Aspek Budaya Fase II
2. Aspek Budaya Fase II
Di kawasan Maluku Utara, sampai saat ini situs ceruk Uattamdi merupakan satu-satunya situs hunian yang berubah menjadi situs penguburan dalam tempayan. Kemungkinan besar kasus yang terjadi pada situs Uattamdi,
seperti yang terjadi di situs Agop Atas. 79 Kedua situs tersebut nampaknya masih diduduki oleh komunitas pemburu-pengumpul pada masa neolitik, tetapi
kemudian digantikan sebagai situs penguburan tempayan pada masa logam. Hal tersebut berbeda dengan situs Tabon dan Manunggul (sebelum 200 SM) yang
79 Lihat: Peter Bellwood, op.cit., (2000), hal. 432-434.
sejak masa neolitik sudah dimanfaatkan sebagai situs penguburan tempayan oleh komunitas Mongoloid. 80
Seperti telah disinggung di muka, pada Fase II data arkeologi berupa tulang manusia yang tersedia bersifat sangat fragmentaris, oleh sebab itu intepretasi mengenai komunitas manusia yang mendukung fase budaya tersebut mengalami kesulitan, sehingga belum jelas benar siapa manusia pendukung budaya kubur tempayan tersebut, komunitas Non-Austronesia atau Austronesia.
a. Tradisi Penguburan Tempayan
Selain di Maluku Utara, situs kubur tempayan di Indonesia juga ditemukan di Lesung Batu (Sumatra Barat), Pugung Tampak (Lampung), Tile-tile (Selayar), Anyer dan Buni (Jawa Barat), Plawangan (Jawa Tengah), Bukala Gilimanuk (Bali), Lewoleba, Melolo, Lambanapu, Kolana (Alor), Leang Buidane (Talaud),
Paso dan Talikuan di Minahasa. 81 Sayangnya, banyak diantara situs yang telah diteliti tersebut tidak memiliki pertanggalan yang baik, sehingga agak sulit untuk
mengadakan perbandingan diantaranya. Di sekitar kepulauan Indonesia, persebaran kubur tempayan di Asia
Tenggara mencakup suatu kawasan yang cukup luas, yaitu terdapat di Niah (Serawak), Tabon (Palawan), Sa-Huynh (Vietnam), Bahn Na Di (Thailand), dan
80 Periksa: Robert B. Fox, op.cit., hlm. 46.
81 D.D. Bintarti, “Tempayan Kubur di Indonesia”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Buku I (Jakarta: Puslitarkenas, 1989), hlm. 32.
Taiwan. 82 Melihat daerah persebarannya yang cukup luas, maka secara khusus aspek budaya kubur tempayan situs Uattamdi hanya akan dibandingkan dengan
beberapa situs terdekat seperti Leang Buidane, Tabon dan Niah. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan untuk membandingkan dengan situs yang letaknya lebih jauh.
b. Ciri rasial manusia pendukung budaya kubur tempayan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pada umumnya rangka yang dikuburkan dalam kubur tempayan memiliki ciri ras Mongoloid, seperti Leang Buidane (700 AD), Tabon (1500 BC-300 AD) dan Niah (1500-750 BC). Hanya situs Anyer (200-500 AD) yang memiliki ciri ras Australo-Melanesid dan Melolo
(100-500 AD) yang memiliki ciri ras campuran antara keduanya. 83 Karena belum diadakan penelitian lebih mendalam pada sisa tulang dari Uattamdi, maka dapat
diperkirakan bahwa ciri ras sisa tulang manusia dari situs tersebut memiliki beberapa kemungkinan yaitu: Mongoloid, Australo-Melanesid, atau campuran antara keduanya.
