Aspek Budaya Fase I

1. Aspek Budaya Fase I

Pada fase I budaya Uattamdi (3300-2300 BP), data arkeologi berupa beliung, gerabah, tulang babi dan anjing, mengindikasikan bahwa pada fase budaya tersebut telah hadir komunitas Austronesia di kawasan Maluku Utara, yang membawa berbagai unsur budaya baru. Situs-situs lainnya di kawasan Maluku Utara yang telah dihuni sejak akhir Plestosen dan awal Holosen, pada masa yang sejaman dengan situs Uattamdi tidak menghasilkan himpunan data tersebut, kecuali gerabah yang muncul belakangan.

a. Gerabah

Sampai saat ini, pertanggalan yang dihasilkannya gerabah situs Uattamdi merupakan yang tertua di kawasan Maluku Utara. Gerabah juga ditemukan di Situs Golo (2000 BP), Buwawansi (1400 BP), Um Kapat Papo (1500 BP), Daeo 2

(2000 BP), di Situs Tanjung Pinang (2000 BP), Sambiki Tua (700 BP) dan Situs Siti Nafisah (2000 BP). 50 Secara tipologi, gerabah Fase I Uattamdi memiliki

kesamaan bentuk dengan gerabah dari Bukit tengkorak (3000 BP) 51 , Madai, dan

Baturong (4000 BP) 53 di Sabah dan Leang tuwo Mane’e (4500 BP) di Talaud.

Dibandingkan dengan gerabah dari Leang Tuwo Mane’e, gerabah Uattamdi berasal dari masa yang sedikit lebih muda. Kesamaan antara gerabah Uattamdi dengan Leang Tuwo Mane’e ditunjukkan dengan bentuk tepian yang sederhana dan tidak tebal dan bentuk badan yang tinggi membundar. Bentuk tepian yang sederhana juga merupakan unsur dominan pada gerabah Madai, tetapi gerabah dari situs ini memiliki motif hias permukaan yang berjarak lebih luas dari pada gerabah Uattamdi dan Leang Tuwo Mane’e. Gerabah Bukit Tengkorak fase awal memiliki bentuk tepian yang lebih tebal dan garis tengah yang lebih lebar dari pada gerabah dari situs-situs lainnya di atas. Walaupun demikian, gerabah Bukit Tengkorak sebagian memiliki bentuk yang sederhana dengan bentuk kaki melingkar dan didominasi dengan penggunaan slip merah, seperti gerabah

50 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, op.cit., hlm. 233-234.

51 Peter Bellwood dan Peter Koon, ””Lapita Colonists leave boats unburned!”, The question of Lapita Links with Island Southeast Asia”, Antiquity

63, (1989), hlm. 617.

52 Peter Bellwood, “Archaeological Research in the Madai-Baturong Region, Sabah”, Bulletin Indo Pacific prehistory Association 5, (Canberra:

ANU, 1984), hlm. 49.

53 Peter Bellwood, “Holocene Flake and Blade Industries of Wallacea and Their Prodecessors”, dalam V.N. Misra dan Peter Bellwood ed., Recent

Adveances in Indo-Pacific Prehistory, (New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co., 1978), hlm. 200. Pertanggalan tersebut meragukan, karena berasal dari satu radiokarbon saja dan tidak terlalu tepat, pertanggalan ini mungkin sedikit lebih muda, hanya sekitar 3600 BP. Lihat: Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 328.

Uattamdi. Pada seluruh tinggalan tersebut terdapat suatu kesamaan, yaitu penggunaan slip merah pada penyelesaian akhir pengerjaan permukaan gerabah

tersebut. 54 Disamping berbagai kesamaan yang terdapat pada gerabah dari berbagai situs tersebut, juga ada beberapa ciri perbedaan yang kemungkinan

disebabkan oleh faktor inovasi lokal. Berdasarkan pada perbandingan tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh tinggalan gerabah dari situs-situs tersebut memiliki akar budaya yang berdekatan. Persebaran gerabah di situs-situs tersebut mengindikasikan adanya persebaran komunitas Austronesia di sekitar kawasan yang bersangkutan.

