KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERIAN R

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2012

HALAMAN PENGESAHAN

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERIAN REMISI KEPADA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (KORUPTOR)

Penulisan Hukum

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan program Sarjana (S1) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro Semarang

Oleh :

DANIEL TULUS M. SIHOTANG

B2A 008 324

Penulisan Hukum Dengan Judul di Atas Telah Disahkan Dan Disetujui Untuk

Diperbanyak Kemudian Diujikan

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof.Dr.Nyoman Serikat Putra Jaya,SH.MH) (Dr. RB.Sularto, SH.M.Hum)

ii

HALAMAN PENGUJIAN

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERIAN REMISI KEPADA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (KORUPTOR)

Dipersiapkan dan Disusun Oleh :

DANIEL TULUS M. SIHOTANG

B2A 008 324

telah diujikan di Depan Dewan Penguji Pada Hari Kamis, 5 April 2012

Semarang, 5 April 2012 Dewan Penguji

Ketua Sekretaris

(Prof. Dr. Yos Johan Utama,S.H.,M.Hum) (Dr. R.B.Sularto,S.H.,M.Hum)

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof.Dr.Nyoman Serikat PJ,S.H.,MH) (Dr. R.B.Sularto,S.H.,M.Hum)

Penguji

(Dr. Pujiyono,S.H.,M.Hum)

iii

MOTTO

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

! !! "

%!

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM

PEMBERIAN REMISI KEPADA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (KORUPTOR)”.

Skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan guna menyelesaikan Program Sarjana (Stara-1) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini banyak memperoleh dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan rasa hormat penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, antara lain kepada :

1. Bapak Prof. Sudharto P. Hadi, M.ES, Ph.D selaku Rektor Universitas Diponegoro Semarang; 2. Bapak Prof. Dr. Yos Johan Utama,S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang; 3. Bapak Dr. Pujiyono, S.H.,M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro; 4. Bapak Prof. Dr.Nyoman Serikat PJ, S.H.,MH. selaku Dosen Pembimbing

I yang dengan sabar memberikan bimbingan, petunjuk, arahan, semangat dan kepercayaan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan ;

vi

5. Bapak Dr. R.B.Sularto,S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, semangat dan kepercayaan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya; 6. Bapak Dr. Pujiyono, S.H.,M.Hum selaku Dosen Penguji yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang; 7. Bapak Budiharto, S.H.,M.S selaku Dosen Wali yang telah memberikan nasehat, bimbingan dan arahan selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang; 8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang dan segenap Civitas Akademik Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang yang telah banyak membantu selama masa studi penulis; 9. Kedua orangtua penulis Bapak Mangadar Sihotang,SmHK,M.Ba (+). dan Ibu Betsaida Situmorang yang sangat penulis sayangi, terima kasih untuk doa dan kasih sayangnya serta adik-adik penulis, Boby Aditya Sihotang dan Delila Teresia Marisi Sihotang yang selalu memberikan semangat buat penulis; 10. Kekasih penulis yang terkasih Febrina Elisa yang senantiasa memberi doa, motivasi dan saran demi kelancaran skripsi ini. 11. Saudara-saudaraku yang terkasih Keluarga Besar Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan

vii

Keluarga Besar NHKBP Kertanegara Semarang. Terimakasih untuk kebersamaan, jalinan persaudaraan dan sukacita yang telah kita jalani selama ini. 12. Saudara-saudaraku yang terkasih Pengurus NHKBP Kertanegara Semarang Periode 2010 - 2012. Terimakasih untuk kebersamaan, jalinan persaudaraan dan sukacita yang telah kita jalani selama ini. 13. Teman-teman terdekatku, Samuel Hutasoit, S.H., Holong J. Manullang, S.E, Freedom Siahaan, S.H., Manggiring Silalahi, David Ginting, Mesayus Bangun, Dechry Simatupang, Bernard Silitonga, Efrain M. Lisapaly, Rocky Panjaitan, Sihar Simanjuntak, Hot Asih, yang senantiasa membantu 14. Teman-teman angkatan 2008 Fakultas Hukum Undip; 15. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan yang tentu saja tidak disengaja, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan baik saran maupun kritik dari semua pihak guna kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi semua pihak yang membutuhkan.

