INTEPRETASI MODEL MIGRASI-KOLONISASI AUSTRONESIA DI MALUKU UTARA
B. INTEPRETASI MODEL MIGRASI-KOLONISASI AUSTRONESIA DI MALUKU UTARA
Kajian mengenai prasejarah Austronesia telah banyak mengalami perkembangan yang cukup hebat, sejak 1932 ketika Von Heine Geldern mengajukan teori migrasi yang dibangun berdasarkan tipologi beliung persegi. Perubahan aliran pemikiran dan teknik penelitian ikut mewarnai perkembangan tersebut. Ada banyak model migrasi yang telah diajukan oleh berbagai ahli yang berbeda pula. Di antara berbagai model yang telah diajukan tersebut, terdapat dua arus pemikiran yang mendasari pembentukan model tersebut, yaitu: Teori Kebetulan (accidental theory) dan Teori Pengambilan Keputusan (decision- making theory).
Teori kebetulan menyatakan bahwa kolonisasi daerah-daerah baru oleh manusia pada masa prasejarah dilakukan secara tidak sengaja. Teori tersebut beranggapan bahwa kolonisasi daerah kepulauan dilakukan oleh suatu komunitas dengan teknologi sederhana pada saat sekelompok kecil dari mereka melakukan eksploitasi sumberdaya marin sepanjang pantai dengan perahu atau rakit sederhana karena ketidaksengajaan terseret ke lautan bebas dan terdampar di
daerah baru. 24 Lebih jauh, teori ini juga menyatakan bahwa kolonisasi tersebut terjadi pada masa glasial, ketika ketinggian air laut menurun sehingga
menyebabkan jarak antar pulau semakin dekat dengan penghalang laut yang tidak terlalu lebar. Kondisi lingkungan tersebut mendukung para kolonis untuk
24 William F. Keegan dan Jared M. Diamond, op.cit., hlm 66.
melewati lautan dengan bantuan pulau-pulau sebagai batu loncatan (steping stone). 25
Di lain pihak, teori pengambilan keputusan menyatakan bahwa proses perpindahan manusia dilakukan dengan terencana dan dimanajeman dengan baik, serta bukanlah suatu kebetulan belaka. Untuk fenomena kasus persebaran budaya neolitik Kepulauan Asia Tenggara, dari daerah awal persebarannya di Taiwan dan hubungannya dengan persebaran budaya Lapita di Melanesia Barat, beberapa ahli
seperti Bellwood dan Spriggs 26 , menyebutnya dengan istilah “express train”. Karena hanya dalam tempo 1000 tahun, budaya neolitik tersebut sudah mencakup
radius 10.000 km sampai di Tonga, Samoa, kepulauan Polinesia Barat, dari asal persebarannya di Taiwan (4000 BP). Berdasarkan hal tersebut dapat diperkirakan bahwa persebaran budaya Austronesia tidak semata-mata hanya karena faktor kebetulan saja, tetapi lebih disebarkan oleh suatu pola mobilitas penduduk yang terencana, teratur dan dimanajeman dengan baik.
1. Faktor Penyebab Migrasi
Dalam kasus migrasi-kolonisasi komunitas Austronesia, faktor-faktor penyebab migrasi tersebut adalah:
25 Daud Aris Tanudirjo, “Pleistocene Colonization in the Indo-Pacific: The models and the Data”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar
Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 180.
26 Matthew Spiggs, “Out of Asia: The Spread of Southeast Asian Pleistocene and Neolithic maritime culture in Island southeast Asia and Western
Pacific”, dalam Sue O’Connor dan Peter Veth eds., East of Wallace’s Line, Studies of Past and Present maritime culture of the Indo-Pacific Region, (Rotterdam: A.A. Balkema, 2000), hlm. 50. dan Peter Bellwood, op.cit., hlm. 339.
a. Faktor pendorong (push) Menurut Bellwood 27 terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan
terjadinya migrasi-kolonisasi orang Austronesia, antara lain dapat diringkas sebagai berikut.