Gambar 3.12. Gerabah neolitik Madai

Sumber: Peter Bellwood, (1984), dengan modifikasi.

54 Peter Bellwood, op.cit., (tidak dipublikasikan, b), hlm. 6. Lihat gambar 3.12., 3.13., dan 3.14.

Gambar 3.13. Gerabah neolitik Leang Tuwo Mane’e

Sumber: Peter Bellwood, (1980).

Gambar 3.14. Gerabah neolitik Bukit Tengkorak

Sumber: Peter Bellwood, (tidak diterbitkan).

Keterangan: Bandingkan gambar 3.12., 3.13. dan

3.24. dengan gambar 3.7. dan 3.8.

Perbandingan komposisi mineral gerabah dari beberapa situs di Maluku Utara membuktikan bahwa tidak ada kesamaan komposisi mineral bahan baku gerabah dari situs-situs di kawasan tersebut. Ada kemungkinan bahwa pada masa tersebut gerabah dibuat lokal di daerah masing-masing. Bertolak dari hasil analisis yang menggunakan Scaning Electron Microscope (Lihat: Mahirta, 1996) dan kondisi geologis, dapat diperkirakan bahwa gerabah situs ceruk Uattamdi dibuat di Pulau Kayoa, karena baik bahan baku maupun bahan temper tersedia melimpah

di pulau tersebut. 55 Dalam hal ini, Pulau Kayoa memiliki bahan baku tanah liat dan pasir koral yang melimpah. Walaupun belum pernah dilakukan analisis

geologi pada temper yang digunakan, tetapi dapat diperkirakan bahwa gerabah dengan temper pasir kuarsa juga dibuat di daerah tersebut. Selain dari Pulau Kayoa sendiri (Gunung Tigalalu), mineral kuarsa mungkin berasal dari pantai yang berseberangan dengan pulau vulkanis Makian yang masih aktif di sebelah utaranya. Lebih jauh, hal tersebut mengindikasikan bahwa pada masa tersebut telah ada komunitas Austronesia yang bermukim di pulau tersebut atau pulau lainnya di Maluku utara.

b. Beliung Seperti gerabah, beliung batu yang diupam juga merupakan faktor intrusi

yang di bawa oleh arus budaya baru yaitu Austronesia, karena pada masa sebelumnya komunitas Non-Austronesia yang ada di kawasan Maluku Utara tidak mengenal artefak tersebut. Ada pendapat bahwa kehadiran beliung persegi merupakan indikasi adanya subsistensi pertanian. Akan tetapi keberadaan suatu

55 Lihat data kondisi lingkungan Pulau Kayoa pada Bab II.

artefak sangat dipengaruhi oleh konteks ruang, waktu serta bentuk budaya manusia pendukungnya, sehingga belum berarti temuan beliung persegi di Situs Uattamdi juga langsung berhubungan dengan subsistensi pertanian. Seperti misalnya di situs Gua Duyong, keberadaan temuan beliung persegi sebagai bekal kubur komunitas Non-Austronesia diindikasikan benda tersebut diperdagangkan sebagai benda bernilai prestis oleh orang Austronesia kepada komunitas pemburu-

pengumpul. 56 Ada kemungkinan bahwa kasus semacam itu juga terjadi di situs Uattamdi, melihat konteks temuannya yang berada pada lapisan yang bercampur

antara ciri Austronesia dan Non-Austronesia.

Pahat dari situs Ceruk Uattamdi secara morfologi sangat mirip dengan yang ditemukan di Pulau Pitcairn. 57 Kemungkinan besar alat tersebut

berhubungan dengan aktivitas pengerjaan kayu. Berdasarkan artefak tersebut dapat diketahui bahwa situs Uattamdi tidak hanya memiliki hubungan yang erat dengan situs-situs neolitik di Asia Tenggara Kepulauan, tetapi juga berkaitan dengan penyebaran manusia sampai ke kawasan Pasifik. Hal tersebut ikut memperkuat teori bahwa, keberadaan manusia di Kepulauan Pasifik berasal dari Asia Tenggara Kepulauan.

c. Artefak Tulang

Keberadaan artefak tulang di situs Uattamdi pada fase I tidaklah mengherankan, mengingat beberapa situs lainnya di kawasan Maluku Utara telah mengembangkan artefak dari bahan-bahan serupa sejak masa yang lebih lampau.

