Nuklir Untuk Cinta CINTA CINTA

Bukan Awannya, Bukan Airnya

Utuh, Telah Di Hati Tak Ada Istiqlal, Kathedral-pun Jadi Cut dan Ampon Seribu Pancaran Sinar Mentari Malam Ini Tidak Ada Bintang Provokasi Aku Takut Mimpi Kamu

Jawa Negeri di Awan Raihan

Susu atau Kamu? Tempat Jatuh Air Matamu Filsuf Berjalan Mubarak Emirates Ayahku Jauh di Hati Dekat di Jemuran Jatuh Cinta Penjual Rambutan Berhenti Membaca Bagi Perempuan Nuklir untuk Cinta Nuklir untuk Cinta II Pesan Matamu di Ranah Minang

Tidak Ada Kembang di Kota Kembang

Cinta Skeptis Malam yang Seksi Subang Selalu Senang Sajaan Ie Bu Mimpi Metromini Jauh di Hati Dekat di Jemuran Menikah?

Every Goalkeeper a Prince My 25th Birthday

Madonna

Setiap kira-kira jam 3 sore, kami sering duduk di pinggir jalan yang menghubungkan Simpang Galon Meunasah Blang Brieuen dengan desa Blang Rheum. Blang Rheum adalah desa seberang bukit Cet Gon Bhan sebagai desa yang paling rawan dilintasi anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) karena berada di sisi peguningan. Selaku muda-muda lajang, apa lagi yang kami lakukan selain menumpang nongkrong di sebuah warung dengan rokok sebatang di tangan. Hampir setiap hari setiap waktu yang telah saya sebutkan melintas dengan cepat sepeda motor Honda GL-Pro yang dikendarai pemuda tinggi 180cm dengan perawakan tampan, badan tegap, bahu kekar dibungkus kulit kuning langsat. Jambang lebat namun pendek sangat kontas dengan warna kulit wajah menambah sangar ketampanannya.

Setiap setelah pemuda itu melesat ke arah kota Bireuen, kami sudah boleh kembali ke rumah. Ibu-ibu sudah bisa mencari-cari bocah mereka yang sedang bermain di rumah-rumah tetangga untuk diboyong masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu dengan rapat. Kaum ayah yang kebetulan hendak berangkat ke pasar bila ditengah perjalanan menemukan GL-Pro melesat kencang, sudah boleh mengurungkan niat dan balik kanan kembali ke rumah. Para pemuda yang sedang menikmati secangkir kopi hitam kental yang baru diteguk setengah cangkir meski telah berlalu dua jam dihidangkan, sudah boleh bergegas mengeluarkan seribu rupiah dari saku dan menghirup habis sisa setengah cangkir lagi dalam satu tegukan lalu bergegas kembali ke rumah. Pemilik warung sudah harus segera mengemaskan barang dan menutup usaha untuk sementra. Sebab, selalu begitu, paling lama dua Puluh Menit setelah Madona melesat ke arah kota, pastilah mengudara dengan keras beberapa suara tembakan senjata berjenis Colt Revolver R1. Selanjutnya satu menit setelah dua atau tiga bunyi senjata yang dipatenkan Samuel Colt pada 1863 itu, berkejar-kejaran, seolah saling mendahului bunyi bunyi senjata mesih lasar panjang seperti M-16, dll. Saat riuh-riuh itu, semua kendaraan mengarah pada satu tujuan, menjauhi kota Bireuen; tidak peduli jalan masuk- jalan keluar, tak urus, lampu merah maupuh hijau. Kondisi ini persis seperti setiap ada isu air naik (tsunami) yang tersiar hampir setiap hari setelah 2004.

Menurut berita yang disampaikan radio bergigi, Madonna pernah menabrak seorang balita. Pastilah balita itu tewas seketika. Bukankah kecepatan minimum dia melajukan kendaraannya adalah 100km/jam. Madonna adalah warga desa kami. Desa kami memang sudah "digaris merah" oleh aparat. Artinya salah-satu desa yang paling banyak dialamati anggotaGAM. Biasanya pemuda-pemuda dan kaum ayah yang mengantongi KTP desa "garis merah" akan lebih kesulitan bila setia ada razia KTP yang Menurut berita yang disampaikan radio bergigi, Madonna pernah menabrak seorang balita. Pastilah balita itu tewas seketika. Bukankah kecepatan minimum dia melajukan kendaraannya adalah 100km/jam. Madonna adalah warga desa kami. Desa kami memang sudah "digaris merah" oleh aparat. Artinya salah-satu desa yang paling banyak dialamati anggotaGAM. Biasanya pemuda-pemuda dan kaum ayah yang mengantongi KTP desa "garis merah" akan lebih kesulitan bila setia ada razia KTP yang

Madonna sudah beberapa kali meminta dana perjuangan kepada seorang janda kaya di salah-satu desa di Bireuen. Berulang-kali pula janda itu menolak memberikan. Hingga suatu waktu wanita itu meminta Madonna datang sendiri ke rumahnya untuk menjemput dana yang dimintakan. Wanita umur 35-an itu memintanya untuk tidak membawa senjata laras panjang dengan alasan takut ketahuan aparat.

Madonna-pun datang pada jam 3 siang. Setelah GL-Pro-nya melintas dari arah Blang Rhem-Simpang Galon, dia berbelok ke kiri. Motornya tetap melaju kencang. Tiba-tiba dari sebuah lorong kecil keluar mobil Kijang Minibus bewarna hitam pekat. Awalnya Madonna tidak menyadari ada mobil yang mengejarnya dari belakang. Setelah bunyi tembakan M-16 dari belakangnya, melesatlah peluru melintasi sebelah kanan bahunya, barulah dia menoleh ke belakang. Sadar mobil yang dilihatnya adalah milik Brimob, maka dia semakin mengencangkan laji kendaraannya. Sambil mengendarai motor dengan tegang, dia memutar otak mencari jalanan yang bisa membuatnya lolos. Dia terus mejalu hingga menemukan sebuah persimpangan sebelah kanan. Dengan gesit diapun masuk ke jalan kecil itu. Kijang di belakangnya terus mengajar.

Sial bagi Madonna, dia hanya mengantongi Colt. Padahal kadang- kadang dia turut membawa AK-47 bersamanya yang diselipkan dipunggungnya dan ditutupi jaket tebal bewarna hitam.

untuk lolos. Aku harus memperkirakan jumlah mereka di dalam mobil itu. Aku harus mencari cara agar mereka dapat keluar. Pikirnya sambil terus melesat kencang.

Melintasi jalanan di perkampungan, Madonna menemukan rel kereta api yang masih baru dibangun. Kata Ayahku, rel kereta api adalah proyek yang didanai asing dengan perhitungan anggaran Rp. 1 Milyar per km. Tentu saja perkiraan ini tanpa menempuh obserfasi yang realistis. Mungkin perhitungan anggaran sebesar ini dengan dugaan menimbun rawa atau sawah. Padahal para pemangku kebijakan hanya perlu menambah kerikil setelah mencabuti rel lama, memasang rel baru dan siap pakai. Anggaran Rp. 1 Milyar untuk tiap km-nya tentu saja sangat berlebihan.

