INTEPRETASI MIGRASI-KOLONISASI NON-AUSTRONESIA DI MALUKU UTARA

A. INTEPRETASI MIGRASI-KOLONISASI NON-AUSTRONESIA DI MALUKU UTARA

Dalam penelitian ini perihal migrasi-kolonisasi komunitas Non- Austronesia merupakan salah satu fokus utama permasalahannya, karena hal tersebut berkaitan dalam rekonstruksi penghunian Situs Ceruk Uattamdi. Oleh karena itu, dalam bagian ini juga akan dibahas mengenai migrasi-kolonisasi tersebut.

1. Awal Penghunian Maluku Utara

Bukti awal kehadiran manusia di Maluku Utara sampai saat ini terdapat di situs Golo, Pulau Gebe sejak 32.000 BP. Pada masa sebelumnya, penghunian Daratan Sahul telah dimulai setidaknya sejak 40.000 BP berdasarkan temuan kapak berpinggang (waisted axe) pada teras koral yang terangkat di Semenanjung

Huon. 1 Nampaknya, sampai saat ini data arkeologi yang tersedia mengisyaratkan bahwa penghunian Daratan Sahul terjadi sejak masa yang lebih tua dari pada

penghunian kepulauan Maluku Utara. Namun, hipotesis ini masih perlu

1 Jim Allen, Chris Gosden dan Peter White, “Human Pleistosen Adaptations in the Tropical Island Pacific: recent evidence from New Ireland, a

Greater Australian outlier”, Antiquity 63 (1989), hlm. 548.

pembuktian lebih jauh, karena kedua pertanggalan yang dihasilkan oleh kedua situs tersebut diperoleh dari metode yang berbeda. Sampai saat ini, model yang masih relevan digunakan untuk menguji data dengan berbagai pendekatan adalah model yang diajukan Birdsell. Di sini tidak akan dibahas mengenai apa, kapan, mengapa dan bagaimana manusia manusia dapat mencapai Daratan Sahul, pembahasan mendetail mengenai hal tersebut sudah banyak dibicarakan oleh

berbagai ahli dengan berbagai pendekatan. 2 Dengan memperhitungkan data arkeologi dan kondisi lingkungan, kemungkinan besar manusia sampai di Daratan

Sahul lewat jalur selatan seperti yang diajukan oleh Birdsell.

Peta 4.1. Jalur migrasi menuju Daratan Sahul, seperti yang disarankan oleh Birdsell, 1977

Sumber: J.B. Birdsell, 1977

2 Lihat: Daud Aris Tanudirjo (1991 dan 2000), “Proses Awal Penghunian Paparan Sahul Utara dan Kepulauan Melanesia” dan “Pleistocene Colonization in

the Indo-Pacific: The Models and the Data”, untuk pembahasan mengenai berbagai model yang telah diajukan oleh berbagai ahli dengan berbagai pendekatan yang berbeda.

Menurut Butlin 3 jalur selatan dari Timor menuju Australia lebih memungkinkan dari pada jalur utara dari Borneo menuju Nugini. Menurut beliau,

pertama karena jarak jalur selatan lebih pendek dari pada jalur utara. Kedua, fluktuasi ketinggian muka air laut yang disebabkan oleh proses glasial- interglasialisasi tidak menyebabkan perubahan bentuk lahan dan garis pantai kepulauan di jalur utara tetapi tidak demikian dengan jalur selatan. Ketiga, banyak pulau dan daratan yang muncul pada Paparan Sahul bagian selatan akibat proses fluktuasi muka air laut sehingga dapat dijadikan batu loncatan dari Timor menuju Australia, bahkan Kepulauan Sunda Kecil disatukan oleh daratan. Keempat, konfigurasi kepulauan pada jalur utara yang relatif menyebar meyulitkan untuk diakses. Kelima, jalur utara lebih beresiko dari pada jalur selatan.

Sedangkan menurut Bellwood, 4 pada jalur utara manusia akan berhadapan dengan hutan hujan tropis di Borneo tetapi berhadapan dengan hutan tropis

musiman di Sulawesi. Di lain pihak dari Jawa bagian timur hingga Kepulauan Sunda Kecil manusia akan berhadapan dengan iklim yang relatif seragam yaitu hutan tropis musiman. Pada kondisi seperti ini, dari sudut pandang adaptasi budaya, maka jalur utara akan lebih membahayakan dan beresiko lebih besar dari pada jalur selatan.