56 Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 326.

57 Periksa: Peter Bellwood, ibid., pada keterangan lampiran foto 34.

Di kawasan Maluku Utara, lancipan tulang juga terdapat di situs Daeo 2 (6500 BP), di situs Siti Nafisah (5500 BP) dan di Gua Golo (8000 BP) sejak masa pra- neolitik.

Gambar 3.15. Gambar 3.16.

Lancipan tulang dari Lancipan tulang dari situs Daeo 2

Situs Siti Nafisah

Sumber: Juliette Pasveer dan Peter Bellwood, (tidak dipublikasikan)

Berdasarkan bahan baku dan teknologi pembuatannya terdapat kesamaan diantara tinggalan dari beberapa situs tersebut. Pemanfaatan tulang mamalia sebagai lancipan juga terdapat di Daeo 2, Golo dan dominan digunakan di Situs Siti Nafisah. Penggunaan bahan baku tulang ikan juga terdapat pada Situs Siti Nafisah, sedangkan tulang wallabi menjadi bahan baku pilihan utama di situs Gua Golo, Pulau Gebe. Teknik pengerjaan artefak dari berbagai situs tersebut juga memiliki kesamaan, yaitu diawali dengan pemotongan, penyerutan, dan pengasahan. Selain itu, sebelum dilakukan pengerjaan, juga dilakukan pemanasan

dengan api. 58 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa budaya Uattamdi

58 Juliette Pasveer dan Peter Bellwood, op.cit.,

Fase I, memiliki kesinambungan budaya dengan tradisi pra-neolitik dari kawasan Maluku Utara pada umumnya.

Gambar 3.17. Lancipan tulang dari situs Golo

Sumber: Juliette Pasveer dan Peter Bellwood, (tidak dipublikasikan)

Keterangan: Bahan baku lancipan dari Daeo 2 adalah tulang mamalia, sedangkan lancipan dari Siti Nafisah adalah tulang ikan. Bahan baku lancipan tulang dari Golo adalah: a. Lancipan tulang kedua dari kiri berasal dari bahan tulang tibia wallabi b. Lancipan tulang kedua dari kiri berasal dari bahan tulang fibula wallabi

Lancipan lainnya tidak dapat diketahui asal bahannya. Bandingkan dengan gambar 3.6.

d. Alat Kerang

Di Maluku Utara, selain di situs Uattamdi pada masa sebelumnya di situs Golo dan Buwawansi sudah dikenal artefak beliung kerang. Keletakan Situs-Situs tersebut di pinggir pantai berpengaruh bagi penyediaan sumber bahan baku artefak cangkang kerang. Bahkan di situs tersebut bahan bakunya tidak hanya berupa kerang dari spesies Tridacna gigas, tetapi lebih bervariasi, yaitu spesies Cassis cornuta dan Hippopus hippopus. Perbedaan morfologi cangkang kerang Di Maluku Utara, selain di situs Uattamdi pada masa sebelumnya di situs Golo dan Buwawansi sudah dikenal artefak beliung kerang. Keletakan Situs-Situs tersebut di pinggir pantai berpengaruh bagi penyediaan sumber bahan baku artefak cangkang kerang. Bahkan di situs tersebut bahan bakunya tidak hanya berupa kerang dari spesies Tridacna gigas, tetapi lebih bervariasi, yaitu spesies Cassis cornuta dan Hippopus hippopus. Perbedaan morfologi cangkang kerang

Cassis cornuta digunakan pada 4500 BP sampai 2000 BP. 59

Gambar 3.18. Beliung kerang Hippopus (atas) dan Tridacna (bawah) dari Pulau Gebe

Sumber: Peter Bellwood, (2000). Keterangan:

Kiri

: tampak ventral Kanan : tampak dorsal

Di situs lainnya, yaitu di Gua Duyong (Tabon) empat buah beliung kerang Tridacna ditemukan bersama sebuah beliung persegi, beberapa aksesoris dari bagian atas cangkang kerang Conus yang dilubangi sebagai bekal kubur. Unsur budaya ini berada pada satu strata dengan layer budaya yang kaya akan alat serpih-bilah, sedikit temuan neolitik dan tanpa gerabah, dengan pertanggalan

2.680 BC. 60 Di kawasan lainnya, di kepulauan Melanesia Barat, di situs ceruk Pamwak (Manus Island) beliung Tridacna ditemukan dengan konteks batu masak

vulkanik dengan pertanggalan 10.000 BP. 61 Berdasarkan pada data tersebut dapat

59 Periksa: Hannibal Hutagalung, op.cit., hlm. 52.

60 Robert B. Fox, The Tabon Caves, Archaeological Explorations and Excavations on Palawan Island, Philippines (Manila: National Museum, 1970),

hlm. 60-62.

61 Matthew Spriggs, The Island Melanesians, (Oxford: Blackwells, 1997), hlm. 59-60.

disimpulkan bahwa komunitas Non-Austronesia di kawasan Melanesia Barat dan Maluku Utara telah mengenal teknologi pembuatan beliung kerang sejak masa pra-neolitik, sebelum kedatangan Austronesia. Selain itu dapat diintepretasikan bahwa beliung kerang dari situs Uattamdi mewakili unsur budaya Non- Austronesia.

Gambar 3.19. Beliung kerang Tridacna dari Gua Duyong

Sumber: Rintaro Ono, (tidak dipublikasikan)

Selain di kawasan tersebut, beliung kerang juga ditemukan di Kepulauan Jepang dan Mikronesia. Menurut Shijun Asato 62 berdasarkan tipologinya beliung

kerang dari situs-situs di Kepulauan Okinawa (2500 BP), memiliki kesamaan bentuk dengan beliung kerang dari Filipina dan sedikit kemiripan dengan Micronesia yang bentuknya lebih kecil. Selain itu, beliung kerang dari ketiga kawasan tersebut memiliki memiliki kesamaan bahan baku, yaitu kerang Tridacna. Berdasarkan perbandingan morfologi, bahan baku dan pertanggalan tersebut dapat diperkirakan bahwa teknologi beliung kerang menyebar dari Maluku Utara ke Jepang lewat Filipina.

62 Shijun Asato, “The Distributions of Tridacna Shell Adze in the Southern Ryukyu Islands”, dalam Peter Bellwood, ed., Bulletin of Indo-Pacific Prehistory,

vol.1 (1990), hlm. 283 dan 290.

Gambar 3.20. Beliung kerang Hippopus dari Mikronesia

Gambar 3.21. Beliung kerang Cassis dari Mikronesia

Sumber: Rintaro Ono, (tidak diterbitkan).

Keterangan: Gambar 3.20. Beliung kerang dari Situs Golo dan Buwawansi (hanya deret bawah tengah), Pulau Gebe pertanggalan 12.000-9000 BP. Bandingkan dengan gambar 3.18. beliung kerang dari situs Tonaacaw, Pulau Truk (kiri) dan situs Lamotrek, Pulau Carolines, Mikronesia berasal dari lapisan atas temuan permukaan. Gambar 3.21. beliung kerang dari situs Mortlocks, Pulau Truk, Mikronesia dengan pertanggalan 1500 AD. Bandingkan dengan jenis beliung kerang serupa dari situs Golo pada Hannibal Hutagalung (1999).

