HASIL EKSKAVASI DAN ANALISIS SEBELUMNYA DATA ARKEOLOGI SITUS UATTAMDI

B. HASIL EKSKAVASI DAN ANALISIS SEBELUMNYA DATA ARKEOLOGI SITUS UATTAMDI

Berdasarkan pada tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui sejarah penghunian serta dinamika budaya pada situs ceruk peneduh Uattamdi, maka dalam tahap ini akan dipaparkan hasil analisis terhadap data arkeologi yang pernah dilakukan sebelumnya. Pada bagian ini juga akan dilakukan pembahasan terhadap hasil analisis tersebut, sehingga hasil analisis tersebut menjadi lebih valid dan relevan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Di samping itu, analisis data arkeologi yang dilakukan, diharapkan juga dapat digunakan untuk menjawab permasalahan kedua mengenai proses migrasi-kolonisasi manusia di kawasan Maluku Utara.

1. Stratigrafi

Menurut 5 Bellwood , berdasarkan pada ciri-ciri struktur lapisan tanah pada kotak D4-D9 yang digali, di Situs Uattamdi terdapat lima jenis lapisan tanah.

Penentuan stratigrafi tersebut diperoleh berdasarkan kenampakan penampang timur kotak D4-D9. Seluruh lapisan tanah tersebut memiliki tekstur pasiran, dengan komposisi utamanya adalah matrikulasi pasir koral. Berdasarkan analisis ukuran butir diketahui bahwa lebih dari 80 % seluruh lapisan tanah tersebut mengandung pasir. Kandungan lempung terbesar ada pada layer C, yang juga paling kaya kandungan data arkeologinya. Selain koral lempung, seluruh lapisan tanah tersebut bertekstur sedikit kasar.

5 Periksa: Peter Bellwood, op.cit..

Gambar 3.2. Gambar penampang stratigrafi situs ceruk Uattamdi

Sumber: Peter Bellwood, (2000), dengan modifikasi

Permukaan kotak gali C4-C7, D5-D7 dan E5-E6 sebagian besar tertutup oleh lapisan abu berwarna putih. Berdasarkan informasi penduduk lokal, abu tersebut merupakan sisa aktivitas evaporasi garam laut. Lapisan A memiliki ketebalan ± 25 cm, berwarna abu-abu gelap. Lapisan ini merupakan lapisan tanah sub-modern. Lapisan A hanya sedikit menghasilkan data arkeologi, hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh aktivitas penguburan tempayan yang dilakukan pada masa antara lapisan A dan B. Tidak adanya gerabah gores Mare

pada lapisan A menunjukan bahwa situs ini tidak digunakan setelah 910±110 BP. 6

Lapisan B merupakan lapisan pasir koral yang berwarna kuning terang dan memiliki ketebalan ± 20 cm. Pada lapisan ini terdapat banyak potongan batu apung laut (pumis) yang keras. Kemungkinan besar batu apung tersebut masuk ke dalam ceruk karena ombak pasang yang disebabkan oleh aktivitas erupsi dan gempa vulkanik gunung berapi Makian, di Pulau Makian sebelah utara Pulau

6 Mahirta, “The Development of the Mare pottery Tradition in the Northern Moluccas”, paper disampaikan dalam IPPA Congres, Melaka, 1998,

hlm. 125.

Kayoa. Lapisan B banyak menghasilkan bekal kubur yang ditemukan pada beberapa lubang dangkal yang digali bagi penguburan tempayan. Kemungkinan besar pada masa tersebut yang merupakan lantai ceruk adalah batas antara lapisan

A dan B. Pertanggalan yang dihasilkan dari lapisan B adalah 2330±70 BP dari dasar lapisan kubur tempayan. Pertanggalan tersebut didapatkan dengan konteks fragmen tempayan kubur, dengan bekal kubur sebuah cangkang kerang yang besar dari spesies Turbo marmoratus. Diperkirakan pada lapisan ini, aktivitas penguburan berlangsung pada pertanggalan tersebut dan berlanjut hingga 1190±70 BP. Berdasarkan pola sebaran data arkeologi secara vertikal, tinggalan dari lapisan B (masa logam) berbeda sekali dengan data yang dihasilkan pada lapisan C (pra-logam).