Ayahku mengatakan proyek pembangunan rel kereta api itu adalah kesepakatan Gubernur waktu itu dengan asing. Dan memang nyatanya setelah Gubernur itu diturunkan dari jabatannya. Dia diturunkan akibat tersandung kasus, yang menurut ayahku dia terlalu ceroboh dalam "bermain". Ayah bilang dia bodoh dengan "bermain-main" dengan aparat. "Masak uangnya aparat dihajar juga." kata beliau. Rel dipasang mulai dari stasiun lama di Ayahku mengatakan proyek pembangunan rel kereta api itu adalah kesepakatan Gubernur waktu itu dengan asing. Dan memang nyatanya setelah Gubernur itu diturunkan dari jabatannya. Dia diturunkan akibat tersandung kasus, yang menurut ayahku dia terlalu ceroboh dalam "bermain". Ayah bilang dia bodoh dengan "bermain-main" dengan aparat. "Masak uangnya aparat dihajar juga." kata beliau. Rel dipasang mulai dari stasiun lama di

Meleset dari yang dia duga sebelumnya. Jumlah mereka ternyata tujuh. Dia kira enam. Tapi Madonna sudah keburu mencampakkan motornya di bantalan rel. Dia lari ke semak-semak. Aparat itu terus mengejarnya dengan sangat waspada. Tersembunyi di balik dedaunan pohon, Madonna dadat menembak mati satu-persatu aparat tanpa kewalahan. Namun sayang, Colt-nya hanya punya enam peluru. Naas bagi Madonna...

Seorang aparat yang tersisa menyadari Madonna kehabisan peluru langsung meloloskan diri ke semak-semak seberang rel. Dia sadar senjata digunakan Madonna adalah Colt yang isinya enam peluru. Lama dia bersembuni di semak menunggu apakah Madonna sedang mengisi ulang peluru atau dia membawa senjata lainnya.

Lama menunggu tak ada tanda apapun, aparat yang tinggal seorang itu memberanikan diri menyeberang rel menyusuri semak ke arah Madonna dia perkirakan berada. Tiba-tiba dia menemukan pria berkaos putih itu nyaris terbaring menyamping dengan siku kanan dijadikan tempat bertumpu. Dia terlihat sedang menyeret-nyeret bubuhnya. Ternyata paha kiri anggota GAM itu telah tertembak. Dari balik jeansnya keluar darah terus-menerus. Tanpa menghiraukan wajah Madonna yang sedang merintih kesakitan, aparat Brimob langsung menghujamkan peluru M-16 nya. Satu ke perut dan satunya lagi ke kepala.

Berita tentang tewasnya Madonna disebarkan harian "Serambi Indonesia" keesokan harinya. Aku terkagum mendenngar cerita tentang caranya tewas. Dia sangat heroik. Kalau saja ini bukan kisah nyata tapi berada dalam adegan film Hollywood, maka dapat kupastikan Madonna akan dapat melumpuhkan Brimob yang seorang lagi itu.

Duh, salah seorang anggota GAM yang paling ditakuti dan paling dicari aparat ternyata tewas karena dijebak seorang janda? Aduh!

Siang Jadi Malam, Malam Jadi Siang

Hari pertama, hari senin. Tanggal pertama kalender Isa, tanggal satu. Tanggal pertama kalender Hijrah, tanggal satu. Matahari sedang berjuang menanjak laut untuk menyapa permukaan bumi. warnanya merah. Tanah merah bercampur air, menyatu bersama. Menjadi lumpur, warnanya merah. Itulah waktu waktu yang kujamin hanya sedikit manusia yang sedang tersadar saat fenomena itu tiba. Kenapa? Karena ini Bulan Ramadhan.

Pagi-pagi di awal bulan Ramadhan begitu sepi. Orang-orang yang pengangguran memilih tidur di siang hari dan bergadang sepanjang malam. Cara ini adalah cara paling efektif mensiasati aneka godaan di bulan Ramadhan.

Kalau menganai shalat di masa depan orang-orang tak peduli dari mana asal, apa ras dan agamanya akan shalat semua kerena mengetahui shalatlah satu-satunya olahraga, terapi dan rileksasi terbaik, maka mengenai puasa juga demikian halnya. Kelak dokter-dokter akan merekomendasikan puasa bagi semua manusia miniman tiga pulih hari berturut-turut setiap tahun untuk sejuta manfaat bagi badan dan pikiran.

Tapi sayangnya, kaum muslim sendiri, terutama yang di Timur, karena orang Timur banyak yang bodoh, maka akan mensiasati kewajiban yang dianggap berat berupa puasa dengan membuka pabrik-pabrik, kantor- kantor, pasar-pasar, lembaga-lembaga pendidikan, pelayanan publik dan segala aktivitas pada malam hari. Sementara siang hari mereka akan tidur mulai dari shalat subuh hingga...

Nah, di sini orang-orang akan menghadapi kendala besar yakni terlalu seringnya kelewatan waktu shalat zuhur. Sama seperti tahajjud, waktu zuhur kala itu dilaksanakan di sela-sela tidur. Sungguh berat untuk bangun bila kantuk masih menyelimuti, bila tidur masih diingin.

Dalam situasi seperti ini, para misionaris Syi'i dapat bersiap-siaga. Mereka perlu bekerja keras mengkampanyekan bahwa shalat zuhur itu waktunya dapat di tempel dengan ashar. Jadi pada masa siang jadi malam dan malam jadi siang setiap Ramadhan, orang-orang menemukan mazhab syiah sebagai solusi. Meskipun saya curiga orang syiah agak menggerutu hatinya karena maksud mereka boleh shalat tiga waktu agar terkesan agama nenek moyang mereka (Iran), Zoroaster diwarisi oleh Islam. Agama Zoroaster sembahyangnya terbit mentari, setentang di atas kepala dan terbenamnya. Jadi ini mereka temukan kesamaannya dengan aturan waktu shalat dalam Al- Qur'an. Mereka pura-pura lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa pelaksanaan Dalam situasi seperti ini, para misionaris Syi'i dapat bersiap-siaga. Mereka perlu bekerja keras mengkampanyekan bahwa shalat zuhur itu waktunya dapat di tempel dengan ashar. Jadi pada masa siang jadi malam dan malam jadi siang setiap Ramadhan, orang-orang menemukan mazhab syiah sebagai solusi. Meskipun saya curiga orang syiah agak menggerutu hatinya karena maksud mereka boleh shalat tiga waktu agar terkesan agama nenek moyang mereka (Iran), Zoroaster diwarisi oleh Islam. Agama Zoroaster sembahyangnya terbit mentari, setentang di atas kepala dan terbenamnya. Jadi ini mereka temukan kesamaannya dengan aturan waktu shalat dalam Al- Qur'an. Mereka pura-pura lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa pelaksanaan

Mungkin mereka tidak mau merujuk Nabi karena mereka marah Muhammad yang jadi Nabi, bukan Ali. Dengan berpedoman pada syi'ah, maka ini menguntungkan para pengangguran masa kini dan para pekerja di masa depan sebab mereka dapat bangun jam 5 sore lalu shalat zuhur dan asar. Ada cara yang lebih mudah lagi daripada yang ditawarkan orang syiah:masuk Kristen sebaga solusi yang lebih cerdas lagi karena sembahyangnya seminggu sekali, hihihi.

