MODAL SOSIAL KERELAWANAN PEREMPUAN

C. MODAL SOSIAL KERELAWANAN PEREMPUAN

Menurut Putnam, modal sosial merujuk kepada ciri‐ciri organisasi sosial sepeti jaringan, norma dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan bersama (Putnam 1995,67). Merujuk pada penelitian mengenai modal sosial dan gender di Afrika tahun 1993‐1998 (John A. Maluccio, lawrence Haddad and Julian May 2003 hal 147), penelitian ini menemukan hasil yang serupa. Jaringan sosial dapat diklasifikasi dalam dua tipe : the individual’s bound network, di dalamnya terdapat saudara yang terhubung dengan kewajiban yang kuat berdasarkan peran kekerabatan, dan the achieved network termasuk seluruh kontak personal yang diperoleh bukan melalui kelahiran dan jaring kekerabatan melainkan melalui pengalaman. Di dalamnya terdapat jaring personal yang berbasiskan pengalaman lama, keanggotaan dalam lembaga dan organisasi berbasis komunitas. Jaring personal tipe kedua ini sering menjadi dasar dari saling tolong menolong yang berbasis kesukarelawanan antar individu.

Dua tipe jaringan di atas memenuhi fungsi yang berbeda. Bound network berguna untuk mengurangi mobilitas sosial ke bawah ketika terjadi kondisi yang mengguncang, sedangkan achieved network berguna untuk mobilitas sosial ke atas. bound network secara khusus sangat bermanfaat bagi perempuan, yang mana seringkali memikul beban atas situasi krisis lebih daripada laki‐laki, terutama untuk krisis konsumsi. Namun fenomena achieved network meluas kepada perempuan, terutama perempuan yang mempunyai pekerjaan di luar komunitasnya dan terlibat pada organisasi‐organisasi di luar komunitas. Hasil penelitian ini masih menunjukkan karakter khas dimana perempuan cenderung membangun kontak sosial kepada sesama perempuan, baik dalam komunitasnya maupun di luar komunitasnya. Kontak sosial itu bisa diiniasi dari dalam komunitas perempuan maupun dari kelompok perempuan di luar komunitas yang memiliki kontak di dalam komunitas penyintas. Sebagai contoh: PKK Provinsi DIY melakukan kerja paska bencana dengan membantu komunitas perempuan di 3

Kecamatan di Kabupaten Bantul 50 , perempuan anggota ormas KPI di Dusun Kadisoro meminta dukungan dari rekan‐rekannya di Kabupaten lain di Propinsi DIY untuk membantu komunitasnya.

Di bawah ini adalah ilustrasi bagaimana perempuan membangun modal sosial. Selain itu ditunjukkan juga bagaimana eksternalitas berperan dalam memupuk suburkan modal sosial perempuan. Pengambilan kisah sukses untuk tulisan ini berbasis pada inisiatif yang menunjukkan modal sosial sebagai element utama.

a. Kerjasama Internal Komunitas

Kerjasama internal komunitas yang bersifat kerelawanan merupakan kebudayaan yang lekat dengan masyarakat Jawa, terutama pedesaan. Kerjasama internal komunitas ini pun terdiferensiasi secara gender. Perempuan biasanya bekerjasama untuk urusan domestik seperti memasak untuk publik (sambatan/rewang dalam hajatan), kerjasama dalam pertukaran tenaga kerja pertanian, serta urusan afeksi yang sifatnya resiprositas (menjenguk orang sakit, menengok orang sakit atau hajatan). Sekalipun kerjasama itu merupakan tradisi, namun negara

telah melakukan kooptasi dengan dalih partisipasi 51 , semisal laki‐laki membangun gardu ronda dan perempuan memasak untuk logistik laki‐laki yang bekerja. Pola yang tersosialisasi secara kultural maupun secara struktural itu begitu membekas menjadi pagar konstruksi perempuan. Dengan dalih partisipasi pula perempuan dibiasakan untuk terlibat dalam kegiatan sosial kolektif tanpa mendapat imbalan material, kegiatan ini antara lain posyandu, kader kesehatan, PKK. Buah baiknya memang perempuan memiliki akses untuk bertemu dengan kawan sejawatnya, namun ini adalah benih dari kontrol sosial negara terhadap perempuan.