Lapisan C memiliki ketebalan ± 35 cm, umumnya berwarna abu-abu gelap. Pada lapisan ini terdapat lapisan sisipan berupa runtuhan bongkahan stalaktit setebal ± 20 cm dan abu berwarna abu-abu terang setebal ± 10 cm. Dari arang yang dihasilkan lapisan sisipan abu perapian tersebut didapatkan pertanggalan 2610±170 BP. Dari kuantitas artefak dan abu perapian yang dihasilkan, diperkirakan bahwa pada masa tersebut situs Uattamdi dipergunakan secara intensif, walaupun langit-langit gua mengalami keruntuhan. Dari persebaran bongkah runtuhan secara horizontal, diperkirakan bahwa runtuhan tersebut dipindahkan dari sisi utara ke sisi selatan ceruk. Hal tersebut kemungkinan dilakukan untuk membersihkan sisi utara ceruk yang merupakan zona hunian, dari bongkahan yang dapat mengganggu aktivitas manusia.

Lapisan D memiliki ketebalan ± 20 cm pada umumnya berwarna abu-abu terang dan pada beberapa bagian berwarna abu-abu gelap. Lapisan D merupakan campuran antara pasir koral dan tanah. Pada lapisan ini terdapat sisipan lapisan tanah berwarna coklat kekuningan setebal ± 10 cm dan sisipan abu berwarna abu- abu terang setebal ± 5 cm dan panjang ± 2 m, mengindikasikan adanya aktivitas hunian yang cukup intensif. Lapisan tanah yang lebih terang dimulai pada bagian dasar lapisan E dan berangsur-angsur berubah menjadi berwarna lebih gelap pada bagian atasnya yang berbatasan dengan lapisan C. Berdasarkan tinggalan data arkeologi dapat diketahui bahwa lapisan D memiliki keterkaitan budaya dengan tinggalan dari lapisan C. Pertanggalan dari lapisan D adalah 3260±70 BP dan 3440±110 BP yang diambil dari dasar dan permukaan lapisan ini, dengan materi kerang laut.

Lapisan E yang memiliki ketebalan 20 - 30 cm merupakan lapisan pasir koral berwarna kuning terang dan merupakan lapisan yang streril dari data arkeologi, dengan pertanggalan 3530±70 BP. Di bawah lapisan E terdapat lapisan batu koral yang merupakan bed rock situs ceruk peneduh Uattamdi. Situs ceruk peneduh Uattamdi terbentuk dari koral yang terkikis oleh sapuan ombak laut dan lapisan E terbentuk dari tanah sekitar ceruk yang terhempas masuk ke dalam ceruk. Hal ini mengindikasikan bahwa situs tersebut baru dihuni ketika ombak sudah tidak masuk ke dalam ceruk, dan berdasarkan data arkeologi memang tidak ada data yang menunjukan hunian masa pra-keramik.

Pada situs tersebut juga telah dilakukan pertanggalan yang dilakukan di Laboratorium Radiocarbon ANU, antara lain adalah:

Layer Radio

Konteks Budaya Lab.

dan karbon

BP

sampel

Spit (BP)

(versi3.0)

Kubur tempayan, mata 7772 A5 900±100 928-695 Arang uang Cina

Kubur tempayan, manik- 7773 B1 1190±70 1175-988 Arang manik kaca

Kubur tempayan, manik- 9322 B2 2330±70 1879-1715 Kerang laut manik kaca

Sama dengan 7773 dan 7774 B4 390±190 550-0

Arang

9322 (?) Gerabah slip merah,

7775 C3 2610±170 2860-2378 Arang manik-manik kerang, alat

9323 D1 3260±70 2973-2798 Kerang laut Sama dengan 7775 10959 D2

3410±140 3830-3459 Arang Sama dengan 7775 10957 D3

2850±120 3159-2781 Arang Sama dengan 7775 9320 D3 650±180 725-512

Sama dengan 7775 (?) 7776 D4 3440±110 3342-2971 Kerang laut Sama dengan 7775 9321 E 3530±70 3364-3176 Kerang laut Steril

Arang

Tabel. 3.1. Pertanggalan pada Situs Ceruk Uattamdi

Sumber: diterjemahkan dari Peter Bellwood, (2000) dan (tidak diterbitkan).

Keterangan : Untuk pertanggalan yang material sampelnya menggunakan kerang laut dikurangi 450 tahun sebelum dilakukan kalibrasi. Pertanggalan dilakukan oleh John Head di Laboratorium Radiokarbon, ANU.

