Pesan Matamu di Ranah Minang
Pesan Matamu di Ranah Minang
Tanpa sengaja, sekilas terlihat mataku matamu. Aku ingin bernyanyi untukmu:
Cintaku padamu tak perlu kau ragukan
Aku jauh meninggalkan bumi cinta kita tapi bibitnya telah tumbuh dewasa
ketika pohon tumbu gagah menjulang jangan kau ragukan akarnya kokoh ke dasar bumi
Kata matamu, kamu ingin memberikan sebuah pesan untukku.Maka aku memberanikan diri bertanya padamu, sembari sepintas mencuri pandang pada bola matamu dan sinyal itu masih ada.
"Aku ingin mendengar suatu pesan, sebuah nasehat atau semacam wejangan darimu. Aku mohon. Itu sangat penting bagiku. Kumohon." Wanita, memang begitu adanya. Ingin memberikan secara utuh dengan ikhlas. Tapi di sinilah karakter laki-laki dibutuhkan untuk diekspresikan. Kau harus meminta, merayu, memohon dan dan mengiba padanya meski dia sendiri sangat menggebu-gebu untuk memberikannya padamu.
Kumohon kata-kataku ini jangan dimaknakan sempit. Ini untuk segalahal, segalanya mengenai wanita. Bahkan mengenai cinta, matata memberi pesan padaku:
Hampa Tidak ada cinta Semuanya telah pergi
Itu cuma khayalku beberapa hari sebelum ke bandara. Hari di bandara senyatanya biasa-biasa saja. Setiap naik pesawat, pasti ada gelisah dan ketakutan. Tapi di landasan dua rasa itu ada rasa yang lain: senang dengan terbang. Karena terbang adalah cita-cita tertinggi manusia. Mereka yang mati kecelakaan pesawat adalah yang mati dalam merebut cita-citanya. Rugi? Sama sekali tidak. Meraih cita-cita adalah tujuan hidup. Cita-cita jauh lebih berharga dari nyawa dan harga diri.
Bandara Soekarno-Hatta memang sangat panas ruang tunggu penumpangnya. Ini sama saja pada bandara Iskandar Muda. O iya, Polonia juga juga sama halnya. Aku tidak ingat lagi kondisi bandara di Makassar. Tapi aku mencoba mengingat-ingat kembali, atau lebih tepatnya mereka- reka: kondisinya sama.
Aku dan dia sama-sama sibuk menjaga dan mengawal tas-tas dan bawaan lainnya masing-masing. "Satu jam kita harus menunggu disini" katanya. Aku mengerti. Aku dan dia berbeda. Bagiku sejam itu waktu luang
yang sangat berharga. Tapi baginya satu jam itu sangat membosankan dan sangat menyiksa untuk menunggu selama enam puluh menit itu.
Kutawarkan dia masuk ke duniaku. Sedikit saja. Kusodorkan dia sebuah majalah. Sejam itu dia asik membolak-balik majalah dan hanya melihat gambarnya sepintas lalu dan agak malas sekali dan sangat berat untuk membaca beberapa judul tulisan yang tulisannya besar-besar itu.
Kuanggap majalah itu sedikit bisa membuatmu lalai seperti seorang balita yang diberi mainan plastik. Dan, dengan itu aku bisa melakukan sebuah pekerjaan yang berharga dengan waktu sejam itu.
Maka kukeluarkan Nokia 9300i-ku. Aku memesangkan handsfree. Kuputar isi wawancara Yazid dengan Ketum PB PII tadi malam mengenai tanggapannya soal HUT Israel yang dirayakan di Indonesia. Menurutku, jangankan Israel, merayakan HUT negara lain di negari lain itu tidak baik, meskipun yang merayakannya warga negaranya sendiri. Anehnya, yang merayakan HUT Israel di Indonesia adalah WNI sendiri, itu kan bodoh namanya. Nasionalisme mereka dipertanyakan. Itu subversif namanya. Melanggar asas negara. Ini tindak pidana berat!
Perjalanan dari bandara Soekarno-Hatta ke bandara Minang Kabau memerlukan waktu 95 menit. Seperti biasa setiap perjalanan udara: gelisah, deg-degan: Takut mati. Padahal tak di pesawat, lain hari akan mati juga. Nanti semua yang dari tanah kan kembali ke tanah jua lagi. "karena petak hijau yang mejadi taman ria kita hari ini,esok semuanya bakal tumbuh dari debumu" kata Umar Khayyam.
