GENDER DALAM KERELAWANAN PEREMPUAN

V. GENDER DALAM KERELAWANAN PEREMPUAN

Dari beberapa ilustrasi model‐model kerelawanan perempuan di atas, beberapa hal menjadi pertanyaan yang penting untuk dijawab dalam riset ini. Beberapa pertanyaan tersebut adalah :

V.1. Ba g i Pe ra n : Ke se p a ka ta n a ta u Ke b ia sa a n?

Salah satu isu penting dalam analisa kerelawanan perempuan adalah melihat pembagian peran antara laki‐laki dan perempuan di dalam suatu komunitas. Bagaimana pembagian peran dalam pengelolaan dapur umum dan aktivitas masyarakat pada masa darurat? Pak Dukuh Nangsri mengatakan :

....”Setelah satu minggu, dibentuk posko per RT dan disinilah ibu‐ibu memasak di dapur umum secara berkelompok dengan pembagian jadwal yang disepakati bersama. Secara umum, perempuan sibuk di keluarga dan RT masing‐masing karena juga harus mengurusi anggota keluarga yang sakit atau cedera. Kalau bapak‐bapak tugasnya ya bersih‐bersih rumah...”

Begitu juga halnya dapur umum di Kadisoro, seperti yang diceritakan di atas, adalah ruang dimana kaum perempuan beraktivitas.

Nampak dalam banyak situasi, pembagian kerja berbasis gender, juga nampak dalam masyarakat pasca gempa. Walau menunjukkan beberapa perkeccualian seperti dalam posyandu di Nangsri, pembagian peran secara tradisional di antara laki‐laki dan perempuan masih tetap berjalan setelah bencana. Secara lengkap, pembagian ini nampak dalam tabel berikut ini :

Tabel 3.3

Kerelawanan dan Pembagian Peran Pasca Gempa

Aktivitas Laki ‐laki

Perempuan

Reproduktif Walau secara umum laki‐laki

Memasak, membersihkan

tidak terlibat dalam kerja

rumah, merawat anak

reproduktif, tetapi di

menjadi tugas yang

beberapa tempat mulai

dilakukan perempuan.

muncul keterlibatan dalam

Walaupun mulai ada contoh

pengasuhan anak, atau

kasus pelibatan laki‐laki

pengurusan rumah ketika

(suami) dalam kerja

perempuan pergi untuk

reproduktif, tetapi tanggung‐

aktivitas komunitas yang

jawab atas kerja reproduktif

muncul setelah gempa.

masih berada di pundak perempuan.

Produktif Laki ‐laki masih menjadi

Di level terbawah, beralihnya

tulang punggung utama,

peran pencari nafkah utama

tetapi dalam masa

keluarga ke tangan

pembangunan kembali

perempuan yang terjadi

rumah khususnya untuk

bersamaan dengan tanggung‐

kelas ekonomi terbawah,

jawab reproduktif, membuat

peran ini banyak dimainkan

beban ganda yang harus

oleh perempuan karena laki‐

dipikul perempuan. Walau

laki melaksanakan

belum sempat terkonfirmasi,

pembangunan rumah.

beban ini tidak dimunculkan secara kuat dan langsung oleh perempuan dari kelas beban ini tidak dimunculkan secara kuat dan langsung oleh perempuan dari kelas

Komunitas Ranah publik, terutama

Dalam ruang resmi,

dalam jalur resmi adalah

keterlibatan perempuan

wilayah laki‐laki. Program‐

minim, karena biasanya

program pemerintah secara

hanya berada di ruang yang

umum, yang berangkat dari

khusus untuk perempuan

asumsi ketiadaan problem

seperti posyandu dan PKK.

relasi gender yang harus

Tetapi mulai muncul inisiatif

diintervensi menjadi

tentang muncul dan

didominasi laki‐laki karena

terlibatnya perempuan dalam kultur budaya maskulin yang ruang publik. Namun inisiatif ada di masyarakat.

ini, khususnya yang muncul dalam jalur resmi seperti pokmas, mendapat banyak tantangan, kendala dan bahkan intimidasi. Pola ini berbeda dengan tantangan yang dihadapi oleh laki‐laki.