2. Data Artefaktual

Artefak merupakan data yang sangat penting dalam ilmu arkeologi, karena di dalamnya terkandung informasi mengenai aspek kognisi dan tingkah laku manusia pendukung budaya yang bersangkutan. Pentingnya pembicaraan mengenai data artefaktual pada kajian perpindahan manusia karena, manusia membawa unsur-unsur budayanya ketika mereka bermigrasi, dan dengan Artefak merupakan data yang sangat penting dalam ilmu arkeologi, karena di dalamnya terkandung informasi mengenai aspek kognisi dan tingkah laku manusia pendukung budaya yang bersangkutan. Pentingnya pembicaraan mengenai data artefaktual pada kajian perpindahan manusia karena, manusia membawa unsur-unsur budayanya ketika mereka bermigrasi, dan dengan

1. Artefak Batu

Artefak batu yang ditemukan pada situs Uattamdi antara lain adalah: beliung persegi, tatal, dan alat serpih. Artefak-artefak tersebut terbuat dari batuan

tersilika (sejenis chert) yang jenisnya beragam. 8 Secara umum seluruh artefak tersebut berasal dari lapisan C dan D.

a. Beliung

Beliung yang ditemukan di Situs Uattamdi berjumlah 4 buah. Salah satu artefak tersebut memiliki ukuran panjang 10 cm, lebar 5 cm dan tebal 3 cm,

dengan bentuk penampang oval. 9 Selain itu, pada situs Uattamdi juga ditemukan sebuah pahat yang merupakan variasi bentuk dari beliung persegi. Artefak

tersebut memiliki penampang membundar dengan ukuran panjang 7 cm dan diameter 2 cm. 10 Seperti morfologi beliung persegi pada umumnya, sebagian

besar permukaan beliung persegi dari Situs Uattamdi juga telah mengalami proses pengupaman, sehingga jejak urut-urutan pembuatannya juga sudah tidak dapat diamati.

7 Irving Rouse, Migrations in Prehistory, Inverring Population Movement From Cultural Remain (New Haven: Yale University, 1986), hlm. 4.

8 Informasi dari Daud Aris Tanudirdjo, staf pengajar jurusan Arkeologi, UGM.

9 Lihat gambar 3.3. dan 3.11.a

10 Lihat gambar 3.11.c

Gambar 3.3. Beliung dari Situs Ceruk Uattamdi

Sumber: Peter Bellwood, 2000.

b. Serpih

Serpih yang ditemukan pada Situs Uattamdi berjumlah 25 buah. Pada umumnya serpih tersebut berukuran 3 - 5 cm. 11 Artefak tersebut terbuat dari

bahan batuan tersilika sejenis rijang (chert). Selain serpih, pada situs Uattamdi juga ditemukan tatal sebanyak 11 buah. Diantaranya terdapat 3 buah tatal yang

berasal dari beliung persegi. 12 Sampai saat ini belum ada analisis yang mendalam yang dilakukan terhadap artefak-artefak tersebut.

11 Lihat gambar 3.4.

12 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, loc.cit. Lihat gambar 3.5.

Gambar 3.4. Serpih dari Situs Ceruk Uattamdi

Sumber: Peter Bellwood, 2000.

Gambar 3.5. Tatal dari Situs Ceruk Uattamdi

Sumber: Peter Bellwood, 2000, dengan modifikasi

2. Alat Tulang dan Kerang

a. Lancipan tulang Lancipan yang ditemukan di Situs Uattamdi, berjumlah 5 buah dan

keseluruhannya berasal dari bahan tulang. 13 Lancipan merupakan artefak yang memiliki bentuk meruncing pada bagian tajamannya dan berbentuk menyerupai

jarum besar. Lancipan tulang dibentuk baik dari batang tulang panjang yang utuh maupun bagian dari tulang panjang yang dibelah secara vertikal.

Pada situs Uattamdi, dua buah lancipan terbuat dari duri ikan dengan sedikit dimodifikasi. Selain terlihat bekas pemakaian, juga nampak sedikit pengasahan untuk menambah ketajaman. Pada situs ini juga ditemukan dua buah lancipan berujung ganda dan sebuah lagi yang belum dapat ditentukan bentuknya apakah termasuk lancipan berujung tunggal ataukah lancipan berujung ganda yang patah. Ketiganya terbuat dari fragmen tulang mamalia yang berukuran sedang. Sedangkan lancipan yang diragukan bentuknya terbuat dari bahan tulang tibia wallabi. Ketiga lancipan tersebut dikerjakan dengan metode pemotongan dan penyerutan, selain itu juga terlihat bekas pengasahan. Sebelum dilakukan

pengerjaan, dilakukan pemanasan dengan api untuk menambah kekuatan. 14

13 Lihat gambar 3.6. dan 3.11. g

14 Juliette Pasveer dan Peter Bellwood, Bone Point from the Northern Moluccas, Indonesia (belum dipublikasikan), hlm. 4.

Gambar 3.6. Lancipan tulang dari Situs Ceruk Uattamdi

Sumber:

Juliette Pasveer dan Peter Bellwood, (tidak dipublikasikan).