c. Bekal Kubur
Tradisi penguburan dalam tempayan di kawasan Kepulauan Sulawesi, Laut Sulu, Borneo bagian utara, Kepulauan Talaud dan Filipina bagian tengah dan selatan pada umumnya menyertakan benda-benda bekal kubur yang relatif seragam walaupun juga ada perbedaannya. Benda-benda tersebut ditempatkan di
82 Endang Widijastuti, “Penguburan dalam Tempayan di Indonesia, dan Perbedaan dengan Asia Tenggara lainnya ”, Skripsi, (Yogyakarta: Fak. Sastra,
Univ. Gadjah Mada, 1998), hlm. 48
83 Periksa: Ibid., hlm. 58 dan 75 83 Periksa: Ibid., hlm. 58 dan 75
Berdasarkan pada kesamaan komposisi bekal kubur tersebut dapat diketahui bahwa manusia pendukung kubur tempayan Situs Uattamdi memiliki hubungan yang lebih dekat dengan situs kubur tempayan dari kawasan Kepulauan Sulawesi, Laut Sulu, Borneo bagian utara, Kepulauan Talaud dan Filipina bagian tengah dan selatan dari pada dengan situs kubur tempayan dari kawasan Indonesia bagian selatan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa ciri ras manusia pendukung budaya situs-situs kubur tempayan di wilayah yang berkaitan dengan situs Uattamdi adalah ras Mongoloid, maka dapat ditarik hipotesis bahwa ciri ras manusia dari situs Uattamdi juga memiliki ciri ras tersebut.
Di samping ditemukan manik-manik kerang, manik manik kaca juga ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak. Selain di situs Uattamdi, manik- manik kaca juga ditemukan di Manunggul (200 SM) dan Tabon, sedangkan di Leang Buidane dan Agop tidak ada. Walaupun demikian di ketiga situs tersebut (kecuali Uattamdi), terdapat manik-manik batu agat hitam dengan hiasan etsa berwarna putih dan manik-manik carnelian berwarna merah berfaset dengan bentuk bundar atau memanjang. Manik-manik Carnelian juga ditemukan di Buni, Gunung Kidul dan Gilimanuk. Berdasarkan pada keberadaan kedua artefak tersebut, maka dapat diindikasikan adanya hubungan antara kepulauan Indonesia dengan situs-situs di sepanjang sungai Gangga dan Indus di India.
84 Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 426. Untuk perbandingan benda- benda bekal kubur dari situs Niah, Tabon dan Leang Buidane, lihat Endang
Widijastuti, ibid., hlm. 64.
Gambar 3.22. Manik- manik dari Leang Buidane, Talaud
Sumber: Peter Bellwood, (1975), dengan modifikasi.
Selain di Situs Uattamdi, artefak-artefak logam yang tidak jelas bentuknya juga ditemukan di Leang Buidane bersama dengan fragmen gelang dan kapak corong. Di Leang Buidane tiga belah cetakan setangkup dari tanah liat yang dibakar mengindikasikan adanya pencetakan logam di tempat tersebut. Hal yang serupa diperkirakan juga terjadi di Agop Atas pada pertengahan millenium pertama SM, sedangkan di lain pihak, dalam masalah logam Situs Uattamdi mungkin hanya sebatas sebagai konsumen saja. Koin Cina dari Uattamdi yang tidak bertanggal mengindikasikan adanya hubungan secara tidak langsung dengan Asia daratan.
Peter Bellwood 85 menyatakan bahwa kumpulan artefak Situs Uattamdi dari masa penguburan tempayan (Fase II) memiliki hubungan dengan artefak dari
jaman logam awal di Kepulauan Indonesia lainnya, pada masa 2000 - 1000 BP. Ada dua hipotesis yang dapat disarankan berdasarkan pada perbandingan kumpulan artefak tersebut. Persamaan-persamaan yang didapatkan kemungkinan besar disebabkan oleh meluasnya dan meningkatnya arus pelayaran antar pulau di
85 Peter Bellwood, op.cit., (tidak diterbitkan, a), hlm. 8.
Kepulauan Indo-Malaysia, yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi dan pengetahuan diantara berbagai etnis di kawasan tersebut. Di lain pihak, kekhususan lokal mungkin menyebabkan agak berbedanya benda-benda bekal kubur tersebut.