3 Periksa: N.G. Butlin, “The Palaeoeconomic History of Aboriginal Migration”, hlm 3-57.

4 Dalam Daud Aris Tanudirjo, op.cit., (2000), hlm. 181.

Pada Kala Pleistosen Akhir, manusia yang menghuni kepulauan Indonesia timur bagian utara adalah populasi Wajak-like. 5 Ciri kelompok manusia tersebut

mendekati ciri rasial yang dimiliki oleh populasi Australo-Melanesid. Ciri yang memiliki hubungan dekat dengan komunitas Papua yang masih bertahan di

Melanesia hingga saat ini. Kemungkinan besar, rangka dari Golo (7500 BP) 6 juga mengandung unsur rasial tersebut. Menurut Voorhoeve, berdasarkan data

lingistik, bahasa-bahasa Halmahera Utara yang saat ini masih berkembang termasuk dalam Phylum Papua Barat. 7 Walaupun demikian bahasa-bahasa

tersebut telah memiliki tingkat diversitas yang tinggi dengan bahasa Papua dari daerah Kepala Burung, sehingga metode linguistik tidak dapat menjangkau masa penyebaran bahasa tersebut dari daerah asalnya.

Menurut Bellwood 8 para penjelajah lautan yang paling awal di Pasifik bagian barat membuat alat-alat serpih seperti yang ada di situs-situs sejaman di

Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat hubungan secara kultural antara kedua kawasan tersebut. Adanya translokasi wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) yang merupakan hewan asli Daratan Sahul pada situs-situs di

5 Daud Aris Tanudirjo, “Recent Archaeological Research in Northeastern Indonesia”, makalah disampaikan dalam IPPA Congres, Melaka, 1998, hal. 9.

6 Hannibal Hutagalung, “Pemanfaatan Situs Gua Golo, Pulau Gebe (Maluku) Sebagai Hunian Kala Pleistosen Akhir-Holosen”, Skripsi Sarjana,

(Yogyakarta: Fak. Sastra UGM, 1999), hlm. 68.

7 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, “The Northern Molluccas as A Crossroads between Indonesia and the

Pacific”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 221.

8 Peter Bellwood, Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 278.

Kepulauan Maluku Utara oleh manusia mengindikasikan bahwa, komunitas Non- Austronesia berasal dari Daratan Sahul. Berdasarkan beberapa hal tersebut dapat ditarik hipotesis bahwa, komunitas Non-Austronesia yang mengkoloni Maluku Utara datang dari Daratan Sahul setidaknya sejak 32.000 BP.

2. Faktor Penyebab Migrasi

Berdasarkan data arkeologi dapat diketahui bahwa, struktur masyarakat Non-Austronesia yang ada di kawasan Maluku Utara merupakan masyarakat pemburu-pengumpul yang menggantungkan hidupnya dari kemampuan daya dukung sumberdaya lingkungan. Dalam struktur masyarakat pemburu-pengumpul proses migrasi sangat dipengaruhi oleh pola cakupan situs dan kemampuan alami yang dimiliki oleh masyarakat tersebut, yang disebut autocatalysis. Pola cakupan situs membuka peluang bagi penjelajahan kawasan-kawasan baru oleh masyarakat pemburu-pengumpul yang dikenal memiliki kemampuan mobilitas tinggi. Selain faktor lingkungan, dalam konteks subsistensi pemburu-peramu, proses migrasi- kolonisasi juga dipengaruhi oleh manusia itu sendiri sebagai pembuat keputusan. Dalam proses pengambilan keputusan terdapat dua variabel, yaitu biaya (cost) dan

keuntungan (benefit). 9 Biaya adalah sesuatu yang harus dikeluarkan untuk mencapai target, sedangkan keuntungan adalah sesuatu yang diperoleh setelah

mencapai target.

9 Periksa: Daud Aris Tanudirjo, “Proses Awal Penghunian Paparan Sahul Utara dan Kepulauan Melanesia”, makalah dalam Kongres IAAI, (Tidak

dipublikasikan, 1991), hlm. 4.