50 Wawancara dengan Sudjati Sunarto, pengurus PKK Propinsi DIY, sekarang menjadi anggota DPRD Proponsi DIY, Maret 2008

51 Mengenai kooptasi negara atas komunitas lebih lanjut lihat Bowen, John R (1986), “On the Political Construction of Tradition: Gotong Royong in Indonesia, The Journal of Asian Studies vol 45, no 3, (May

1986), pp. 545-561. Bisa diakses melalui: www.jstor.org/stable/2056530

Penelitian kami menunjukkan bahwa perempuan yang terbiasa dengan kerja sosial kolektif, perempuan yang terorganisir dalam kegiatan keperempuanan cenderung lebih peka dan tanggap untuk merespon kondisi bencana. Namun kami merasa harus berhati‐hati untuk tidak mengambil kesimpulan tergesa bahwa kepekaan perempuan itu adalah berkat konstruksi kultur dan struktur yang tidak adil. Bagaimanapun juga, kami lebih melihat faktor blessing in disguise dalam kebetulan itu, karena sesungguhnya gempa juga menunjukkan tanpa kendala kultur dan struktur, secara natural perempuan lebih bisa menunjukkan partisipasi dalam tataran yang lebih luas.

Produksi modal sosial dalam komunitas difasilitasi oleh struktur sosial dalam bentuk perkumpulan ‐perkumpulan sukarela, kegiatan sosial kolektif. Perempuan yang terbiasa terlibat dalam kegiatan dan perkumpulan‐perkumpulan memiliki kesempatan yang lebih untuk bertemu lebih banyak orang dan membangun relasi sosial yang lebih dalam dan menjadi lebih terlibat dalam kehidupan publik. Dalam relasi sosial semacam ini perempuan memupuk pengetahuan mereka tentang sistem sosial komunitasnya. Pengetahuan ini berguna sebagai dasar untuk merespon kondisi sosial yang berubah karena bencana. Perempuan‐perempuan yang terlibat dalam respon tanggap darurat gempa menyatakan bahwa mereka dengan cepat tanggap bahwa keadaan berubah. Bencana yang mengacaukan rutinitas sosial butuh disikapi dengan peka tanggap sekaligus tidak panik. Argumen yang dimunculkan perempuan‐ perempuan ini adalah ketika mereka panik maka siapa yang akan menolong kawan mereka yang telanjur panik. Sejumlah perempuan yang terlibat dalam distribusi bantuan bencana menunjukkan mereka lebih tahu kelompok mana yang lebih rentan dan memerlukan bantuan khusus, misal kelompok lansia, kelompok termiskin, dan anak‐anak.

Dapur umum merupakan contoh kerjasama internal komunitas yang paling tampak dan masif hampir di seluruh komunitas. Penelitian kami menemukan dapur umum pembentukannya bukanlah mengikuti semata naluri konsumsi manusia. Dapur umum pembentukannya juga dikonstruksi oleh penyintas untuk menyikapi sistem sosial masyarakat yang tengah berubah. Dapur umum merupakan representasi atas solidaritas pada sesama Dapur umum merupakan contoh kerjasama internal komunitas yang paling tampak dan masif hampir di seluruh komunitas. Penelitian kami menemukan dapur umum pembentukannya bukanlah mengikuti semata naluri konsumsi manusia. Dapur umum pembentukannya juga dikonstruksi oleh penyintas untuk menyikapi sistem sosial masyarakat yang tengah berubah. Dapur umum merupakan representasi atas solidaritas pada sesama

Temuan kami menegaskan bahwa perempuan‐perempuan yang menjadi pemimpin informal di dapur umum adalah perempuan yang terbiasa dengan perkumpulan sukarela dan kegiatan sosial kolektif. Pemimpin informal ini lah yang biasanya melakukan inisiasi pembentukan dapur umum, berstrategi untuk mendapatkan bantuan, mendistribusikan bantuan serta melakukan pembagian peran.