Seluruh lancipan yang ditemukan di Situs Uattamdi berasal dari lapisan C, hanya satu buah yang ditemukan pada lapisan A yang kemungkinan disebabkan oleh faktor intrusi karena aktivitas penguburan tempayan pada lapisan A dan B. Pada umumnya lancipan berfungsi sebagai jarum untuk menjahit, ujung tombak menangkap ikan dan sebagai aksesoris untuk menghiasi hidung seperti yang

masih banyak dipakai oleh beberapa etnis di Papua. 15

b. Serut

Serut dari cangkang kerang yang ditemukan di Situs Uattamdi berjumlah 6 buah. Seluruh artefak tersebut berasal dari lapisan C. Bahan baku artefak tersebut

berasal dari cangkang kerang mutiara, yang berukuran 7 cm. 16 Kerang mutiara termasuk dalam super famili Pterioidea, famili Pteriidae. Kerang mutiara

memiliki persebaran yang sangat luas di kawasan perairan tropis. Kerang dari jenis ini memiliki empat spesies, antara lain: Pinctada mangaritifera dan Pinctada

15 Ibid., hlm. 8.

16 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, op.cit., hlm. 239. Lihat gambar 3.11. h dan k 16 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, op.cit., hlm. 239. Lihat gambar 3.11. h dan k

adalah perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 25 m. Selain memproduksi mutiara, jenis kerang ini pada cangkang bagian dalamnya berwarna

mengkilat. 18 Karena bagian tepiannya yang tajam, maka cangkang dari jenis ini juga digunakan sebagai alat.

c. Pisau Pisau dari cangkang kerang yang ditemukan di situs Uattamdi berjumlah 3

buah. Keseluruhan temuan tersebut berasal dari lapisan C. Sampai saat ini belum dapat diketahui spesies kerang yang cangkangnya dimanfaatkan untuk membuat artefak tersebut. Hal ini disebabkan oleh faktor pengerjaan yang menghilangkan ciri penanda spesifik suatu jenis spesies kerang. Definisi pisau yang digunakan untuk menyebut alat ini oleh Bellwood, mungkin berhubungan dengan aspek fungsionalnya yaitu untuk memotong. Di Pasifik (Talepakemalai), pisau dan serut kerang mutiara digunakan untuk menyiapkan umbi-umbian, akar dan buah-buahan

untuk diolah dan dimasak. 19

17 Perairan Indo-Pasifik mencakup kawasan seluruh perairan pantai Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik, kecuali pantai barat Amerika, pantai

timur Asia bagian utara, pantai Australia selatan dan Selandia Baru.

18 Kenneth R. Wye, The Encyclopedia of Shells (London: Quantum Books Ltd, 1996), hlm. 244-245.

19 Patrick Vinton Kirch, The Lapita Peoples, Ancestors of the Oceanic World, (Cambridge: Blackwell Publisers, 1997), hlm. 214.

d. Mata kail

Mata kail dari cangkang kerang yang ditemukan di situs Uattamdi hanya berjumlah satu buah. Seperti artefak cangkang kerang lainnya, artefak ini juga ditemukan pada lapisan C. Berdasarkan pada perbandingan bahan baku mata kail dari situs ini dengan mata kail yang masih digunakan pada beberapa etnis di Kepulauan Pasifik, maka kemungkinan besar fungsi artefak tersebut juga

digunakan untuk menangkap ikan. 20 Munculnya mata kail di Situs Uattamdi mengindikasikan bahwa manusia pendukung situs tersebut melakukan eksploitasi

sumber daya laut.

e. Cakram Cakram yang ditemukan di Situs Uattamdi berjumlah 6 buah. Artefak

tersebut berbentuk melingkar diameter berukuran 7 cm. 21 Cakram berasal dari bagian puncak cangkang kerang famili Cypraeidae (kauri) yang dipotong secara

horisontal. Kerang famili Cypraeidae memiliki ciri-ciri tekstur permukaan yang sangat halus, mengkilat seperti porselen, dan kaya akan variasi dan pola yang berwarna-warni. Kerang ini memiliki variasi jenis mencapai 200 spesies, dengan persebarannya yang luas di perairan kawasan Indo-Pasifik. Sebagian besar habitat kerang jenis ini adalah perairan dangkal yang mendapat cukup sinar matahari sampai kedalaman 25 m dan beberapa jenis yang hidup di laut dalam sampai

20 Patrick Vinton Kirch, “Subsistence and Ecology”, dalam Jesse D. Jennings, ed., The Prehistory of Polynesia, London: Harvard University press,

hlm. 300-302.