Munculnya inisiatif pelibatan laki‐laki dalam kerja reproduktif dan juga mendorong keterlibatan perempuan dalam area komunitas yang bukan hanya ruang untuk perempuan seperti posyandu dan PKK, ternyata banyak dipengaruhi oleh interaksi komunitas dengan lembaga kemanusiaan yang bekerja untuk kondisi pasca bencana. Keharusan pelibatan perempuan atau program khusus untuk perempuan dalam program mereka menjadi faktor pendorong mulai munculnya perempuan di area publik. Hal ini juga dikonfirmasi dalam FGD tentang Perempuan dan Kerelawanan yang diikuti baik oleh perwakilan masyarakat, pemerintah, ormas maupun NGO yang diselenggarakan pada tanggal 6 Februari 2008. Sayangnya, inisiatif ini tidak nampak dalam program‐program pemerintah, baik di tahap tanggap darurat maupun tahap rehabilitasi‐rekonstruksi. Dalam program ini, asumsi netral gender yang dipakai, menganggap bahwa tak ada masalah gender yang harus diintervensi, sehingga pendekatan ini mengasumsikan akan membawa manfaat yang sama baik bagi laki‐ Munculnya inisiatif pelibatan laki‐laki dalam kerja reproduktif dan juga mendorong keterlibatan perempuan dalam area komunitas yang bukan hanya ruang untuk perempuan seperti posyandu dan PKK, ternyata banyak dipengaruhi oleh interaksi komunitas dengan lembaga kemanusiaan yang bekerja untuk kondisi pasca bencana. Keharusan pelibatan perempuan atau program khusus untuk perempuan dalam program mereka menjadi faktor pendorong mulai munculnya perempuan di area publik. Hal ini juga dikonfirmasi dalam FGD tentang Perempuan dan Kerelawanan yang diikuti baik oleh perwakilan masyarakat, pemerintah, ormas maupun NGO yang diselenggarakan pada tanggal 6 Februari 2008. Sayangnya, inisiatif ini tidak nampak dalam program‐program pemerintah, baik di tahap tanggap darurat maupun tahap rehabilitasi‐rekonstruksi. Dalam program ini, asumsi netral gender yang dipakai, menganggap bahwa tak ada masalah gender yang harus diintervensi, sehingga pendekatan ini mengasumsikan akan membawa manfaat yang sama baik bagi laki‐

Namun, dari ilustrasi dimuka, juga nampak bahwa upaya menerobos sekat dan pembagian peran gender yang tegas tidak selalu berjalan mulus. Dalam kasus kontrol dana pokmas, sebagaimana pengalaman Mbak Siti yang diurai dimuka, tantangan yang dihadapinya menunjukkan betapa perempuan biasa seperti dirinya dianggap tidak pantas melakukan upaya kontrol perilaku korup yang dilakukan oleh (laki‐laki) penguasa. Aspek gender dalam intimidasi ini menunjukkan bahwa yang diresahkan penguasa setempat bukan hanya karena ketakutan terbongkarnya kasus korupsi dana, tetapi juga ditambah kegeraman bahwa hal ini dilakukan oleh seorang perempuan biasa seperti Mbak Siti. Resistensi terhadap gugatan konsep perempuan yang baik, pasrah dan nrimo dari kacamata male‐dominated society, ini begitu kuat dan mewujud dalam serangkaian tekanan, ancaman dan intimidasi yang muncul.

V.2. Akses dan Kontrol : Sebagian Tetap Tak Terjamah

Walaupun banyak contoh yang menunjukkan kerelawanan perempuan dalam bencana, dan juga tambahan kerja ekstra yang dilakukan perempuan, tetapi sayangnya ini tidak secara otomatis diikuti dengan pelibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Kondisi yang sama juga ditemukan di El Salvador, dimana perempuan mencatat perbedaan dalam tugas yang dilakukan oleh mereka dengan yang dilakukan oleh laki‐laki. Perempuan mendistribusikan bantuan darurat, tetapi keputusan tentang distribusi tetap saja di tangan laki‐ Walaupun banyak contoh yang menunjukkan kerelawanan perempuan dalam bencana, dan juga tambahan kerja ekstra yang dilakukan perempuan, tetapi sayangnya ini tidak secara otomatis diikuti dengan pelibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Kondisi yang sama juga ditemukan di El Salvador, dimana perempuan mencatat perbedaan dalam tugas yang dilakukan oleh mereka dengan yang dilakukan oleh laki‐laki. Perempuan mendistribusikan bantuan darurat, tetapi keputusan tentang distribusi tetap saja di tangan laki‐

proses pengambilan keputusan 45 .