Saat penerbangan sudah memasuki wilayah udara Sumatera Barat jantung sudah agak sedikit lega, meskipun beberapa goncangan pesawat masih ada. Udara Indonesia tidaklah tergolong bahaya, namum yang membuat warga Indonesia takut setiap terbang di udara negerinya adalah kualitas pesawat yang digunakan dan skil pilotnya. Hal ini berlaku pada setiap moda transportasi di Indonesia. Tidak hanya untuk taransportasi, tapi semua sendi kehidupan dan segenap sistem apapun di negeri ini bermasalah. Aku menyimpulkan, setelah bertahun-tahun memikirkan dan merenungkan, bahwa sebab kerusakan bangsa ini adalah karena dasar negaranya yang Saat penerbangan sudah memasuki wilayah udara Sumatera Barat jantung sudah agak sedikit lega, meskipun beberapa goncangan pesawat masih ada. Udara Indonesia tidaklah tergolong bahaya, namum yang membuat warga Indonesia takut setiap terbang di udara negerinya adalah kualitas pesawat yang digunakan dan skil pilotnya. Hal ini berlaku pada setiap moda transportasi di Indonesia. Tidak hanya untuk taransportasi, tapi semua sendi kehidupan dan segenap sistem apapun di negeri ini bermasalah. Aku menyimpulkan, setelah bertahun-tahun memikirkan dan merenungkan, bahwa sebab kerusakan bangsa ini adalah karena dasar negaranya yang
Saat pesawat hendak turun, terlihat pemandangan yang luar biasa dari sebelah kanan dan sebelah kiri pesawat. Sebelah kiri memperlihatkan pulau- pulau kecil yang indah-indah dan tak berpenghuni. Pasirnya yang terlalu putih mengindikasikan banyaknya terunggu karang di dasar laut. Banyaknya terunggu karang memastikan beragamnya aneka satwa bawah laut. Dapat dipastikan pemandangan bawah laut Sumatera Barat sangat indah.
Aku memikirkan kenapa pemerintah daerah setempat tidak mengeluarkan sedikit energi untuk menggencarkan pariwisata di Ranah Minang. Mereka bisa mengkomersilkan pulau-pulau indah itu dengan membangun penginapan asri alami di pulau-pulau kecil itu dan pasir pantainya sangat disukai turis asang.
Kenapa tidak dipikirkan cara mengembalikan hasil bumi kita yang dikerok oleh negara maju dengan mendatangkan warga negaranya kemari dan menghamburkan uang mereka di sini. Inilah strategi unik yang dapat ditempuh pemerintah untuk mengembalikan marwah bangsa yang telah dilacurkan para elit kita melalui izin eksploitasi hasil bumi negeri kita. Meskipun kita tau bahwa siapapun berambut pirang dan berprofesi sebagai apapun ketika mereka datang ke negeri orang, pasti negaranya menitipkan pesan untuk membawa pulangbsebarang informasi. Setiap perambut pirang adalah mata-mata.
Lihatlah bagaimana di Papua kini mereka masuk ke pedalaman dengan alasan membawa bantuan kemanusiaan dengan menawarkan sanitasi dan air bersih. Di Papua Nugini juga sedang digalakkan eksplosasi dan identifikasi satwa liar di kawasan itu. Padahal itu semua hanyalah pintu masuk untuk mencari sebarang sinyal kawasan mana yang bisa digali lagi untuk diambil material maha berharga di pulau terkaya di dunia itu.
Sementara mengintip sebelah kanan jendela pesawat aku melihat pemandangan darat yang cukup indah. Kabut-kabut membayangi puncak- puncak gunung dan menyelimuti lembah. Karena selalu berpikiran positif pada tempat baru yang kukunjungi, maka kuperkirakan di sini tidak ada illegal longging. Kalaupun ada, tak separah di provinsi lain.