Semarang, April 2012 Hormat Penulis

Daniel Tulus M. Sihotang

viii

ABSTRAK

Tindak pidana korupsi dikenal sebagai suatu kejahatan luar biasa atau extraordinary crime oleh sebab itu diperlukan cara-cara yang luar biasa untuk memberantasnya sekaligus mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mewujudkan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Upaya-upaya luar biasa tersebut diterjemahkan dalam proses peradilan kepada para koruptor mulai dari tingkat penyidikan sampai tahap pelaksanaan pidana yang mana muara akhir dari seluruh tahapan proses tersebut ada pada tahap pelaksanaan pidana di Lembaga Pemasyarakatan dalam hal koruptor tersebut dijatuhi pidana kemerdekaan badan.

Tujuan penulisan hukum ini adalah mengetahui peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi pada saat ini serta bagaimana formulasi pemberian remisi di masa yang akan datang.

Penulisan hukum ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau sering disebut sebagai penelitian doktrinal (studi kepustakaan) di mana yang menjadi sumber data adalah data sekunder yang terdiri dari kumpulan hukum primer dan sekunder.

Sejatinya remisi hadir sebagai suatu cermin dari sistem pemidanaan dalam hal ini hukum penitensier di Indonesia yang menganut Sistem Pemasyarakatan. Pemberian remisi kepada koruptor didasarkan pada Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan beserta aturan pelaksanaannya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 juntco Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Masyarakat. Para koruptor yang telah divonis bersalah juga berhak memperoleh remisi, akan tetapi saat ini begitu banyak koruptor yang telah divonis bersalah oleh pengadilan dengan pidana perampasan kemerdekaan badan selama sekian tahun namun dapat dengan sangat cepatnya “menyelesaikan” masa pidana tersebut di Lembaga Pemasyarakatan. Patut diduga hal tersebut disebabkan oleh pemberian remisi yang tidak sesuai dengan persyaratan yang sebenarnya. Kementerian Hukum dan HAM pun merespon hal tersebut dengan mengeluarkan suatu kebijakan moratorium pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi (koruptor).

Sejalan dengan sistem dan filosofi pemidanaan yang dianut di Indonesia pemberian remisi adalah sarana pembinaan dengan tujuan preventif, rehabilitatif dan reintegrasi social yang haruslah menjadi fokus utama dalam penerapan pemberian remisi kepada koruptor, sehingga dalam pelaksanaannya pemberian remisi kepada koruptor tidak bertentangan dengan undang – undang maupun tujuan serta filosofi pemidanaan itu sendiri.

Kata kunci : Kebijakan Hukum Pidana, Remisi, Tindak Pidana Korupsi

ix

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Dengan demikian segala sesuatunya harus taat ketentuan hukum sebagai upaya yang menyeluruh untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, menjunjung tinggi hak asasi manusia, menjamin tegaknya supremasi hukum dengan tidak ada pengecualian atas siapapun di mata hukum. Di samping itu amademen Undang – Undang Dasar Tahun 1945 yang selanjutnya disebut sebagai UUD 1945 secara tegas memberikan perlindungan mengenai hak asasi manusia . Oleh sebab itu semua warga negara berkesempatan memperoleh perlakuan yang sama dihadapan hukum untuk menjadi manusia seutuhnya tanpa terkecuali orang yang berstatus sebagai narapidana.