Beberapa kemungkinan tersebut mungkin juga merupakan faktor penyebab terjadinya perpindahan manusia dan penghunian awal Maluku Utara, yang terjadi pada kala Plestosen Akhir. Pada masa tersebut kondisi iklim global masih belum stabil sehingga mengakibatkan terjadinya proses glasial-interglasialisasi. Proses tersebut menyebabkan perubahan lingkungan yang merupakan relung ekologi tempat tinggal manusia. Pada situasi ini manusia akan dihadapkan oleh dua pilihan yaitu tetap tinggal dengan menyusun sistem budayanya agar dapat survive atau pindah ke tempat lain yang lingkungan alamnya dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Mungkin sebagian dari kelompok manusia pada masa lampau yang dihadapkan pada situasi tersebut, ada yang memilih untuk pergi ke tempat lain sehingga menyebabkan terjadinya migrasi. Selain faktor yang bersifat materi, proses migrasi juga disebabkan oleh faktor non-materi. Keterbatasan data menyebabkan penelitian ini belum dapat mengungkapkan faktor non-materi tersebut.

3. Proses Migrasi

Menurut MacArthur dan Wilson 10 , aspek lingkungan yang berpengaruh dalam proses kolonisasi di daerah kepulauan adalah: jarak antar pulau, konfigurasi

bentang lahan dan luas area. Berdasarkan sudut pandang georafisnya, kepulauan Maluku Utara memang letaknya sangat berdekatan dengan Daratan Sahul, maka tidak mengherankan jika kawasan ini menjadi target kolonisasi komunitas

10 Teori tersebut dikutip oleh William F. Keegan dan Jared M. Diamond dalam tulisannya “Colonization of Island by human: A Biogeographical

Perspective”, Advances in Archaeological Method and Theory, No. 10, (1987), hlm. 49-92.

Australo-Melanesid dari Daratan Sahul. Dari Waigeo (Daratan Sahul) menuju Gebe hanya berjarak 26 km, dan dari Gebe menuju Halmahera hanya berjarak 30

km. 11 Selain Misool dan Waigeo yang bergabung dengan Daratan Sahul, Morotai dan Bacan juga bergabung dengan Halmahera pada masa Glasial. Menurut

Tanudirjo 12 , Situs-situs Kala Plestosen akhir di Paparan Sahul Utara dan Kepulauan Melanesia, dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu situs-situs

pesisir dan situs-situs dataran tinggi. Kemungkinan besar proses migrasi menuju kepulauan Maluku Utara dilakukan oleh kelompok sempalan dari komunitas situs pesisir tersebut, karena secara kultural mereka sudah terbiasa beradaptasi dengan lingkungan pantai.

Pada kasus kolonisasi di Maluku Utara, juga terjadi penghunian pulau- pulau yang sumberdaya alamnya terbatas, seperti Gebe, Morotai dan Kayoa. Kemungkinan besar pulau tersebut dihuni justru karena memiliki pulau pendukung yang besar dan sumberdaya alamnya mencukupi, seperti Pulau

Halmahera. 13 Mungkin hal tersebut juga yang menjadi salah satu faktor terjadinya translokasi hewan dan pelayaran antar pulau di kawasan Maluku Utara jauh

sebelum kedatangan orang Austronesia. Konfigurasi kepulauan di Maluku Utara, antara pulau yang satu dengan

yang lain dalam jarak tertentu dapat saling terlihat dan mudah dicapai hanya

11 J.B. Birdsell, “Recalibration of a Paradigm for the First peopling of Greater Australia”, dalam J. Allen, J. Golson, dan R. Jones ed., Sunda and Sahul:

Prehistoric Studies in South-East Asia, Melanesia and Australia, (London: Academic Press, 1977), hal. 124.

12 Daud Aris Tanudirjo, op.cit., hlm. 6.

13 Periksa: William F. Keegan dan Jared M. Diamond, op.cit., hlm. 59.

dengan bersampan. Bentuk konfigurasi Maluku Utara yang berkepulauan menyebabkan proses migrasi terjadi dari pulau yang satu ke pulau yang lain secara berurutan.

