KONDISI LINGKUNGAN KAWASAN MALUKU UTARA

2. Iklim dan Musim

Kawasan Maluku Utara yang dilalui garis katulistiwa, memiliki iklim tropis musiman. Iklim di kawasan ini sangat dipengaruhi oleh angin muson yang berasal dari pemanasan yang terjadi pada massa daratan Asia dan Australia. Iklim di kawasan ini bersifat musiman dengan curah hujan yang rendah, kecepatan

9 Kathryn A. Monk, Yance De Fretes, Gayatri Reksodihardjo-Lilley, ”Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku”, Seri Ekologi Indonesia, Buku V,

(Jakarta: Prenhallindo, 2000), hlm. 44. Keping Melange Aktif adalah kedudukan keping-keping batuan yang acak

sehingga tidak dapat dibedakan stratifikasi umur berdasarkan urutan pembentukan batuan. Fenomena tersebut terjadi pada zona tumbukan antar lempeng benua yang masih aktif.

10 Profil Propinsi Republik Indonesia: Maluku,, op.cit., hlm. 27-29.

angin yang tinggi dan intensitas penyinaran yang tinggi. Hal tersebut membuat kawasan ini menjadi lebih kering, sedangkan iklim basah dengan curah hujan

yang melebihi penguapan tidak terjadi di sini. 11 Curah hujan di kawasan Maluku Utara rata-rata mencapai 3.000 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan antara

153-266 hari per tahun. Suhu udara rata-rata 26,3º C, dengan suhu udara maksimum 30,1º C dan suhu minimum 23,5º C. 12

Angin muson barat laut dimulai pada bulan Desember, bersifat basah sehingga menyebabkan musim penghujan. Curah hujan maksimum terjadi pada bulan Januari dan Februari. Peralihan musim terjadi pada bulan Maret dan April. Angin pasat tenggara dimulai pada bulan April, bersifat kering sehingga menyebabkan musim kemarau. Puncak musim kemarau terjadi pada bulan Juli sampai Agustus, dan kemudian diikuti dengan peralihan musim yang terjadi pada

bulan September dan November. 13

3. Flora dan Fauna

Persebaran flora dan fauna (biogeografis) secara alami sangat dipengaruhi oleh faktor geologis. Namun demikian, persebaran yang disebabkan oleh faktor manusia (translokasi) juga memiliki peranan yang sangat penting bagi biogeografis. Kawasan Maluku Utara secara biogeografis termasuk dalam kawasan Wallacea yang merupakan kawasan peralihan diantara dua wilayah besar

11 Kathryn A. Monk, Yance De Fretes, Gayatri Reksodihardjo-Lilley,

op.cit., hlm. 69.

12 Profil Propinsi Republik Indonesia: Maluku, op.cit., hlm. 34.

13 Kathryn A. Monk, Yance De Fretes, Gayatri Reksodihardjo-Lilley, op.cit., hlm. 69-70. Lihat peta 2.3.

14 yaitu Oriental dan Australia. 15 Proses endemisme yang sangat tinggi terjadi di kawasan ini dan masih berlangsung hingga saat ini, sehingga menimbulkan

kerumitan bagi pemaparan asal-usul biogeografis di kawasan tersebut.

Peta 2.3. Batas Biogeografi di

Kawasan Wallacea

Sumber: Kathryn A. Monk, Yance De Fretes, Gayatri Reksodihardjo- Lilley, (2000), dengan modifikasi.

Berdasarkan penelitian baru-baru ini, Michaux berpendapat bahwa secara biogeografis, kawasan Maluku Utara lebih dekat kaitannya dengan Papua. 16

Secara umum fauna mammalia asli Maluku terdiri dari marsupial (binatang

14 Kawasan Oriental meliputi: India, Srilanka, Indo-Cina, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Formosa, dan Filipina. Biom utamanya adalah hutan tropik. Lihat

peta 2.4. Kawasan Australia meliputi: Australia, Tasmania, Irian, Papua, dan pulau-pulau di

Pasifik Selatan. Biom utamanya adalah gurun, savana serta hutan tropik. Sumber: Peter Farb, Ekologi, Pustaka Alam Time-Life Books Inc. (Jakarta: Tira

Pustaka, 1981), hlm. 184-185.

15 Keberadaan organisme atau taksa yang distribusinya terbatas pada kawasan atau lokasi geografis tertentu, seperti pulau atau benua. Sumber:

Abercrombie, M., M. Hickman, M.L. Johnson and H. Thain, Kamus Lengkap Biologi, Edisi ke-8, Terjemahan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993), hlm. 203.