Dua Perempuan Muda

Kutatap ke arahnya sepintas. Otakku penasaran, ingin kukembalikan penglihatan itu. Setelah memuaskan otak menatap gadis berkulit warna krim dengan bibir merah menyala tak lupa celak hitam mengelilingi bulu matanya, bola matanya yang seolah ingin melimpat keluar itu seperti miliknya ikan mas koki, tetapi terlihat serasi dengan alis mata yang dicat tebal, kuperhatikan bentuk bibir, pipi dan batang hidungnya: dia bukuan wanita pilihanku, kuperiksa kembali otakku kenapa dia meninta untuk menoleh kembali tadi. Padahal dia tidak lebih cantik dari yang kuperkirakan. O, ternyata otakku penasaran karena warna kulitnya yang sangat menarik. Meski warna kulit perempuan berjilbab cokelat itu tidak seputih perempuan yang terkesan selalu mencari perhatian yang posisi duduknya lebih dekat denganku, namun perempuan bercelana jins dengan tas samping bertali panjang bewarna coklat itu jauh lebih menarik. Selain karena dia lebih berisi, tidak seperti perempuan ini yang terlalu kurus, juga perempuan yang lebih dekat dengan ku ini rambutnya seperti lidi sapu terbang Harry Potter.

Walau bagaimanapun, kupastikan keduanya tidak akan mau dekat denganku lebih jauh bila aku menyapa mereka dan mengajak berbicara. Perempuan, ingin dilihat, tidak ingin ditatap; ingin diperhatikan, tidak ingin dipelototi. Pikiran perempuan memang misteri. Dan mereka sendiri tidak mengerti mengapa mereka begitu.

Bukan Awannya. Bukan Airnya

Bukan karena indahnya gunung di waktu petang yang puncaknya mengagumkan karena diselimuti manja awan-awan tipis. Awan-awan seolah- olah enggan, seakan-akan ingin: merangkul puncak gunung yang terlihat olehku melalui kaca jendela mobil yang sedang melaju kencang, namun terasa terbang manja bagaikan layangan yang enggan menerima hembusan agin padahal dia membutuhkannya sebagai penyangga agar tetap melayang, agar tetap terlihat elok. Mobil kurasa terbang manja meski beberapa penumpangnya memegang dada karena supirnya menginjak pedal gas seakan tak waras, sedang bersiul-siul pula mengikuti alunan irama yang diputarnya melalui mp tiga.

Ya Allah, kau kirimkan sakit gigi yang begitu nyeri selama tiga puluh hari tanpa henti hamba dapat amini. Tapi meninggalkan kenangan pulang dari Pidie menumpang angkutan bus mini bewarna merah, hamba tak mampu. Allah, hamba tak kuasa. Hati hamba lemah, lemah karena kau kuatkan selalu ingatan hamba saat ketika jantung hamba seakan melompat ke lantai tempat taruh kaki, badan hamba seketika menggigil semua. Rasanya semua molekol yang menyusun tubuh hamba meleleh bagaikan gunung garam yang disapu gelombang.

Saat mobil hendak berangkat, aku menawarkannya buku Kahlil Gibran. Bagiku buku itu indah sekali, benar-benar menyentuh rasa. Bahkan telah lusuh karena telah berulangkali kukhatami. Dia mengambil buku itu, mencoba membaca beberapa paragraphnya. Lalu dikembalikannya padaku. "Tidak memahami, saya" katanya.

Aku tidak pernah tertarik untuk menafsirkan ucapannya. Akalku lumpuh dan hanya kalimat ucapannya kuangkat di atas kepala, kuisi di atas nampan, kubungkus kain sutera, kutaruh di atas kepala, kubawa ke mana- mana hingga nanti aku mati.

Baru hampir sepuluh tahun kemudian aku dapat mencerna makna kalimat ucapannya. Memang puisi sulit dipahami banyak orang kecuali yang sedang mabuk kepayang dilanda asmara dipanah cinta. Memahami maknanya malah

memperparah keadaanku. Terus-terang sangat ingin aku mengetahui kabar tentang dirimu, bagaimana keadaanmu? Apakah kamu sudah menjadi guru Bahasa Inggris? Mengajar di mana? Apa kabar suamimu? Apakah dia sudah naik pangkat? Bagaimana- anak-anakmu? Ah, menyebut yang terakhir aku jadi malu pada masyarakat. Untuk apa mengurus anak orang.

hanya menambah

luka,

Tahukah kamu hingga hari ini dan bahkan besok cintaku padamu takkan mungkin sedikitpun berkurang. Tahukah kamu hari-hariku melihatmu adalah kenyataan terindah dalam hidupku. Tahukah kamu memandang atap Tahukah kamu hingga hari ini dan bahkan besok cintaku padamu takkan mungkin sedikitpun berkurang. Tahukah kamu hari-hariku melihatmu adalah kenyataan terindah dalam hidupku. Tahukah kamu memandang atap

Mencintaimu sampai besar anak-cucumu nanti memang terlihat tidak relistis. Namun bukankah sejak big-bang semuanya tak ada yang real. Aku berhayal ketika kamu tua nanti, suamimu telah mati, anak-anakmu telah pada pulang ke rumah mertuanya, aku, di kamar depan rumahmu yang setiap lebaran selalu kukunjungi saat kita lajang dulu, memelukmu setiap saat. Duhai Tuhan. Inilah jalan paling indah nagi hamba menanti detik-derik kematuan. Menyandarkan kepala pada bahu yang kepalanya jatuh ke bahuku saat aku menatap puncak gunung yang diselimuti awan tipis bewarna putih.

Saat kepalanya jatuh kebahuku aku bergetar dan menggigil, kukira karena awan yang menyapa ujung bukit, kukira karena jernih air sungai Batee Iliek yang berkelok-kelok alirannya karena menabrak kencang batu-batu yang sangat banyak jumlahnya.

Bukan awannya, bukan airnya. Tapi aliran darahmu yang membuat darahku mengalir tak pasti. Dan betapa menyenangkan suatu hari nanti bisa kembali merasakan aliran darahmu dengan aliran darahku.