21 Lihat Gambar 3.11. f 21 Lihat Gambar 3.11. f

ini, mungkin artefak ini digunakan sebagai sendok, dan di Pasifik (Hawaii) ada juga yang digunakan sebagai pemberat mata kail. 23

f. Beliung kerang Beliung kerang adalah artefak berbentuk beliung yang terbuat dari

cangkang kerang. Tetapi tidak seluruh morfologi beliung kerang menyerupai bentuk beliung batu. Hal ini disebabkan oleh faktor pemilihan bahan baku beliung kerang tersebut, sehingga untuk cangkang kerang dari jenis tertentu tidak selalu

menghasilkan bentuk beliung kerang yang mirip dengan beliung batu. 24

Pada situs Uattamdi sebuah beliung kerang ditemukan dari lapisan dasar layer D, bersama dengan artefak kerang lainnya. Secara kontekstual, lapisan C dan D memang didominasi oleh berbagai jenis artefak yang terbuat dari cangkang

kerang. 25 Hal tersebut mungkin berhubungan dengan aspek ketersediaan sumber bahan baku. Beliung kerang dari situs tersebut berasal dari cangkang kerang

spesies Tridacna gigas, famili Tridacnidae, kelas Pelecypoda. 26 Tridacna gigas merupakan spesies yang paling besar dalam famili Tridacnidae. Persebaran

22 Ibid., hlm. 82-89.

23 Lihat: Patrick Vinton Kirch, op.cit., (1997) hlm. . dan Peter Bellwood, Man’s Conquest of the Pacific, (Auckland: Collins, 1975), hlm. 319.

24 Hannibal Hutagalung, “Pemanfaatan Situs Gua Golo, Pulau Gebe (Maluku) Sebagai Hunian Kala Pleistosen Akhir-Holosen”, Skripsi Sarjana,

(Yogyakarta: Fak. Sastra UGM, 1999), hlm. 29. Lihat Gambar 3.10.

25 Lihat Tabel 3.2. hlm 72.

26 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, loc.cit. Lihat gambar 3.10. b 26 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, loc.cit. Lihat gambar 3.10. b

ukuran lebar antara 30 sampai 137 cm dengan berat mencapai 230 kg. 27

Ada beberapa cara proses pembuatan beliung kerang. Berdasarkan analisis Goenadi Nitihaminoto 28 , proses pembuatan beliung kerang Tridacna dimulai

dengan pemilihan bahan baku, yaitu rusuk yang dianggap bagus dari cangkang kerang yang besar atau sedang. Rusuk yang dipilih untuk bahan baku beliung kerang adalah rusuk bagian tengah, dan jarang diambil dari rusuk bagian pinggir. Pemotongan dilakukan secara vertikal pada bagian kiri dan kanan rusuk sampai pada bagian pangkal (umbo).

Pemotongan kedua dilakukan secara horizontal pada rusuk yang telah terpisah, sesuai dengan ukuran yang dikehendaki. Untuk cangkang kerang yang berukuran sedang, pemotongan dilakukan hanya satu kali pada bagian dekat umbo. Bagian bibir dibiarkan alami sehingga tetap tajam dan berfungsi sebagai tajaman. Untuk cangkang kerang yang terlalu besar, pemotongan horizontal dilakukan dua kali pada dekat bagian umbo dan bibir rusuk, sesuai dengan keserasian dan dilakukan penajaman.

27 Hannibal Hutagalung, op.cit., hlm. 29. dan Kenneth R. Wye, op.cit., hlm. 263-264.

28 Goenadi Nitihaminoto, Beliung Kerang situs Golo, Pulau Gebe: Sebarannya di Maluku Utara dan daerah Pasifik (tidak dipublikasikan, 1996),

hlm. 4-5.

Tahap penyempurnaan dilakukan dengan pengupaman pada bagian-bagian pemotongan untuk menambah kehalusan dan keserasian, agar dapat dipakai dengan nyaman. Seperti beliung batu pada umumnya, beliung kerang juga diberi

tangkai dari bahan non-litik untuk efektivitas penggunaan. Melihat morfologinya yang mirip dengan beliung batu, kemungkinan besar alat ini juga memiliki fungsi

yang tidak jauh berbeda dengan beliung batu.