Keberadaan artefak cakram, serut, pisau dan mata kail dari cangkang kerang di situs ceruk Uattamdi merupakan perkembangan baru bagi prasejarah Maluku Utara. Situs-situs lainnya di kawasan tersebut, pada masa pra-neolitik tidak menghasilkan kumpulan jenis artefak ini. Walaupun demikian, eksploitasi sumberdaya marin telah dimulai sejak masa pra-neolitik. Perkembangan tersebut mengindikasikan semakin intensifnya eksploitasi marin oleh manusia pendukung budaya situs Uattamdi Fase I.

e. Aksesoris Kerang

Di situs Melolo (Sumba Timur), aksesoris kerang ditemukan bersama artefak batu, logam, kaca, dan gerabah. Selain itu, di situs Camplong aksesoris kerang berasosiasi dengan serut, alat batu, tulang dan gerabah. Di situs Bui Ceri Uato dan Uai Bobo (Timor), aksesoris kerang berasosiasi dengan beliung, mata kail dari kerang, tulang babi, dan gerabah dengan pertanggalan antara 2500 hingga

63 2000 SM. 64 Menurut Kirch , setelah kedatangan Austronesia, beberapa benda seperti: berbagai macam aksesoris kerang, obsidian, rijang, gerabah beserta bahan

dan tempernya dan batu oven menjadi benda bernilai prestise yang menjadi komoditi pertukaran antar kawasan, seperti yang terjadi pada kawasan Melanesia pada masa Lapita.

f. Domestikasi dan Translokasi Hewan Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Flannery, spesies babi dan

anjing yang ditemukan di situs Uattamdi merupakan spesies yang diperkenalkan oleh manusia, karena kedua hewan tersebut bukan merupakan fauna asli pulau Kayoa. Memang sampai saat ini belum dapat diketahui secara detail spesifikasi spesies kedua hewan tersebut, tetapi jelas berasal dari spesies yang telah

63 Pertanggalan yang dihasilkan dari situs ini agak kontroversial. Sumber: Bagyo Prasetyo, “Distribusi Artefak Kerang Masa Prasejarah di Indonesia, Dalam

Perbandingan”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Buku V, (Jakarta: Puslitarkenas, 1989), hlm. 19 dan 22. dan Peter Bellwood, ibid., hlm. 335-337.

64 Periksa: Patrick Vinton Kirch, The Lapita Peoples, Ancestors of the

Oceanic World, (Cambridge: Blackwell Publisers, 1997), hlm. 227-255.

didomestikasi. Menurut Groves 65 , spesies babi yang endemik kepulauan Indonesia adalah Sus celebensis dari Sulawesi, jenis ini juga terdapat secara liar di

Timor, Flores dan Halmahera. Sus scrofa cf. vittatus yang terdapat di Sumatra, Jawa, Kepulauan Sunda kecil sampai Sumba, berasal dari spesies yang hidup di kawasan Eurasia secara liar, sedangkan babi yang ada di Nugini merupakan hibridisasi antara spesies Sus scrofa Vittatus dengan Sus celebensis. Kehadiran babi dan anjing di situs Uattamdi, dijadikan ciri penanda bagi kedatangan Austronesia di kepulauan Maluku Utara. Disamping babi, dan anjing, hewan yang juga dijadikan indikasi kedatangan Austronesia di Pasifik adalah ayam, dan tikus (Rattus exulans).

Keberadaan kuskus (Phalanger ornatus) dan wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) di situs ceruk Uattamdi (3300 BP), Pulau Kayoa mengindikasikan adanya translokasi selektif oleh manusia yang dilakukan dari Pulau Halmahera, daerah asal fauna tersebut. Di situs lainnya, Phalanger juga ditemukan di Golo (setelah 10.000 BP), Um Kapat Papo (6500 BP), Siti Nafisah (5000 BP) dan Daeo (13.000BP). Hal tersebut berbeda dengan wallabi yang kemungkinan didatangkan dari Misool lewat Halmahera. Wallabi juga ditemukan di situs Golo (7400 BP), Um Kapat Papo (7000 BP) dan Wetef (8500 BP) di Pulau Gebe, serta di Situs Siti Nafisah (5000 BP) di Pulau Halmahera. Translokasi wallabi terjadi kira-kira pada sekitar 8000 BP, setelah spesies tersebut menjadi hewan endemik di Misool

65 Colin P. Groves, “Domesticated and Commensal Mammals of Austronesia and Their Histories”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell

Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 160.