Utuh, Telah Di Hati

Malam ini gerimis. Aku keluar membeli susu kental manis, sesaset.Rencana kuseduh panas. Setidaknya menghilangkan dingin. Setiba di warung kubeli sesaset. Seribu dua ratus rupiah harganya. Setelah membelakangi warung, terfikir olehku: bagaimana kalau malam ini akan seperti malam-malam lain, susah tidur. Terlintas di pikiran membeli sesaset lagi. Hati berbisik: nafsu bila diturutkan takkan ada kata "cukup". Akan bisikan pikiran, aku mengurungkan. Melintasi jalan, tiba-tiba sebuah motor matic bewarna putih menerkam ke arahku. Aku terkena, tapi tak sampai jatuh. Motor terjungkal tak beraturan. Ternyata satu laki-laki, satu perempuan ikut terpelanting.Ini gara-gara kamu. Kau memang menyebalkan." kata pemuda setelah bangkit dari badan jalan. Gadis yang dimarahi terlihat tak berdaya. Setelah ikut bangun, wajahnya pasrah. Dari lampu jalan terlihat raut muka sedih dan tertekan."Maafkan, Kang." kata gadis itu sangat lembut padaku, menyadari teman laki-lakinya yang bersalah.Aku tak sempat membalas dengan: "Tidak apa-apa, lupakan saja" atau; "Sudah, lupakan saja, kamu sendiri, tidak apa-apa?""Ya sudah! Kita putus. Kau pulang sama dia aja." pria itu meraih stang motornya dan tancap gas. Anehnya, gadis itu tidak peduli mantan pacarnya pergi meninggalkannya. Dia kembali menanyakan keadaanku."Bener, Akang tidak apa-apa?"Ini aneh. Kenapa pula dia yang menanyakan keadaanku. Bukankah bahkan aku hanya sedikit tersenggol ban depan motor itu tadi dan bahkan tidak sampai terjatuh. Sementara dia sendiri yang terpelanting ke atas aspal sama-sekali tidak mengeluh dan malah memenanyakan keadaanku.Mungkin dia mengharapkan aku balik menanyakan keaadaannya. Tidak, mungkin bukan itu yang dia harapkan, pikirku."Tolong hantarkan aku sampai rumahku. Ke perumahan itu" dia menunjukke arah utara.Aku ingat, kurang-lebih tiga ratus meter ke arah utara ada sebuah perumahan mewah.Mengingat aku harus segera kembali ke lokasi training, sebenarnya aku agak kesulitan mengantarkannya.

Namun, melihat dia terlalu peduli padaku, mengingat gadis baru saja putus cinta dan menimbang tidak aman perempuan berjalan sendirian, apa lagi waktu malam (walaupun berjalan berdua dengan laki-laki bukan muhrim jauh lebih 'tidak aman' lagi), kuputuskan mengantarnya.Sampai di tengah perjalanan kami masih saling bungkam. Sampai dia bertanya:

"Kenapa diam saja?" "Kalau tidak diam, tidak ada puisi" jawaban itu spontan keluar dari

mulutku. Bahkan aku sendiri tidak menyadarinya. "Kamu seorang penyair?" tanyanya kagum "Ah, tidak. Bukan. Tadi salah jawab" aku menghindar.

"Aku suka kamu. Maksudnya, aku suka penyair" katanya "Tidak, aku bukan penyair. "Tak terasa kami telah berada di depan rumahnya. Rumah itu

lumayan indah. Ada taman kecil di halaman. Garasi terbuka, mataku menangkap mobil C-RV keluaran terbaru di dalamnya.

"Mari masuk dulu" dia menawarkan. ―Ah, tidak. Terimakasih" aku teringat training "mungkin lain kali

saja" "Secangkir teh panas sangat indah di malam yang dingin begini" bujuknya. "Mungkin segelas susu hangat sangat segar besok sore" aku menawarkan." ―Baiklah. segelas susu menunggumu besok sore di sini" sambil dia menghadapkan wajahnya ke arah teras rumahnya. Di sana kutemukan sepasang kursi mungil bewarna ungu bermotif putih dan di antaranya sebuah meja imut bewarna yang sama. Aku mengharapkan sore besok adalah sore paling indah seumur hidup. Aku membayangkan kamu duduk di sama, mengobrol, berbagi cerita, bercanda dan tertawa bersama.Aku sempat mengucapkan selamat istirahat dan berpesan padanya untuk jangan terlalu khawatir akan keseriusan kata- kata pacarnya itu, sebelum pamit kembali ke lokasi training.

"Mungkin dia sedang emosi. Jangan khawatir. Besok dia akan menelfon dan minta maaf." Terlihat dia tidak nyaman dengan kata-kataku itu. "Aku sudah melupakannya sebelum itu terjadi" jawabnya teduh. Aku memelihat dia bersedih. Aku ingin menghibur. Tapi bagaimana

caranya? "Cintamu utuh milikmu. Dia utuh di hatimu. Sampai kapanpun begitu. Engkau berhak menitipkannya ke hati siapa saja dan mengambilnya kembali kapan kau mau. Bukan begitu?" aku mengharapkan senyumannya.

"Sebelumnya memang begitu. Tapi setelah melihat wajahmu tadi saat engkau menyeberang jalan, cintaku telah kesitu. Dia menunjuki dadaku." kulihat dia berubah ceria sedikit.

Tapi ini mustahil. Mungkin dia merayu saja. Mana mungkin cinta semudah itu muncul, diberikan secara utuh dan tak dapat diambil kembali. Melihat aku kebingungan, dia berkata:

"Kau tau cinta itu datang pada pandangan pertama? Tahukah engkau bila dia tidak hadir pada kali itu, takkan pernah ada selamanya? Tegakah engkau pergi begitu saja setelah cinta di dalam hatiku yang utuh kini utuh di dalam hatimu. Bila kau jauh dariku sadarkah engkau seseorang yang cintanya "Kau tau cinta itu datang pada pandangan pertama? Tahukah engkau bila dia tidak hadir pada kali itu, takkan pernah ada selamanya? Tegakah engkau pergi begitu saja setelah cinta di dalam hatiku yang utuh kini utuh di dalam hatimu. Bila kau jauh dariku sadarkah engkau seseorang yang cintanya

"Sekarang pulanglah. Aku dan secangkir susu menunggumu di sini besok jam empat sore." dia menangis lirih. Kian detik-kian lirih. Ini mengusik dadaku, bahkan nyaris menyayat hati. "Hati yang di dalamnya ada cinta dia yang utuh." bunyi batinku. Bercucur air mata, sambil terbata-bata dia berkata: "Kembalilah besok sore." Aku mengangguk, mencoba menenangkannya. Aku memberanikan

diri mengusap rambunya yang panjang terurai lurus. Gerimis berubah hujan. Dia mencoba menyeka airmatnya dari pipinya. Aku memperhatikan wajahnya. Ternyata baru kusadari dia begitu cantik. Lampu taman dan beranda rumahnya memperlihatkan bahwa kulitnya kuning langsat.

Perlahan aku menjauh. Jari-jari tangannya mencoba meraih jari-jari tanganku. Akupun berlalu. Setelah beberapa langkang membelangkanginya, dia memanggilku.

"Hei, boleh kutahu namamu..." aku berbalik dan tersenyum. "Baiklah, besok sore saja" sambungnya sambil mencoba tersenyum

dan melambaikan tangan. Keesokan harinya agenda berubah. Kami harus kembali ke Mentra siang ini juga! Dia menungguku sejak sore hingga keesokan paginya. Selama itu dia nyaris tidak bergerak, hanya sesekali mengusap pipinya yang terus mencucurkan air mata dan sesekali pula dengan belakang telapak tanngannya mengusap ujung batang hidungnya yang mancung. Matanya selalu menatap kosong dan jarang sekali berkedip.Menjelang pagi dia terkulai di atas salah satu kursi mungil bewarna ungu bermotif putih dan susu di dalam gelas sudah menunjukkan aroma tak sedap masih tergeletak di atas meja imut bewarna yang sama.

