Jawa Negeri di Awan

Jawa Negeri di Awan

"Tajak Beutroh, ta eue beu deueh" kata seniman Aceh, Rafly. Maksudnya, pergilah hingga tiba dan coba memandang hingga benar-benar melihat. Agar, segala sesuatu tidak sebatas diduga, tidak segera percaya dari apa orang kata dan tidak sembarang berasumsi. Maka pesannya adalah dengan mendatangi sendiri sumber berita hingga benar-benar tiba dan melihatnya sendiri dengan mata kepala. Dengan itu, baru bolehlah kita menilai sesuatu.

Jawa adalah bangsa yang mendapatkan stigma negatif bagi kalangan masyarakat Aceh selama konflik (1972-2005?). Karena, masyarakat Aceh menganggap pemerintah pusat hanya berpihak pada masyarakat Jawa. Juga, karena mereka menganggap orang Aceh harus lebih sejatera daripada orang Jawa karena Aceh memberikan sumbangan sumber daya alam (SDA) yang jauh lebih banyak daripada Jawa. Juga, karena aparat keamanan yang dikirim ke Aceh keanyakannya adalah orang Jawa. Secara keseluruhan, menurut anggapan anggota GAM dan masyarakat yang dililit konflik "Jawa" adalah representasi dari masyarakat Indonesia selain Aceh.

Tindakan aparat di Aceh semasa konflik memang sangat biadab. Konon demikian katanya. Menurut radio bergigi, seorang gadis diperkosa di depan Abu-nya.Di Rumoh Geudong, Pidie, konon penyiksaan oleh aparat terhadap anggota GAM yang melanggar HAM manapun sering berlaku.

Para pemuda sering dijemur betelanjang dada di atas aspal di bawah terik siang menyengat. Biasanya ini dilakukan saat aparat melakukan pengejaran terhadap GAM, namun mereka berhasil lolos kembali ke hutan.

Seorang supir angkutan pedesaan, bernama Si Lie Ma'e Inggreh adalah orang pertama yang mampu dan berani mengangkat realita ini ke ranah publik secara kritis. Di tengah pasar Matanggumpangdua dia mengkritik tindakan GAM secara tegas dan suara lantang: "Orang GAM beraninya cuma bunyikan senjata di tengah pemukiman warga, saat aparat akan tiba, mereka lari. Jadilah warga sipil sebagai tumbal".

Memang demikian adanya. Anggota GAM suka membunyikan senjata api di tempat-tempat keramaian warga seperti pasar dan pemukiman. Tentu saja tindakan ini memancing aparat untuk turun dan mencari GAM. Namun GAM pastinya telah terlebih dahulu menghilang ke tengah kepanikan warga bila di pasar dan lari kehitan bila di pemukiman. Di pasar agak lumayan karena aparat yang marah hanya melampiaskan kemarahannya dengan menembaki kaca-kaca toko meskipun tidak jarang banyak warga yang kena peluru nyasar. Parahnya bila GAM memancing di perkampungan, Memang demikian adanya. Anggota GAM suka membunyikan senjata api di tempat-tempat keramaian warga seperti pasar dan pemukiman. Tentu saja tindakan ini memancing aparat untuk turun dan mencari GAM. Namun GAM pastinya telah terlebih dahulu menghilang ke tengah kepanikan warga bila di pasar dan lari kehitan bila di pemukiman. Di pasar agak lumayan karena aparat yang marah hanya melampiaskan kemarahannya dengan menembaki kaca-kaca toko meskipun tidak jarang banyak warga yang kena peluru nyasar. Parahnya bila GAM memancing di perkampungan,

Laki-laki dewasa yang dipaksa keluar rumah dibariskan di suatu tempat dan diperiksai KTP masing-masing. Musibah bila: satu, dia beralamat pada desa-desa yang digaris merah oleh aparat. Dua, tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik.

Masalah kedua ini pernah dialami Daud. Saat para pemuda dibariskan di pinggir jalan dekat sebuah sungai, mereka diinterogasi. Karena mereka membuat bingung aparat, mereka dibawa ke bibir sungai. Dengan menghadap ke sungai, mereka diperintahkan berjalan beberapa langkah ke depan. Daud, karena sadar tidak bisa berenang, masing hanya beberapa langkah memasuki air. Padahal teman-temannya yang lain sudah hampir tenggelam seluruh dadanya. Kawan-kawannya bahkan sudah berada hampid di tengah aliran sungai.

Geram Daud dianggap tidak patuh, seorang aparat membentaknya, "Ke tengah lagi, kau." Maksudnya agar dia bisa berdiri sejajar dengan teman- temannya yang lain.

Mendengar perintah itu, bergegas Daud menuju bibir sungai. Melihat Daud yang menentang instruksi, aparat spontan marah. Dia ditendang dan terlempar jauh hingga mencapai ke tengah sungai.

Daud yang tidak mengerti bahasa Indonesia mengira, dia diperintang untuk 'teungeh'. Kata itu dalam bahasa Aceh bermakna naik dari bawah ke atas. Orang yang sedang mandi di kolam atau sungai bila diperintahkan atau ingin menepi disebut 'teungeh'. Mengangkat orang yang jatuh ke dalam sumur lalu di angkat disebut: peu'tengeh'.