16 Peter Farb op.cit., hlm. 313.

berkantung), tikus pengerat dan kelelawar. Fauna tersebut sama dengan fauna mamalia yang kini mendominasi kawasan Papua dan Australia. Jumlah mamalia darat di kawasan ini hanya 10 jenis, sedangkan spesies mamalia udara berjumlah

25 jenis. 17 Di Maluku utara terdapat beberapa jenis kuskus (Phalangeridae) endemik, yaitu Phalanger pelengensis di Kepulauan Sula, Phalanger ornatus di

Kep. Halmahera, Phalanger rothschildi di Pulau Obi dan Phalanger alexandrae di Pulau Gebe. Selain itu, Phalanger orientalis dan Spilocuscus maculatus

kemungkinan didatangkan dari Papua. 18 Kehadiran Phalanger orientalis dan bajing terbang (Petaurus breviceps) yang tersebar luas di kawasan ini

kemungkinan besar diperkenalkan oleh manusia dari Papua. 19 Menurut Flannery 20 , di Maluku Utara fauna tikus yang asli kawasan ini

sangat langka dan berbeda dengan dua kawasan di sekitarnya, Sulawesi dan Papua. Rattus moroteiensis dan beberapa jenis endemik lainnya memiliki hubungan kekerabatan dengan jenis Melanesia, sedangkan Rattus elaphinus di Kepulauan Sula memiliki hubungan dengan Sulawesi. Satu-satunya tikus wirok yang masih bertahan hidup hingga kini adalah Rhynchomeles prattorum yang ada

17 Alfred Russel Wallace, Menjelajah Nusantara, Ekspedisi: Alfred Russel Wallace abad ke-19, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 217.

18 T.F. Flannery, “Mamalia Maluku”, dalam Kathryn A. Monk, Yance De Fretes, Gayatri Reksodihardjo-Lilley, ”Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku”, Seri

Ekologi Indonesia, Buku V, (Jakarta: Prenhallindo, 2000), hlm. 370. dan T.F. Flannery, P. Bellwood, J.P. White, T. Ennis, G. Irwin, K. Scubert, and K. Balasubramaniam, “Mammals from Holocene Archaeologycal Deposit on Gebe and Morotai Islans, Northern Moluccas, Indonesia”, Australian Mammalogy, Vol. 20 Num. 3 (1998). Hlm.395.

19 Alfred Russel Wallace, op.cit., hlm. 217.

20 T.F. Flannery, loc. cit.

di Pulau Seram. Tikus wirok dan wallabi (Dorcopsis) diperkirakan mulai punah di Halmahera sejak 5.000 tahun yang lalu, dan tidak ada satu pun yang hidup sejak rusa (Cervidae), babi (Suidae), anjing (Canidae), luwak (Viverridae), dan celurut (Soricidae) diperkenalkan oleh manusia dari Asia.

Babun (Cynopthecus nigrescens) yang ada di pulau Bacan dan Jailolo diperkirakan didatangkan oleh manusia dari Sulawesi. Satu-satunya karnivora di kawasan ini adalah musang (Viverra tangalunga), yang ditemukan di pulau Bacan, Buru dan beberapa pulau kecil lainnya. Menurut Wallace, hewan ini didatangkan oleh manusia dari Filipina dan pulau besar lainnya di Indonesia

barat. 21 Selain itu, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan rusa (Cervus timorensis) yang terdapat di kawasan tersebut juga didatangkan oleh manusia. 22

Untuk mengetahui kondisi paleoekologi di kawasan Maluku Utara, telah didapat sampel pollen dari Laut Banda. Endapan pollen berasal dari akumulasi serbuk sari tumbuhan yang hidup pada masa lampau. Proses pembentukan endapan pollen di Laut Banda berkaitan erat dengan iklim muson dan pola sirkulasi arus laut yang terjadi di kawasan tersebut sehingga mengendapkan serbuk sari di Laut Banda. Berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar sampel pollen tersebut berasal dari

Sulawesi, Maluku dan Australia Utara. 23 Sampel pollen yang berasal dari Kala

21 Alfred Russel Wallace, op.cit., hlm. 217-218.

22 Kathryn A. Monk, Yance De Fretes, Gayatri Reksodihardjo-Lilley, ibid., hlm.319.

23 Sander van der Kaars, Xuan Wang, Peter Kershaw, Francois Guichard,

Holosen sebagian besar meliputi pollen tumbuhan jenis Macaranga, Mallotus, Nauclea, Moraceae, Urticaceae, dan Trema. Dari beberapa sempel tersebut dapat diketahui bahwa vegetasi yang mendominasi kawasan Indonesia Timur sejak Kala Holosen adalah vegetasi yang berasal dari hutan kayu dan padang rumput, dengan