Dapur umum secara struktural berkait dengan keberadaan posko tanggap gempa. Secara umum posko ini tersegregasi dalam satuan wilayah yakni: dusun, RT, dasawisma. Posko menjadi ruang kolektif dimana aktivitas keseharian baik istirahat, rapat, belajar, mengumpulkan dan mendistribusikan bantuan, merawat orang sakit termasuk di dalamnya aktivitas memasak dalam dapur umum. Tidak terpisahnya posko tanggap gempa dan dapur umum melumernya ruang segregasi antara ruang laki‐laki dan ruang perempuan. Konstruksi ruang ini memungkinkan perempuan, anak‐anak dan kelompok marginal lain yang tak pernah terlibat dalam pembuatan kebijakan untuk terlibat dan didengar suaranya.

Dapur umum sebagai siasat partisipasi perempuan menemukan peran vitalnya ketika perempuan bisa terlibat dalam pembuatan kebijakan kolektif dan memastikan suaranya didengar. Sejumlah perempuan yang mengikuti rapat di posko tanggap gempa menceritakan bahwa mereka menemukan suasana hangat di mana bapak‐bapak mendengarkan suara mereka, serta menghitung peran vital ibu‐ibu dalam menjaga keberdayaan komunitas melalui keberadaan dapur umum.

Secara umum dapur umum menunjukkan menguatnya dimensi bonding social capital. Kebutuhan yang membesar atas rasa aman mendorong solidaritas internal komunitas. Mereka yang berkumpul bersama dalam dapur umum mengaku tak lagi ada batas satu sama lain, mereka berbagi sumber daya yang masih dipunya di rumah tangganya untuk kebutuhan Secara umum dapur umum menunjukkan menguatnya dimensi bonding social capital. Kebutuhan yang membesar atas rasa aman mendorong solidaritas internal komunitas. Mereka yang berkumpul bersama dalam dapur umum mengaku tak lagi ada batas satu sama lain, mereka berbagi sumber daya yang masih dipunya di rumah tangganya untuk kebutuhan

b. Potret Kerjasama Komunitas Perempuan Dengan Eksternalitas

Ketika gempa, penyintas merasa kehilangan kapasitas untuk mengatasi keadaan abnormal. Meski demikian inovasi untuk beradaptasi maupun siasat untuk keluar dari situasi krisis sering tidak tersolusikan oleh pemimpin formal. Banyak dari pemimpin formal yang justru patah menghadapi kondisi yang di luar hukum kebiasaan. Dalam situasi seperti ini, eksternalitas dengan lebih mudah masuk ke dalam komunitas. Agent‐agent pembangunan, baik pemerintah maupun organisasi non pemerintah lebih mudah diterima. Namun sayang, dalam penanganan gempa bumi Jogja, pemerintah tidak sigap dalam membuat kebijakan yang memudahkan rakyatnya untuk mengambil pilihan tindakan keluar dari situasi krisis. Bahkan aparat sebagai sebuah sistem birokrasi tidak bekerja dengan peka dan tanggap.

Potret umum kerjasama kelompok perempuan dengan eksternalitas

Catatan menarik justru ditorehkan masyarakat sipil baik sebagai kumpulan individu dan pada khususnya NGO (termasuk didalamnya LSM lokal maupun International NGO). Mereka dengan cepat memobilisasi sumber daya. Mereka tak jarang memainkan jaringan non formal untuk menembus sungkut sengkarut birokrasi yang turut diterpa gempa. Pernyataan ini dikuatkan oleh Johannes De Massinus Arus manager Genassist CRWCC, bahwa jalur informal melalui masyarakat cenderung lebih efektif selain juga mematahkan rantai korupsi oleh aparat Catatan menarik justru ditorehkan masyarakat sipil baik sebagai kumpulan individu dan pada khususnya NGO (termasuk didalamnya LSM lokal maupun International NGO). Mereka dengan cepat memobilisasi sumber daya. Mereka tak jarang memainkan jaringan non formal untuk menembus sungkut sengkarut birokrasi yang turut diterpa gempa. Pernyataan ini dikuatkan oleh Johannes De Massinus Arus manager Genassist CRWCC, bahwa jalur informal melalui masyarakat cenderung lebih efektif selain juga mematahkan rantai korupsi oleh aparat

