Tinjauan Yuridis Pemberian Remisi kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi
A.2. Tinjauan Yuridis Pemberian Remisi kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Tindak Pidana Korupsi telah dikenal sebagai suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kejahatan ini memang tidak berakibat langsung pada satu atau dua orang korban. Tetapi dampak yang ditimbulkan sangat luas dan berakibat buruk pada banyak aspek kehidupan masyarakat utamanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi bukan tidak dilakukan, telah ada banyak peraturan hukum positif yang mengatur pencegahan serta pemberantasannya. Namun menjadi ironi karena sampai saat ini tindak pidana korupsi masih sering terjadi dan senantiasa masih menjadi konsumsi pemberitaan publik di berbagai media massa.
Dalam konteks kebijakan atau politik hukum pidana, maka tiga bagian hukum pidana berada di balik ironi tindak pidana korupsi tersebut.
Bagian tersebut adalah hukum pidana materil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana. Hukum pidana materil dalam hal ini adalah perundang-undangan tindak pidana korupsi dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Hukum pidana formil adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan berbagai ketentuan acara yang ada dalam undang-undang tertentu yang bersifat khusus (lex specialis). Sedangkan hukum pelaksanaan pidana atau hukum penitensiernya adalah undang-undang pemasyarakatan dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Namun demikian tidaklah berarti ada pemisahan yang kaku antara tiga bagian hukum pidana tersebut, sebab sekalipun undang-undang pemasyarakatan itu adalah domain dari hukum pelaksanaan pidana atau hukum penitensier namun sejatinya perumusan atau formulasi dari undang-undang pemasyarakatan itu adalah juga domain dari hukum pidana materil karena undang-undang pemasyarakatan itu adalah produk legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah) yang adalah pembuat atau perumus dari hukum pidana materil.
Politik hukum pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi telah menghasilkan formulasi atau rumusan delik-delik tindak pidana korupsi yang diancam dengan pidana dengan jangka waktu yang panjang bahkan diancam dengan pidana mati. Hal ini menunjukkan bahwa tahap formulasi perundang-undangan tindak pidana korupsi telah Politik hukum pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi telah menghasilkan formulasi atau rumusan delik-delik tindak pidana korupsi yang diancam dengan pidana dengan jangka waktu yang panjang bahkan diancam dengan pidana mati. Hal ini menunjukkan bahwa tahap formulasi perundang-undangan tindak pidana korupsi telah
Namun setidaknya tujuh tahun sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dikatakan terjadi ketimpangan antara rumusan formulasi ancaman pidana yang berat terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan formulasi pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi yang sama dasar hukumnya dengan pelaku kejahatan pada umumnya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Keadaan sebagai demikian tentu dipandang menciderai rasa keadilan hukum mengingat tindak pidana korupsi itu adalah kejahatan luar biasa. Oleh sebab itu pemerintah mengubah ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang pemberian remisi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Selengkapnya dalam pertimbangan atau konsiderannya disebutkan demikian, bahwa ketentuan mengenai pemberian remisi, asimilasi,cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat perlu ditinjau ulang guna menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, terutama terkait dengan narapidana yang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau Keadaan sebagai demikian tentu dipandang menciderai rasa keadilan hukum mengingat tindak pidana korupsi itu adalah kejahatan luar biasa. Oleh sebab itu pemerintah mengubah ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang pemberian remisi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Selengkapnya dalam pertimbangan atau konsiderannya disebutkan demikian, bahwa ketentuan mengenai pemberian remisi, asimilasi,cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat perlu ditinjau ulang guna menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, terutama terkait dengan narapidana yang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau
Pertimbangan atau konsideran lahirnya Peraturan Pemerintah di atas didasarkan pada pertimbangan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal ini patut diapresiasi sebagai langkah maju dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi. Sejatinya orientasi dari penegakan hukum itu adalah terciptanya rasa keadilan. Adalah suatu ironi jika ketentuan yang sama diberikan kepada pelaku tindak pidana yang berbeda ancaman pidananya. Tindak pidana korupsi jelas adalah tindak pidana yang berbahaya, berdampak dan sangat merugikan banyak pihak. Kemiskinan dan penderitaan di mana-mana adalah wujud dari dampak buruk tindak pidana korupsi itu. Dengan demikian adalah adil memberikan ketentuan yang berbeda (baca: lebih berat) terhadap pelaku tindak pidana pidana korupsi daripada pelaku tindak pidana biasa.
Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 ini agaknya boleh dikatakan mengembalikan ketimpangan yang terjadi sebagaimana disebutkan di atas. Penulis berpendapat demikian karena peraturan hukum positif yang berada di hulu (Perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi) dan di hilir ( Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan juntco Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
2006) telah sama-sama menempatkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi diberikan “perlakuan” yang berbeda baik di tingkat pemidanaannya ( baca: ancaman pidana) maupun di tingkat pembinaannya (baca : pemberian remisi).
Pemberian perlakuan yang berbeda terhadap pelaku tindak pidana korupsi untuk memperoleh remisi sebagaimana telah diuraikan di atas didasarkan pada perwujudan rasa keadilan bagi masyarakat. Namun demikian tidaklah pula berarti perlakuan yang berbeda tersebut menimbulkan diskriminasi hak hukum kepada pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang – Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan demikian ; Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Selanjutnya dalam Pasal 28 I ayat (2) Undang – Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan ; Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Demikian halnya dalam Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga diatur tentang persamaan hak hukum. Dalam Pasal 4 disebutkan demikian ; Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak Demikian halnya dalam Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga diatur tentang persamaan hak hukum. Dalam Pasal 4 disebutkan demikian ; Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak
Undang – Undang Dasar Tahun 1945 dan Undang – Undang HAM memang menjamin persamaan hak dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Namun melalui Pasal 28 J ayat (2) Undang – Undang Dasar Tahun 1945 dapat dilakukan pembatasan – pembatasan tertentu terhadap hak – hak di atas dengan maksud memenuhi tuntutan rasa keadilan. Selengkapnya dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang– Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan demikian :
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang – undang dengan maksud semata – mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai – nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dengan adanya klausul pembatasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sekalipun sesuatu hal itu adalah hak seseorang namun pelaksanaannya wajib tunduk kepada pembatasan – pembatasan yang ditetapkan oleh undang – undang. Pembatasan tersebut ditujukan untuk terwujudnya keadilan hukum. Dengan kata lain pemberian hak yang berbeda atas suatu perlakuan dan persamaan hukum tidaklah serta merta melanggar hak asasinya jika hal tersebut dilakukan semata – mata berdasarkan pembatasan – pembatasan yang ditetapkan oleh undang – undang.
Berdasarkan pemahaman yang demikian maka adalah konstitusional pemberlakuan ketentuan yang berbeda terhadap pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi karena pemberlakuan ketentuan yang berbeda tersebut adalah perwujudan dari pembatasan – pembatasan hak oleh undang – undang semata – mata demi terwujudnya keadilan hukum. Dengan demikian Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 khususnya Pasal 34 ayat (3) yang mengatur tentang pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi tidaklah bertentangan dengan Undang – Undang Dasar Tahun 1945 dan Undang – Undang HAM yang menjamin pengakuan perlindungan serta perlakuan yang sama di hadapan hukum karena peraturan pemerintah di atas hadir sebagai instrument hukum bagi terwujudnya keadilan hukum.
Ketentuan yang mengatur pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 34 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Selengkapnya disebutkan di bawah ini :
Pasal 34 ayat 3
Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berkelakuan baik; dan
b. telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah di atas berbeda dalam hal pemberian remisi terhadap narapidana pada umumnya. Terhadap narapidana umumnya remisi dapat diberikan setelah menjalani masa pidana lebih dari enam (6) bulan dan tidak perlu ada pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Ketentuan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan ini adalah ketentuan yang diperbaharui dalam Peratuan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Namun Ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah di atas berbeda dalam hal pemberian remisi terhadap narapidana pada umumnya. Terhadap narapidana umumnya remisi dapat diberikan setelah menjalani masa pidana lebih dari enam (6) bulan dan tidak perlu ada pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Ketentuan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan ini adalah ketentuan yang diperbaharui dalam Peratuan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Namun