Aspek penegakan hukum merupakan salah satu faktor yang mendapat peranan penting dalam konteks negara hukum (rechtstaat). Dalam arti sempit Aspek penegakan hukum merupakan salah satu faktor yang mendapat peranan penting dalam konteks negara hukum (rechtstaat). Dalam arti sempit

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu

bentuk penegakan hukum. 1 Untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut, perlu memperhatikan

pembangunan di bidang hukum, yang salah satunya yaitu hukum pidana. Hukum pidana dari suatu bangsa merupakan indikasi yang sangat penting untuk mengetahui tingkat peradaban bangsa itu, karena didalamnya tersirat bagaimana pandangan bangsa tersebut tentang etik (tata susila),

kemasyarakatan dan moral 2 . Tetapi hendaklah juga pembangunan di bidang hukum itu sendiri mendasarkan pada rasa keadilan.

Penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dapat diartikan bahwa hukum akan memperlakukan setiap orang secara adil dan beradab yang merupakan cerminan dari sila kedua Pancasila. Perlakuan

1 Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal.1 2 Sudarto,Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hal 4 1 Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal.1 2 Sudarto,Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hal 4

Lembaga Pemasyarakatan adalah suatu instansi akhir dalam proses peradilan pidana sebagai wadah bagi pelaku tindak pidana yang sudah mendapat keputusan dari hakim yang memiliki kekuatan hukum yang tetap untuk menjalani pemidanaan, yang mana di samping itu juga diberikan pembinaan dan bimbingan agar menjadi orang baik. Pembinaan narapidana selalu diarahkan pada resosialisasi (dimasyarakatkan kembali) dengan sistem pemasyarakatan berdasar pada Pancasila dan UUD 1945.

Dalam sistem pemasyarakatan sendiri, tujuan pemidanaan adalah pembinaan dan bimbingan, dengan tahap – tahap admisi/orientasi, pembinaan dan asimilasi. Untuk menumbuhkan motivasi dan kesadaran diri narapidana terhadap program pembinaan maka pemerintah melaksanakan program pemberian remisi. Narapidana yang benar – benar melaksanakan kewajibannya dengan baik maka ia berhak mendapat remisi sepanjang persyaratan lain terpenuhi. Ketentuan mengenai pemberian remisi ini disesuaikan dengan hak dan kewajiban setiap narapidana sebagai pemeluk agama yang merupakan sendi utama masyarakat.

Tindak pidana korupsi yang dikenal sebagai suatu kejahatan luar biasa atau extraordinary crime sehingga oleh karenanya diperlukan cara-cara yang Tindak pidana korupsi yang dikenal sebagai suatu kejahatan luar biasa atau extraordinary crime sehingga oleh karenanya diperlukan cara-cara yang

Upaya-upaya luar biasa tersebut diterjemahkan dalam proses peradilan kepada para koruptor mulai dari tingkat penyidikan sampai tahap pelaksanaan pidana. Tahapan demikian berlaku baik di Kepolisian dan Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada akhirnya , muara dari seluruh tahapan proses tersebut ada pada tahap pelaksanaan pidana di Lembaga Pemasyarakatan dalam hal koruptor tersebut dijatuhi pidana kemerdekaan badan.

Namun bukan hal aneh lagi jika saat ini begitu banyak koruptor yang telah divonis bersalah oleh pengadilan dengan pidana perampasan kemerdekaan badan selama sekian tahun namun dapat dengan sangat cepatnya “menyelesaikan” masa pidana tersebut di Lembaga Pemasyarakatan. Salah Namun bukan hal aneh lagi jika saat ini begitu banyak koruptor yang telah divonis bersalah oleh pengadilan dengan pidana perampasan kemerdekaan badan selama sekian tahun namun dapat dengan sangat cepatnya “menyelesaikan” masa pidana tersebut di Lembaga Pemasyarakatan. Salah