Sekejam itukah aparat yang notebenenya berasal dari Jawa itu? Apa memang demikian karakter masyarakat Jawa? Jawabannya: Tidak! Bahkan tentara-tentara yang didaulat untuk menjadi "mesin pembunuh" biasanya dikirim dari luar pulau Jawa. Biasanya dari Maluku atau Nusa Tenggara. Satuan Brimob yang terkenal ganas biasanya mereka yang Sekejam itukah aparat yang notebenenya berasal dari Jawa itu? Apa memang demikian karakter masyarakat Jawa? Jawabannya: Tidak! Bahkan tentara-tentara yang didaulat untuk menjadi "mesin pembunuh" biasanya dikirim dari luar pulau Jawa. Biasanya dari Maluku atau Nusa Tenggara. Satuan Brimob yang terkenal ganas biasanya mereka yang

Orang Jawa dibesarkan bukan dengan benci, mereka tidak diberi maka dendam. Suku Jawa adalah suku yang paling mudah menerima segala dinamika hidup. Mereka memiliki etos kerja yang luar biasa tinggi.Orang Jawa mampu mengolah hutan rimba menjadi ladang. Mereka menyulap gunung berubah sawah.

Saat transmigrasi diimplementasikan, perekonomian di Aceh berputar kencang. Pribumi merasakan betul dampak positifnya. Namun ada suatu perbenturan kebudayaan yang tidak dapat diterima masyarakat di sana. Masyarakat Aceh marah karena transmigran dari Jawa tidak berpakaian dan bertata hidup sebagaimana dijalankan masyarakat di sana. Mereka menuding Jawa tidak beragama.

Jawa tidak beragama? Aku menilai sebuah masyarakat taat beragama atau tidak, salahsatunya, adalah dengan melihat perempuannya berpakaian. Aku naik bus angkutan di Jawa Tengah. Aku semakin terkejut saat melihat hampir semua perempuannya berpakaian sopan dan berjimbab. Semakin kuoerhatikan semakin aku takjub. Kubuat saja model statistik ala-ku sendiri. Aku menghitung perempuan-perempuan dari sati sampai lima. Lalu diantara lima hitungan kujumlahkan berapa orang yang berjilbab, berapa yang tidak. Hasil perhitunganku diantara empat, satu yang tidak. Selanjutnya dua tidak, tiga berjilbab. Dan seterusnya hingga saat kurata-ratakan. Ternyata empat dari lima perempuan Jawa berjilbab. Ini aneh bagiku. Sebab sebelumnya benakku tak dapat diganggu: orang Jawa tak baik dalam beragama. Tapi kesimpulan yang kudapatkan ini merubah derastis pandanganku. Kusadari selama ini aku keliru.

Aku yang bingung campur keliru terkenang dengan gadis-gadis di Aceh yang memakai jilbab seperti mengisolasi kepala dengan kain. Teringat dengan potongan celana mereka yang menampakkan jelas lekuk selangkangan depan dan belakang. Sesuatu yang telah lama kusadari: kebanyakan perempaun di Acej terpaksa membungkus aurat karena paksaan Perda yang diubah nama: Qanun.

Bagian dari keadaan-keadaan yang membuatku nyaman dan menikmati adalah dikala aku di dalam bus lalu menikmati indahnya pemandangan hutan, gunung-gunung, pedesaan dan bentangan sawah. Saat aku sedang menikmati perkebunan sawit yang kadang-kala membuat hatiku sakit, aku dikejutkan oleh aksi seorang ibu muda yang ketika beberapa saat bus Pelangi memasuki wilayah Sumatera Utara meninggalkan kawasan Tamiang. "Merdeka" katanya sembari menarik kuat jilbab kurungnya dan menghempas-hempaskan rambutnya hingga terurai.

Pengalaman itu mengingatkan pada perjalanan ke Medan pada saat yang lain ketika aku berada di jok paling belakang bersama seorang wanita Kristen yang anggun dengan jilbab bewarna abu-abu yang setia menutupi bagian atas badannya kecuali wajah. Dia kelihatannya nyaman benar dengan jilbabnya itu. Waktu itu aku tidak sempat menduga dia adalah intel tentara atau bukan meskipun dalam obrolan kami yang sangat menyenangkan itu dia sempat mengaku tinggal di asrama prajuri di Keutapang. Sampai kami berpisah di tengah-tengah kota Medan kulihat dia begitu khidmad dengan jilbabnya. Sempat kutanyakan kenapa dia berjilbab. "Menghormati kaum muslim dan Syariat Islam". Jawabannya begitu sederhana. Tapi aku menemukan makna yang mendalam dibalik kata-katanya.

Kalau saja tidak karena tidak ingin dia malah akan seperti ibu muda di dalam Pelangi tadi setelah menjadi muslim, akan kuajak dia masuk Islam.