Berdasarkan data yang tersedia hingga saat ini dapat diintepretasikan bahwa ada tiga tahap migrasi yang dilakukan oleh komunitas Non-Austronesia di

Maluku Utara. 14 Pada tahap pertama, migrasi dilakukan dari Salawati (Sahul) langsung ke Gebe (Golo, 32.000 BP) lewat Waigeo. Pada saat terjadi proses

glasial pada Kala Plestosen Akhir Waigeo dan Salawati merupakan bagian dari Daratan Sahul. Masa hunian awal Golo (32.000 BP) hanya meninggalkan sedikit data arkeologi saja, sedangkan indikasi mengenai kegiatan manusia yang intensif

tercatat sejak 12.000 BP. 15 Berdasarkan hal tersebut, ada kemungkinan bahwa situs Golo dikoloni relatif singkat dan tidak intensif pada masa awalnya, untuk

kemudian komunitas pendukungnya melanjutkan migrasi ke sepanjang pantai timur Halmahera bagian utara, sampai menuju Morotai (Daeo, 15.000 BP). Hal ini didukung dengan temuan sisa Phalanger ornatus yang merupakan hewan asli Halmahera di situs Daeo (13.000 BP) di Morotai. Pertanggalan yang cukup muda yang dihasilkan Siti Nafisah (5500 BP) mengindikasikan bahwa pantai timur Halmahera hanya dilewati saja untuk kemudian menuju Morotai, dan baru pada masa kemudian pulau tersebut didatangi kembali dan dihuni.

Pada tahap kedua, terjadi migrasi balik dari Morotai ke sepanjang pantai timur Halmahera sampai bagian tengah pantai timur pulau tersebut dan kembali

14 Lihat peta 4.2.

15 Peter Bellwood, op.cit., hlm. 279.

mengkoloni Gebe, hal ini didukung dengan semakin intensifnya aktivitas hunian di situs Golo sejak 12.000 BP. Setelah menghuni Gebe kembali, nampaknya komunitas tersebut, mengadakan hubungan dengan Daratan Sahul. Intepretasi ini didukung dengan temuan sisa tulang wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) yang merupakan fauna endemik Misool. Wallabi ditemukan di situs Golo (7400 BP), Um Kapat Papo (7000 BP) dan Wetef (8500 BP) di Pulau Gebe. Kemungkinan besar fauna ini didatangkan dari Misool (Sahul) lewat Waigeo. Di lain pihak, sisa fauna Phalanger (10.000 BP) dari Golo kemungkinan berasal dari jenis lokal yang hidup di pulau tersebut, yaitu Phalanger alexandrae.

Pada tahap ketiga, migrasi dilakukan dari Gebe menuju pantai timur Halmahera bagian selatan. Intepretasi ini didukung dengan temuan sisa tulang wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) di situs Siti Nafisah (5000 BP) di pulau Halmahera. Kemudian komunitas tersebut menyeberang ke pantai barat Halmahera dan migrasi dilanjutkan menuju kepulauan Zona Ternate. Hal ini diketahui berdasarkan sisa temuan Phalanger ornatus yang merupakan hewan asli Halmahera dan lancipan yang terbuat dari bahan tibia wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) di situs Uattamdi (3300 BP) di Kayoa.

Variabel yang berpengaruh pada aspek jarak antar pulau dan konfigurasi bentang lahan adalah: angin, pola arus laut dan bahaya (misalnya badai). Migrasi manusia di kawasan Maluku Utara mengkin memanfaatkan bergantian arah angin

dan arus laut yang berubah setiap musim. 16 Selain itu, badai tropis dan tsunami

16 Mengenai pergantian arah angin dan arus laut lihat Bab II mengenai kondisi lingkungan Maluku Utara.

yang kerap terjadi di perairan tropis merupakan faktor bahaya yang perlu diperhitungkan dalam proses perpindahan manusia di kawasan ini.

Peta 4.2. Model migrasi Non-Austronesia di Maluku Utara

Keterangan: : jalur migrasi tahap I, dari Daratan Sahul melewati Waigeo, menggunakan Pulau Gebe sebagai batu loncatan untuk menuju pantai timur Halmahera bagian utara sampai Morotai. : jalur migrasi tahap II, kembali ke Pulau Gebe melewati sepanjang pantai timur Halmahera bagian timur. Kemudian melakukan translokasi fauna dengan Daratan Sahul.