Sebagaimana diuraikan di atas hakikatnya remisi dihadirkan sebagai suatu cermin dari Sistem Pelaksanaan Pidana di Indonesia yang menganut Sistem Pemasyarakatan. Pemidanaan tidak lagi menggunakan sistem penjara yang notabene adalah semata-mata sebagai upaya pembalasan dendam kepada pelaku tindak pidana. Melalui konsep pemasyarakatan pemidanaan lebih ditujukan bagaimana pelaku tindak pidana dapat dimasyarakatkan kembali. Dalam hal tindak pidana korupsi, remisi hadir sebagai upaya pembinaan kepada koruptor agar para koruptor berupaya untuk berbuat baik. Remisi hadir sebagai rangsangan sekaligus hadiah (reward) agar narapidana berupaya untuk berbuat baik dalam arti menyelesali perbuatannya. Upaya pembinaan yang dimaksud adalah konsep dari sistem peradilan pidana yang dianut di negara ini. Sejatinya sistem peradilan pidana mengandung konsep pemidanaan dan pembinaan. Konsep pemidanaan dilaksanakan mulai dari tahapan proses penyidikan sampai putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sedangkan konsep pembinaan adalah kelanjutan dan pelaksanaan dari konsep pemidanaan itu sendiri dalam arti, seorang pelaku tindak pidana dalam menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Sebagaimana diuraikan di atas hakikatnya remisi dihadirkan sebagai suatu cermin dari Sistem Pelaksanaan Pidana di Indonesia yang menganut Sistem Pemasyarakatan. Pemidanaan tidak lagi menggunakan sistem penjara yang notabene adalah semata-mata sebagai upaya pembalasan dendam kepada pelaku tindak pidana. Melalui konsep pemasyarakatan pemidanaan lebih ditujukan bagaimana pelaku tindak pidana dapat dimasyarakatkan kembali. Dalam hal tindak pidana korupsi, remisi hadir sebagai upaya pembinaan kepada koruptor agar para koruptor berupaya untuk berbuat baik. Remisi hadir sebagai rangsangan sekaligus hadiah (reward) agar narapidana berupaya untuk berbuat baik dalam arti menyelesali perbuatannya. Upaya pembinaan yang dimaksud adalah konsep dari sistem peradilan pidana yang dianut di negara ini. Sejatinya sistem peradilan pidana mengandung konsep pemidanaan dan pembinaan. Konsep pemidanaan dilaksanakan mulai dari tahapan proses penyidikan sampai putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sedangkan konsep pembinaan adalah kelanjutan dan pelaksanaan dari konsep pemidanaan itu sendiri dalam arti, seorang pelaku tindak pidana dalam menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan

Namun pada prakteknya “hujan” remisi yang bertubi-tubi kepada koruptor agaknya melemahkan ciri tindak pidana korupsi itu sebagai kejahatan luar biasa. Melalui tahap formulasi dalam hal ini Undang-Undang Tipikor memberikan ciri khas bahwa korupsi itu adalah kejahatan luar biasa. Dalam tahap aplikasi oleh aparat penegak hukum (yudikatif atau pro yustisia) juga menunjukkan kekhasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Namun tahap eksekusi atau pelaksanaan pidana agaknya menciderai kekhasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Hal ini dikarenakan dapat dengan mudahnya para koruptor memperoleh remisi.

Memang telah ada ketentuan khusus dalam pemberian remisi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan maupun dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006. Ada ketentuan khusus yang menyatakan bahwa pemberian remisi kepada koruptor berbeda dengan kejahatan pada umumnya. Berikut dinyatakan dalam Pasal 34 ayat 3, “Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan Remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: berkelakuan baik, dan telah Memang telah ada ketentuan khusus dalam pemberian remisi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan maupun dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006. Ada ketentuan khusus yang menyatakan bahwa pemberian remisi kepada koruptor berbeda dengan kejahatan pada umumnya. Berikut dinyatakan dalam Pasal 34 ayat 3, “Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan Remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: berkelakuan baik, dan telah

Remisi sebagaimana diuraikan di atas memang adalah hak narapidana dan hadir sebagai upaya pembinaan narapidana itu sendiri atau dengan kata lain mewujudkan reintegrasi sosial narapidana. Namun dengan kenyataannya sekarang menjadi menarik untuk dikaji terkait pemberian remisi kepada koruptor apakah pantas untuk diberikan atau setidak-tidaknya bagaimana ketentuan yang seharusnya mengaturnya. Tentu saja muaranya agar remisi tidak menciderai ciri korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) tetapi murni sebagai sarana pembinaan narapidana.

