Interaksi Austronesia dengan Non Austronesia

1. Interaksi Austronesia dengan Non Austronesia

Menurut Green 47 , sebelum kedatangan Austronesia, di kawasan Indo- Pasifik telah berkembang teknologi alat kerang dan tulang, pelayaran dan

navigasi, serta domestikasi tanaman dan hewan. Pada saat orang Austronesia datang di kawasan tersebut, komunitas Non-Austronesia juga telah memiliki pengetahuan yang kurang lebih sama dalam beberapa hal di atas. Dalam bagian ini akan dibicarakan akibat dari interaksi antar budaya yang tercermin pada beberapa aspek budaya tersebut

a. Teknologi alat kerang

Teknologi alat kerang yang sumberdayanya sangat berlimpah di kawasan Maluku Utara, selain hasil adaptasi dan inovasi Austronesia di kawasan ini, mungkin juga dipelajari dari komunitas Non-Austronesia yang telah mengenal teknologi ini pada masa sebelumnya. Persebaran beliung kerang yang asalnya dari kawasan Maluku Utara, juga ditemukan sampai di Kepulauan Ryukyu (Jepang) di utara, dan di hampir seluruh kawasan Kepulauan Pasifik. Persebaran beliung kerang pada masa pra-neoitik sangat terbatas hanya meliputi kawasan kepulauan Maluku (Golo, 14.000 BP), Melanesia barat (Pamwak, 10.000 BP)dan Filipina

(Duyong, 4500 BP). 48 Tetapi setelah kedatangan bangsa Austronesia, wilayahnya persebarannya meluas sampai ke Jepang (Okinawa, 2500 BP), Polinesia

47 Matthew Spriggs, “What is Southeast Asian about Lapita?”, hlm. 325.

48 Rintaro Ono, A Typological Study of Micronesia Shell Adze: Their

Origin and Cultural-Historical Relationships in the Pacific and Southeast

Asian World, (tidak dipublikasikan).

(Tongatapu dan Niuatotapu, 3000 BP) dan Micronesia (Guam, 2000 BP). 49 Di Melanesia Barat, perkembangan teknologi beliung kerang semakin bervariasi pada

konteks budaya Lapita.

b. Domestikasi Tanaman

Sudah banyak para ahli yang mengaitkan persebaran budaya neolitik di Asia Tenggara dan Pasifik dengan ekspansi orang Austronesia. Walaupun demikian, domestikasi tanaman telah berkembang secara mandiri di daratan Papua

sejak masa yang cukup tua. Hasil penelitian Golson 50 di Kuk (dataran tinggi bagian barat Nugini), telah menemukan indikasi perusakan vegetasi yang

diakibatkan oleh aktivitas di tanah basah. Hal tersebut diasosiasikan adanya aktifitas pertanian sejak 9000 BP dengan memanfaatkan rawa. Bahkan sistem drainase telah dikenal di situs ini sejak 4000 BP, untuk mengendalikan ketinggian air rawa, mereka membuat parit dengan panjang 500 m, dalam 3 m, dan lebar 4,5 m. Kemudian pada 3000 BP terdapat indikasi pertanian intensif dengan pembukaan lahan. Tanaman yang didomestikasi di situs tersebut adalah ketela rambat. Sebelum kedatangan bangsa Austronesia, di kepulauan Filipina, Indonesia dan Melanesia telah muncul domestikasi tanaman tropis, seperti: keladi atau talas (Colocasia esculenta), ubi (Discorea sp), birah (Alocasia Microrhiza), sukun (Artocarpus altilis), tebu (Saccarum officinarium), sagu (Metroxylon sp.), kelapa

49 Lihat pembahasan perbandingan tipologi beliung kerang pada Bab sebelumnya.

50 Lihat: J. Golson, “No Room at the Top: Agriculture Intensification in New Guinea Highland”, dalam J. Allen, J. Golson, dan R. Jones ed., Sunda and

Sahul, (London: Academic press, 1990), hlm. 401.

(Cocos nucifera) dan beberapa spesies pisang (Musa sapientum dan Musa traglogytarum). 51

Berdasarkan kondisi lingkungan, kawasan Maluku Utara memiliki curah hujan rata-rata mencapai 3.000 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan antara 153-266 hari per tahun, dan suhu udara rata-rata 26,3º C, dengan suhu udara maksimum 30,1º C dan suhu minimum 23,5º C, kondisi tersebut memang ideal bagi pertanian biji-bijian. Meskipun demikian, kecepatan angin yang tinggi dan intensitas penyinaran yang tinggi, membuat kawasan ini menjadi lebih kering, sedangkan iklim basah dengan curah hujan yang melebihi penguapan tidak terjadi di sini. Hal tersebut menyebabkan kegagalan dalam proses penyerbukan dan

pembuahan. 52 Berdasarkan bukti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kawasan tersebut kurang cocok untuk mengembangkan pertanian biji-bijian.