Tak Ada Istiqlal, Kathedral-pun Jadi

Sep sigee ka jeut keu ubat. Tajak seumayang u meuseujid Istiqlal leubeh jraa teuh daripada takeureuja bak Jeupang. Si Yanis baroo dua uroe trok u Jakarta. Jih dijak keunoe kareuna ban woo Edvan Trening PII di Palembang. Alasan jih meunyo mita peng eungkoh woe u Aceh di Palembang cukop that sulet. KB PII Aceh tan di sinan. Ohlheuh nyan, meunyoe di Jakarta seulaen KB PII nyang dari Aceh ramee, di sinoe pih na kantoe Perwakilan Aceh. Biasa jih di kantoe nyan kayeem jibi tiket moto PMTOH untuk woe u Aceh.Nyang that meugura nyan keuh watee meuneuk jak u meuseujid Istiqlal. Nyoe dari jioh leumah sang-sang meuseujidnyan toe that. Ban kamoe beurangkat dari Monas rupajih leupah that jioh.

Seopot nyan ujeun. Si Yanis ngen awak nyoe jibeulanja bajee-bajee kaoh nyang na gamba Monas ngen tulisan "Jakarta". Lheuh beulanja kamoe piyoh bak teumpat meukat bakso. Si Yanis peusan bakso, long peusan es campur. Watee si Yanis pajoh eh campur, jiteumee ulat saboh manteng udeep. Si Yanis langsong ji piyoh pajoh, karap meutah. Si Nawar naha jipikee sapuu, ji takat lajuu.Watee tameng u lapangan Monas, peumandangan jih cukop ceudah. Awak nyoe ka lale poto-poto. Han ji thee langet maken seupot. Awan itam meugulong-gulong. Langet bih bacut-bacut jipeuten ie. Kamoe ka bulut.

Plung mita teumpat, boh panee na teupat meusom dari ujeun hinan. Bak kayee lah pelarian terakhir. Monas adalah tujian kami. "Senja terakhir di Monas" kupeugah lee long. Awak nyan sengeh cet uroe ka jiwoe u Aceh. Jadi, ken, supot nyoe seupot seuneulheuh awaknyan i Jakarta.

"Apdet status" ipeuduk lee si Yanis. Oh lheuh nyan i lhuk nyang keh. Icok hape. Paih ikeu Istiqlal dari

jioh deuh kamoe eu geureja raya that-that, Kathedral. Geureja nyan meurithat awak Kriseuten han item theu taloe. Kukheun i loong

"Nyoe meunyoe han iteumee troh u Iqtiqlal, keunan u Kathedral ji tapeu keu" kukheun i loong.

"Hahaha" kamoe khem mandum: teungeh bulut, teungeh heek. "Tak ada Istiqlal, Kathedralpu jadi" kutamah i loong. "Apdet status" i peuduk lom lee si Yanis. Ka i kleek-kleek hape lom. Leupah tahat jioh kamoe mita pageu teubit dari Monaih, pageu nyang

toe ngen Istiqlal. Si Yanis nyan. Aleh puu beda seumayang i Monaih ngen toe ngen Istiqlal. Si Yanis nyan. Aleh puu beda seumayang i Monaih ngen

Oh watee meurumpek pageu teubit, kamoe koh jalan. Di miyup ren keureuta apui lon tanyeng bak awak meukat hinan, pat pageu tameng yang paleng too lam meuseujid. Iyuu jak ju blah uneun "...setelah itu belok kiri" i kheun.

Rap siteugeh matee meujak, meu saboh pageu tan na teuhah. Rap na siploh boh pageu i top mandum. Lang maa ih. Lageee ek. Pu i peuget maaa ih. Rap meugrep pih pageu i gunci. Puu han ibi seumayang ureung, puu. (Nyang jaga) meuseujid pungoo bui.

Oh rap na sikoloe meuputa-puta akhee jih meurumpek saboh pageu nyang teuhah, bacut that teuhah, pah-pan ubee let badan sagai. Sang meunoe Ajadin han let. Iboh bosoe lom di miyup jih: nyas pasti nak bek i peutameng honda ngen itangeen. Ujeun maken brat. Kamoe meuplung u saboh traih. I peugah lee ureu hinan: teumpat tung ie semayang jioh lom keudeh u likot. Pluung lom lam ujeu. Lam maa ih awak peuget meuseujid, latee kee.

Ban trok bak teumpat tung ie seumayang: suut ipatu. Bak teungeh duk sut ipatu, deuh kudingee su. "Haram. Haram. Haram." Ban ku eu ka awak Arab. Tapi bajee jih lagee kaphee sit. "Hm, awak Arab" latee kee "Nyoe meulikot gop, i reupah awak meukat plaseutip nyan". Na awak meukat plaseutip, ineeng meupadup droe. Plasetip teumpat posoe silop. Ineeng mandum.

Ban meutameng u dalam meurumpek tulisan: Tempat Penitipan Alas kaki Gratis. "Nyan. Pree bang, i kheu lee si Yanis." Kamoe pih peutoe ju keunan: peuduk ipatu. Pree! Oh lheuh nyan jaak lom. Doo jioh: Bak teumpat tung ie semayang. "Lam maaa ih" latee kee. Ban meu eu ie kaa saket iik. Jaak lom u ujong tempat tung ie seumayang. Doo jioh teumpat toh iek nyan. U ujoong teumpat tung ie seumayang. Doo jioh: Bit-bit hek teu tajak semayang keunoe: Lagee takeureuja bak kaphe!

Ubee naa kukalen, teupat toh iek model deeng mandum. Hana beda laga cara toh iek awak kaphe. Asee manteng pih na itinggong meubacut watee toh iek.Kupileh kran nyang agak unik bacut. "Meunyoe kran jih sama lagee ata i menteng rugoe that jak keunoe" ku kheun bak si Yanis. "Lheu tajak keu noe hek lagee takeureuja bak kaphe, hana nyang meu laen: rugoe lah!"I sampeng kran na manyang siteungeh metee. Panyang jing simete. Lebar meu 30cm. Atra nyan na bak tiep-tiep saboh leung antara tiang meunara. Na ureung semayang meupadup droe bak meupadup boh atra nyan. "Bak wese pih seumayang" babah kee tajam that memang. Teubit dari teupat tung ie seumayang meuheut wet wie. Tapi langsong i ceugat lee satpam. "Shalat di atas mas, ya." "Ooo, i wateuh. Kupike di miyup Ubee naa kukalen, teupat toh iek model deeng mandum. Hana beda laga cara toh iek awak kaphe. Asee manteng pih na itinggong meubacut watee toh iek.Kupileh kran nyang agak unik bacut. "Meunyoe kran jih sama lagee ata i menteng rugoe that jak keunoe" ku kheun bak si Yanis. "Lheu tajak keu noe hek lagee takeureuja bak kaphe, hana nyang meu laen: rugoe lah!"I sampeng kran na manyang siteungeh metee. Panyang jing simete. Lebar meu 30cm. Atra nyan na bak tiep-tiep saboh leung antara tiang meunara. Na ureung semayang meupadup droe bak meupadup boh atra nyan. "Bak wese pih seumayang" babah kee tajam that memang. Teubit dari teupat tung ie seumayang meuheut wet wie. Tapi langsong i ceugat lee satpam. "Shalat di atas mas, ya." "Ooo, i wateuh. Kupike di miyup

maaa keuh." Lheuh seuleusoe seumayang maken beutoy nyang kukira bunoe watee teungeh seumayang: Nyan awak seumayang pih rap mandum awak jamee: wisatawan nyang meu neuk eu meuseujid terbesar di Asia Tenggara. Cuma kareuna nyoe meuseujid dan kebeutulan nyang jak wisata pih awak Ieseulam, ya, jiseumayang lah. Bek hana mangat sagai ngen alam. Ji teungku imum pih pungoe. Meuteueh nyoe Masjidil Haram bak geubaca ayat meuseulihat that. Oh lheuhnyan panyang tuloe. "Eee teungku imum cireet! Puu neupeuget but. Ureung seumayang dua kreek pih peu hayeu- hayeu droe." latee kee teungeh seumayang.

tan.