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka menarik untuk dikaji permasalahan pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juntco Undang-Undang No.

20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang – Undang No.

12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi serta Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan melalui suatu penelitian yang berjudul “ Kebijakan Hukum Pidana Dalam

Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Koruptor)”

B. PERMASALAHAN

Dalam penelitian ini permasalahan dan pembahasan akan dibatasi pada kebijakan formulasi terhadap pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi (koruptor).

Adapun permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) pada saat ini ?

2. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) pada masa yang akan datang ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Perumusan tujuan penelitian merupakan pencerminan arah dan penjabaran strategi terhadap masalah yang muncul dalam penelitian. Dengan adanya tujuan penelitian maka suatu penelitian akan lebih terarah dan lebih bermanfaat. Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dalam pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) dalam perundang- undangan tindak pidana korupsi maupun perundang – undangan yang mengatur mengenai remisi pada saat ini.

2. Untuk mengembangkan hukum pidana dalam pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) dalam perundang- undangan tindak pidana korupsi ataupun perundang – undangan yang berhubungan dengan remisi pada masa yang akan datang.

D. KEGUNAAN PENELITIAN

Setiap hasil penelitian termasuk penelitian hukum pasti mempunyai kegunaan. Diharapkan penelitian hukum ini dapat memberi manfaat bagi aspek penegakan hukum di negara ini. Adapun kegunaan yang dapat diambil dari penelitian hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

Mengembangkan wawasan dan pengetahuan ilmu hukum mengenai kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi maupun perundang – undangan yang berhubungan dengan remisi pada saat ini dan yang akan datang.

2. Kegunaan Praktis

a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti serta memberikan dasar-dasar atau landasan untuk penelitian lebih lanjut.

b. Memberikan informasi dan sumbangan pemikiran kepada para mahasiswa dan akademisi lainnya mengenai kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi maupun perundang – undangan yang berhubungan dengan remisi.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermudah memahami isinya, maka penulisan skripsi ini disajikan dalam bentuk rangkaian bab, yang terdiri dari lima bab yang berisi Untuk mempermudah memahami isinya, maka penulisan skripsi ini disajikan dalam bentuk rangkaian bab, yang terdiri dari lima bab yang berisi

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari lima sub bab yang terdiri dari Latar belakang penelitian (Sub Bab A), Perumusan Masalah (Sub Bab B), Tujuan Penelitian (Sub Bab C), Kegunaan Penelitian (Sub Bab D), serta Sistematika Penulisan Skripsi (Sub Bab E).

Dalam Sub Bab A diuraikan sedikit tentang latar belakang hadirnya gagasan mengenai pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana khususnya pelaku tindak pidana korupsi (koruptor). Selain itu penulis juga menguraikan tentang formulasi pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana khususnya pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi maupun perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberian remisi.

Dalam Sub Bab B diuraikan mengenai perumusan masalah yang akan diteliti. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyimpangan dalam pengumpulan data serta kekaburan dalam pembahasan hasil penelitian. Pokok- pokok permasalahan yang akan diteliti adalah kebijakan hukum pidana dalam pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana khususnya pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi Dalam Sub Bab B diuraikan mengenai perumusan masalah yang akan diteliti. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyimpangan dalam pengumpulan data serta kekaburan dalam pembahasan hasil penelitian. Pokok- pokok permasalahan yang akan diteliti adalah kebijakan hukum pidana dalam pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana khususnya pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi

Dalam Sub Bab C dijelaskan mengenai tujuan dari penelitian dan penulisan - penulisan hukum ini. Dalam Sub Bab D dijelaskan tentang kegunaan yang diharapkan oleh penulis dari penelitian dan penulisan hukum ini. Kegunaan-kegunaan ini dikelompokkan menjadi kegunaan teoritis dan kegunaan praktis.