d. Tempayan Kubur dan Gerabah Walaupun di kawasan Talaud yang berdekatan juga terdapat tradisi
penguburan tempayan, tetapi terdapat perbedaan dengan Situs Uattamdi yang memiliki bentuk tempayan kubur lebih ramping dari pada Talaud dan pada bagian bibirnya terdapat motif hias tekan. Di lain pihak, Talaud memiliki kotak dari tembikar yang tidak ditemukan di Uattamdi. Bekal kubur bejana tembikar yang berukuran kecil rupanya juga ditemukan di situs Uattamdi dengan bentuk yang berkarinasi, bagian dalam berslip merah, bagian luar berhias gores dan tekan. Gerabah tersebut berasosiasi dengan sebuah cangkang kerang besar Turbo marmoratus yang kemungkinan digunakan sebagai bekal kubur dengan
pertanggalan 2000 BP. 86 Gerabah ini memiliki persamaan dengan yang gerabah serupa dari Leang Buidane dan Agop Atas.
86 Ibid., hlm. 8.
Gambar 3.23. Gerabah masa Gambar 3.24. Gerabah masa
logam dari Leang Buidane logam dari Agop Atas
Gambar 3.25. Gerabah masa logam dari Madai
Sumber: Gambar 3.23. Peter Bellwood, (1980). Gambar 3.24. Peter Bellwood, (2000).
Gambar 3.25. Peter Bellwood, (1980).
Keterangan: bandingkan ketiga gambar tersebut dengan gambar 3.8.
Bagian alas gerabah (pedestal) yang ditemukan di situs Uattamdi, mirip dengan yang ada di Bukit Tengkorak dan gerabah Non-Indian dari Sembiran. Gerabah berkarinasi dan motif hias gores dan tekan dari Fase I Uattamdi sejajar gerabah dari situs-situs di kawasan Maluku Utara lainnya, seperti Um Kapat Papo (1500 BP), Buwawansi (1800 BP), Tanjung Pinang (2000 BP), serta gerabah
jaman logam di Talaud dan Sabah pada masa 2000 – 1000 BP. 87 Selain itu, Santoso Soegondho juga melaporkan telah ditemukan gerabah coklat kemerahan-
merahan dengan motif hias garis dan geometris dengan teknik hias gores pada bagian leher dan teknik tekan pada bagian bibir di Waidoba dan Taneti yang
termasuk dalam kecamatan Kayoa. 88
Selain memiliki kesamaan dengan situs-situs yang sejaman di Maluku Utara, gerabah gores Uattamdi juga memiliki persamaan dengan kompleks
garabah Kalanay di Filipina. 89 Kesamaan tersebut terletak pada pola motif hias pita yang diisi dengan hiasan dengan susunan berulang ditempatkan pada
sekeliling leher secara horizontal. 90 Gerabah Kalanay di temukan di situs Batungan, Kalanay dan Marinduque. Teknik hiasnya meliputi gores, tekan, ukir
dan cat. Unsur motif hias biasanya berupa garis-garis bergelombang, meander, zig-zag, garis-garis diagonal dan segi empat. Menurut Solheim II, gerabah Kalanay memiliki kesetaraan dengan gerabah Sa-Huynh dari Asia Tenggara
87 Lihat: Ibid., hlm. 9.
88 Santoso Soegondho, op.cit., hlm. 238.
89 Gerabah dari jaman logam di Asia Tenggara Kepulauan, oleh Peter Bellwood disebut gerabah gores, sedangkan oleh W.G. Solheim II disebut gerabah
Sa-Huynh-Kalanay.
90 Lihat gambar gerabah gores dari Uattamdi pada Gambar 3.8.
daratan. 91 Berdasarkan pada berbagai kesamaan motif hias gerabah pada kawasan Indonesia Timur bagian utara dan Kepulauan Filipina, maka dapat diketahui
bahwa kedua kawasan budaya tersebut memiliki keterkaitan secara kultural dan akar budaya yang sama yaitu berhubungan dengan persebaran orang Austronesia.