3. Aksesoris

Berdasarkan pada bahan baku pembuatnya, aksesoris yang ditemukan di situs Uattamdi terdiri aksesoris kerang dan kaca. Aksesoris kerang terdiri dari gelang dan manik-manik kerang, sedangkan aksesoris kaca hanya manik-manik

kaca monokrom. Gelang kerang yang ditemukan berjumlah 6 buah 29 , manik- manik kerang berjumlah 17 buah 30 dan manik-manik kaca berjumlah 118 buah.

Berdasarkan distribusi sebarannya secara vertikal, pada umumnya aksesoris kerang berasal dari lapisan C dan D, sedangkan aksesoris kaca monokrom berasal

dari layer A dan B, dengan konteks kubur tempayan. 31

Pada dasarnya fungsi aksesoris lebih bersifat estetis, yaitu sebagai perhiasan. Selain itu, pada beberapa situs dan etnis tradisional yang masih hidup di Indonesia, manik-manik juga ada yang berfungsi sebagai penanda status sosial,

29 Lihat gambar 3.10 e dan j.

30 Lihat gambar 3.10. i.

31 Lihat Tabel no. 3.2. dan Gambar 3.10.

alat tukar dan alat pemujaan. 32 Pada situs Uattamdi, aksesoris yang berfungsi estetis ditunjukkan oleh gelang dan manik-manik kerang pada lapisan C dan D,

karena temuan tersebut berasosiasi dengan peralatan sehari-hari. Sedangkan aksesoris yang ditemukan dengan konteks kubur tempayan, seperti pada lapisan A dan B kemungkinan memiliki fungsi ideoteknis, yaitu sebagai bekal kubur.

4. Artefak logam

Artefak logam yang ditemukan di situs Uattamdi terdiri dari: beberapa fragmen besi, beberapa fragmen tembaga/perunggu dan dua buah mata uang Cina yang tidak berangka tahun. Seluruh artefak tersebut berasal dari lapisan A dan B,

dengan konteks kubur tempayan. 33 Sifat temuan yang sangat fragmentaris, menyebabkan tidak dapat diketahui bentuk asli dan fungsi artefak tersebut yang

sesungguhnya. Akan tetapi berdasarkan konteks temuannya dengan kubur tempayan, diperkirakan artefak tersebut berfungsi sebagai bekal kubur.

5. Gerabah

Gerabah adalah salah satu jenis artefak yang dibentuk dengan metode penambahan, berbeda dengan alat batu dan tulang atau cangkang kerang yang dibuat dengan metode pengurangan. Gerabah terbuat dari bahan baku tanah liat,

32 Rusmajani Setyorini, ”Manik-manik di Beberapa situs Gunung Kidul (Studi Tentang Teknologi dan Tipologi), Skripsi (Yogyakarta: Fak. Sastra UGM,

1990), hlm. 95.

33 Lihat Tabel no. 3.2.

selain itu juga digunakan temper (bahan tambahan) yang berasal dari bahan seperti misalnya: pasir, sekam, rumput yang sudah kering, grog, dan bubukan kerang. Penggunaan temper ditujukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang

lebih baik. 34 Teknik pembuatan gerabah dimulai dengan pengolahan bahan baku, pembentukan dan pembakaran. Ada beberapa teknologi pembuatan gerabah,

antara lain adalah: teknik tangan, roda putar dan tatap pelandas. 35 Berdasarkan pengamatan, rupanya gerabah Uattamdi dibuat dengan teknik tangan, hal tersebut

diketahui dengan banyaknya bekas tekanan jari pada bagian dalam fragmen gerabah tersebut.

Berdasarkan atribut teknik hiasnya, gerabah yang ditemukan pada ekskavasi di Situs Uattamdi terdiri dari dua macam yaitu: gerabah slip merah dan gerabah hias gores. Pewarnaan merah dihasilkan dengan cara dipoleskan seperti cat. Hal tersebut nampak dari beberapa fragmen gerabah yang slip merahnya tidak merata. Motif hias gores dihasilkan dengan menggunakan alat tertentu, motif yang digambarkan adalah motif hias geometris. Motif hias tekan dihasilkan dengan menekankan suatu alat, selain itu ada juga yang ditekan dengan jari pada bagian bibir. Perbedaan teknik tersebut terlihat dari motif hias yang dihasilkan.

34 Vincas P. Steponaitis, Ceramic, Chronology and Community Patterns, An Archaeologycal Study at Moundville (New York: Hancourt Brace Jovanovic,

1983), hlm. 20.