Gunung-gunung dan bukit-bukut di Sumbar jauh lebih baik nasibnya: tidak digunduli massal dan dikerok untuk segelintir uang yang tidak berharga itu. Meskipun saat di Padang Pnjang aku melihat ada beberapa bukit yang banyak ditanami pihon pisang, tapi pertanian ini tidak menghilangkan hijau Gunung-gunung dan bukit-bukut di Sumbar jauh lebih baik nasibnya: tidak digunduli massal dan dikerok untuk segelintir uang yang tidak berharga itu. Meskipun saat di Padang Pnjang aku melihat ada beberapa bukit yang banyak ditanami pihon pisang, tapi pertanian ini tidak menghilangkan hijau
Ketika acara yang menjadi hajat kunjungan selesai, seseorang merapikan kamar penginapan. Padahal kita sudah membayar sewa kamar dan membersihkan dan merapikan kamar menjadi tanggungjawab pengelola penginapan. Namun ketika saya tanyakan kenapa harus merapikannya sendiri, dia mengatakan tidak boleh memberatkan kaum sebangsa. Kaum sebangsa yang dia maksudkan ini saya tau adalah sesama orang Minang.
Jiwa seperti ini akan sulit ditemukan di provinsi Aceh. Saya melihat pembangunan kota-kota di Padang jauh dari aroma korupsi. Ini tercium dari bagaimana fisik jalan dan bangunan-bangunan lain. Elite Sumbar tidak terlalu rakus memakan uang rakyat karena mereka tidak ingin menambah kesengsaraan kaum sebangsanya. Karena di Sumbar, semua rakyatnya sesuku, suku Minang. Sementara Aceh memiliki beragam suku. Jadi kalau diangkat menjadi elite provinsi, tidak segan-segan untuk korupsi banyak- banyak karena toh yang akan sengsara nanti bukan kaum sibansa ( sesuku). Dan untuk kaumsibansa, bisa ada banyak cara mensejahterakan mereka.Aceh dihuni beragam suku seperti Aceh, Pidie, Pasai, Gayo, Tamiang, Alas, Anak Jamu, dll.
Karakter Minang di atas sangat bertolak belakang dengan karakter suku-suku di Aceh. Orang Pidie sangat solid dan lebih tangguh dari orang Minang. Kalau saja jumlah populasi orang Pidie lebih banyak atau sama banyak dengan Minang, maka Pidie akan lebih mendominasi daripada Minang. Dalam kacamata saya, orang Minang banyak menguasai sektor perdagangan karena faktor alami. Orang yang merantau memang akan mendapatkan posisi yang baik dengan berdagang. Namun orang Pidie memang telah mengantongi jiwa pedagang dalam diri mereka.
Berseberangan dengan orang Pidie yang solid, kompak dan punya etos kerja yang baik, orang Pasai lebih cocok dikatakan "kanibal". Orang Pasai terlalu boros dan ceroboh. Bila sedang punya banyak uang, dia akan sangat royal kepada teman-temannya. Namun kalau uangnya sudah habis, dia rela melakukan apapun pada kawannya untuk mendapatkan uang. Jadi jangan heran bila kasus pemotongan besi jembatan yang sangat membahayakan orang banyak terjadi di wilayah Pasai.
Saat pesawat hendak mendarat, tiba-tiba sebuah hentakan besar yang tidak kami ketahui asalnya terjadi. Semua penumpang terdiam. Aku berfikir, kalau tak mati di pesawat, nanti, beberapa saat lagi di hari tua, di atas kasur Saat pesawat hendak mendarat, tiba-tiba sebuah hentakan besar yang tidak kami ketahui asalnya terjadi. Semua penumpang terdiam. Aku berfikir, kalau tak mati di pesawat, nanti, beberapa saat lagi di hari tua, di atas kasur
Pertama jatuh adalah selang oksigen dari atas kepala masing-masing penumpang. Pasawat dipastikan jatuh ke laut. Awak memerintahkan semua penumpang mengenakan jaket pelampung. Semua meraihnya dari bawah kursi duduk masing-masing.
Aku berfikir kini tibalah masa istirahat. Lagi pula aku sudah sangat lelah hidup di dunia. Semua anugerah Tuhan untukku di dunia ini cukuplah sudah. Aku hanya memikirkan dia di sampingku. Aku berusaha menenangkan dia. Kukatakan padanya:
"Kamu akan mati, tapi tidak di sini, bukan sekarang ini. Kita akan selamat. Aku sudah ingin pipis dari tadi. Dan pesawat ini akan jatuh ke air. Jangan cemas."