Memang kondisi sinergi antara NGO dengan masyarakat, terutama perempuan dikuatkan juga dengan melonggarnya norma pembagian peran berbasis gender dalam situasi paska bencana. Pelonggaran itu dibuktikan dengan banyaknya perempuan yang muncul ke permukaan dan terlibat dalam pengambilan kebijakan publik. Namun pelonggaran itu bukan fenomena yang rata. Dalam beberapa kasus advokasi, justru sejumlah perempuan menuai badai ketika berusaha menembus ruang pengambilan kebijakan publik yang misoginis. Semisal

pengalaman advokasi hak dana rekonstruksi yang diperjuangkan oleh Siti dan Endang 52 . Ketika mereka berdua berusaha untuk terlibat dalam rapat‐rapat kelompok paksa, akses informasi kepada mereka bahkan ditutup dan mereka menerima hujatan, kecaman dan ancaman. Upaya mereka berdua yang tidak secara penuh berhasil melakukan advokasi kebijakan justru merupakan potret patriarki yang masih sangat kuat melampaui kapasitas perempuan untuk bergerak secara individual.

Dalam temuan kami partisipasi perempuan di dalam ruang pengambilan kebijakan formal tidak terjadi dengan otomatis. Bahkan tidak mudah terjadi bila hanya diserahkan kepada komunitas lokal. Ruang pengambilan kebijakan formal identik dengan ruang ”organisasi laki‐ laki.” Perempuan secara kebiasaan dikandangkan dalam ruang organisasi perempuan semisal PKK, Dasawisma, pengajian ibu‐ibu, kader Yandu, kader kesehatan dan tidak diberi ruang yang sama untuk masuk ke ruang organisasi ”laki‐laki.” kalaupun ada sejumlah perempuan yang terlibat dalam pengambilan kebijakan formal, mereka tidak diberi hak yang sama untuk

52 Penjelasan yang lebih mendatail tentang Siti dan Endang telah dituliskan dalam bab III, sub bab “Yang Tercecer dari Pembangunan Kembali Rumah” halaman 47. Profil Endang Maryani diakses melalui

wawancara serta Profil dalam Buletin Independen halaman 4, edisi III tahun 2007.

bersuara. Disitulah peran NGO menjadi penting dalam mendorong meningkatnya partisipasi perempuan sekaligus membuka celah bagi partisipasi perempuan. Siasat inilah yang tidak selalu dimainkan oleh NGO. Menurut Deddy Purwadi, Koordinator Lapangan Jejaring Ford Foundation (JFF) untuk penanganan gempa Jogja –sebuah jaringan yang bekerja di lima dusun pasca gempa dan beranggotakan 12 NGO‐, LSM yang tidak secara khusus menegaskan diri sebagai LSM perempuan masih lemah dalam memainsteaming‐kan gender ke dalam programnya. Kapasitas lembaga untuk mengarusutamakan gender ke dalam implementasi program juga dipengaruhi oleh sosok individu pemegang program maupun community organizer. Biasanya pemegang program dan community organizer perempuan relatif lebih peka terhadap permasalahan perempuan yang mereka temui di lapangan dibandingkan laki‐ laki.

Tekanan dari luar, petunjuk maupun intervensi seringkali diperlukan dan tentu saja dukungan sumber daya finansial, teknis serta dukungan kebijakan/peraturan juga sangat penting. Dalam situasi ketika perempuan terkendala secara legal maupun kultural dalam berpartisipsi, NGO memainkan peran sebagai pembuka katup, meski kunci dari terbukanya katub terdapat dalam komunitas itu sendiri. NGO bisa melakukan lobby‐lobby kepada elite lokal dan mengorganisir kelompok perempuan. Sehingga partisipasi perempuan dalam kelompok merupakan kunci untuk meningkatkan kontrol perempuan terhadap sumber daya, sekaligus memastikan mendapatkan manfaat dari partisipasinya.