1. Pola subsistensi pertanian.
2. Berkembangnya teknologi pelayaran.
3. Adanya suatu konsep ideologi tertentu (cultural domain dan founding father ideology).
4. Hasrat untuk menemukan daerah baru.
Berdasarkan penelitian di situs Chisan (6000 SM) ditemukan lubang yang digunakan untuk menyimpan 100 ton jewawut (padi-padian liar) sedangkan di
Hemudu (5000 SM) ditemukan 120 ton padi basah dalam bentuk gabah. 28 Hal tersebut mengindikasikan bahwa pola ekonomi produksi pangan dapat
menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk (ledakan penduduk) yang berlangsung dari generasi ke generasi. Pola subsistensi pertanian yang intensif juga membutuhkan lahan pertanian yang semakin meningkat, sehingga memunculkan keluarga-keluarga baru yang menduduki daerah baru pula. Hal ini sesuai dengan teori Malthus bahwa laju pertumbuhan penduduk lebih cepat dari pada laju pertumbuhan sumberdaya, sehingga sewaktu-waktu sumberdaya
27 Peter Bellwood, “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformation”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell
Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU Printing Service, 1995), hlm. 101-103.
28 Ibid., hlm. 108.
tersebut akan habis. Selain itu, faktor transportabilitas dan reproduksibilitas pada pola subsistensi pertanian juga mendorong terjadinya kolonisasi dan mempercepat proses autocatalysis terutama pada pulau kecil yang sumberdaya alamnya terbatas.
Eksplorasi di daerah pesisir berguna untuk mencari daerah yang cocok sebagai tempat singgah dan potensial untuk mengeksploitasi hasil laut. Pada kasus ini, orang Austronesia akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan teknologi, baik teknologi eksploitasi hasil laut maupun teknologi navigasi. Hal tersebut didukung dengan ditemukannya bandul jaring di situs Pa-chia-t’sun
(T’ainan), pada 4300 SM. 29 Walaupun pada awal proses migrasi orang Austronesia tentunya telah memiliki teknologi navigasi, tetapi berdasarkan bukti
linguistik perkembangan yang cukup signifikan pada teknologi tersebut terjadi di kawasan dituturkannya bahasa Proto Melayu Polinesia, yaitu di daerah Kepulauan Filipina bagian selatan dan Kepulauan Indonesia Timur bagian utara.
Menurut Sjafri Sairin 30 , analisis mengenai perpindaham manusia seharusnya tidak hanya ditekankan pada faktor lingkungan saja. Menurutnya salah
satu faktor penting yang mempengaruhi manusia untuk mengambil keputusan untuk bermigrasi ke suatu wilayah tertentu berkaitan dengan pandangan dan kesan suatu masyarakat mengenai ranah budaya (cultural domain). Terdapat
29 Peter Bellwood, op.cit., 2000, hlm. 313.
30 Cultural domain adalah wilayah yang secara kultural dipandang sebagai milik dari masyarakat suatu pendukung kebudayaan dan wilayah yang berada
diluar itu dipandang sebagai wilayah luar. Sumber: Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 80-81.