Lampu arah keluar pintu darurat telah dinyalakan. Penumpang yang duduk terdekat pintu itu dengan sigap membukanya. Semua pintu darurat terbuka bersamaan. Penumpang kebingungan: antara melepas sabuk pengaman dan berusaha ke pintu darurat. Kalau melepas sabuk pengaman, resikonya terpelental, tidak membukanya, maka akan lebih berbahaya tetap di tempat duduk.
Seorang pria berkemeja putih lengan panjang didampingi celana kain hitam berkumis tebal mencoba menjadi pelopor adegan "panas ini". Dia melepas sabuk dan merah pintu darurat. Punggung pesawat sudah mencium permukaan air. Kain bewarna kuning berisi anging menjolorkan lidahnya ke air. Pria berkumis tadi melompat ke air melalui kain kuning mirip lidah manusia tadi. Penumpang lainnya tidak diam lagi. Semua bergegas meniru pria tadi. Sampai pesawat tidak bergerak lagi dan mengapung manja di atas air laut, semua penumpang telah terjun ke laut.
Aku dan dia adalah paling belakang. Sebelum terjun ke air kukatakan padanya: "Sejak pesawat tinggal landas tadi aku ingin buang air kecil. Di air sesaat lagi tak ada orang yang tau kalau aku sedang pipis." Tapi kata-kataku tadi bukanlah lelucon yang baik saat pesawat sedang dalam keadaan seperti ini. Air mukanya malah semakin kerut mendengar lelucon tadi. Melihat matanya aku menemukan sebuah pesan:
"Dasar cendol basi. Bukan saatnya bercanda bila nyawa di ujung rambut" Setiap telah memasuki badan pesawat, nyawa memang telah bergantung di ujung rambut. Malaikat pencabut nyawa sudah ambil ancang- ancang selama manusia di dalam pesawat. terbang memang selalu mengerikan. Namun apa hendak dikata. Terbang adalah mimpi kita semua.
Aku, sedari kecil, tidak pernah bermimpi banyak hal. Yang selalu menemani tidurku hanya dua tema tentang mimpi: uang dan terbang. Waktu kecil dulu aku sering bermimpi ada orang yang memberiku uang, atau berang berharga lainnya. Kugenggam uang itu erat-erat. Namun setiap terjaga uang itu selalu lepas dari tanganku. Karena sangat seringnya seperti itu, dalam mimpipun aku sadar ini adalah mimpi. Jadi setiap diberi uang, aku menggenggamnya semakin erat karena tidak ingin uang yang diberikan itu harus lepas setiap saat bangun. Aku berusaha keras membawa uang itu ikut menerobos alam mimpi menuju alam sadar dan uang itu tetap di tangan saat terbangun. Tapi sayang, tidak semalampun usaha itu berhasil, dan setiap bangun tidur aku harus kecewa. Mimpi diberi uang ini selalu terjadi sejak aku bisa mengingat hingga aku masuk tsanawiyah di pesanten; aku tidak ingat lagi apakan disana masih bermimpi itu juga.
Mimpi lain yang tak kalah sering adalah mimpi tentang terbang. Saat itu aku menjadi paling tinggi diantara semua orang. Aku bisa melihat aneka pemandangan keindahan alam. Dari atas aku melihat orang-orang memanggil-mangil mengiba-iba minta terbang bersamaku.
Ada mimpi yang paling klasik, yaitu mimpi pipis dari atas jembatan. Jembatannya sangat tinggi, sampai-sampai sebelum air seni pembuka belum menyentuh permukaan sungai, air seni terakhir telah habis keluar dari "sarangnya". Namun yang tidak menyenangkan dari mimpi ini adalah saat terbangun tilam dan semua pakaian telah basah. Ngompol, deh.
Salah satu trik yang saya tawarkan untuk mengurangi resiko ngompol adalah dengan tidak buang air kecil di dalam celana ketika tersadar. Aku sering melakukannya saat main hujan. Dan sesaat lagi akan melakukannya kembali di dalam laut, karena pesawat telah terapung di permukaan laut dan kalaupun harus mati beberapa saat lagi, setidaknya aku bisa melapaskan hajat buang air kecil yang sudah lama kutahan ini.