Perempuan dimungkinkan juga untuk membuat jaringan formal dan informal untuk menanggulangi kondisi yang mengguncang dan juga untuk memastikan bahwa pandangan mereka diakomodasi terutama apabila tata aturan formal membatasi partisipasi mereka. Keluarga dan jaringan perkawanan mempunyai catatan sejarah sebagia penyedia jaminan sosial, namun memang tidak selalu memadai untuk golongan yang terlampau miskin, dalam kondisi alam yang mengguncang maupun terdapat perubahan luas yang meluluhlantakkan lembaga penyedia perlindungan tersebut. Perempuan yang tidak menjadi anggota formal dalam organisasi bisa jadi menggunakan cara informal untuk memastikan terpenuhinya Perempuan dimungkinkan juga untuk membuat jaringan formal dan informal untuk menanggulangi kondisi yang mengguncang dan juga untuk memastikan bahwa pandangan mereka diakomodasi terutama apabila tata aturan formal membatasi partisipasi mereka. Keluarga dan jaringan perkawanan mempunyai catatan sejarah sebagia penyedia jaminan sosial, namun memang tidak selalu memadai untuk golongan yang terlampau miskin, dalam kondisi alam yang mengguncang maupun terdapat perubahan luas yang meluluhlantakkan lembaga penyedia perlindungan tersebut. Perempuan yang tidak menjadi anggota formal dalam organisasi bisa jadi menggunakan cara informal untuk memastikan terpenuhinya

Pengalaman JFF mencatat sebuah pengalaman menarik dimana sebagian besar organisasi yang masuk dalam dusun mengambil perempuan sebagai beneficiaries, kader, anggota. Rifka Annissa sebagai LSM yang menaruh perhatian pada masalah perempuan mengambil perempuan sebagai kader, isu pokok yang mereka tangani adalah kekerasan berbasis gender dan kesehatan reproduksi. Begitupun ASPPUK sebagai asosiasi perempuan pengusaha kecil mengambil kelompok perempuan usaha kecil, mikro sebagai anggotanya. Perhimpunan IDEA meski tidak secara khusus menempatkan perempuan sebagai anggota kelompok namun mereka berusaha mengambil komposisi gender yang rata dalam kelompok belajar anggaran. KPI Wilayah DIY di satu dusun yang menjadi area programnya menegaskan affirmative action kepada perempuan sebagai beneficiaries program kredit rumah. Sementara LSM lain yang bergerak di program kredit rumah tidak menegaskan mengambil perempuan sebagai benefiaries.

Ketika LSM secara masif dan terkoordinasi masuk dalam dusun dengan mengambil perempuan sebagai subyek program terdapat perubahan komunitas dalam memandang perempuan. Pada tahap awal, perempuan mengalami kegamangan karena harus menegosiasikan aktivitas barunya kepada suaminya. Bahkan beberapa mengalami konflik peran gender. Siasat yang mereka lakukan untuk mendapatkan hak berkumpul biasanya dengan meminta tolong peer groupnya untuk menjemput sebelum berkumpul atau meminta tolong community organizer LSM untuk bertemu dengan suaminya. Perempuan‐perempuan yang terlibat dalam kelompok mengalami penambahan kapasitas dalam sejumlah isu perempuan. Bahkan sejumlah perempuan yang menjadi beneficiaries program rumah mengaku mendapatkan affirmasi dari suaminya. Suami mereka bersedia untuk berganti menjaga anak di rumah. Ketika kami melakukan FGD, mereka bercerita dengan penuh canda bahwa suami mereka sekarang jauh lebih pengertian dalam pembagian kerja rumah tangga karena sekarang mereka melihat perempuan juga bisa mencari hutangan untuk membangun rumah. Tentu saja Ketika LSM secara masif dan terkoordinasi masuk dalam dusun dengan mengambil perempuan sebagai subyek program terdapat perubahan komunitas dalam memandang perempuan. Pada tahap awal, perempuan mengalami kegamangan karena harus menegosiasikan aktivitas barunya kepada suaminya. Bahkan beberapa mengalami konflik peran gender. Siasat yang mereka lakukan untuk mendapatkan hak berkumpul biasanya dengan meminta tolong peer groupnya untuk menjemput sebelum berkumpul atau meminta tolong community organizer LSM untuk bertemu dengan suaminya. Perempuan‐perempuan yang terlibat dalam kelompok mengalami penambahan kapasitas dalam sejumlah isu perempuan. Bahkan sejumlah perempuan yang menjadi beneficiaries program rumah mengaku mendapatkan affirmasi dari suaminya. Suami mereka bersedia untuk berganti menjaga anak di rumah. Ketika kami melakukan FGD, mereka bercerita dengan penuh canda bahwa suami mereka sekarang jauh lebih pengertian dalam pembagian kerja rumah tangga karena sekarang mereka melihat perempuan juga bisa mencari hutangan untuk membangun rumah. Tentu saja