Berdasarkan data polen dari Teluk Kau di Pulau Halmahera, meningkatnyan polen palma terjadi di kawasan Maluku Utara pada 6000 BP. Hal tersebut merupakan indikasi adanya pertanian jenis tanaman palma tersebut. Kemungkinan besar, pertanian menyebar ke Maluku Utara dari kawasan Nugini,

walaupun tidak dalam bentuk yang sepenuhnya sama. 53 Berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini sagu yang merupakan salah satu jenis tanaman palma,

masih merupakan makanan pokok yang di konsumsi pada masyarakat di Maluku

51 Periksa: Peter Bellwood, Man Conquest of the Pacific, (Auckland: Collins, 1975), hlm. 136-140.

52 Untuk persyraratan kondisi lingkungan yang ideal bagi pertanian biji- bijian, periksa: Wasita, “Faktor Pendukung Budidaya Padi Masa Prasejarah”,

Naditira Widya No. 03, (Banjarmasin: Balar, 1999), hlm. 61-69.

53 Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 341.

Utara, selain padi gogo dan umbi-umbian. 54 Berdasarkan beberapa bukti tersebut ada kemungkinan bahwa komunitas pendukung budaya situs ceruk Uattamdi juga

mengenal budidaya tanaman.

Pengetahuan mengenai domestikasi tanaman yang dimiliki oleh komunitas Non-Austronesia sebelum kedatangan orang Austronesia, berimplikasi pada interaksi antar budaya yang terjadi akibat datangnya budaya baru di kawasan yang telah memiliki latar belakang budaya. Kenyataannya di kawasan Pasifik, bangsa Austronesia mengganti pertanian biji-bijian seperti yang dibawa dari daerah subtropis dengan tanaman umbi-umbian yang banyak terdapat di kawasan Tropis.

Padi (Oryza sativa) di kawasan timur Indonesia hanya sampai di Maluku. 55 Berdasarkan pengamatan etnografis oleh Teljeur 56 , sampai saat ini masyarakat

Maluku Utara mengembangkan pertanian campuran antara padi gogo, umbi- umbian, buah-buahan, dan sagu. Di Kepulauan Pasifik, pertanian orang Austronesia lebih didominasi dengan tanaman buah-buahan dan umbi-umbian

tropis, tanpa pertanian biji-bijian. 57

54 Santosa Soegondho, “Tradisi Neolitik di Halmahera: Bagian dari Budaya Pasifik”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar

Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 262-264.

55 Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm.358.

56 Dik Teljeur, “Masalah Praktis Dalam Penelitian Antropologi Budaya di Pulau Halmahera Selatan”, E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra

Indonesia, Jilid VIII No. 1 Nomor Istimewa (I) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hal. 11.

57 Periksa: Patrick V. Kirch, “Subsistence and Ecology”, dalam The Prehistory of Polynesia, (London: Harvard University press), hlm. 286-307.

Berdasarkan rekontruksi bukti linguistik, kata *pajei (Ina. Padi) ditemukan di Taiwan, Philipina dan Indonesia. Tetapi beberapa kosa kata yang menunjukkan umbi-ubian seperti *tales (Ina. Talas), *quBi (Ina. Ubi) dan *BiRaq (Ina. Birah) yang dibudidayakan di Kepulauan Pasifik hanya ditemukan di Indonesia dan di beberapa bagian Philipina. Selain itu, kata *nieur (Ina. Nyiur) di temukan di

seluruh Asia Tenggara Kepulauan dan kepulauan Pasifik kecuali Taiwan. 58 Hal tersebut jelas membuktikan bahwa, walaupun pertanian padi merupakan sistem

pertanian yang dikembangkan nenek moyang Austronesia di Asia Tenggara Daratan dan Taiwan, tetapi mereka menanam beberapa jenis tanaman umbi- umbian sejak mereka mendiami Kepulauan Filipina bagian selatan, Indonesia bagian timur dan kepulauan Pasifik. Ada kemungkinan bahwa orang Austronesia yang datang di kepulauan Indonesia bagian timur dari Filipina mengadopsi sistim pertanian yang dimiliki oleh orang Non-Austronesia yang telah mendiami daerah ini sejak masa sebelumnya.

