PEREMPUAN TANGGAP DI TAHAP DARURAT

III. PEREMPUAN TANGGAP DI TAHAP DARURAT

Adalah menarik untuk melihat bahwa ketika gempa terjadi, peran‐peran reproduktif yang terkonstruk sebagai tanggung‐jawab perempuan justru menjadi penyelamat kehidupan setelah bencana. Penting untuk melihat bahwa hanya dalam hitungan beberapa jam setelah gempa menghantam, perempuan‐perempuan di berbagai wilayah yang terkena gempa justru menunjukkan ketangguhan dan kegesitan untuk menjaga hidup bisa tetap berjalan. Penyelamatan dan pengobatan darurat bagi korban yang terluka, dengan keterbatasan sarana dan juga pengobatan, adalah hal penting yang banyak dilakukan oleh perempuan. Sesaat setelah gempa, perempuan bersama‐sama dengan laki‐laki juga segera melakukan tindakan evakuasi korban, dengan merawat, memandikan dan menguburkan jenazah pada hari yang sama. Ini adalah bagian dari tugas‐tugas yang penting dan tak bisa dianggap sepele.

III.1. Dapur Umum dalam Beragam Pola

Peran yang juga penting adalah menjaga suplai makan dan minum, tak hanya bagi keluarganya sendiri, tetapi bagi komunitas yang sama‐sama terkena bencana. Hidup di pengungsian seadanya, beberapa berlindung di kandang sapi yang tak roboh terkena gempa ataupun dibangunan darurat dengan atap seadanya, justru memicu energi kolektif kaum perempuan. Dapur umum, yang segera berdiri dengan cepat adalah bukti dari kegigihan dan Peran yang juga penting adalah menjaga suplai makan dan minum, tak hanya bagi keluarganya sendiri, tetapi bagi komunitas yang sama‐sama terkena bencana. Hidup di pengungsian seadanya, beberapa berlindung di kandang sapi yang tak roboh terkena gempa ataupun dibangunan darurat dengan atap seadanya, justru memicu energi kolektif kaum perempuan. Dapur umum, yang segera berdiri dengan cepat adalah bukti dari kegigihan dan

Bagaimana proses berdirinya dapur umum di masyarakat Bantul pasca gempa? Bu Warsinah dan Pak Asy’ari dari dusun Nangsri, Srihardono, Pundong menuturkan, bahwa hanya dalam hitungan jam setelah terjadi gempa, tanpa dikomando, orang datang berduyun‐ duyun ke halaman rumah mereka yang memang merupakan pekarangan yang cukup luas. Selain proses evakuasi korban karena ada 10 orang yang meninggal di kampungnya, proses mengumpulkan bahan makanan juga menjadi aktivitas utama. Warga cukup beruntung saat itu, karena kebetulan, ada warga yang hampir punya hajat nyewu (peringatan 1000 hari setelah meninggalnya seorang kerabat), dan juga karena mau ada acara pelepasan mahasiswa KKN dari sebuah universitas di kampung tersebut. Selain dari dua sumber utama ini, beberapa warga yang lain juga memberanikan diri menerobos rumahnya yang rusak untuk mengambil bahan makanan yang masih ada seperti beras walaupun jumlahnya tidak banyak. Dari sumber‐ sumber inilah terkumpul beras, bumbu, minyak goreng, dan juga lauk yang cukup memadai untuk hari‐hari awal pasca gempa.

Bagaimana di tempat lain? Di Kadisoro, pengalaman perempuan di dua dapur umum yang berbeda menunjukkan benang merah yang sama, yaitu munculnya solidaritas masyarakat dan tanggapnya perempuan. Dapur umum sebagai mekanisme penyediaan makanan bagi semua warga ketika bencana memang menjadi penyangga kehidupan di saat krisis. Dalam durasi yang cukup lama, yaitu sekitar 3 minggu sebelum akhirnya semua keluarga kembali berkumpul di tenda keluarga yang didistribusikan, dapur umum inilah yang berperan penting. Bagaimana perempuan mengorganisir dapur umum ini? Bu Wiranti dan Bu Sartini menuturkan pengalaman dapur umum di RT mereka :

40 Agustin, R (2007), op.cit.

....Setiap pagi kami memasak bersama. Juga ada yang kebagian belanja di pasar, misal untuk tahu dan tempe. Kalau sudah masak dikentongin, dan semua warga berkumpul untuk makan bersama. Memang ada ibu‐ibu yang tidak ikut memasak, ada yang karena tidak biasa bergaul, ada juga yang karena repot punya anak kecil. Akhirnya yang memasak ya tidak semua, tapi kami ikhlas.....”