Dari Guncangan Ekonomi Menuju Lembaga Keuangan Perempuan

Ketika perempuan secara sosial maupun legal terkendala dalam kepemilikan aset, semisal tanah, rumah. Maka perempuan terpaksa mengumpulkan aset jenis yang lain dan menginvestasikan bentuk lain dari modal. Salah satu bentuknya adalah modal sosial, termasuk di dalamnya adalah jaringan yang meningkatkan kepercayaan, kapasitas untuk bekerja bersama, akses pada peluang dan pertukaran, jaringan keselamatan informal, dan keanggotaan dalam organisasi (Chambers and Conway 1992, Scoones 1998, Devereux 2001; Adato and Meinzen –Dick 2002 dalam Quisumbing, 2003 hal 139). Mekanisme utama yang sering digunakan oleh perempuan untuk meningkatkan statusnya adalah bekerja dalam kelompok melalui program dari luar komunitas. Jaringan dan aksi kolektif yang dihasilkan oleh kelompok dikenali sebagai sebagai aset itu sendiri. Modal sosial merupakan aset dimana perempuan tidak terugikan atau malah mendapatkan manfaat. Microfinance bisa jadi merupakan tipe program yang paling dikenali dijalankan oleh kelompok perempuan. Tidak jauh berbeda dengan microfinance, Lembaga keuangan perempuan (LKP) yang dikembangkan pada kelompok perempuan menemukan keberhasilannya membangun ekonomi kelompok perempuan penyintas gempa.

Lembaga keuangan perempuan (LKP) yang dimaksud disini adalah lembaga keuangan yang diinisiasi di 5 dusun di Bantul. LKP merupakan sebuah kerjabersama antara kelompok perempuan di 5 pedusunan dengan ASPPUK. Akses terhadap modal dan akses terhadap perbankan merupakan problem mendasar yang dikeluhkan oleh perempuan yang ingin bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat gempa. Problem tersebut bukan hanya problem yang terjadi paska bencana namun merupakan problem mendasar perempuan usaha mikro dan kecil yang berpangkal dari kebijakan peminjaman modal dengan agunan yang tak terjangkau Lembaga keuangan perempuan (LKP) yang dimaksud disini adalah lembaga keuangan yang diinisiasi di 5 dusun di Bantul. LKP merupakan sebuah kerjabersama antara kelompok perempuan di 5 pedusunan dengan ASPPUK. Akses terhadap modal dan akses terhadap perbankan merupakan problem mendasar yang dikeluhkan oleh perempuan yang ingin bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat gempa. Problem tersebut bukan hanya problem yang terjadi paska bencana namun merupakan problem mendasar perempuan usaha mikro dan kecil yang berpangkal dari kebijakan peminjaman modal dengan agunan yang tak terjangkau