Dalam Sub Bab E diuraikan mengenai sistematika penulisan skripsi, di mana dalam bagian ini dapat melihat isi skripsi sehingga akan mendapatkan gambaran secara garis besar mengenai hal apa saja yang di bahas dalam tiap- tiap bab.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan mengenai teori dasar atau landasan teoritis yang mendasari penulisan skripsi ini. Bab ini terdiri dari Kebijakan Penegakan Hukum Pidana (Sub Bab A), Kebijakan Sistem Pemidanaan (Sub Bab B).

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini secara jelas dan terperinci. Metode-metode tersebut terdiri atas Metode Pendekatan (Sub Bab A), Spesifikasi Penelitian (Sub Bab B), Teknik Pengumpulan Data (Sub Bab C), Metode Analisis Data (Sub Bab D).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang uraian hasil penelitian. Dalam bab ini akan disajikan data-data yang telah diperoleh pada saat pelaksanaan penelitian yang dilakukan melalui studi pustaka sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang telah ditentukan. Bab ini terdiri dari kebijakan hukum pidana dalam pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) dalam Perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi serta perundang – undangan yang berhubungan dengan pemberian remisi saat ini (Sub Bab A) dan Kebijakan Formulasi Pemberian Remisi Kepada Pelaku tindak Pidana Korupsi (Koruptor) dalam Perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi serta Perundang – Undangan yang berhubungan dengan pemberian remisi pada masa yang akan datang (Sub Bab B).

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup dalam skripsi ini yang terdiri dari Kesimpulan (Sub Bab A) dan Saran (Sub Bab B) yang bertujuan agar terdapat kesimpulan dalam pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) dalam undang-undang tindak pidana korupsi serta perundang – undangan yang berhubungan dengan pemberian remisi saat ini dan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi serta perundang – undangan yang berhubungan dengan pemberian remisi yang akan datang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebijakan Penegakan Hukum Pidana

A.1. Pengertian Kebijakan Kriminal

Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari istilah ini, maka kebijakan kriminal dapat pula disebut sebagai politik kriminal.

Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu: 3

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dan aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; serta

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang- undangan dan badan – badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma – norma sentral dari masyarakat.

Dalam rumusan yang lebih singkat, Sudarto menyatakan bahwa kebijakan atau politik kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari

masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. 4 Defenisi ini diambil dari defenisi Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the rational organization

3 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru , (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 3.

4 Ibid., hlm. 3 4 Ibid., hlm. 3

“Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime” 6 .

Pada dasarnya kebijakan atau politik kriminal adalah bagian dari kebijakan atau politik sosial. Kebijakan sosial ini bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan melindungi masyarakat (social defence). Maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kebijakan kriminal adalah bagian integral dari kebijakan sosial yang bertujuan untuk melindungi masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat, bahwa upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan,

dalam arti 7 :

a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial;

b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan “penal” dan “non penal”.

5 Ibid., hlm. 3 6 Ibid., hlm. 3

7 Ibid., hal. 5-6

A.2. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan kriminal dapat terlaksana dengan baik jika ada keterpaduan antara kebijakan hukum pidana (penal policy) dan kebijakan non penal (non penal policy) .

1. Kebijakan Penal ( Penal Policy)

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Sudarto menyatakan, “Politik Hukum” adalah :

1) Usaha untuk mewujudkan peraturan – peraturan yang baik, sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. 8

2) Kebijakan dari negara melalui badan – badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan – peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang

dicita-citakan. 9 Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto selanjutnya menyatakan

bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling

baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna 10 . Dalam kesempatan lain beliau menyatakan bahwa melaksanakan “politik hukum

pidana” berarti berusaha mewujudkan peraturan perundang-undangan

8 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung, Alumni, 1981), hlm. 159. 9 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Bandung, Sinar Baru, 1983), hlm. 20.