: jalur migrasi tahap III, dari Gebe menuju pantai timur Halmahera, memotong ke pantai barat Halmahera dan menuju kepulauan Zona Ternate.

Aspek luas area adalah besar kecilnya luas pulau yang menjadi pertimbangan kolonisasi. Pulau yang lebih besar cenderung akan dipilih dari pada

pulau yang lebih kecil, karena cenderung lebih mudah untuk diakses, lebih banyak mengandung sumberdaya, dan dapat mendukung perkembangan populasi yang

lebih besar. 17 Teori ini rupanya dapat menjelaskan kasus penghunian awal di Kepulauan Melanesia Barat, bahwa penghunian pulau-pulau kecil oleh komunitas

Non-Austronesia nampaknya tidak pernah dilakukan sebelum kedatangan orang Austronesia. Penghunian awal di kepulauan tersebut hanya sebatas pulau-pulau

besar saja seperti New Ireland (Matenkupkum 32.000 BP) 18 , New Britain

19 (Yombon 35.000 BP) 20 dan Solomon (Kilu 29.000 BP) . Teori ini rupanya tidak berlaku di kepulauan Maluku utara, karena kolonisasi di kawasan tersebut juga

terjadi di pulau-pulau kecil yang sumberdaya alamnya terbatas. Hal tersebut ditunjukan oleh adanya translokasi fauna antar pulau di Maluku Utara dengan Daratan Sahul yang diperkirakan bertujuan untuk mencukupi kebutuhan di pulau yang terbatas sumber faunanya tetapi memiliki sumberdaya lain selain fauna yang ditranslokasikan.

Dalam kasus perpindahan manusia perlu dipertimbangkan bahwa faktor benefit yang menjadi tujuan kolonisasi daerah baru, tentunya tidak hanya bersifat material saja, seperti faktor ideologi misalnya. Hal tersebut juga memperkuat dugaan bahwa, rekonstruksi jalur migrasi-kolonisasi manusia tidaklah semudah

17 William F. Keegan dan Jared M. Diamond, op.cit., hlm. 62.

18 Jim Allen, Chris Gosden dan Peter White, op.cit., hlm. 551.

19 Christina Pavlides dan Chris Gosden, “35,000 BP-years-old sites in the rainforests of West New Britain, Papua New Guinea”, Antiquity 68 (1994), hlm.

20 P. V. Kirch dan M.I. Weisler, “Archaeology in the Pacific Island: An Appraisal of Recent Research”, Jurnal of Archaeological Research, Vol. 2, No.

4, 1994, hlm. 288.

membuat garis-garis terdekat antar pulau, karena meskipun dalam batas tertentu pulau-pulau kecil di kawasan Maluku Utara dapat saling terlihat, tetapi tidak seluruhnya didatangi dan dihuni oleh manusia. Penelitian ini belum dapat mengetahui faktor yang bersifat non-material, sebagai penyebab migrasi- kolonisasi komunitas Non-Austronesia. Kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut mungkin dapat diperoleh dari studi etnoarkeologi terhadap masyarakat Non-Austronesia yang masih bertahan di kawasan Maluku utara.

4. Tahap Kolonisasi

Secara umum kondisi lingkungan kepulauan Maluku Utara lebih homogen, tetapi pada batas-batas tertentu, sumberdaya alam yang dimiliki oleh tiap-tiap pulau cenderung berbeda, yang disebabkan oleh keterpencilan di kawasan Wallacea yang dibatasi oleh laut-laut dalam. Dalam menghadapi kondisi ini, komunitas Non-Austronesia akan cenderung beradaptasi dalam hal teknologi eksploitasi sumberdaya, hal tersebut tercermin pada artefak-artefak yang dihasilkan. Di situs Siti Nafisah (Halmahera) artefak didominasi oleh lancipan tulang tanpa menghasilkan alat litik, sedangkan di Tanjung Pinang dan Daeo (Morotai) adaptasi ditunjukkan oleh peralatan yang dibuat dari batu kerakal vulkanis, yang dipangkas sederhana. Melihat konteksnya yang berhubungan dengan batu pelandas dan cangkang kerang, kemungkinan artefak tersebut