c. Domestikasi Hewan Menurut Bulmer, berdasarkan temuan dari sebuah situs ceruk peneduh di

dataran tinggi Nugini, kehadiran babi di Nugini sudah sejak 10.000 BP. Pertanggalan yang dihasilkan tersebut diragukan validitasnya, berdasarkan penelitian terbaru oleh Gorecki, dkk di Pantai Utara Nugini, keberadaan babi di

58 Robert Blust, “Austronesian Culture History: Some Linguistic Inferences and their Relations to the Archaeological Record”, dalan Peter Van de

Velde, eds., Prehistoric Indonesia, (USA: Foris Publications, 1984), hlm. 220.

kawasan tersebut hanya 4000 SM. 59 Babi bukan merupakan hewan asli kawasan ini, melainkan spesies dari kawasan oriental. Kemungkinan besar babi

didatangkan oleh manusia dari kepulauan Asia Tenggara yang ada didekatnya. Spesies babi yang didomestikasi di Nugini merupakan hibridisasi 60 antara spesies

dari oriental dan spesies endemik kepulauan Indonesia yang liar, seperti yang terdapat di kepulauan Sulawesi, Roti, Flores, dan Halmahera. Keberadaan domestikasi babi di kepulauan Pasifik dijadikan indikasi bagi kedatangan Austronesia di kawasan tersebut.

Selain dari bukti arkeologis, bukti mengenai domestikasi hewan dapat diketahui dari rekontruksi kosa kata dalam bahasa proto-Austronesia. Kata *beRek (Ina. Domestikasi babi) dan *Wasu[ ] (Ina. Anjing) ditemukan sejak dari Taiwan sampai ke seluruh kawasan persebaran bangsa Austronesia, sedangkan kata *laluy

61 (Ina. Ayam) juga ditemukan selain di Taiwan. 62 Groves berpendapat bahwa domestikasi babi di Kepulauan Indonesia berasal dari spesies Sus scrofa vittatus

yang hidup liar di kawasan barat Indonesia. Karakteristik yang sama juga ditemukan pada babi dari Andaman, Flores, Admiralty serta Vanuatu, dan bukan berasal dari jenis yang liar di Cina atau Asia Tenggara daratan. Hal ini

59 Periksa: Matthew Spriggs, “The Lapita Culture and Austronesian Prehistory in Oceania” dalam Peter Bellwood, James J Fox dan Darell Tryon, ed.,

The Austronesians: Historical and Comparative Perspective, (Canbera: ANU, 1995), hlm. 115.

60 Proses persilangan antara dua individu yang secara genetis tidak identik. Sumber: Abercrombie, M., M. Hickman, M.L. Johnson and H. Thain, Kamus

Lengkap Biologi, Edisi ke-8, Terjemahan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993), hlm. 320.

61 Robert Blust, op.cit., hlm. 220.

62 Colin P. Groves, loc.cit.

membuktikan bahwa, walaupun bangsa Austronesia datang beserta budaya yang mereka bawa dari Asia Tenggara Daratan, tetapi mereka juga beradaptasi dengan lingkungan barunya. Babi yang mereka bawa dari Asia Tenggara Daratan kemungkinan besar tidak cocok hidup di daerah tropis.

Di Maluku Utara, translokasi fauna kuskus (Phalanger ornatus) dan wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) antar pulau telah dikenal oleh komunitas Non-Austronesia sebelum kedatangan orang Austronesia. Di lain pihak berdasarkan data lingustik, kosa kata *kandoRa (kus-kus) dan *mansar (bandikoot) ditemukan pada bahasa PCEMP (Proto Melayu-Polinesia Tengah- Timur) yang dituturkan di kepulauan Maluku Utara, tetapi tidak pada bahasa PMP

(Proto Melayu-Polinesia) yang dituturkan di Philipina dari masa sebelumnya. 63 Hal ini mengindikasikan bahwa daerah Maluku Utara memiliki peranan penting

pada strategi adaptasi orang Austronesia di kawasan tropis.

Keseluruhan data tersebut membuktikan bahwa manusia Non-Austronesia telah mengenal translokasi hewan antar pulau sejak masa yang cukup tua. Di Pasifik, orang Austronesia selain memelihara anjing, babi dan ayam, walabi dan kus-kus juga ikut diangkut dalam pertukaran atau barter antar pulau. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa pelayaran antar pulau telah berkembang sebelum kedatangan bangsa Austronesia di kawasan Maluku Utara dan semakin berkembang setelah kedatangan orang Austronesia.