e. Catatan Etnografi dan Jejak Linguistik Berdasarkan pada perbandingan artefak yang dihasilkan dari beberapa
situs kubur tempayan, Peter Bellwood menyarankan bahwa tradisi ini merupakan perkembangan lokal di kepulauan pada jaman logam dengan pertanggalan 200
SM sampai 1000 M. 92 berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, tradisi penguburan tempayan muncul setelah kehadiran orang Austronesia di kepulauan
Indonesia. Berdasarkan penelitian Othman Mohd. Yatim 93 , sampai saat ketika
penelitian tersebut dilakukan, tradisi penguburan tempayan masih dilakukan oleh etnis Kadazan dan Murut di Borneo Utara. Penguburan dalam tempayan yang dilakukan merupakan penguburan sekunder setelah dilakukan penguburan primer. Penguburan primer dilakukan dengan membiarkan mayat di tempat terbuka, di dalam gua, dan di tempat tertentu lainnya dalam masa yang ditentukan. Kemudian penguburan sekunder dilakukan oleh ahli waris dengan cara mengumpulkan
91 Sumber: Sumijati Atmosudiro, “Gerabah Prasejarah di Liang Bua, Melolo dan Lewoleba: Tinjauan Teknologi dan Fungsinya”, Disertasi,
(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1994), hlm. 109-153.
92 Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 4425-426 dan 441.
93 Othman Mohd. Yatim, “Penggunaan Tembikar dalam Masyarakat Malaysia”, Siri Koleksi Tembikar Muzium Negara No. 2, (Kuala Lumpur:
Jabatan Muzium, 1981), hlm. 33-35.
bagian tulang tertentu setelah mayat hancur dalam penguburan pertama, untuk disimpan dalam tempayan. Bagi orang Kadazan, penguburan dalam tempayan dilakukan bagi orang-orang kaya sehingga menyertakan bekal kubur yang seperti tembikar yang berharga. Pada orang Murut, tutup kubur tempayan diberi hiasan kayu yang diukir cantik dan digantungkan manik-manik yang berwarna-warni. Selain itu, juga disertakan lampu kecil dan digantungkan beberapa helai daun terap kering dengan bentuk mulut dan mata untuk mengusir roh-roh jahat. Di lain pihak, sampai saat ini tidak ditemukan tradisi penguburan tempayan pada masyarakat Non-Austronesia, sehingga nampaknya tradisi tersebut memang merupakan budaya masyarakat Austronesia.
Berdasarkan pengamatan Alfred Russel Wallacea yang mengunjungi pulau Kayoa pada tahun 1858, penduduk Pulau Kayoa memiliki ciri ras campuran antara Mongoloid dan Melanesid. Mereka memiliki pertalian darah yang erat dengan penduduk di Ternate dan Jailolo. Mata pencaharian mereka sebagian besar adalah
berladang dan membuat perahu. 94 Dari data linguistik, hasil penelitian Masinambow dan Yoshida yang memetakan bahasa-bahasa di kawasan Maluku
Utara, sampai saat ini penduduk Pulau Kayoa menggunakan bahasa Kayoa yang termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. 95 Walaupun demikian bahasa Kayoa
lebih khusus dan sedikit memiliki kemiripan dengan bahasa lainnya di pulau-
94 Alfred Russel Wallace, Menjelajah Nusantara, Ekspedisi: Alfred Russel Wallace abad ke-19, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 178.
95 Haryo S. Martodirdjo, “Perkembangan Bahasa dan Budaya Daerah Perbatasan Rumpun Bahasa Austronesia dan Non-Austronesia di Halmahera”,
dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 76.
pulau sekitarnya di kepulauan Maluku Utara. 96 Kemungkinan besar, persamaan tersebut disebabkan karena bahasa-bahasa tersebut berasal dari rumpun yang sama
yaitu Austronesia, sedangkan kekhususan diantaranya lebih disebabkan oleh perbedaan dialek, interaksi dengan bahasa non-Austronesia yang ada di Maluku Utara bagian utara, dan perkembangan lokal.
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa Pulau Kayoa telah kedatangan komunitas agrikultural yang berbahasa Austronesia, walaupun demikian kedatangan kelompok tersebut tidak sepenuhnya menggantikan komunitas Non-Austronesia yang telah ada di pulau tersebut sejak masa sebelumnya. Kemungkinan besar interaksi yang positif menjadikan kedua kelompok manusia tersebut berintegrasi menjadi budaya Kayoa, walaupun pada akhirnya unsur budaya Austronesia nampak menjadi lebih dominan dari pada unsur Non-Austronesia.