sedikit tanaman hutan hujan tropis. 24

Pada saat ini, jenis-jenis tanaman yang telah dibudidayakan di Maluku Utara adalah jenis tanaman pangan, antara lain adalah: padi, jagung, kacang kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, sayur mayur dan buah-buahan. Selain itu juga beberapa tanaman perkebunan, antara lain adalah: pala, kopi, cengkeh, kelapa, jambu mete, coklat, tebu dan karet. Hasil hutan dari kawasan tersebut

antara lain adalah: sagu, bambu dan rotan. 25

4. Catatan Etnografi

Menurut penelitian Martodirdjo 26 , di Maluku Utara, khususnya di Pulau Halmahera dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dua kelompok rumpun

bahasa yang berbeda, yaitu bahasa Austronesia di bagian selatan dan bahasa Non- Austronesia (Papua) di bagian Utara. Sejumlah 9 bahasa lokal di Halmahera

Sea, Indonesia: patterns of vegetation, climate and biomass burning in Indonesia and northern Australia”, Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, No. 155, (Elsevier Science, 2000), hlm. 141.

24 Ibid., hlm 149.

25 Profil Propinsi Republik Indonesia: Maluku, op.cit., hlm. 43.

26 Lihat: Haryo S. Martodirdjo, “Perkembangan Bahasa dan Budaya Daerah Perbatasan Rumpun Bahasa Austronesia dan Non-Austronesia di

Halmahera”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 57-76.

Selatan termasuk rumpun bahasa Austronesia yang memiliki persamaan genetik dengan kerabat bahasa Austronesia lainnya di Indonesia Timur dan 12 bahasa lokal di Halmahera Utara termasuk rumpun bahasa Papua yang berkerabat dengan

bahasa Papua yang dituturkan di daerah Kepala Burung. 27

Peta 2.4. Peta bahasa di Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya

Sumber: Haryo S. Martodirdjo, (2000).

27 Lihat peta 2.5.

Adanya dua rumpun bahasa yang digunakan di Maluku Utara mengindikasikan adanya dua kelompok budaya yang berbeda. Pada kenyataannya masyarakat yang berbicara bahasa Austronesia biasanya tidak memahami pembicaran dalam bahasa Non-Austronesia (Papua), begitu juga sebaliknya. Hal ini seperti yang terjadi pada masyarakat Makian Barat dan Makian Timur, yang tinggal di pulau kecil Makian. Akibat dari gejala tersebut di Maluku Utara berkembang bahasa perantara (Lingua Franca) yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari antarkelompok masyarakat yang saling berbeda bahasa dan budayanya. Bahasa tersebut adalah bahasa Melayu Pasar yang berlaku di seluruh Halmahera Selatan dan Utara. Bahasa tersebut merupakan bentuk lokal dari bahasa Melayu standar dengan 45% kosa katanya berasal dari bahasa Ternate yang termasuk

dalam rumpun bahasa Non-Austronesia . 28

Mahirta 29 telah mendokumentasikan etnografi mengenai pelayaran antar pulau yang masih dapat dijumpai di kepulauan Maluku Utara. Pelayaran tersebut

digunakan untuk mendistribusikan gerabah Mare, satu-satunya produsen gerabah di kepulauan Maluku Utara yang masih ada hingga saat ini, ke seluruh kawasan kepulauan tersebut. Sampai saat ini terdapat tiga rute utama yang masih dilakukan dalam pelayaran-perdagangan tersebut, yaitu: pelayaran di sepanjang pulau-pulau sebelah barat Halmahera, pelayaran sepanjang Pulau Halmahera-Morotai, dan pelayaran ke (Sorong) Kepala Burung dan berputar di sepanjang Teluk Weda.

28 Ibid., hlm. 70.

29 Lihat: Mahirta, “The Development of Mare Pottery in the Northern Moluccas Context and its Recent Trading Network”, Thesis, (Canberra: ANU,

Walaupun dalam penelitian tersebut yang menjadi fokus kajian adalah pelayaran antar pulau sebagai media distribusi gerabah Mare, tetapi disamping itu juga berhasil diungkapkan pemerataan distribusi produk-produk ke seluruh kawasan kepulauan Maluku Utara yang penduduknya hanya berkonsentrasi pada sumber-sumber tertentu saja dari lingkungan sekitarnya. Seperti misalnya: penduduk Pulau Mare menghasilkan gerabah, Bacan menghasilkan ikan, Moti menghasilkan buah-buahan dan sayur mayur, Halmahera menghasilkan kerang yang berharga, seperti misalnya kapis-kapis (Pinctada sp.) dan bialola (Trocus sp.), tanduk rusa, dan taring hiu, Weda menghasilkan kopra, cengkeh, dan pala.