63 Darrell Tryon, “Proto-Austronesian and the Major Austronesian Subgroup”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The

Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 30.

d. Pelayaran Antar Pulau Nusantara 64 telah melakukan korelasi antara data hasil ekskavasi dari

Leang Burung 2 dengan lukisan gua yang ada di kompleks budaya Toala. Di Leang Burung 2 terdapat temuan berupa hematit yang pemanfaatannya untuk dijadikan bahan pewarna. Data tersebut berasal dari lapisan budaya Toala III (bawah) yang memiliki pertanggalan 32.160 ±330 BP sampai dengan 20.450 ±250 BP. Lukisan perahu yang ada di gua Bulumpong (Pangkep), juga menggunakan warna merah, sehingga ada kemungkinan bahwa pertanggalan lukisan perahu tersebut juga memiliki pertanggalan yang tidak jauh berbeda dengan kronologi lapisan budaya Toala III.

Di kepulauan Melanesia bukti pelayaran antar pulau sudah dimulai sejak Kala Pleistosen, dengan komoditi obsidian. Ada dua tempat yang merupakan sumber obsidian dengan mutu yang baik, yaitu di Lou Island (Kepulauan Admiralty) dan Talasea (New Britain). Pada 12.000 BP, obsidian tersebut telah didistribusikan sampai ke Matenkupkum di New Ireland dan di Matenbek sejak sebelum 5000 BP. Di situs Balof, obsidian didatangkan dari Talasea dan Lou Island pada 7000 BP. Bukti tersebut mengindikasikan adanya pelayaran antar

pulau di Kepulauan Melanesia dengan jarak sampai sejauh 350 km. 65 Pada masa pra-Lapita sebelum kedatangan bangsa Austronesia, obsidian Talasea hanya

didistribusikan secara terbatas pada kepulauan Admiralti, New Guinea Daratan

64 Ariobimo Nusantara, “Kronologi Lukisan Dinding Gua di Kab. Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan, Tinjauan Berdasarkan Analisis Kontekstual”,

Skripsi, (Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 1989), hlm. 59.

65 Jim Allen, Chris Gosden dan Peter White, op.cit., hlm. 554-555.

(Sepik-Ramu Basin), New Ireland, pulau Nissan, dan kepulauan antara New Ireland dan Kepulauan Solomon bagian utara. Tetapi, pada masa Lapita distribusinya meluas dari Bukit Tengkorak, Sabah (Borneo) di sebelah barat,

sampai ke Kepulauan Fiji di sebelah timur sejauh 6500 km. 66

Berdasarkan bukti linguistik, telah direkonstruksi kosa kata mengenai aspek-aspek teknologi pelayaran yang tersebar di kawasan Pasifik. Rekonstruksi kosa kata tersebut menunjuk pada bahasa Proto Melayu Polynesia yang berasal dari Filipina bagian selatan dan Sulawesi bagian utara. Kata *qaban (Ina. Perahu) tersebar mulai dari Taiwan, tetapi kata *(sc)a-R-man, (Ina. Cadik) *be-R-say (Ina. Dayung), *lane(nN) (Ina. Roda), *layaR (Ina. Layar), *limas (Ina. Timba), *qulin (Ina. Kemudi), dan *teken (Ina. Galah) hanya ditemukan di kawasan barat dan

timur tidak di Taiwan. 67 Padahal kosa kata tersebut mengindikasikan aspek-aspek teknologi navigasi yang lebih modern dari pada di Taiwan.

Ada kemungkinan bahwa pengetahuan orang Austronesia mengenai teknologi pelayaran semakin berkembang di daerah Asia Tenggara Kepulauan. Hal ini dapat diketahui dengan mengamati persamaan bentuk perahu yang digunakan di Kepulauan Solomon dan Botel Tobago (bernama Yamis) dengan yang terdapat di Maluku (bernama Orembai). Hal ini memperkuat dugaan bahwa Maluku merupakan daerah yang penting bagi perkembangan teknologi navigasi dalam hubungannya dengan persebaran orang Austronesia.

66 Matthew Spriggs, op.cit., (1995), hlm. 116.

67 Matthew Spriggs, op.cit., (2000), hlm. 63 dan Robert Blust, op.cit., hlm. 220.