terpisah dari spesies asalnya di Papua Daratan, bersamaan dengan naiknya air laut yang memisahkan pulau-pulau di Daratan Sahul pada 10.000 BP. Selain itu, bandikot juga ditemukan di situs Siti Nafisah (5000 BP), tetapi kemungkinan

berasal dari spesies endemik Halmahera. 66 Berdasarkan data tersebut dapat ditarik hipotesis bahwa komunitas Non-Austronesia telah mengenal translokasi hewan

antar pulau sejak masa yang cukup tua. Disamping itu, hal tersebut juga mengindikasikan bahwa pelayaran antar pulau telah berkembang sebelum kedatangan orang Austronesia di kawasan Maluku Utara.

g. Cara Pengolahan Makanan

Penggunaan batu masak untuk mengolah makanan juga banyak dikenal di beberapa situs di Maluku Utara sejak masa pra-neolitik. Batu masak vulkanik selain di Situs Uattamdi juga di gunakan di situs Golo (mulai 32.000 BP), di situs Daeo 2 (15000 BP), di situs Um Kapat Papo (5000 BP) dan di Siti Nafisah (5500 BP). Sampai saat ini penggunaan batu masak vulkanik untuk mengolah makanan masih banyak di jumpai pada berbagai etnis Non-Austronesia di Melanesia. Studi etnografi di kawasan Melanesia pada masyarakat Alipe, cara pemanfaatan batu masak adalah sebagai berikut: Pertama kali harus dibuat lubang dengan kedalaman dan lebar sesuai dengan jumlah dan ukuran bahan makanan yang hendak dimasak. Kemudian pada dasar lubang tersebut dinyalakan api. Setelah api menyala cukup besar, batu masak yang telah disiapkan sebelumnya dimasukkan

66 T.F. Flannery, P. Bellwood, J.P. White, T. Ennis, G. Irwin, K. Scubert, and K. Balasubramaniam, “Mammals from Holocene Archaeologycal Deposit on

Gebe and Morotai Islans, Northern Moluccas, Indonesia”, Australian Mammalogy, Vol. 20 Num. 3 (1998), hlm. 398 Gebe and Morotai Islans, Northern Moluccas, Indonesia”, Australian Mammalogy, Vol. 20 Num. 3 (1998), hlm. 398

makanan dibiarkan selama beberapa jam sampai siap untuk dikonsumsi. 67 Hal ini memperkuat pendapat bahwa penggunaan batu masak di situs Uattamdi

merupakan unsur budaya Non-Austronesia.

Disamping batu vulkanik, jenis batuan lain yang juga dimanfaatkan untuk batu masak adalah batu koral, seperti di Situs Golo, Pulau Gebe. 68 Adalah sangat

menarik ketika menemukan batu masak vulkanik di situs yang lingkungan sekitarnya yang tidak menghasilkan bahan batu tersebut. Berdasarkan pengamatan geologis diperkirakan bahwa jenis batuan tersebut berasal dari daerah tengah Pulau Kayoa yang berstruktur batuan beku. Berdasarkan hal tersebut, dapat diperkirakan terdapat dua kemungkinan yaitu: komunitas pendukung budaya Fase

I Uattamdi memiliki daerah cakupan sampai bagian tengah Pulau Kayoa dan yang

67 Axeel Steenberg, New Guinea Gardens: A Study of Husbandary with Paralles in Prehistoric Europe, (London: Academic press Inc., 1980), hlm. 201-

68 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, op.cit., 2000, hlm. 209-210.

kedua terdapat interaksi antara komunitas penghuni situs Uattamdi di bagian barat Fase I dengan bagian tengah Pulau Kayoa. 69