Di Wukirsari, Siti yang di desanya pernah menjadi satu‐satunya koordinator posko dusun yang perempuan menuturkan bahwa macetnya perangkat negara dalam situasi pasca bencana membuatnya berpikir dan mengambil tindakan untuk mengorganisir posko darurat. Menurutnya, reputasi kepala dukuh dikampungnya yang terkenal korup juga kembali terulang setelah gempa dengan banyaknya bantuan yang tidak jelas status dan keberadaannya.

....”Semua barang bantuan tidak jelas keberadaannya, mulai dari tikar hingga barang berharga seperti diesel. Juga kalau ada bantuan lewat jalur pemerintah, hanya dipergunakan untuk dirinya dan tetangga dekatnya, dan tidak berpikir untuk kepentingan warganya......”

Di dusunnya, kepanikan terhadap datangnya gempa susulan membuat hampir semua orang mengungsi ke gunung. Namun Siti dan keluarganya tetap bertahan karena masih ada kakek yang sudah tua dan tidak bisa diajak bepergian. Dalam situasi kevakuman kepemimpinan tersebut, ia tampil ke muka dengan mulai mengorganisir pemuda untuk menjaga keamanan kampung di malam hari. Selain itu, berbekal akses informasi dari pergaulannya di organisasi kepemudaan, ia juga berinisiatif melakukan pendataan kerusakan kampung pada dua hari setelah gempa. Ia mengatakan, karena ia merupakan warga kampung maka ia mengenal betul seluk beluk kampung dan penduduknya dan ini memungkinkannya untuk melakukan pendataan dan juga mengakses bantuan dalam waktu yang cepat. Berbekal data dan keluwesannya untuk berkontak dengan banyak jejaring inilah yang membuatnya menjadi diterima sebagai pemimpin nyata di masyarakat dalam situasi darurat bencana, dan sekaligus membuka akses untuk meminta bantuan logistik dari banyak lembaga yang bekerja pada masa darurat.

Lantas, bagaimana pengelolaan bantuan dan bahan makanan dalam mekanisme posko? Bu Wiranti dan Bu Sartini di RT 03 Kadisoro menuturkan bahwa aktivitas memasak dan distribusi sembako dilakukan secara terpusat di posko.

...Bantuan sembako yang masuk kami kumpulkan dalam satu tempat, dan kemudian oleh panitia logistik RT, dikelola dan didistribusikan bila jumlahnya sudah cukup banyak dan cukup untuk dibagi rata. Karena bantuan yang masuk RT kami relatif banyak, kami juga membagi bantuan ini ke RT atau dusun lain, misalnya susu dan sayur‐mayur....

Ketika akhirnya tenda posko dibongkar dan semua keluarga kembali ke tenda keluarga yang sudah dibagikan, bekal logisstik dari hasil pengelolaan bantuan inilah yang menjadi sumber penghidupan pada bulan awal ketika dapur umum ditutup dan sumber pendapatan juga belum pulih. Dari hasil distribusi inilah, setiap keluarga mendapatkan bahan makanan yang memadai untuk hidup selama 1.5 bulan.

Selain aktivitas memasak dan distribusi bantuan, menurut penuturan mereka pula, posko juga sekaligus menjadi tempat untuk penyelenggaraan rapat setiap seminggu sekali. Rapat yang diselenggarakan atas inisiatif warga dan dilakukan di tenda posko yang cukup besar ini memungkinkan semua warga, laki‐laki maupun perempuan, dewasa maupun anak‐ anak terlibat dalam rapat. Keterlibatan ini juga nampak dari isu‐isu yang dibahas dalam rapat ini, misalnya masalah kesulitan belajar bagi anak‐anak ketika di tenda.

Tapi, pola pengelolaan yang berbeda nampak dari penuturan warga di Gedongan, Kasihan. Di tempat ini, dapur umum sebagai kepanjangan dapur domestik memang nampak nyata karena hanya berisi aktivitas memasak saja. Pengelolaan yang lebih baik, termasuk dalam distribusi bantuan juga tidak ditemukan dalam kasus ini.

III.2. Perawatan : dari Merawat Korban hingga Trauma Healing

Peran reproduktif lain yang juga penting adalah terkait dengan perawatan kesehatan dan juga trauma healing pasca gempa. Yang terakhir ini misalnya, sedemikian pentingnya, karena selain mengakibatkan kerusakan fisik, persoalan guncangan kejiwaan dan spiritual juga banyak ditemukan. Bu Riwanti menuturkan bahwa ketika bencana terjadi, terdapat ada pembagian peran diantara laki‐laki dan perempuan. Ia mengatakan bahwa laki‐laki melakukan pencarian korban, sementara perempuan termasuk dirinya merawat korban yang sakit ataupun meninggal. Tindakan untuk menyelamatkan kehidupan komunitas, dituturkannya sebagai berikut :

.......Sesaat setelah guncangan gempa berhenti, saya segera berlari menolong tetangga yang terjebak di dalam runtuhan rumah. Kami segera membawa tetangganya ke rumah sakit terdekat walau karena buruknya pelayanan kesehatan, nyawanya tidak tertolong. Dan karena saat itu, semua lembaga pemerintah tak berfungsi dan juga ditengah kepanikan masyarakat, kami segera bertindak dengan cepat untuk mengorganisir masyarakat.