10 Sudarto, Op.cit., hlm. 161 10 Sudarto, Op.cit., hlm. 161

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana di atas terlihat pula dalam defenisi “penal policy” yang dikemukakan oleh Marc Ancel sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.

Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat “represif” (penindasan, pemberantasan,

penumpasan) setelah kejahatan itu terjadi. Menurut A. Mulder 11 , “Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan :

1) Seberapa jauh ketentuan – ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah dan diperbaharui;

11 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group 2008), hlm. 27.

2) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

3) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kebijakan hukum pidana meliputi sekaligus merupakan perwujudan dari tiga proses kebijakan yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi.

a. Tahap Formulasi Pada dasarnya tahap formulasi merupakan tahap yang paling strategis dan menentukan, dilihat dari keseluruhan proses kebijakan untuk mengoperasionalisasikan sanksi pidana. Kesalahan pada tahap formulasi atau legislasi akan berpengaruh besar ke tahap aplikasi dan eksekusi.

Menurut Barda Nawawi Arief sebagai salah satu bagian dari mata rantai perencanaan penanggulangan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, maka tahap penetapan pidana (tahap formulasi) harus merupakan tahap yang matang mengenai kebijakan-kebijakan tindakan apa yang seharusnya diambil Menurut Barda Nawawi Arief sebagai salah satu bagian dari mata rantai perencanaan penanggulangan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, maka tahap penetapan pidana (tahap formulasi) harus merupakan tahap yang matang mengenai kebijakan-kebijakan tindakan apa yang seharusnya diambil

Kebijakan formulasi merupakan tahapan paling strategis dari keseluruhan proses fungsionalisasi dan konkretisasi hukum pidana. Sehingga dengan demikian kebijakan formulasi merupakan langkah awal di dalam penanggulangan kejahatan, yang secara fungsional dapat dilihat sebagai bagian dari perencanaan dan mekanisme penanggulangan kejahatan. Yang

dituangkan ke dalam perundang-undangan meliputi 13 :

1) Perencanaan / kebijakan tentang perbuatan apa yang

dilarang.

2) Perencanaan / kebijakan mengenai pertanggungjawaban

pidana bagi pelakunya

3) Perencanaan / kebijakan mengenai formulasi sanksi dan pemidanaan atas perbuatan tersebut.

b. Tahap aplikasi Tahap aplikasi adalah tahap penerapan ketentuan- ketentuan pidana yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.

12 Muladi dan Barda Nawawi Arief, “Teori-Teori dan Kebijakan Pidana”, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 92

13 Ibid.,hlm. 198 13 Ibid.,hlm. 198

2. Kebijakan non penal

Kebijakan non penal adalah kebijakan yang lebih bersifat tindakan pencegahan terjadinya kejahatan. Dengan demikian sasarannya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (faktor kriminogen).

Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah- masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.

B. Kebijakan Sistem Pemidanaan

B.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Pemidanaan

Sistem pemidanaan adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan (the staturory rules relating to penal sanctions and punish-ment).

Pengertian sistem pemidanaan dapat dilihat dari dua sudut, yaitu:

1. Dalam arti luas Sistem pemidanaan dilihat dari sudut fungsional, yaitu dari sudut bekerjanya atau prosesnya. Dalam arti luas ini, sistem

pemidanaan dapat diartikan sebagai 14 :

a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi atau operasionalisasi atau kongkretisasi pidana;

b. Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalisasikan secara kongkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.

Dengan demikian maka sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana Materil/ substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formal dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan Pidana. Ketiga sub- sistem ini merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalisasikan atau ditegakkan secara kongkret hanya dengan salah satu sub-

sistem. 15

14 Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009), hlm. 2.

15 Ibid.,hlm. 2

2. Dalam arti sempit Sistem pemidanaan dilihat dari sudut normatif atau substantif, yaitu hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana susbtantif. Dalam arti sempit ini, maka sistem pemidanaan dapat

diartikan sebagai 16 :

a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan;

b. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemberian atau penjatuhan dan pelaksanaan pidana.