kecenderungan bahwa kelompok masyarakat yang memiliki pandangan negatif terhadap wilayah di luar ranah budayanya akan cenderung sulit melakukan migrasi, dan begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan pengamatan etnografi oleh Danys Lombard 31 dapat diketahui bahwa kebanyakan kelompok etnis di Kepulauan Indonesia memiliki pandangan
yang terbuka pada wilayah budaya di luar mereka. Pada etnis Bugis terdapat karya sastra La Galigo (cerita tokoh Sawerigading) dan orang Melayu memiliki Hikayat Hang Tuah, yang keduanya merupakan nyanyian petualangan laut yang sifatnya heroik. Sebaliknya pada etnis Jawa, Kidung Panji, Serat Kanda dan cerita Bima Suci menceritakan petualangan laut mistis dengan tokoh-tokoh seberang laut yang jahat dan buruk rupa. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa etnis Jawa memiliki kecenderungan memandang daerah di luar wilayah budaya mereka dengan image negatif. Dari Maluku Utara, kisah-kisah petualangan Robodoi, seorang Tobelo sebagai bajak laut yang berpengaruh di perairan Nusantara akhirnya
terdokumentasikan pada catatan Belanda dari jaman kolonial. 32 Kisah tersebut dapat dijadikan referensi untuk menyajikan gambaran yang baik mengenai
motivasi mobilitas orang Tobelo. Founding father ideology pada kebudayaan Austronesia memacu mereka
untuk menemukan daerah baru bagi masa depan keturunannya. Pada mulanya
31 Danys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 92-93.
32 Periksa: A.B. Lapian, “Beberapa Pokok Penelitian Sejarah Daerah Maluku Utara”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra
Indonesia, Jilid VIII No. 3 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hlm. 277-284.
ideologi ini mungkin merupakan implikasi dari proses migrasi-kolonisasi di daerah baru, tetapi pada masa selanjutnya hal tersebut juga menjadi faktor pendorong proses migrasi.
b. Faktor penarik (pull)
Salah satu faktor penarik migrasi orang Austronesia adalah hasrat untuk menemukan daerah baru sebagai daerah untuk mencari sumber barang berharga dan daerah jaringan pertukaran. Mungkin bukanlah suatu kebetulan bahwa situs- situs yang mengindikasikan awal keberadaan orang Austronesia di kepulauan Indonesia Timur terdapat di dua jajaran kepulauan busur dalam yang bersifat vulkanik, yaitu: situs Uattamdi (Pulau Kayoa) di busur Zona Ternate dan situs- situs Talaud di busur Kepulauan Sangihe. Kedua busur kepulauan vulkanis tersebut tentunya menyediakan tanah yang subur bagi lahan pertanian. Hal tersebut menyiratkan adanya korelasi antara kondisi lingkungan situs-situs tersebut dengan tujuan pencarian daerah baru guna memenuhi kebutuhan lahan
pertanian. 33
Ada indikasi bahwa hal tersebut sedikit berubah dan semakin berkembang setelah muncul tradisi penguburan dalam tempayan di kepulauan Indonesia yang menyertakan bekal kubur berupa barang-barang bernilai prestise yang sulit didapatkan. Bekal kubur tersebut kebanyakan berupa barang-barang bernilai yang berasal dari kawasan tertentu yang sulit didapatkan, seperti manik-manik dan
33 Untuk kondisi fisiografi kawasan Maluku Utara, lihat peta 2.2.
aksesoris kerang. Menurut Kirch 34 , setelah kedatangan Austronesia, berbagai macam aksesoris kerang menjadi benda bernilai prestise yang menjadi komoditi
pertukaran antar kawasan. Bentang alam Kepulauan Maluku Utara yang memiliki perairan dangkal selain perairan dalam, merupakan kawasan yang kaya akan sumberdaya laut. Beberapa spesies kerang yang dihasilkan dari perairan tersebut, selain dikonsumsi juga merupakan barang-barang yang memiliki nilai prestis. Maluku Utara memang kaya akan sumber laut terutama berbagai spesies kerang, bahkan sampai saat ini Pulau Halmahera terkenal dengan hasil kerang kapis-kapis dan bialola.
2. Proses Migrasi
Melihat cakupan keruangannya yang sangat luas dan kondisi geografis kepulauan, maka untuk menjelaskan migrasi Austronesia akan digunakan model
migrasi jarak jauh seperti yang disarankan oleh Anthony 35 . Pada migrasi jarak jauh terdapat beberapa pola, antara lain adalah: migrasi lompat katak, migrasi
arus, dan migrasi balik. Pada kasus persebaran orang Austronesia, kecepatan persebaran dalam
waktu yang relatif singkat mengindikasikan adanya proses migrasi jarak jauh, yang dilakukan dengan perencanaan dan diatur dengan baik. Keberhasilan migrasi jarak jauh sangat tergantung pada penyebaran informasi mengenai daerah tujuan yang kaya akan sumberdaya serta meliputi teknologi dan rute transportasi.