Tentu saja syarat pemberian remisi terhadap narapidana sebagaimana disebut dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tidak hanya apabila yang bersangkutan telah menjalani sepertiga dari masa pidananya. Ketentuan telah berkelakuan baik adalah syarat yang juga ditetapkan dan mutlak menjadi pedomannya. Penilaian terhadap sikap kelakuan baik tersebut dilihat dari kehidupan sehari-hari narapidana selama menjalani masa pidana di lembaga pemasyarakatan termasuk dalam keikutsertaan atau partisipasi aktifnya dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan di lembaga pemasyarakatan. Hal ini kembali menegaskan bahwa memang keberadaan remisi itu adalah suatu Tentu saja syarat pemberian remisi terhadap narapidana sebagaimana disebut dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tidak hanya apabila yang bersangkutan telah menjalani sepertiga dari masa pidananya. Ketentuan telah berkelakuan baik adalah syarat yang juga ditetapkan dan mutlak menjadi pedomannya. Penilaian terhadap sikap kelakuan baik tersebut dilihat dari kehidupan sehari-hari narapidana selama menjalani masa pidana di lembaga pemasyarakatan termasuk dalam keikutsertaan atau partisipasi aktifnya dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan di lembaga pemasyarakatan. Hal ini kembali menegaskan bahwa memang keberadaan remisi itu adalah suatu
Syarat berkelakuan baik ini juga sebagaimana telah diuraikan di atas adalah sarana kontrol sekaligus evaluasi terhadap pemberian remisi kepada narapidana tindak pidana korupsi. Dalam mana memang dalam masa waktu berjalan, narapidana tersebut melakukan perbuatan tidak terpuji atau tercela bahkan membuat keributan di lembaga pemasyarakatan, maka atas penilaian dari pejabat di lembaga pemasyarakatan tersebut, pemberian remisi kepada narapidana yang bersangkutan dapat ditinjau ulang. Dengan demikian walaupun remisi itu adalah hak narapidana sebagaimana diatur dalam undang-undang pemasyarakatan namun ada kewajiban yang harus dipenuhi narapidana tersebut untuk mendapatkan haknya yakni berkelakuan baik. Dengan kata lain tidak dipenuhinya kewajiban tersebut oleh narapidana yang bersangkutan, maka oleh pejabat yang berwenang haknya untuk menerima remisi dapat dibatalkan. Kedudukan remisi sebagai hak yang untuk mendapatkannya diperlukan suatu kewajiban, menunjukkan remisi itu bukan hadiah atau reward semata, tetapi benar-benar sebagai bentuk apresiasi atas kelakuan baik atau pertobatan narapidana yang bersangkutan. Dalam kedudukan yang demikianlah remisi hadir dan tepat sebagai sarana dalam pembinaan narapidana.
Namun dilakukannya pengaturan berbeda terhadap pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) belum dapat memberantas korupsi secara utuh (holistik). Pada prakteknya banyak pelaku tindak pidana korupsi berupaya “mengakali” atau berbuat curang agar dapat memperoleh remisi. Perbuatan tersebut dilakukan dengan memanipulasi masa pidana agar memperoleh remisi tidak pada waktu yang seharusnya. Ditengarai perbuatan tersebut dilakukan melalui kerjasama dengan oknum-oknum tertentu di lembaga pemasyarakatan.
Setidaknya demikian menurut kajian analisis dari Pusat Kajian Riset dan Analisis Anti Korupsi (PuKAT) Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Dalam kajian analisisnya terhadap pemberian remisi kepada Jaksa Urip Tri Gunawan ditengarai atau patut diduga telah terjadi manipulasi data atau perbuatan curang. Menurut hasil kajian tersebut Menteri Hukum dan HAM telah melakukan kekeliruan dengan mendasarkan pemberian remisi berdasarkan Pasal 34 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006) sehingga Jaksa Urip Tri Gunawan telah menerima remisi padahal masa pidananya belum memenuhi sepertiga (1/3) dari masa pidana. Mengacu pada masa Setidaknya demikian menurut kajian analisis dari Pusat Kajian Riset dan Analisis Anti Korupsi (PuKAT) Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Dalam kajian analisisnya terhadap pemberian remisi kepada Jaksa Urip Tri Gunawan ditengarai atau patut diduga telah terjadi manipulasi data atau perbuatan curang. Menurut hasil kajian tersebut Menteri Hukum dan HAM telah melakukan kekeliruan dengan mendasarkan pemberian remisi berdasarkan Pasal 34 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006) sehingga Jaksa Urip Tri Gunawan telah menerima remisi padahal masa pidananya belum memenuhi sepertiga (1/3) dari masa pidana. Mengacu pada masa
Jika ternyata hasil kajian analisis PuKAT FH UGM itu benar adanya, tentu saja hal ini telah menciderai rasa keadilan masyarakat utamanya merusak konsep pembinaan narapidana melalui pemberian remisi.
Oleh sebab itu diperlukan pengawasan dan evaluasi yang menyeluruh dari pejabat di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM khususnya di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan terhadap pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi. Diharapkan pengawasan yang efektif akan membawa hasil yang baik yakni pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi tepat sasaran dan sesuai sebagai sarana pembinaan.
45 Kajian Analisis PuKAT Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dalam Remisi di Negeri Koruptor oleh KP2KKN Jawa Tengah, hlm.4.