran perempuan dalam program‐program pembangunan kembali rumah memang sangat mungkin terjadi, terlebih dalam program tanpa design khusus. Hal ini juga terkonfirmasi dalam pembangunan kembali pasca badai Mitch dimana keluarga dengan kepala

perempuan 43 . Di Bantul, apakah hanya keluarga dengan kepala keluarga perempuan yang menerima

dampaknya? Tampaknya tak hanya itu, karena peminggiran suara perempuan secara umum bisa terjadi dalam banyak keluarga, bahkan ketika mereka mendapatkan dana dalam program pembangunan kembali rumah. Bentuk‐bentuk seperti pengabaian terhadap area servis yang menjadi ruang perempuan, dalam bentuk design yang tidak ramah atau tanpa dilengkapi akses memadai bilamana terjadi bencana, bisa menjadi bentuk lain bencana gender dalam hal ini. Dapur misalnya, karena seringkali dipinggirkan dan dianggap tidak terlalu penting, seringkali diikuti dengan persoalan kualitas bangunan yang didapat. Karena tidak menjadi prioritas, maka bahan yang digunakan lebih rendah kualitasnya, dan ini bisa meningkatkan

keterpaparan terhadap risiko ketika terjadi bencana 44 .

Tetapi, tak semua perempuan memilih bersikap diam dalam situasi seperti itu. Siti, yang masih lajang dan berasal dari kalangan biasa menceritakan serangkaian upaya yang dilakukannya sebagai bagian dari memperjuangkan hak‐hak penyintas yang terabaikan, termasuk hak keluarganya di dalamnya.

43 Gomariz, 1999, sebagaimana dikutip oleh Buvinic, op.cit.

44 Fatimah, 2007a, op.cit

.......” Saya mengirimkan surat protes ke DPRD dan Bupati dan melaporkan kejadian pemotongan dana dan pencoretan nama dari daftar. Surat kami mendapat respon dan dusun kami didatangi tim dari pemerintah kabupaten. Tapi hingga hari ini, prosesnya belum selesai........”.

Langkah yang lebih jauh bahkan dilakukan oleh Mbak Endang yang tinggal di Piyungan. Merasa gerah dengan kelakukan beberapa perangkat lokal di tempatnya, ia juga melaporkan kasus pemotongan dan pencoretan nama kepada pemerintah kabupaten. Ketika petugas kabupaten datang, nama‐nama yang dicoret dimunculkan kembali dan dana pembangunan kembali rumah dicairkan sesuai dengan ketentuan. Tetapi setelah itu, masing‐ masing orang didatangi dan diminta potongan dengan beragam alasan.

........”Macem ‐macem lah alasannya. Katanya potongan Rp 1 juta dengan kerelaan untuk membangun jalan. Ada juga potongan untuk materai, untuk infaq. Mereka juga menekan warga supaya tidak membocorkan informasi kepada petugas pengawas yang datang. Tetapi akhirnya beberapa orang mengaku dan kemudian kepala desa ditegur oleh Bupati...”

Akhirnya uang dikembalikan dengan disaksikan Badan Pengawas Daerah (Bawasda), tetapi menurut warga ini hanyalah siasat untuk mengelabuhi pemerintah kabupaten. Beberapa saat setelah itu, perangkat yang nakal kembali bergerilya dan menagih ‘potongan’ dana. Melihat itu, maka kemudian ia melaporkan kasus ini ke Kjaksaan Negeri Bantul.

Tapi rupanya, upaya‐upaya yang dilakukan para perempuan tangguh di atas dalam melakukan pengawasan dan memperjuangkan hak masyarakat memang bukan jalan yang mulus dan mudah. Tindakan Mbak Endang dibalas perangkat yang melakukan pemotongan dengan memaksa warga untuk menandatangani surat pengusiran Endang dari dusun tempat dimana ia tinggal. Tetapi warga tak mau mengikuti ini sehingga ia masih tetap tinggal di dusun tersebut. Selain itu, bentuk tekanan yang lain adalah setiap malam, rumahnya selalu disatroni oleh orang tak dikenal. Sementara itu, Siti mengaku bahwa teror demi teror ia terima dalam beragam bentuk.

......” Saya diteror lewat sms, juga diancam kalau sampai pelakunya masuk penjara, kepala saya taruhannya. Orang tua saya tidak siap dengan kondisi itu, apalagi karena pelaku pemotongan ......” Saya diteror lewat sms, juga diancam kalau sampai pelakunya masuk penjara, kepala saya taruhannya. Orang tua saya tidak siap dengan kondisi itu, apalagi karena pelaku pemotongan

Belakangan, tekanan demi tekanan yang diterima membuatnya lebih banyak diam. Dalam kultur masyarakat yang patriarkhis, perempuan yang diam adalah dianggap sebagai kelaziman, sementara perempuan yang sering mengajukan protes dihadapkan pada tekanan sistematis yang begitu kuat. Walau beberapa upaya ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, upaya menerobos kebuntuan dan memperjuangkan hak dalam situasi banyak tekanan, adalah bukti‐bukti tak terbantahkan akan kekuatan dan kerelawanan perempuan.