34 Periksa: Patrick Vinton Kirch, The Lapita Peoples, Ancestors of the
Oceanic World, (Cambridge: Blackwell Publisers, 1997), hlm. 227-255.
35 Periksa: David W. Anthony, “Migration in Archaeology: The Baby and the Bathwater”, American Anthropologist 92, (1990).
Biasanya, jika suatu komunitas telah memasuki tahap kejenuhan penduduk dan degradasi lingkungan, maka untuk memperoleh berbagai informasi mengenai sumberdaya di daerah lain, komunitas tersebut akan mengirimkan anggota kelompoknya untuk melakukan penjajakan ke daerah tujuan.
Proses penjajakan kelompok Austronesia di kawasan kepulauan mungkin dilakukan seperti lompat katak dengan memanfaatkan pulau-pulau sebagai steping stone. Pola migrasi lompat katak dapat berupa singgah (transit) atau ulang alik (commuter) Selain itu, pola aliran arus laut dan angin di kawasan perairan tropis yang berganti tiap setengah tahun dimanfaatkan guna mencapai daerah tujuan dan kembali ke tanah asal. Pengetahuan astronomi tradisional mungkin juga dimanfaatkan sebagai penunjuk arah dalam perjalanan mereka. Sampai saat ini pelayaran tradisional dengan memanfaatkan kondisi tersebut masih banyak
dilakukan di Maluku Utara. 36
Dari data linguistik, hipotesis mengenai kedatangan penutur bahasa Melayu-Polinesia Timur-Tengah (PCMP) yang merupakan sub stratum bahasa
Austronesia, di Maluku Utara terjadi pada 2000 SM. 37 Di lain pihak berdasarkan data arkeologi, sampai saat ini indikasi mengenai awal kolonisasi orang
Austronesia di Maluku Utara terjadi pada 30 BP pada situs Uattamdi.
36 Periksa: Mahirta, “The Development of Mare Pottery in the Northern Moluccas Context and its Recent Trading Network”, Thesis, (Canberra: ANU,
1996), untuk catatan etnografi mengenai pelayaran tradisional di Kepulauan Maluku Utara-Kepala Burung.
37 Robert Blust, “The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspevtive”, Asian Perspectives 26 (1), (1984/85), hlm. 57. Pertanggalan ini mungkin sedikit
lebih tua dari keadaan sebenarnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa penjajakan yang dilakukan oleh kelompok penjelajah Austronesia terjadi tidak jauh pada masa sebelum kolonisasi awal komunitas tersebut di Maluku Utara.
Berdasarkan data arkeologi, benda-benda neolitik juga digunakan oleh komunitas pemburu-pengumpul pra-neolitik, seperti di situs: Duyong di Palawan (3000 SM), Edjek di Negros, Batungan (900 SM) dan Bagumbayan (2000 SM) di Masbate, serta Balobok (Sangasanga) di Kepulauan Sulu. Kemungkinan besar benda-benda neolitik tersebut berasal dari para penjelajah Austronesia yang melakukan penjajakan di kepulauan terebut dan melakukan pertukaran dengan komunitas setempat. Berdasarkan karakteristik konteks data arkeologi, kemungkinan hal yang sama juga dapat terjadi di situs Leang Tuwo Mane’e di Talaud dan Uattamdi di Maluku Utara.
