MEMBACA GENDER DALAM BENCANA GEMPA DI BANTUL

I. MEMBACA GENDER DALAM BENCANA GEMPA DI BANTUL

..”Waktu gempa, saya sedang sakit. Tapi saya beruntung karena masih sempat lari walau terhuyung ‐huyung. Waktu sampai pintu, gerendel pintu tak bisa dibuka padahal rumah sudah hampir roboh.. Saya melihat sekeliling, dan akhirnya saya melompat keluar melalui jendela. Walau saya tidak bisa bangun karena tertimpa reruntuhan bangunan, tetapi saya baru dibawa ke rumah sakit pada hari berikutnya, karena tak ada mobil yang tersedia.....”

Bu Wa rsina h, Na ng sri, Sriha rdo no

Dalam situasi kepanikan ketika gempa mengguncang, tak sedikit orang yang tidak sempat menyelamatkan diri dari reruntuhan bangunan. Bu Warsinah beruntung, karena walaupun ia sakit tertimpa reruntuhan bangunan, ia dengan sigap segera berlari menyelamatkan diri keluar dari rumah. Lain misalnya dengan pengalaman Mbak Tari, seorang diffabel yang tinggal di kawasan Ganjuran ‐ Bambanglipuro, yang bahkan dibangunkan oleh gempa dan tak sempat menyelamatkan diri. Ia yang biasanya berjalan dengan alat bantu kruk, tak kuasa lagi mencari kruk dan menyelamatkan diri keluar dari bangunan, dan akhirnya pasrah dikubur oleh reruntuhan bangunan rumah. Tapi walau begitu, ia masih jauh lebih beruntung daripada ribuan orang yang lain yang meninggal ketika gempa terjadi.

Diantara ribuan orang ini, banyak diantaranya yang tidak sempat mendapatkan pertolongan kesehatan, dan akhirnya meninggal. Sebagaimana Bu warsinah di atas, banyak orang yang terpaksa tak bisa dibawa ke rumah sakit karena ketiadaan sarana mobilitas dan akhirnya meninggal dunia. Begitu juga, banyak korban yang lain yang walaupun sempat dibawa ke rumah sakit, karena begitu kacaunya suasana dan pelayanan di rumah sakit, akhirnya tidak mendapat pertolongan medis dan jiwanya juga tidak tertolong. Hal ini antara Diantara ribuan orang ini, banyak diantaranya yang tidak sempat mendapatkan pertolongan kesehatan, dan akhirnya meninggal. Sebagaimana Bu warsinah di atas, banyak orang yang terpaksa tak bisa dibawa ke rumah sakit karena ketiadaan sarana mobilitas dan akhirnya meninggal dunia. Begitu juga, banyak korban yang lain yang walaupun sempat dibawa ke rumah sakit, karena begitu kacaunya suasana dan pelayanan di rumah sakit, akhirnya tidak mendapat pertolongan medis dan jiwanya juga tidak tertolong. Hal ini antara

Sayangnya, sebagaimana juga dalam sistem informasi kebencanaan di Indonesia secara umum, dalam kasus gempa kali ini juga tidak terdapat data pilah korban berdasar jenis kelamin dan kelompok usia. Ketiadaan ini mengindikasikan masih kuatnya pemahaman yang dipegang kalangan hazard‐centered yang memandang bahwa bencana menimpa siapa saja dan tanpa pandang bulu. Walau begitu, ilustrasi di beberapa sudut Bantul memberikan gambaran yang kuat tentang dimensi gender dalam kerentanan dan juga jumlah korban gempa. Di Kadisoro, sebagaimana juga di Nangsri, mayoritas korban adalah lansia, anak dan sebagian besar diantaranya adalah perempuan. Konstruksi bangunan yang sering tidak memprioritaskan ruang ‐ruang perempuan seperti dapur, berkorelasi dengan banyaknya perempuan yang menjadi korban karena gempa bersamaan waktunya dengan aktivitas reproduktif memasak yang dilakukan perempuan.

Tak hanya aspek kerentanan secara fisik yang menguatkan dimensi gender dalam bencana. Sebagaimana fokus kajian para feminis terhadap kerentanan sosial dalam situasi bencana, gambaran yang ada menunjukkan penanda yang jelas akan kuatnya persoalan ini. Isu peminggiran kepentingan kelompok marjinal, dan ketidakterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan kepengelolaan bencana, nampak dari banyak kasus. Kebutuhan perempuan lansia seperti jarik‐kain dengan fungsi sejenis rok yang dikenakan perempuan lansia, minyak angin, kutang jawa yang luput dari bantuan dan digantikan dengan BH, adalah beberapa contoh pengabaian kebutuhan perempuan lansia dalam situasi bencana. Begitu juga dengan kebutuhan pernak‐pernik dapur seperti bawang merah dan bawang putih, garam, minyak goreng dan peralatan memasak yang terlupakan dalam daftar bantuan juga

menguatkan dampak gempa bagi perempuan 36 . Ilustrasi yang lain nampak dari penuturan Mbak Rus, seorang diffabel berikut ini :

36 Fatimah (2007a), op.cit.

.....Sejak gempa, saya mengungsi ke rumah orang tua di kota Jogjakarta. Saya sendiri sebetulnya merupakan warga kota jogja meski warung saya ada di Bantul. Maka, walaupun warung saya ikut rusak karena terkena gempa, saya tidak mendapat bantuan apapun dari pemerintah. Mungkin karena saya luput dari pendataan di Bantul, dan begitu juga di kota, saya juga tidak pernah tahu prosesnya dan tidak mendapat bantuan. Dagangan saya yang tersisapun ikut habis untuk membiayai hidup selama mengungsi di rumah orang tua....

Terlewatnya kelompok rentan dalam pendataan dan distribusi bantuan bisa terjadi dimanapun, dan begitu juga di Bantul ketika gempa terjadi. Dalam situasi kerentanan secara fisik yang dihadapi perempuan dan juga kelompok rentan yang lain, peminggiran dalam arena sosial dan juga politik sebagaimana nampak dalam penuturan di atas, menjadi semakin menguatkan beban derita yang mereka rasakan. Pada 27 Mei 2006 pagi, gempa yang melanda memang sama‐sama dirasakan dan juga sama‐sama sebesar 5.9 SR. Tetapi, perbedaan posisi, akses dan juga ruang membuat dampaknya tidak dirasakan secara sama dan identik oleh kelompok gender yang berbeda.