Ook

Lheung semayang kamoe seumayang sunat. Awak si Yanis poto- poto. Rap mandum jamaah poto-poto. "Ken nyoe chek kee bunoe, rap mandum wisatawan. Jamaah nyang beutoy-beutoy meuheut jak seumayang, nyoe

latee ke. Lheu nyan kamoe teubit. Woe ngen bemo. Bayeu tujoh ribee. I peugah phon limeng blah. Kaa troh lom u Mentra 58. Ban malah kubuka fesbuk. Teukaleen status si Yanis: "Senja terakhir di Jakarta; tak ada Istiqlal, Kathedralpun jadi."

na

meu

dua

droe"

Cut dan Ampon

Dalam hidup selalu ada dua pilihan. Engkau lebih senang hidup bahagia dalam kebohongan atau sengsara dalam kejujuran. Karena wanita terlalu memaksakan diri untuk disanjung dan diberikan apresiasi setiap saat maka mau tidak mau, atau lebih tepatnya terrpaksa laki-laki harus memberikan kebohongn dan ketidak jujuran pada wanita yang dicintainya. Memilih jalan ini terlihat lebih aman bagi kedua belah pihak. Bahkan aku pernah mendengan seorang ibu berkata begini: "Dia (suaminya) mau selingkuh, mau kawin lain, itu hak dia. Asal jangan sampai terdengar ke telingaku, bisa hancur hatiku, sengsara jiwaku, merana batinku" katanya.

Cut adalah wanita yang unik dan berbeda, sebelum memutuskan menyambut uluran tangan Ampon untuk bersanding di pelaminan, Cut meminta agar Ampon tidak pernah membohonginya. Cut membiarkan Ampon untuk selingkuh atau bahkan berpoligami atau apa saja boleh dilakukan Ampon, asal jangan membohonginya. Prinsip Cut ini kukira tidak tepat karena hanya untuk memberikan peluang pada Ampon untuk menduakan cinta Cut. Namun aku berfikir pilihan Cut adalah cara paling ampuh untuk membuktikan kesetiaan cinta Ampon padanya.

Cut dan Ampon terbilang pasangan yang sangat muda dalam ikatan pernikahan. Usia Cut 18 dan Ampon 22, Dari pernikahan mereka aku memperoleh satu pelajaran yang sangat berharga bahwa pernikahan yang dilakukan karena alasan kelamin akan berakhir karena persoalan kelamin pula. Sebelum menikahi Cut, Ampon pernah berkata padaku bahwa alasannya menikah hanya satu yaitu menjaga kehormatan. "Menjaga kehormatan" adalah bahasa yang paling halus dari "memenuhi hasrat kelamin". Dari ungkapan Ampon aku mengetahui bahwa tujuannya menikahi Cut hanya satu itu saja.

Aku mencoba mencari informasi apakah Cut sendiri mengetahui niat Ampon menikahinya. Aku juga berhasrat untuk mengetahui apakah Cut mengetahui bahwa Ampon tidak benar-benar mencintainya? Atau kalau Cut mengetahui, lantas kenapa dia menerima pinangan Ampon.

Untuk mendapatkan semua informasi ini, terlebih dahulu aku harus mencari cara supaya dapat melakukan pendekatan dengan keluarga muda ini. Akhirnya aku memperoleh pekerjaan di rumah mereka sebagai supir pribadi Ampon. Posisiku ini tidaklah membuatku dapat sering mendekati Cut. Namun, posisi ini membuatku memporoleh banyak informasi dari Ampon. Intinya Ampon menikahi Cut samasekali bukan karena cinta. Dia menikahi Cut karena alasan kecantikannya saja. Lebih dari itu Ampon mengakui menikahinya untuk membalas sakit hatinya pada Cut.

"Sakit hati?" tanyaku benar-benar tidak mengerti. "Tahukah kau bagaimana si Cut itu memperlakukanku sewaktu awal-

awal aku mengenalnya?" Ampon diam sebentar dan melanjutkan "Dia mencibirku, menghinaku, memperlakukanku seolah-olah aku ini manusia tidak berguna. Dia menghina pekerjaanku, tampangku dan latarbelakang keluargaku. Di depan kawan-kawannya aku benar-benar manusia yang paling tidak patut untuk diterima cintanya oleh si Cut.

"Aku berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh perhatiannya Cut. Aku tahu satu hal. Setampan apapun kau, kalau pekerjaanmu hina, kantongmu tak berisi, kau takkan memperoleh perhatian sedikitpun dari wanita sejelek apapun. Apalagi dari seorang wanita secantik si Cut itu.

"Akhirnya aku memperoleh pekerjaan yang layak dan mampu membeli rumah dan mobil. Perubahan kondisiku langsung saja membuat Cut tertarik padaku. Kesempatan ini langsung saja kumanfaatkan dengan menikahinya. Ya, aku menikahinya untuk membalaskan dendam-dendamku" cerita Ampon.

Iklan Citra memperlihatkan untuk membawa seorang wanita ke kehidupnmu, maka bawa serta seluruh kehidupannya padamu. Pohon dalam iklan itu sebagai representasi dari segalahal menyangkut kehidupan si cewek. Dan pekerjaan, adalah bagian daripada kehidupan seseorang yang paling sakral. Bekerja adalah aktivitas yang membuat kita layak menyatakan diri adalah bagian dari keselarasan alam.

Ampon telah mencabut Cut dari bagian kehidupannya dengan melarangnya bekerja. Padahal Cut adalah sarjana jurusan kesehatan terbaik di daerahnya dan dia tergolong pegawai teladan di tempatnya bekerja. Kehilangan pekerjaan adalah penderitaan batin pertama dialami Cut setelah menikah dengan Ampon. Selanjutnya penderitan demi penderitaan terus menimpa Cut: Perselingkuhan Ampon dengan puluhan wanita dan isu yang terdengar telinga Cut bahwa Ampon telah menikahi pacarnya waktu SMA akhirnya membuat Cut depresi. Terapi dan karantina di RSJ tidak mampu mengobati guncangan jiwa Cut.

Terpuruknya kondisi mental Cut berimbas pada kondisi fisiknya. Akhrinya Cut masuk rumah sakit. Ampon menyuruhku menjaga Cut di RS. Dia memesan padaku kalau Cut menanyakan dirinya, harus kujawab Ampon di luar negeri karena urusan yang tidak dapat ditinggalkannya. Aku menuruti permintaan Ampon bukan karena takut pada Ampon. Aku melakukannya karena tidak sanggup melihat hati Cut yang memang telah hancur semakin hancur lagi bila dia mengetahui Ampon sedang liburan ke Bali bersama istri barunya.