Di situs gua Duyong (Tabon), sebuah beliung persegi yang ditemukan dengan konteks penguburan terlipat pra neolitik pada 4500 BP mengindikasikan bahwa pada masa tersebut beliung persegi didistribusikan oleh para penjelajah
kepada komunitas pemburu-pengumpul setempat. 38 Kemungkinan besar, kelompok Austronesia yang melakukan penjajakan awal ke daerah-daerah baru
bukan berasal dari komunitas petani sendiri, tetapi mungkin para pedagang, petualang, dan pelaut. Setelah seluruh informasi mengenai daerah baru dapat dikumpulkan, para komunitas penjelajah yang melakukan penjajakan akan kembali ke tanah asal mereka untuk menyebarluaskan informasi tersebut.
38 Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 326.
Pada saat komunitas inti yang berada di daerah asal mengalami tekanan yang sudah tidak dapat ditoleransi, informasi mengenai daerah baru yang telah dikumpulkan oleh para penjelajah akan dimanfaatkan untuk menuntun komunitas tersebut ke daerah baru (tujuan). Berdasarkan bukti linguistik, bahasa Melayu- Polinesia Barat (WMP) yang dituturkan di Indonesia bagian barat dan bahasa Melayu-Polinesia Tengah-Timur (CEMP) yang dituturkan di Indonesia Timur berasal dari bahasa Proto Melayu-Polinesia yang berada di Luzon (Filipina) pada 3500 SM. Berdasarkan bukti arkeologis, situs-situs yang mengindikasikan kolonisasi Austronesia cukup padat ditemukan di lembah sungai Cagayan (Luzon Utara), seperti: Dimolit (2500 SM), Rabel dan Laurente (2800 SM), Arku dan
Musang (1500 SM) serta Lal-lo dan Magapit (2000 SM). 39 Data arkeologi dari situs-situs tersebut memiliki banyak persamaan dengan tinggalan budaya neolitik
dari Maluku Utara, khususnya gerabah slip merah. 40 Berdasarkan kedua data tersebut dapat ditarik hipotesis bahwa arus migrasi orang Austronesia yang berada
di kepulauan Indonesia Timur bagian utara berasal dari daerah Filipina. Setelah informasi yang didapatkan mengenai daerah tujuan dan rute yang
harus dilewati sudah jelas, maka komunitas Austronesia akan mulai dengan arus migrasi. Secara arkeologis, bukti mengenai kolonisasi orang Austronesia dapat dilihat berdasarkan persebaran karakteristik data yang dihasilkannya. Di Maluku Utara, data arkeologi yang merepresentasikan awal kolonisasi orang Austronesia di kawasan tersebut dihasilkan oleh Fase I situs Uattamdi (3300 BP). Pertanggalan
39 Periksa: Ibid., hlm. 322-328.
40 Lihat pembahasan persamaan gerabah Maluku Utara dengan kawasan lainnya pada Bab III.
yang dihasilkan situs tersebut sampai saat ini merupakan yang tertua di kawasan Maluku Utara. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah tersebut merupakan daerah tujuan awal migrasi Austronesia di Maluku Utara. Keberadaan Pulau Kayoa dalam rangkaian kepulauan busur vulkanis Zona Ternate menjadikan kepulauan
tersebut merupakan daerah yang kaya sumberdaya alam. 41 Sifat vulkanis menyebabkan jenis tanahnya subur, di lain pihak perairan dangkalnya kaya akan
sumberdaya laut. Tanah yang subur dan hasil laut merupakan faktor penarik bagi tujuan migrasi orang Austronesia.
Setelah menghuni bagian tengah Zona Ternate, kemungkinan besar masyarakat Austronesia menyebar ke seluruh rangkaian kepulauan tersebut
sampai ke tepian kepulauan Zona Ternate di Morotai. 42 Hal tersebut terekam dari kehadiran gerabah hias gores di situs Tanjung Pinang pada 2300 BP. Selain di
Tanjung Pinang, indikasi kehadiran budaya neolitik juga terdapat di Daeo, Sambiki Tua dan Sabatai Tua (Morotai), Bukit Keramat (Waidoba), Mare, dan Taneti. Selain menghuni rangkaian kepulauan Zona Ternate, kemungkinan mereka juga menghuni pantai barat Pulau Halmahera.
