FAKTOR ‐FAKTOR YANG PENDORONG KERELAWANAN PEREMPUAN

II. FAKTOR ‐FAKTOR YANG PENDORONG KERELAWANAN PEREMPUAN

Sejumlah faktor yang mendorong kerelawanan perempuan merupakan faktor psikologis dan sifatnya sangat personal. Pencapaian atas rasa nyaman dan aman bagi diri sendiri, pemenuhan eksistensi sebagai perempuan sekaligus ibu bagi sosial merupakan bagian dari faktor ‐faktor personal tersebut. Kebutuhan atas rasa nyaman dan aman bagi diri sendiri di tengah situasi bencana merupakan bagi setiap orang yang berada di tengah krisis bencana. Namun tidak banyak yang memilih keluar dari situasi ini. Pengalaman Gempa di Bantul juga menunjukkan bagaimana relawan komunitas memilih untuk bergerak menolong sesamanya di tengah kepanikan, tangis dan putus asa yang melanda sebagian besar warga masyarakatnya. Dengan melakukan sesuatu yang bermakna bagi sesama sesungguhnya relawan komunitas tengah mencari makna dirinya ditengah situasi bencana yang memposisikan manusia kembali ke ”titik nol”.

Dengan menjadi relawan di komunitasnya, perempuan menjadi subyek yang aktif untuk mengetahui informasi mengenai situasi sosial dan alam yang tengah berubah. Perempuan yang menjadi relawan komunitas lebih mudah untuk mengadaptasikan dirinya sehingga dia terkurangi kerentanannya atas dampak bencana. Potret kerelawanan perempuan di komunitas merupakan potret yang berbeda dengan potret ”kepasrahan” perempuan. Kisah‐kisah kepasrahan manusia atas dampak bencana merupakan kisah yang umum terjadi di setiap bencana. Banyak perempuan mauun laki‐laki yang masih terus menangis, meratapi keadaannya bahkan tenggelam dalam trauma. Potret tengahan dari bangkit dari ke‐pasrah‐an adalah ketika perempuan‐perempuan memulai lagi usaha‐nya dan inilah cerita yang banyak terjadi di Bantul. Di tengah carut marut dunia fisik dan sosial, beberapa perempuan memulai lagi geliat ekonominya. Sedikit atau banyak usahanya tersebut menjadi inspirasi bagi banyak perempuan lain untuk bangkit memandirikan dirinya. Sementara itu, dalam jumlah yang lebih sedikit sejumlah perempuan bekerja untuk kepentingan komunitasnya. Mereka bukanlah perempuan yang tidak butuh makan, namun panggilan hati mereka untuk mengurangi Dengan menjadi relawan di komunitasnya, perempuan menjadi subyek yang aktif untuk mengetahui informasi mengenai situasi sosial dan alam yang tengah berubah. Perempuan yang menjadi relawan komunitas lebih mudah untuk mengadaptasikan dirinya sehingga dia terkurangi kerentanannya atas dampak bencana. Potret kerelawanan perempuan di komunitas merupakan potret yang berbeda dengan potret ”kepasrahan” perempuan. Kisah‐kisah kepasrahan manusia atas dampak bencana merupakan kisah yang umum terjadi di setiap bencana. Banyak perempuan mauun laki‐laki yang masih terus menangis, meratapi keadaannya bahkan tenggelam dalam trauma. Potret tengahan dari bangkit dari ke‐pasrah‐an adalah ketika perempuan‐perempuan memulai lagi usaha‐nya dan inilah cerita yang banyak terjadi di Bantul. Di tengah carut marut dunia fisik dan sosial, beberapa perempuan memulai lagi geliat ekonominya. Sedikit atau banyak usahanya tersebut menjadi inspirasi bagi banyak perempuan lain untuk bangkit memandirikan dirinya. Sementara itu, dalam jumlah yang lebih sedikit sejumlah perempuan bekerja untuk kepentingan komunitasnya. Mereka bukanlah perempuan yang tidak butuh makan, namun panggilan hati mereka untuk mengurangi

Faktor lain yang mendorong perempuan untuk bergerak acapkali berada di luar kesadaran mereka. Mereka menyatakan dengan bahasa sederhana ”kalau tidak perempuan ya siapa lagi,” itulah sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Kantor Pemberdayaan Perempuan Propinsi DIY. Beliau yang juga adalah kader kesehatan merasa kerelawanan sudah merupakan bagian yang biasa di ”timpa”kan kepada perempuan. Cara pandang ini sebenarnya berakar dari ideologi perempuan sebagai ibu rumah tangga yang selalu di sosialisasikan dalam program‐program pokok PKK. Perempuan dibiasakan untuk tidak bisa tutup mata atas realitas sosial, untuk tidak berhitung dengan besaran energi yang harus mereka keluarkan, untuk tidak menuntut penghargaan apapun atas keberhasilan kerja sukarela mereka.

Melalui proses ”terbiasa” menjalankan kerja‐kerja pelayanan masyarakat perempuan‐ perempuan relawan menjadi tidak gugup ketika harus melakukan kerja kerelawanan pada masa bencana. Meski secara umum situasinya berbeda dengan kondisi keseharian, namun para perempuan ini tidak mengalami banyak kendala. Akar alasannya adalah karena para perempuan ini terbiasa untuk bekerja dalam situasi dimana tidak ada support dan dorongan yang memadai baik dari negara mapun pejabat pemerintahan terkecil. Mereka terbiasa mengembangkan mekanisme spontanitas dan berinivasi dalam keterbatasan fasilitas. Sehingga tidak mengherankan, ditengah kemacetan birokrasi pemerintahan dari pusat sampai dusun, para perempuan dusun ini telah siap untuk memulai lagi kegiatan Posyandu. Di Bantul, aktivitas pembangunan yang paling cepat bangkit adalah Posyandu yang digerakkan oleh kader ‐kader kesehatan yang notabene adalah perempuan‐perempuan relawan.