Aku menganggap cintaku adalah cinta yang tinggi. Karena itu, waktu itu, sepuluh tahun yang lalu aku tidak mendesak diri untuk mengutarakan Aku menganggap cintaku adalah cinta yang tinggi. Karena itu, waktu itu, sepuluh tahun yang lalu aku tidak mendesak diri untuk mengutarakan

Tapi aku tetap menganggap itu semua adalah konsekwensi yang harus kuterima untuk terus memelihara cintaku pada Cut. Bagiku cinta yang dimiliki akan menurun kualitasnya. Cinta akan semakin subur bila terus merindui, terus sepi dan sunyi. Caranya adalah dengan tidak mengotori cinta dengan ikatan pernikahan. Itulah caraku merawat cinta. Sewaktu mengantarkan obat pesanan dokter pada Cut, aku melihat kondisinya sangat parah. Tubuhnya tinggal kulit dan tulang. Tapi dimataku kecantikan Cut tidak pudar. Bahwa yang sedang terbaring di hadapanku saat ini adalah wanita satu-satunya yang kucintai. Aku tak pernah mencintau wanita yang lain sampai kapanpun. Dan kalau nanti aku harus menikah, itu semata kulakukan karena aku adalah bagian dari mamalia yang harus memiliki keturunan.

Hatiku begitu luka melihat kondisi cintaku yang seperti ini. Cut adalah segalanya bagiku. Aku mencintainya tanpa pamrih sama sekali. Dan itu kubiktikan dengan tidak memiliki dirinya. Tanpa kusadari airmataku jatuh.

"Kenapa kau tidak mengatakannya waktu itu" suara Cut berat dan pelan sekali saat aku sudah berbalik hendak meninggalkan ruanga. Aku menoleh kembali. Cut mematapku sayu. Aku tak mampu menjawabnya. Yang membuatku heran adalah kenapa Cut mengetahui aku mencintainya. Padahal sama sekali tidak pernah kutunjukkan padanya, dihadapannya bahwa aku mencintainya, baik melalui tindakan maupun ucapan.

"Apa kau senang melihat cintamu seperti ini. Apa ini yang kau inginkan?" Aku cuma diam. Nafasku tertahan ditenggerokan.

Aku mendekatinya. Memaksakan senyum dan berkata. "Apa yang nyonya ucapkan".

Dia betul-betul mengetahui kepura-puraanku. Lalu meraih lenganku dan menggenggamnya. Kurasakan tulangnya yang berbungkus kulit. Cut, sedikitpun cintaku tak berubah: meski kini kau istri majikanku, meski kini kondismu begini.

"Sudah sadarkah kau akan kelirunya dirimu memaknai cinta" sambungnya. Aku tak kuat. Air mataku jatuh. Tak mampu lagi aku menduga- duga darimana dia mengetahui segalanya.

Dia menengadahkan tangannya. Aku merangkulnya. Ini seperti mimpi bagiku. Aku bergetar. Seluruh persendianku terasa lumpuh. Baru kali ini aku mengetahui nikmatnya dalam pelukan kekasih. Duh, seandainya ini kuketuhui sepuluh tahun lalu.

Tiba-tiba Ampon berhamburan ke dalam dan melihat kami.

Seribu Pancaran Sinar Mentari

Kawan, seharusnya tidak sekarang aku menceritakannya padamu. Ceritaku layaknya kusampaikan saat aku telah berada di Teheran atau Muenchen, saat aku menjadi salah seorang Profesor di sana. Tapi bagaimana kalau cinta lama merangkulku lalu membawaku pergi? Konon, kudengar dia telah berubah menjadi monster mirip Orge dalam game "Tekken".

Ceritaku bermula saat keranjang hijau telah kosong dan hanya menyisakan beberapa plastik keresek dan seikat lidi bambu. Setelah kukayuh sepedaku menjauhi Sambu, tempat di mana sore itu bungkus terakhir mie Aceh yang kujual seribu rupiah perbungkus disapa perut yang sedang lapar, aku telah membelakangi billboard besar tempat di mana iklan rokok "Kennedy" bertengger. Iklan itu telah senyum manis di persimpangan jalan dekat Medan Mall sejak enam tahun lalu saat usiaku masih sebelas tahun. Tiba-tiba aku berhenti dan menoleh ke arah spanduk besar itu. Bulu kudukku berdiri. Terdengan bisikan "Miswari, kamu akan kuliah."

Kuliah? Saat itu kuliah adalah mustahil bagiku. Aku nyaman dengan realitas yang sedang kujalani. Kuliah adalah hal mustahil. Setiap pulang sekolah aku bergegas ke sebuah rumah milik orang Tangse yang telah lama tinggal di Medan. Salahsatu kamarnya disewakan padaku. Seratus ribu rupian per-bulan. Sesampai di rumah aku langsung mandi, shalat dzuhur dan berlari ke rumah Mak Boi. Di sana Mak Boi memberikanku makan siang dan malam, dua kali sehari, hanya dengan membayar seratus ribu rupiah per- bulan. Harga itu memang tidak pantas. Tapi aku tahu dia mau membantuku. Selasai makan aku buru-buru ke rumah Kak Syah. Di rumah beralaskan tanah itu telah bersedia sebuah sepeda yang lusuh. Di sandelnya telah terisi penuh bungkusan-bungkusan mie. Aku meraih sepada itu. Setiap hendak mengayuh untuk pertama kali aku selalu membaca Al-Fatihah. Selalu. Tidak pernah tinggal sepanjang dua tahun kerjaku menjual mie Aceh seribu! Meski saat itu otakku belum mengantongi konsep tentang kekuatan sebuah surat terdiri tujuh ayat itu, aku yakin Al-Fatihh punya kekuatan melebihi langit dan bumi. Apalagi untuk menghabiskan dagangan sekeranjang mie, pikirku dulu.Pekerjaan itu kulakukan sejak kelas dua hingga kelas tiga STM. Kelas satu aku masih tinggal di rumah salah seorang familiku. Pulang sekolah aku membantu mereka mengolah sirip hiu hingga menjadi salah satu dari bagian santapan lezat di restoran-restoran kelas atas.Bisikan tadi itu membuatku tercengang dan kembali membuatku melihat kembali kondisiku. "Kuliah? Mustahil!" gumamku. Diam-diam hati kecilku menyumpan keinginan yang maha besar untuk kuliah. Tapi keinginan itu tidak boleh membuatku tidak rasional. Bisikan-bisikan seperti itu adalah bisikan tentang masa depanku yang tak bisa kubantah, apalagi kuhindari.

Persis seperti bisikan saat aku di Masjid Muhammadiyah setelah lulus S1. Waktu itu bisikan itu mengatakan aku akan ke Jakarta.Karena kutahu bisikan itu adalah sesuatu yang tak bisa kulawan. Aku memilih mempersiapkan segala sesuatu tentang bisikan itu.Tiga bulan lagi Ujian Nasional. Aku sadar tidak seperti kawan-kawan yang bisa mempersiapkan ujian dengan mengikuti bimbingan belajar di lembaga-lembaga elit seperti Ganesha Operation Atau Primagama, makanya aku berfikir cara lain untuk mempersiapkan diriku.