Ditemukannya gerabah dan batu masak vulkanik dalam satu lapisan budaya merupakan fenomena yang cukup menarik. Berdasarkan hal tersebut dapat diperkirakan bahwa manusia pendukung budaya Fase I situs Uattamdi tidak menggunakan gerabah untuk memasak makanan, namun hanya dimanfaatkan sebagai wadah saja. Hal tersebut juga didukung dengan tidak adanya jelaga yang menempel pada bagian luar gerabah. Pada masa sebelumnya orang Austronesia telah mengenal tungku dari tanah liat untuk memasak makanan yang dapat dibawa ketika bepergian, seperti yang saat ini masih digunakan oleh etnis pengembara laut Bajo di kawasan Sabah-Sulu. Data arkeologi yang menghasilkan tungku tanah liat adalah, situs Hemudu, di Zhejiang pada 4500 SM dan Bukit Tengkorak,

di Sabah pada kira-kira 300 SM sampai awal milenium pertama Masehi. 70

Penggunaan gerabah untuk memasak memang sangat cocok dengan pola konsumsi komunitas Austronesia, yaitu bahan makanan yang bersumber dari biji- bijian, seperti padi dan jewawut. Berbeda dengan pengolahan bahan makanan dari umbi-umbian dengan menggunakan batu masak, seperti yang masih dilakukan oleh masyarakat Non-Austronesia di kawasan Melanesia. Berdasarkan bukti-bukti tersebut dapat diketahui bahwa penghuni situs Uattamdi Fase I telah terpengaruh unsur budaya Austronesia.

69 Pulau Kayoa memiliki panjang 20 km, lebar 7 km, dan luas 150 km, lihat deskripsi mengenai kondisi lingkungan Pulau Kayoa pada Bab sebelumnya.

70 Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 330 dan 332 70 Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 330 dan 332

Penggunaan gua dan ceruk peneduh sebagai situs hunian sudah umum digunakan oleh komunitas Non-Austronesia di Kawasan Maluku Utara sebelum kedatangan Austronesia. Sebagian besar situs-situs gua dan ceruk di kawasan tersebut berasal dari masa pre-neolitik. Bahkan Situs Gua Golo di Pulau Gebe telah dihuni setidaknya sejak 32.000 BP. Penggunaan situs ceruk peneduh Uattamdi sebagai situs hunian pada masa Fase I, kemungkinan besar juga dilakukan oleh komunitas Non-Austronesia yang telah mendiami kawasan Maluku Utara sejak masa yang lebih tua.

Masa hunian yang relatif muda (3300 – 2300 BP) kemungkinan besar disebabkan oleh faktor pembentukan situs tersebut yang cukup lambat sehingga lambat pula untuk layak dihuni. Dari data geologis diketahui bahwa pengangkatan koral di Pulau Kayoa baru terjadi sejak 2 juta tahun yang lalu. Kemungkinan besar situs tersebut baru layak dihuni ketika ombak sudah tidak masuk ke dalam ceruk pada 3500 BP. Hal tersebut nampak jika kita mengamati lapisan pra-hunian yang murni terbentuk dari pasir koral pantai dan memiliki ketinggian yang sama dengan

ketinggian air laut saat ini. 71

Jika menengok kembali situs-situs Austronesia awal di Cina daratan dan Taiwan, rupa-rupanya komunitas Austronesia telah mengenal sistem pemukiman menetap, dan berkelompok di tempat terbuka dalam bentuk perkampungan. Situs- situs pemukiman rumah panggung antara lain terdapat di Xitou, Kequitou dan

71 Lihat juga: Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, op.cit., 2000, hlm. 212.

Tanshishan di Fujian, situs Hemudu di Zhejiang dan di Guangdong. Situs-situs tersebut berumur 5200 dan 4200 SM. Rumah-rumah tersebut berdenah persegi yang dibangun dengan teknik lubang dan pasak yang amat rapi dan didirikan di atas deretan tumpukan kayu kecil. Kemudian pada masa selanjutnya muncul situs desa seluas 40-80 hektar di Peinan yang bertarik 1500 dan 800 SM. Situs rumah panggung juga terdapat di Feng pi t’ou di Taiwan yang dihuni 2500-500 SM dan

situs Dimolit di Luzon utara, yang dihuni 2500-1500 SM. 72 Berdasarkan data linguistik, kosa kata Austronesia mengenai rumah dan unsur-unsurnya ditemukan

di seluruh kawasan barat dan timur persebaran bahasa ini. Bahkan kata *Rumaq (Ind. Rumah) telah muncul sejak awal perkembangan bahasa Austronesia di