Begitu juga menurut penuturan Pak Jawadi, yang mengatakan bahwa dikampungnya, para perempuan sibuk di keluarga dan RT masing‐masing, antara lain karena mengurusi anggota keluarga yang sakit dan cedera.

Kebutuhan akan perawatan ini juga menjadi sebegitu penting dalam kasus masyarakat yang karena bencana dan akhirnya menjadi diffabel –istilah yang sering digunakan untuk menggantikan penyandang cacat. Bagi diffabel baru karena gempa, bukanlah hal yang mudah untuk menerima ’kenyataan’ perubahan fisik dengan menjadi diffabel. Begitu pula bagi mereka, proses penyesuaian kehidupan bukan hal yang terjadi semudah membalik telapak tangan. Dalam hal ini, upaya berbagi perhatian dan perkawanan adalah hal penting dalam mendorong pulihnya kembali kehidupan yang bermartabat bagi penyintas. Salah seorang perempuan diffabel, Mbak Tari mengaku bahwa peran ini memang sederhana dan tidak terlalu Kebutuhan akan perawatan ini juga menjadi sebegitu penting dalam kasus masyarakat yang karena bencana dan akhirnya menjadi diffabel –istilah yang sering digunakan untuk menggantikan penyandang cacat. Bagi diffabel baru karena gempa, bukanlah hal yang mudah untuk menerima ’kenyataan’ perubahan fisik dengan menjadi diffabel. Begitu pula bagi mereka, proses penyesuaian kehidupan bukan hal yang terjadi semudah membalik telapak tangan. Dalam hal ini, upaya berbagi perhatian dan perkawanan adalah hal penting dalam mendorong pulihnya kembali kehidupan yang bermartabat bagi penyintas. Salah seorang perempuan diffabel, Mbak Tari mengaku bahwa peran ini memang sederhana dan tidak terlalu

......”Saya senang bisa bergabung dengan sesama teman diffabel, dan bisa membantu sesama. Saya nggak ngerti teori untuk mengatasi trauma pasca bencana. Tetapi, saya merasa perhatian itu penting dan yang ini bukan urusan sekolah apa bukan. Saya bisa berbagi, dan itu membahagiakan saya, dan mungkin juga orang lain..”

Walaupun mengaku bahwa bencana mengakibatkan banyak kehilangan dan juga kerusakan, ia mencoba melihat sisi lain dari bencana yang membuat hidup harus terus berjalan. Salah satunya, menurutnya adalah bahwa bencana adalah kesempatan untuk berbagi ke sesama. Ia mengatakan, dari pengalamannya sendiri, betapa dukungan dari sesama adalah hal penting dalam membuat kehidupan diffabel harus terus berjalan. Karena itu, ia memilih untuk berbagi perhatian dan empati untuk sesama yang menjadi diffabel karena gempa. Hal penting pertama dalam proses trauma healing ini adalah mendorong semangat bagi diffabel, bahwa hidup tak berhenti hanya karena menjadi diffabel. Ini bukan proses yang mudah, tetapi karena yang memberi semangat juga diffabel, tingkat penerimaan biasanya lebih tinggi. Pernyataan seperti ,”Saya juga cacat, tetapi saya menjalani hidup dengan yakin dan bersyukur”, adalah contoh upaya membangun sikap yang lebih arif dan mendorong semangat bagi diffabel. Fase selanjutnya adalah konseling seputar hal‐hal praktis dalam mengelola dan menjalani kehidupan. Beberapa lontaran berikut ini menunjukkan pertanyaan dan keluhan yang sering diutarakan oleh diffabel : .....”Bagaimana tho mbak caranya pakai tongkat tetapi bisa mengangkat barang?” Atau dalam kasus paraplegia –penderita patah tulang belakang dan lumpuh, beberapa hal ini sering diutarakan, ”Bagaimana sih caranya pakai pampers?”, atau ada juga yang bertanya, ”Kalau kayak begini, sama suami/istri bagaimana ya?” Dan menariknya, menurut penuturan Mbak Tari, beberapa pertanyaan ini, lebih mudah dan lebih sering ditanyakan kepadanya dan teman‐teman sesama relawan diffabel, dibandingkan kepada tenaga medis yang merawatnya.

IV. FA SE REHA BILITA SI – REKO NSTRUKSI : KEMBA LI KE A SA L? ?