Duhai indahnya menikmati alam di balik jendela bus yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan tikungan-tikungan patah. Karena itu Rafly berseru untuk tidak segera menilai sesuatu sebelum menghampiri danbenar-benar melihat dengan mata kepala sendiri. Di Tanah Jawa aku menemukan manusia-manusia yang ruar biasa gigih bekerja. Aku yakin takkan ada kompetisi yang tidak akan dimenangkan orang Jawa karena keuletan dan ketekunannya. Di pedalaman Jawa akan kita temukan orang- orang yang turun ke ladang melawan dingin di pagi buta. Mereka bekerja di tangah-tengah kabut yang takkan minggat kecuali telah tepat di atas kepala kalaupun cuacanya cerah. melihat tanah Jawa membuat kita teringat tentang dongeng tentang sebuah negeri di Awan.

Bukan Awannya, Bukan Airnya

Bukan karena indahnya gunung di waktu petang yang puncaknya mengagumkan karena diselimuti manja awan-awan tipis. Awan-awan seolah- olah enggan, seakan-akan ingin: merangkul puncak gunung yang terlihat olehku melalui kaca jendela mobil yang sedang melaju kencang, namun terasa terbang manja bagaikan layangan yang enggan menerima hembusan agin padahal dia membutuhkannya sebagai penyangga agar tetap melayang, agar tetap terlihat elok. Mobil kurasa terbang manja meski beberapa penumpangnya memegang dada karena supirnya menginjak pedal gas seakan tak waras, sedang bersiul-siul pula mengikuti alunan irama yang diputarnya melalui mp tiga.

Ya Allah, kau kirimkan sakit gigi yang begitu nyeri selama tiga puluh hari tanpa henti hamba dapat amini. Tapi meninggalkan kenangan pulang dari Pidie menumpang angkutan bus mini bewarna merah, hamba tak mampu. Allah, hamba tak kuasa. Hati hamba lemah, lemah karena kau kuatkan selalu Ya Allah, kau kirimkan sakit gigi yang begitu nyeri selama tiga puluh hari tanpa henti hamba dapat amini. Tapi meninggalkan kenangan pulang dari Pidie menumpang angkutan bus mini bewarna merah, hamba tak mampu. Allah, hamba tak kuasa. Hati hamba lemah, lemah karena kau kuatkan selalu

Saat mobil hendak berangkat, aku menawarkannya buku Kahlil Gibran. Bagiku buku itu indah sekali, benar-benar menyentuh rasa. Bahkan telah lusuh karena telah berulangkali kukhatami. Dia mengambil buku itu, mencoba membaca beberapa paragraphnya. Lalu dikembalikannya padaku. "Tidak memahami, saya" katanya.

Aku tidak pernah tertarik untuk menafsirkan ucapannya. Akalku lumpuh dan hanya kalimat ucapannya kuangkat di atas kepala, kuisi di atas nampan, kubungkus kain sutera, kutaruh di atas kepala, kubawa ke mana- mana hingga nanti aku mati.

Baru hampir sepuluh tahun kemudian aku dapat mencerna makna kalimat ucapannya. Memang puisi sulit dipahami banyak orang kecuali yang sedang mabuk kepayang dilanda asmara dipanah cinta. Memahami maknanya malah

memperparah keadaanku. Terus-terang sangat ingin aku mengetahui kabar tentang dirimu, bagaimana keadaanmu? Apakah kamu sudah menjadi guru Bahasa Inggris? Mengajar di mana? Apa kabar suamimu? Apakah dia sudah naik pangkat? Bagaimana- anak-anakmu? Ah, menyebut yang terakhir aku jadi malu pada masyarakat. Untuk apa mengurus anak orang.

hanya menambah

luka,

Tahukah kamu hingga hari ini dan bahkan besok cintaku padamu takkan mungkin sedikitpun berkurang. Tahukah kamu hari-hariku melihatmu adalah kenyataan terindah dalam hidupku. Tahukah kamu memandang atap rumahmu dari atas bukit yang kulintasi untuk pergi memancing ikan di sungai Peusangan kenikmatannya takkan dapat digantikan dengan seribu milyar bintang-bintang.

Mencintaimu sampai besar anak-cucumu nanti memang terlihat tidak relistis. Namun bukankah sejak big-bang semuanya tak ada yang real. Aku berhayal ketika kamu tua nanti, suamimu telah mati, anak-anakmu telah pada pulang ke rumah mertuanya, aku, di kamar depan rumahmu yang setiap lebaran selalu kukunjungi saat kita lajang dulu, memelukmu setiap saat. Duhai Tuhan. Inilah jalan paling indah nagi hamba menanti detik-derik kematuan. Menyandarkan kepala pada bahu yang kepalanya jatuh ke bahuku saat aku menatap puncak gunung yang diselimuti awan tipis bewarna putih.

Saat kepalanya jatuh kebahuku aku bergetar dan menggigil, kukira karena awan yang menyapa ujung bukit, kukira karena jernih air sungai Batee Iliek yang berkelok-kelok alirannya karena menabrak kencang batu-batu yang sangat banyak jumlahnya.

Bukan awannya, bukan airnya. Tapi aliran darahmu yang membuat darahku mengalir tak pasti. Dan betapa menyenangkan suatu hari nanti bisa kembali merasakan aliran darahmu dengan aliran darahku.