Taiwan. 73

Pola pemukiman budaya Lapita di Pasifik, pada umumnya terdiri atas beberapa rumah panggung yang berada di pinggir pantai atau pulau kecil diseberangnya, seperti di Kepulauan Mussau dengan luas 7 hektar. Indikasi mengenai situs tersebut biasanya ditandai dengan pecahan gerabah, tungku dari

tanah, dan bekas perapian. 74 Berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini sistem pemukiman terbuka tradisional dengan rumah panggung masih banyak ditemukan

pada masyarakat Austronesia, seperti: rumah gadang (Minang), lamin (Dayak),

72 Ibid., hlm. 309, 315, 319, dan 323

73 Robert Blust, “Austronesian culture history: some linguistic inferences and their relations to the archaeological record”, dalan Peter Van de Velde, eds.,

Prehistoric Indonesia, (USA: Foris Publications, 1984), hlm. 220.

74 Matthew Spriggs, “The Lapita Culture and Austronesian Prehistory in Oceania”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The

Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 118.

tongkonan (Toraja). Dilain pihak, bentuk pemukiman komunitas non-Ausronesia di kawasan Indonesia timur, secara arsitektural memiliki perbedaan yang mencolok dengan rumah panggung Austronesia, seperti: honai (Dani). Di Maluku Utara sendiri, bentuk rumah panggung masih dapat dijumpai pada arsitektur

tradisional di Pulau Halmahera dan sekitarnya. 75

Aspek mengenai bentuk pemukiman orang Austronesia memang masih menjadi perdebatan karena situs-situs yang mengindikasikan kedatangan komunitas tersebut sangat bervariasi, dari situs pemukiman terbuka sampai situs gua yang terkadang justru digunakan oleh komunitas pemburu-pengumpul Non-

Austronesia. 76 Berdasarkan hal tersebut maka pemukiman perkampungan terbuka tidak mutlak harus menjadi indikasi kedatangan orang Austronesia di kepulauan

Indonesia. Di Timor, indikasi mengenai pola ekonomi pertanian biji-bijian (jewawut) dan buah-buahan serta pemeliharaan babi dan translokasi hewan antar

pulau justru berasal dari situs-situs gua, seperti: Bui Ceri Uato dan Uai Bobo. 77

Berdasarkan pengamatan lingkungan yang dilakukan oleh Santoso Soegondho 78 , dapat diketahui bahwa karakteristik situs neolitik di Waidoba dan

75 Untuk bentu-bentuk arsitektur rumah tradisional di Halmahera, lihat laporan penelitian Adhi Moersid, “Arsitektur Tradisional di Halmahera dan

Sekitarnya”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 3 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hlm. 385-308.

76 Matthew Spriggs, “The Dating of the Island Southeast Asian Neolithic: an attempt at chronometric hygiene and linguistic correlation”, Antiquity 63,

(1989), hlm. 587.

77 Lihat : Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 335-337.

78 Periksa: Santoso soegondho, op.cit. hal yang sama juga terjadi di situs Bukit Fato, Pulau Mare, Lihat: Mahirta, op.cit..

Taneti berada di bagian puncak bukit yang cukup luas dan rata pada bagian puncaknya. Hasil pengamatan tersebut mungkin berguna jika ingin mencari situs pemukiman Austronesia di kawasan Maluku Utara. Minimnya data mengenai situs pemukiman yang menunjuk langsung kolonisasi Austronesia di kawasan Maluku Utara kemungkinan disebabkan oleh sedikitnya penelitian mengenai prasejarah Austronesia di kawasan tersebut, sehingga sedikit pula data yang tersedia untuk dikaji. Tidak terdapatnya bukti situs perkampungan terbuka Austronesia di Pulau Kayoa pada khususnya dan di Maluku Utara pada umumnya, kemungkinan hanya merupakan bias ketersediaannya data arkeologi. Badai tropis dan Tsunami yang sering melanda kawasan perairan tropis merupakan fenomena alam yang berpotensi untuk menghancurkan situs-situs pemukiman terbuka Austronesia yang terletak di pesisir pantai.