35 Yogi Piskonata, “Strategi Subsistensi Pendukung Budaya Situs Gua Macan, Tinjauan Berdasarkan Data Ekskavasi”, Skripsi (Yogyakarta: Fak. Sastra

UGM, 1996), hlm. 41.

Berdasarkan distribusi sebarannya secara vertikal, pada umumnya gerabah slip merah ditemukan pada lapisan C dan D, 36 sedangkan gerabah hias gores

berasal dari masa yang lebih kemudian, yaitu dari lapisan A dan B. 37 Pada lapisan budaya ini, dua buah tempayan kubur telah dapat direkonstruksi, dan

kemungkinan masih terdapat beberapa buah lagi. Sebuah fragmen gerabah berkarinasi yang kaya akan motif hias gores dan aplikasi pada bagian leher dan

motif hias tekan pada bibir bagian atas ditemukan pada layer akhir. 38 Sampai saat ini, gerabah dari jenis tersebut tidak ditemukan pada situs lainnya di kawasan

Maluku Utara.

Gambar 3.7. Gerabah slip merah dari lapisan C dan D

Sumber: Peter Bellwood, 2000

36 Lihat gambar 3.7. dan 3.8.

37 Lihat gambar 3.9. dan 3.10.

38 Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, op.cit., hlm. 212-213.

Gambar 3.8. Gerabah slip merah dari lapisan C dan D

Sumber: Peter Bellwood, 2000

Gambar 3.9. gerabah hias gores dari lapisan A dan B

Sumber: Peter Bellwood, tidak dipublikasikan

Keterangan: Gambar 3.9.

a. motif hias teknik aplikasi dan tekan pada bagian atas tepian b. motif hias teknik tekan jari pada bagian luar tepian c. motif hias teknik gores dengan motif geometris

d.motif hias teknik aplikasi e. motif hias teknik gores pada bagian atas bibir

Gambar 3.10. Gambar tempayan kubur dari lapisan A dan B

Sumber: Peter Bellwood, (tidak dipublikasikan)

Gambar 3.10. a. motif hias teknik gores b. motif hias teknik aplikasi c. motif hias teknik aplikasi dan tekan jari

Berdasarkan analisis komposisi yang dilakukan Mahirta (1996), pada umumnya gerabah di Maluku Utara dari lapisan bawah menggunakan temper Berdasarkan analisis komposisi yang dilakukan Mahirta (1996), pada umumnya gerabah di Maluku Utara dari lapisan bawah menggunakan temper

bertujuan untuk meningkatkan suhu pembakaran dan mengurangi pecah dan perubahan bentuk yang disebabkan perubahan komposisi bahan. Selain itu, pembakaran di atas 500°C mengakibatkan perubahan mineral aragonit dan kalsit yang terkandung dalam koral menjadi mineral kristalin, sehingga meningkatkan

daya kedap air. 40 Di samping itu, penggunaan temper pasir pada gerabah bermanfaat untuk meningkatkan kekuatan struktur dan kekompakan, selain itu

juga menjadikan permukaan gerabah lebih halus dengan hasil goresan dan teraan yang lebih rapi. 41

6. Batu Masak

Batu masak adalah batu-batuan alami yang dimanfaatkan oleh manusia untuk mengolah makanan. Batu masak dimanfaatkan untuk menyimpan panas yang akan digunakan untuk memasak atau mengolah makanan. Pada situs Uattamdi, artefak ini ditemukan pada layer C dan D, dan sedikit pada lapisan A dan B. Seperti halnya cangkang kerang dan tulang binatang, artefak ini mengalami

puncak frekuensinya pada lapisan C. 42

39 Mahirta, op.cit., hlm. 121.

40 Vincas P. Steponaitis, op.cit., hlm. 20.

41 Ibid., hlm. 67.

42 Peter Bellwood, op.cit., hlm. 3.

Keberadaan jenis batuan vulkanik di situs ini cukup menarik perhatian, mengingat situs Uattamdi berada di daerah karst. Kemungkinan besar jenis batuan ini berasal dari bagian tengah Pulau Kayoa yang struktur batuannya bersifat vulkanik. Pemilihan bahan batuan vulkanik diasumsikan karena jenis batuan ini merupakan jenis yang cukup baik untuk mempertahankan panas dari perapian yang akan dimanfaatkan untuk memasak.