Setelah menyebar ke seluruh rangkaian kepulauan Zona Ternate hingga tepiannya, mereka kemudian memutari Pulau Halmahera dan menduduki pantai bagian timur Halmahera. Bukti keberadaan Austronesia di daerah ini adalah temuan gerabah hias gores di situs Siti Nafisah dengan pertanggalan 2100 BP dan
41 Lihat kondisi lingkungan Maluku Utara pada Bab II dan faktor penyebab migrasi pada pembahasan sebelumnya.
42 Lihat peta 2.2 pada Bab II dan 4.4.
beliung persegi di Tobelo. Setelah itu, kemudian mereka menuju ke gugusan Kepulauan Raja Empat dan mengkoloni daerah tersebut. Hal tersebut berdasarkan temuan gerabah di situs-situs di Pulau Gebe, yang antara lain adalah: Golo (2000 BP), Um Kapat Papo (1500) dan Buwawansi (1400 BP). Dari bukti linguistik sampai saat ini masyarakat penduduk kepulauan Raja Empat masih menggunakan bahasa Raja Empat yang termasuk dalam sub stratum rumpun bahasa Austronesia.
3. Tahap Kolonisasi
Setelah proses perpindahan, kemungkinan besar kolonisasi Austronesia di Maluku Utara juga mengalami tiga tahapan seperti model yang diajukan oleh Keegen dan Diamond. Dalam tahapan kolonisasi tersebut, mungkin komunitas Austronesia mengalami banyak proses yang implikasinya dapat dilihat dalam pembahasan berikutnya. Tetapi yang jelas, berdasarkan bukti etnografi dan linguistik, saat ini komunitas Austronesia secara mayoritas menduduki bagian selatan Kepulauan Maluku Utara berdampingan dengan komunitas Non-
Austronesia di bagian utara kepulauan tersebut. 43 Pada Fase II situs Uattamdi (2300 BP), data arkeologi mengenai penguburan tempayan lebih jelas
membuktikan adanya kolonisasi masyarakat Austronesia di kawasan tersebut. Menurut Anthony, migrasi adalah sebuah kasus two-way street, dan pada
umumnya arus migrasi yang besar berimplikasi pada berkembangnya arus balik. 44
43 Periksa: Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, op.cit., hlm. 220-221.
44 David W. Anthony, op.cit., hlm. 904.
Secara sosiologis menurut Ida Bagoes Mantra 45 , komunitas yang melakukan migrasi pada dasarnya merupakan kelompok manusia yang bersifat bi local
population, sehingga kemanapun mereka melakukan migrasi, pasti akan mengadakan hubungan dengan daerah asal. Hubungan tersebut dapat berbentuk material, seperti barang-barang yang berharga baik secara praktis maupun prestis, dan berbentuk imaterial berupa sistem pengetahuan, ide dan gagasan. Intensitas hubungan tersebut antara lain ditentukan oleh jarak, transportasi, jangka waktu bermigrasi, status perkawinan dan jarak hubungan kekeluargaan. Walaupun secara arkeologis hal tersebut agak sulit untuk direkonstruksi, tetapi model tersebut cukup baik untuk dilontarkan sebagai wacana.
Pada kasus migrasi orang Austronesia, kemungkinan terjadinya migrasi balik sangat besar, karena berhubungan dengan tujuan migrasi yaitu hasrat mencari daerah yang kaya akan sumber barang berharga dan jaringan perdagangan. Dalam hal ini migrasi balik yang terjadi sering kali dalam bentuk jaringan pelayaran dan perdagangan. Ditemukannya obsidian dari Talasea (New Britain) pada 1000 SM di situs Bukit Tengkorak (Sabah) mengindikasikan adanya jaringan pelayaran dan perdagangan sejauh 6500 km. Di Mikronesia Barat, walaupun penghunian pertama kali telah ada sejak 3700 BP (Mariana), tetapi beliung kerang baru muncul pada 100 BC-100 AD. Kepulauan Mariana memang minim akan sumber daya kerang, kemungkinan besar beliung kerang Tridacna yang ada di daerah tersebut didatangkan dari Melanesia Barat, setelah semakin