Bagaimana dengan kondisi di Bantul? Ada banyak pengalaman yang sedikit berbeda, karena dalam situasi macetnya pranata negara dalam situasi darurat, banyak perempuan yang justru mengambil posisi dan mencuri start dengan tampil kemuka dalam mengatasi masa krisis. Pengalaman Bu Wanti dan teman‐teman di Kadisoro, sebagaimana pengalaman Mbak Siti yang menjadi satu‐satunya koordinator posko dusun yang perempuan, menunjukkan tampilnya latent leader perempuan yang tangguh dan tanggap mengatasi situasi darurat.

Walau begitu, ini tidak terjadi di semua tempat, sebagaimana menurut penuturan Pak Dukuh Nangsri, kepengurusan posko yang mengatur jalur masuk dan distribusi bantuan, hampir semuanya laki‐laki. Dan pola ini terulang kembali dalam fase rehabilitasi dan rekonstruksi, dimana peminggiran perempuan dari akses dan apalagi kontrol terhadap pengambilan keputusan dan pengelolaan sumber daya khususnya di area publik nampak dengan kuat. Dan ini terjadi di banyak tempat, bahkan tempat dimana pada masa tanggap darurat, perempuan telah maju ke muka. Hal ini terjadi secara sistematis karena kebijakan pemerintah yang mengatur pembangunan kembali rumah dalam fase ini justru membawa dampak berupa pengabaian sistematis perempuan dari area publik. Walau begitu, sebagaimana diungkap dalam sub bab dimuka, inisiatif yang dilakukan perempuan disini, juga perlu dilihat dan diukur kontribusinya untuk akses, kontrol dan manfaat yang adil dan setara.

Lantas, bagaimana dengan area produktif, dan korelasinya dengan area komunitas/publik? Adagium lain yang juga banyak dipakai adalah bahwa penguatan ekonomi perempuan secara otomatis akan memperkuat posisi tawar perempuan. Dalam banyak ilustrasi dimuka, mulai meningkatnya posisi tawar perempuan yang secara ekonomi dan sekaligus juga publik mulai nampak seperti kasus pengrajin tepung aci, ternyata masih dihadapkan pada akses dan terlebih lagi kontrol yang terbatas, untuk area strategis berupa pengambilan

45 Bradshaw, ibid.

keputusan. Tentang ini, Wawan dari IHAP yang mendampingi ibu‐ibu pengrajin aci ini mengatakan bahwa walau sudah mulai menunjukkan bukti, tetapi masih banyak keputusan strategis yang tereksklusi dari jangkauan perempuan. Ia mengatakan :

.....”Ibu ‐ibu menunjukkan bahwa keputusan strategis seperti memutuskan ketergantungan kepada tengkulak bisa mereka ambil dan ini berjalan dengan baik. Tetapi tak semua keputusan strategi bisa mereka pengaruhi. Contohnya adalah dalam hal pembangunan kembali rumah, bahkan di level rumah tangga mereka masing‐masing, mereka hampir tidak pernah terlibat. Wilayah ini praktis didominasi laki‐laki...”

Tampaknya, kesetaraan tak hanya dalam akses tetapi juga dalam kontrol sumber daya masih menjadi catatan bahkan bagi perempuan yang menghasilkan pendapatan bagi keluarga.

Secara singkat, peta akses dan kontrol serta manfaat dalam pengelolaan bencana di Bantul nampak dalam tabel berikut ini :

Tabel 3.4. Peta Akses dan Kontrol

Aktivitas Akses Kontrol

Reproduktif Mengacu kepada pembagian

Begitu juga dengan kontrol

peran gender maskulin, maka

terhadap area ini, ada di

ini adalah ruang yang menjadi

tangan perempuan. Masuknya

wilayah perempuan.

laki ‐laki dalam area ini tidak

Munculnya keterlibatan laki‐

terlalu berpengaruh kepada

laki adalah indikasi menarik,

kontrol pilihan dalam area

tetapi secara umum masih

reproduktif

menjadi wilayah perempuan. Produktif Hampir di semua wilayah,

Walaupun perempuan juga perempuan dan laki‐laki sama‐ terlibat dalam aktivitas sama terlibat dalam kerja

produktif, kontrol terhadap

produktif. Di kelas terbawah,

pengelolaan dan kepemilikan

akses dan keterlibatan ini

sumber daya belum

bahkan relatif sama. Ini juga

sepenuhnya bisa dimasuki sepenuhnya bisa dimasuki

perempuan. Kepemilikan asset bencana. kebanyakan masih ditangan laki ‐laki.

Komunitas Akses perempuan relatif

Kontrol di area, kecuali yang

terbatas, kecuali di ruang

diruang khusus perempuan,

khusus perempuan seperti