digunakan untuk memecah cangkang kerang untuk dikonsumsi. 21

21 Informasi dari Daud Aris Tanudirjo, staf pengajar Jurusan Arkeologi, UGM.

Translokasi hewan dari pulau kaya sumberdaya juga dilakukan guna menghindari degradasi lingkungan di pulau-pulau miskin, seperti Phalanger yang didatangkan di Kayoa dan Morotai serta Dorcopsis di Kayoa dan Gebe. Selain itu, karena kolonisasi tersebut dilakukan oleh komunitas pesisir yang sudah terbiasa dengan lingkungan pantai, maka perbedaan lingkungan yang menyebabkan

adaptasi tidak merubah budaya komunitas tersebut secara radikal. 22

Berdasarkan data arkeologi, pola subsistensi komunitas Non-Austronesia mengandalkan eksploitasi campuran darat dan marin. Batu pelandas (Canarium nut anvil) di situs Golo 30.000 BP dan Tanjung Pinang 5000 BP dan tulang mamalia darat mengindikasikan eksploitasi darat, sedangkan cangkang kerang dan tulang ikan mengindikasikan eksploitasi laut. Selain itu berdasarkan bukti polen, pada 6000 BP terdapat peningkatan polen tumbuhan palma di kawasan Maluku Utara. Berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini budidaya dan eksploitasi tanaman sagu yang merupakan salah satu tumbuhan palma masih dilakukan di Maluku Utara. Belum dapat diketahui apakah dengan pola subsistensi semacam itu komunitas Non-Austronesia pada masa lampau juga dapat mengalami kejenuhan penduduk dan degradasi lingkungan, sehingga menjadikan faktor pendorong bagi komunitas tersebut untuk melakukan ekspansi. Berdasarkan bukti yang ada, pada saat kedatangan orang Austronesia di kepulauan Maluku Utara, kawasan ini merupakan koridor budaya Non-Austronesia yang kuat dan tidak mudah untuk ditembus oleh orang Austronesia, bahkan hingga saat ini.

22 Sampai saat ini sebagian besar situs-situs di Maluku Utara yang tersedia, berada di daerah pesisir pantai.

Menurut Binford 23 , dalam masyarakat sistem terbuka tipe donor, salah satu mekanisme untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat adalah

dengan jalan pengaturan angka kelahiran, kematian dan melepaskan diri dari kelompok inti, untuk membentuk komunitas baru. Kemungkinan besar kolonisasi daerah-daerah baru di Maluku Utara juga dilakukan oleh komunitas sempalan Non-Austronesia untuk menjaga keseimbangan masyarakat walaupun komunitas intinya belum mengalami kejenuhan penduduk dan degradasi lingkungan.

Berdasarkan berbagai hal tersebut maka dapat ditarik hipotesis bahwa hal inilah yang juga terjadi pada Fase I budaya Uattamdi. Meskipun Fase I situs Uattamdi mengandung unsur-unsur budaya Non-Austronesia dan Austronesia, tetapi dapat diintepretasikan bahwa situs tersebut merupakan situs hunian komunitas Non-Austronesia. Pertanggalan yang relatif muda (3300 BP) mengindikasikan bahwa, kolonisasi daerah-daerah baru masih terus dilakukan oleh komunitas Non-Austronesia bahkan sampai masa kedatangan orang Austronesia di kawasan Maluku Utara.

Keberadaan unsur-unsur budaya Austronesia pada Fase budaya tersebut menunjukan adanya interaksi antara komunitas Non-Austronesia dengan masyarakat Austronesia. Interaksi antar budaya merupakan salah satu akibat dari kasus penghunian oleh suatu komunitas di kawasan yang pada masa sebelumnya telah dihuni oleh komunitas lainnya. Pembahasan mengenai hal tersebut akan dilakukan pada bagian lain dalam tulisan ini.

23 Lewis R. Binford, “Post-Pleistocene Adaptations”, dalam Lewis R. Binford, ed., An Archaeological Perspective, (New York: Seminar Press., 1972),