Sebagaimana konsep Gramien Bank yang dikembangkan melalui peer group lending 53 , LKP juga dikembangkan melalui kelompok perempuan sebaya yang tinggal bersama dalam satu dusun. LKP dibangun dengan berpondasikan relasi sosial dan jaringan yang telah terbangun diantara para perempuan dalam satu dusun. Perempuan dalam satu dusun biasanya telah mengenal baik siapa yang menjadi kawan sebaya mereka serta bagaimana karakter personal serta karakter sosial ekonominya. LKP dijalankan dengan menggunakan sistem tanggung renteng, sebuah model risiko yang ditanggung secara kolektif dan telah banyak diujicobakan dalam lembaga‐lembaga perempuan, dengan mendasarkan pada kapasitas kelompok dalam membangun ’trust’ sebagai modal dasarnya. Karenanya trust diantara anggotanya berperan penting sebagai pelumas kinerja LKP. Dalam kondisi minim modal ekonomi, maka siasat yang bisa ditempuh perempuan adalah dengan berjejaring dalam sistem tanggung renteng, dimana mereka dapat menjaminkan modal sosial sebagai pengganti jaminan keuangan.

Dalam membentuk Lembaga Keuangan Perempuan, syarat yang dibutuhkan yakni: perempuan yang terorganisir baik secara fisik maupun solidaritas serta uang kolektif yang dikumpulkan dari setiap anggotanya. Setiap kelompok terdiri dari sekitar sepuluh perempuan yang saling mengenal satu sama lain, mereka rata‐rata memiliki latar belakang usaha yang tidak berbeda. Setelah membentuk struktur kepengurusan sederhana dengan pembagian peran diantara mereka. Selain itu juga menetapkan waktu pertemuan serta code of conduct organisasi.

53 Yunus, Muhammad, dalam http;//www.grameen.com

Dengan adanya code of conduct, maka terdapat sistem carrot and stick yang diterapkan. Bagi anggota yang menetapi kesepakatan dia mendapat keuntungan, sedangkan bagi yang tidak akan mendapat hukuman.

Melalui kelompok‐kelompok ini ASPPUK bukan hanya menggulirkan pinjaman tanpa bunga saja, namun juga membekali dengan pelatihan‐pelatihan, pembukaan akses jaringan serta akses pasar. Komunitas yang termobilisasi dengan modal sosial yang mewujud dalam LKP dengan LSM sebagai influential intermediary lebih efektif dalam menghadirkan layanan daripada komunitas itu sendiri. Kerjasama dengan lembaga lain menghilangkan kemacetan komunitas dalam menggerakkan sistem sosial mereka, namun bukan berarti semua kendala teratasi dengan kerjasama antara komunitas dengan LSM. Secara umum, kesulitan yang dialami dalam membangun LKP yakni : 54

1. Tidak mudah untuk mengajak masyarakat untuk berkelompok karena terdapat asumsi pragmatis bahwa berkelompok adalah identik dengan pinjaman. Problem ini identik dengan ketidaksabaran dalam pemetikan hasil usaha berkelompok yang membutuhkan proses.

2. Perlu waktu untuk membangun kepercayaan masyarakat miskin agar bersedia mengumpulkan uang secara swadaya

3. Dalam membangun LKP diperlukan pengorganisasian yang kuat sebagai upaya untuk terus menerus memompa motivasi bersama.

4. LKP membutuhkan pengelolaan manajemen yang baik, sehingga dibutuhkan waktu untuk menemukan perempuan yang jujur dan dapat dipercaya untui dilatih keterampilan pengelolaan LKP.

Selama satu tahun bekerja bersama dengan kelompok perempuan penyintas gempa, ASPPUK menemukan catatan keberhasilan dengan terbentuknya 5 buah LKP di 5 dusun.

54 Wa wa nc a ra d e ng a n Yuni Pristiwa ti, se kje nd Asp p uk

Dari hasil wawancara dan FGD kami, perempuan‐perempuan itu merasa teruntungkan dengan aktivitas kelompok dalam LKP. Indikator keberhasilan pengorganisasian kelompok perempuan ini antara lain dengan munculnya:

1. Munculnya empati, kesadaran kritis, kerelaan untuk berkorban, solidaritas dalam wujud kesediaan tanggung renteng.

2. Kesedian untuk meluangkan waktu. Dengan bersedia untuk datang dalam pertemuan kelompok, hadir dalam pelatihan,