Keterangan: a. beliung batu b. beliung kerang c. pahat batu d. pahat dari pulau Pitcairn e. gelang kerang conus dari Buwawansi f. cakram kerang cowrie g. lancipan tulang h. serut kerang muiara i. manik-manik kerang j. fragmen gelang kerang Trocus k. serut kerang mutiara

Gambar 3.11. Kumpulan artefak dari situs Ceruk Uattamdi, kecuali d dan e

Sumber: Peter Bellwood, (2000).

3. Data Non-Artefaktual

1. Fragmen Tulang Manusia

Tulang manusia di Situs Uattamdi ditemukan pada layer A spit 3 sampai layer B spit 4. Pada layer tersebut tulang manusia ditemukan dalam konteks kubur tempayan dengan artefak lainnya yang diindikasikan sebagai bekal kubur, seperti misalnya: manik-manik kaca monokrom, manik-manik kerang, sebuah cangkang

kerang besar, fragmen logam (besi dan tembaga/perunggu) dan mata uang Cina. 43

Tulang manusia tersebut ditemukan dalam keadaan sangat fragmentaris, hanya beberapa potongan tulang ditemukan pada lapisan B dan sebuah tempurung kepala yang terkubur terbalik pada sebuah lubang yang dangkal. Sifat data yang fragmentaris tersebut membuat analisis yang dilakukan sampai saat ini belum dapat mengungkapkan informasi yang maksimal mengenai manusia pendukung

budaya situs tersebut. 44

2. Fragmen Tulang binatang dan Cangkang Kerang Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh T.F. Flannery, Situs Uattamdi

menghasilkan sisa fauna babi, anjing dan kuskus (Phalanger ornatus). Selain berdasarkan ekofak, lancipan tulang yang terbuat dari bahan tulang ikan dan tibia wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) juga ditemukan pada lapisan C. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan besar manusia pendukung budaya tersebut

43 Lihat tabel no. 3.2.

44 Peter Bellwood, op.cit., hlm. 4.

juga mengkonsumsi berbagai jenis fauna tersebut. Keseluruhan data tersebut berasal dari lapisan C dan D Situs Uattamdi.

Di Situs Uattamdi, sisa cangkang kerang dan tulang binatang yang dikonsumsi tersebar pada lapisan C dan D. Secara kuantitas, frekuensi tertinggi

terdapat pada lapisan C dan jarang jumlahnya pada lapisan A dan B. 45 Berdasarkan distribusi ekofak secara vertikal, maka dapat diketahui bahwa

aktivitas perburuan dan pengumpulan sumberdaya makanan (khususnya sumber daya marin) lebih dominan pada lapisan C dan D, dan mencapai puncaknya pada lapisan C. Hal tersebut menurun intensitasnya dan mungkin punah pada lapisan A dan B, yang disebabkan oleh perubahan budaya manusia pendukung situs tersebut.

4. Distribusi Vertikal Data Arkeologi Situs Uattamdi

Berdasarkan distribusinya secara vertikal, tinggalan data arkeologi pada Situs Uattamdi memiliki dua karakteristik yang berbeda, yaitu:

a. Lapisan A dan B:

Data arkeologi yang dihasilkan, antara lain adalah: manik-manik kaca, fragmen perunggu/tembaga, dua mata uang Cina, fragmen besi, fragmen tempayan kubur, fragmen tulang manusia, gerabah motif hias gores dengan temper kuarsa (non koral).

45 Peter Bellwood, op.cit., hlm. 5.

b. Lapisan C dan D:

Data arkeologi yang dihasilkan antara lain adalah: Beliung yang diupam, pahat, alat serpih, tatal, lancipan tulang, gelang dan manik-manik kerang, serut kerang mutiara, pisau kerang, cakram kerang kauri, mata kail, batu masak vulkanik, cangkang kerang, fragmen tulang kus-kus, babi, anjing dan gerabah poles merah dengan temper koral

Layer dan Spit

a bcdefghi jklmn

Tabel 3.2. Jenis temuan secara umum

dari Situs Uattamdi

Keterangan: a : beliung yang diupam b : serpih dan tatal c : lancipan tulang d : gelang dan manik-manik kerang e : alat kerang (beliung kerang, serut, pisau, cakram, mata kail) Keterangan: a : beliung yang diupam b : serpih dan tatal c : lancipan tulang d : gelang dan manik-manik kerang e : alat kerang (beliung kerang, serut, pisau, cakram, mata kail)

i : gerabah temper non koral j

: manik-manik kaca k

: fragmen perunggu/tembaga dan *dua mata uang Cina l

: fragmen besi m

: fragmen tempayan kubur n

: fragmen tulang manusia