*** Kami mendarat dengan selamat, syukur pada Allah. Airmata tak
terbendung. Entah kenapa harus terharu. Mungkin karena alam tanah ini terlalu indah, mungkin karena tak pernah menduga bisa menginjak Tanah Minang. Mungkin terkesan bisa sampai di Negeri yang masyarakatnya kaya budaya. Atau mungkin pula... Entahlah, yang jelas mendung di mata berubah hujan. Saat neninggalkan tangga pesawat, curi-curi aku bersujud di balik tangga pesawat. Setidaknya, pekerjaan pertama yang kulakukan di Tanah Minang ini adalah bersujud. Bukankah ingatan akan tujuan hidup harus terus dipelihara, tak boleh luntur, persis seperti benak seorang pelukis menyimpan dengan baik kesannya terhadap suatu objek.
Kenapa kuda itu mampu berlari kencang? Padahal manusia berlari sepuluh meter saja sudang ngos-ngosan. Jawabannya karena, setelah Kenapa kuda itu mampu berlari kencang? Padahal manusia berlari sepuluh meter saja sudang ngos-ngosan. Jawabannya karena, setelah
Demikian sebuah catatan ditemukan setelah memperhatikan seekor kuda. Sambil memperhatikan seekor kuda, terlintas sebuah pertanyaan kenapa ada orang yang jago melukis kuda, ada yang tidak. Padahal gambar kuda ada di benak si jago lukis dan tidak. Kenapa?
Aku cuba menduga jawabannya karena si pelukis memperhatikan dengan detil dan seksama sebuah objek sementara yang bukan pelukis tidak. Di samping itu, kesan di benak pelukis kekal dan mengakar, sementara bagi yang bukan pelukis setiap objek yang dipandang dan dimasukkan dalam benak, luntur. Luntur seibarat warna yang disapu gerimis yang berubah hujan.
Gerimis berubah hujan. Orang orang-yang tadi gembira ria berfoto- foto, berlarian mencari teduh hujan. Aku masih tertekun menengadahkan kepala menatap wajah jam gadang di Ranah Minang. Aku merasa diri paling teruk di antara semua yang berada di sini. Semua orang punya kamera menghentikan waktu. Namun aku tidak. Aku hanya mencoba mengabadikan kesanku melalui kata-kata. Kuharap ini bisa. Kalaupun tidak, maka ini adalah sebesar-besar usaha.
Seorang kawan menanyakan apa aku sudah makan siang. Kukatakan "saya kurang tertarik membicarakan tentang makan". Karena menurutku makan itu bukan untuk dibicarakan, namun untuk dilaksanakan.
"Tapi saya tidak bisa kalau tidak makan minimal dua kali sehari" sahutnya. "Saya juga demikian, namun karena beratnya kehidupan, saya jadi tidak berani pasang target" apalagi untuk makan dua kali sehari. ini benar- benar tidak realistis untuk kehidupanku.
*** Saya merasa dipermalukan ketika segala kebutuhan perjalanan ke
Padang dititipkan kepada orang lain. Saya merasa tidak dipercayai dan tidak dihargai. Saya marah menyikapi hal ini. Segala nasehat dan bujukan tidak saya pedulikan.
Hingga seorang teman menyatakan salut kepada saya setelah saya menceritakan masalah saya ke dia. Dia bukan malah ikut membela saya atau meyalahkan mereka yang tidak memberikan kepada saya segala perbekalan. Dia malah menyatakan cemburu kepada saya. Aneh. Saya heran campur bingung. Hingga kata-kata terakhirnya ini membuat saya sadar:
"Wah, hebat, dia jadi bendahara pribadimu"
Ah, bodoh, bodoh, bodoh. Dasar aku bodoh! Kenapa sebelumnya aku harus marah pada yang menitipkan bekal kepada dia? Kenapa aku harus marah, menggerutu, merasa tidak dihargai, tidak dianggap dan tidak diberi kepercayaan. Yang terakhir ini memang agak benar, namun bila saja sejak awal caraku menyikapi hal ini seperti ini, maka perjalanan ke Ranah Minang akan mejadi semakin nikmat. Makanya, bagi siapapun, persiapkan diri, terutama pikiran agar tetap positif bila ingin ke Ranah Minang, sebab bila tidak, perjalanan ke Ranah Minang yang indah dan Istimewa itu akan luntur. Sekali lagi, selalu persiapkan pikiran positif. Ingin menikmati semua yang indah di Ranah Minang? Kalau di Minang, Jangan Merajuk.