45 Ida Bagoes Mantra, Demografi Umum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 236-237.
berkembangnya pelayaran antar pulau di kawasan Pasifik pada masa Lapita, setelah kedatangan orang Austronesia. Berdasarkan pada data tersebut diperkirakan bahwa, orang Austronesia yang bermigrasi mengangkut sumberdaya yang didapatkan di daerah tujuan kepada kerabat komunitasnya di tanah asal mereka.
Kemungkinan besar, hubungan antar jaringan tersebut semakin berkembang pada jaman logam. Beberapa data arkeologis dari berbagai situs di Indonesia, mengisyaratkan terjalinnya hubungan antara Kepulauan Indonesia dengan Asia Daratan, India dan Pasifik (bahkan mungkin juga dengan Timur
Tengah). 46 Pada kondisi seperti ini, Indonesia sudah berhadapan dengan proses globalisasi, yang dapat menyeret Indonesia pada budaya global. Pada awal abad
Masehi hubungan antara kawasan India dan Indonesia semakin kuat, dan pada abad-abad berikutnya kita dapat menyaksikan peradaban yang bercorak Hindu- Budha tumbuh di Sumatra dan Jawa dengan monumen-monumen keagamaannya yang megah.
46 Lihat: Matthew Spriggs, op.cit., hlm.69.
Daerah Asal Bahasa PMP
Wilayah Penjajagan komunitas Penjelajah
Arus Migrasi
Migrasi Balik
Daerah Persebaran Bahasa PCEMP
Peta 4.3. Model Migrasi Austronesia Menuju Maluku Utara
Keterangan: Migrasi Austronesia di Kepulauan Maluku Utara berasal dari Filipina Utara, kawasan persebaran
tahap kedua komunitas tersebut (Daerah asal bahasa PMP), digambarkan dengan lingkaran merah. Ketika terjadi tekanan pada daerah tersebut, sebagian komunitas mereka (para penjelajah), akan melakukan penjajagan guna mendapatkan informasi mengenai daerah tujuan, teknologi serta rute transportasi, yang digambarkan dengan lingkaran kuning. Setalah informasi tersebut dapat dikumpulkan, mereka kembali ke daerah asal untuk menyebarluaskan informasi tersebut. Arus migrasi terjadi dari daerah asal menuju daerah yang telah ditentukan (panah hitam). Tentunya, arus migrasi tersebut bukan merupakan satu-satunya arus migrasi yang terjadi Asia Tenggara Kepulauan. Pada tahap selanjutnya terjadi kolonisasi Austronesia di daerah baru, Maluku Utara (Daerah persebaran bahasa PCEMP), digambarkan dengan lingkaran hijau. Kemudian terjadi migrasi balik dari daerah baru menuju daerah asal dalam bentuk jaringan pelayaran dan pertukaran.
Peta 4.4. Model Migrasi Austronesia Di Maluku Utara
Keterangan: : Arus migrasi kedatangan Austronesia dari Philipina : Persebaran pertama menuju ke seluruh rangkaian busur kepulauan vulkanis Zona Ternate : Persebaran kedua pada pesisir pantai timur Pulau Halmahera : Persebaran ketiga menuju Kepulauan Raja Empat.
Berdasarkan pada model migrasi-kolonisasi Austronesia yang telah direkonstruksi, maka dapat disusun alur proses migrasi-kolonisasi orang Austronesia, sebagai berikut:
Daerah asal: • Faktor Pendorong dan Penarik • Biaya dan Keuntungan
Dalam batas toleransi Di luar batas toleransi
Penjelajah (scout):
Pindah: Migrasi
Komunitas inti:
Arus Migrasi Lompat Katak
Tidak pindah