Malam itu aku mengatakan pada Kak Syah bahwa aku hanya akan bekerja dua bulan lagi. Ini kuberitahukan agar dia bisa mempersipkan diri. Aku, akan mengumpulkan uang sebisa mungkin untuk sebulan menjelang UN karena saat itu aku akan berfokus pada belajar serta mengikutu les tambahan oleh pihak sekolah.

Caraku agar lulus UN adalah dengan membeli sebuah buku tentang penduan mengikuti UJIAN NASIONAL 2004. Aku mengawali dengan mempelajari soal UN dari tahun paling rendah. Strateginya adalah dengan mengisi jawaban atas petanyaan-pertanyaan itu dalam selembar kertas lembar jawaban fotokopian dari contoh lembar jawaban yang dilampirkan pada halaman buku itu. Salahsatu manfaat cara seperti itu adalah belajar mengasah kebiasaan melingkarkan jawaban agar tidak lepas dari bacaan komputer saat pemeriksaan lembar jawaban sesungguhnya nanti.Setelah mengisi lembar jawaban itu, aku memeriksanya dengan berpanduan pada lembaran kunci jawaban yang telah disediakan dalam buku. Aku mempersentasekan jawaban yang benar denga nilai yang kuperolah. Saat itu standar kelulusan 4.01 per mata pelajaran yang di UN-kan. Selanjutnya membaca sepintas lalu jawaban yang benar. Pada jawaban yang salah aku benar-benar mempelajarinya hingga aku paham betul. Demikian setiap mata pelajaran yang di UN-kan hingga sampai pada prediksi soal UN 2004.Setiap mengerjakan mata pelajaran dari tahun terendah dalam buku hingga 2003, nilaiku terus naik. Pada prediksi mata pelajaran 2004 aku memperoleh: Matematika lima koma sekian; Bahasa Inggris enam koma sekian dan: Bahasa Indonesia enam koma sekian.

Seminggu sebelum UN berlangsung, aku telah bersiap menghadapi ujian. Waktu seminggu itu kumanfaatkan untuk menyegarkan ingatan tentang soal-soal itu.Seminggu menjelang UN aku harus pindah dari kos. Dua dua hari aku terpaksa tidur di gudang perabotan milik orang Aceh. Sebelumnya aku telah akrab dengan pemilik dan pekerjanya karena mereka telah lama menjadi pelanggan mie Aceh jualanku.Tiga hari menjelang ujian, Agam menerimaku tinggal di tempat usahanya. Syaratnya aku harus membantunya berjualan minyak, koran dan majalah. Aku senang. Itu lebih baik daripada menghadapi hari-hari penting dalam hidup tanpa tempat tinggal yang jelas.

Hari pertama ujian aku menyelasaikan soal-soal ujian Bahasa Indonesia dengan mudah. Malam harinya, drama dimulai. Setelah mengulang sepintas lalu prediksi soal-soal Matematika UN 2004, aku beranjak tidur. Ayat-ayat pendek kubacakan penuh harapan dan kecamasan. Besok ujian Metematika dan dan Agama Islam. Jadi aku harus konsenterasi betul. Matematika begitu mendebarkan. Agama Islam? Ah, tak masuk dalam hitunganku. Tidak di UN-kan! Saat hendak memejamkan mata, begitu saja masuk sekelompok pemuda berpakaian preman menggeledah seisi ruangan tempat usaha Agam. Aku memang tidak pernah mengunci pintu sebab Agam menyuruhnya begitu. Dia datang bila-bila waktu ke toko. Pemuda-pemuda itu membuka payung yang tersangkut di dinding dan mencari sesuatu di dalam sepatu sekolahku dengan mengangkat kaus kaki di dalamnya. Mereka juga menggeledah tempat-tempat lain yang mereka suka. Saat itu aku belum curiga siapa mereka meski cara menggeladahnya mengesankan sekali.

"Mana si Agam." Tanya seorang pria agak gemuk, gondrong dan muka seram. "Keluar, Bang. Mungkin di rumahnya." jawabku kecut. "Di rumah tak ada" sahut yang lainnya. "Mana kau simpan barangnya" tanya si gondrong tadi. Aku diam tak bisa menjawab apapun lagi. Di tengah-tengah

kesibukan mereka menggeledah, di dalam otakku terlintas pikiran: Mungkin mereka adalah orang yang akan menyita barang-barang tertentu dalam toko Agam karena dia tidak mampu membayar utang.

Saat aku telah duduk dibarisan kedua sebuah minibus terlintas kesan dalam ingatanku: Bukankah kondisi seperti ini adalah orang yang sedang di gelandang Intel Polisi ke Tempat interogasi seperti yang sering kutonton dalam program "Patroli" di Indosiar. Kesan itu menghilang begitu saja.Aku telah berada di sebuah ruangan dalam kantor Polisi. Karenaa dari pertama saat di naikkan ke dalam moli aku membaca rute tujuan. Aku sadar betul telah berada di Poltabes Medan. Bahkan aku sering melawatkan sore seputaran Markas ini berjualan Mie Aceh dengan sepeda butut itu.

Beberapa saat kemudian aku dibawa keruangan lain. Di sana Agam telah duduk manis. Dia menjawab lugu dan singkat pertanyaan-pertanyaan pemuda yang duduk di balik meja menghadap sebuah komputer di atas meja hitam di depan kami. Aku melihat asbak di depan penginterogasi telah sangat sesak oleh abu rokok dan puting "Sampoerna Mild".

Pikiranku terfokus pada kedua orang tuaku. Aku membayangkan bila aku dijebloskan ke dalam sel yang berada sekitar sepuluh meter di sebelah kananku, bagaimana aku bisa memberitahukan orang tuaku bahwa aku telah dipenjara. Dipenjara karena tidak ada satupun Undang-undang yang dibuat Tiran-tiran di "rumah mewah" itu kulanggar. Aku sangat khawatir orang Pikiranku terfokus pada kedua orang tuaku. Aku membayangkan bila aku dijebloskan ke dalam sel yang berada sekitar sepuluh meter di sebelah kananku, bagaimana aku bisa memberitahukan orang tuaku bahwa aku telah dipenjara. Dipenjara karena tidak ada satupun Undang-undang yang dibuat Tiran-tiran di "rumah mewah" itu kulanggar. Aku sangat khawatir orang

Agam : Sama seka tidak, Bang. Penginterogasi: Jadi cuma kau sendiri yang makai? Agam : Bener, Bang Penginterogasi: Jadi benar dia tidak terlibat? Agam : Iya, Bang. Penginterogasi: Betul, kau!? Agam : Sama sekali tidak, Bang! Penginterogasi: Hah? (Setengah berdiri mencondongkan muka ke

arah Agam. Melotot tajam) Agam : Ya, Bang. Dia enggak. Detik itu pula langsung terfikir olehku: Kalau saja Agam ingin

berbuat buruk padaku. Mudah saja dia melakukan ini:Penginterogasi: Dia ikut, enggak?

Agam : Iya, Bang. Penginterogasi: Jadi dia ikut juga? Agam : Benar sekali, Bang. Penginterogasi: Jadi benar dia terlibat juga? Agam : Iya, Bang. Penginterogasi: Betul, kau? Agam : Benar, Bang! Sebenar setelah "Q", "R" Penginterogasi: Hah? (Setengah berdiri mencondongkan muka ke