Keseluruhan peraturan perundang-undangan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di dalam undang-undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari

aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). 17

B.2. Teori dan Filosofi Pemidanaan

B.2.1. Teori Pemidanaan

Berbicara masalah pidana tentu tidak lepas dari pembicaraan mengenai pemidanaan. Sudarto mengatakan bahwa :

16 Ibid., hlm.3 17 Ibid.,hlm. 4

“Perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah ‘penghukuman’. Penghukuman sendiri berasal dari kata ‘hukum’, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya (berechten ). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh karena istilah tersebut harus, yakni penghukuman

dalam perkara pidananya disempitkan arti yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh

hakim.” 18

Pendapat Sudarto tersebut, dapat diartikan bahwa pemidanaan dapat diartikan sebagai penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Tahap pemberian pidana dalam hal ini ada dua arti, yaitu dalam arti luas yang menyangkut pembentuk undang – undang yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana. Arti konkret, yang menyangkut berbagai badan yang mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana tersebut.

Jerome Hall dalam M.Sholehuddin memberikan perincian mengenai pemidanaan, sebagai berikut :

1. Pemidanaan adalah kehilangan hal – hal yang diperlukan dalam hidup;

2. Ia memaksa dengan kekerasan;

3. Ia diberikan atas nama Negara “diotorisasikan”;

18 P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung : Binacipta, 1987), hlm. 17.

4. Pemidanaan mensyaratkan adanya peraturan – peraturan, pelanggarannya dan penentuannya yang diekspresikan di dalam putusan;

5. Ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai – nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika;

6. Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si pelanggar,

motif dan dorongannya. 19 Dalam praktek yang berkembang pada saat ini jika

dibandingkan dengan teori – teori pemidanaan serta tujuan yang ingin dicapai, maka akan dijumpai hal – hal yang tidak jelas dan mengalami kerancuan dalam implementasinya. Akibatnya adalah kepada hasil yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi landasannya. Adapun teori – teori pemidanaan tersebut adalah :

1. Retribution

Dipandang bahwa pemidanaan adalah akibat mutlak/ nyata yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada

19 M. Sholehudin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), hlm. 70 19 M. Sholehudin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), hlm. 70

Menurut Immanuel Kant yang dikutip Muladi 20 : “…Pidana tidak pernah dilaksanakan semata –

mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam hal semua harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya

menerima ganjaran dan perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang pelanggaran yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.”

2. Deterrence

Deterrence merupakan suatu bentuk teori pemidanaan yang didominasi oleh pandangan konsekwensialis. Teori ini berpandangan bahwa ada tujuan lain yang lebih bermanfaat daripada sekedar pembalasan.

20 Immanuel Kant dalam Philosopy of Law sebagaimana dikutip Muladi dan Barda Nawawi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cet.1. (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

1995), hlm. 11

Teori ini sering dikaitkan dengan pandangan utilitarian. Utilitarianis Bentham mengemukakan bahwa

tujuan – tujuan dari pidana ialah : 21

- Mencegah semua pelanggaran (to prevent all offences) - Mencegah pelanggaran yang paling jahat (to prevent the worst offences) - Menekan kejahatan (to keep down mischief) - Menekan kerugian/ biaya sekecil – kecilnya (to act the least expense)

Muladi dan Barda Nawawi mengutip pandangan Bentham menyatakan bahwa pidana yang berat diterima karena pengaruh yang bersifat memperbaiki (reforming

effect) 22 . Akan tetapi ia mengakui bahwa pidana yang berat harus diterima oleh rakyat sebelum diberlakukan atau

diefektifkan. 23 Alas an memasukkan pandangan Bentham ini adalah pada alas an yang dikemukakannya bahwa

hukum pidana jangan digunakkan sebagai saran

21 Jeremy Bentham sebagaimana dikutip Muladi dan Barda Nawawi, Ibid, hlm. 31 22 Ibid, hlm. 31 23 Ibid.

pembalasan terhadap penjahat, tetapi hanya untuk tujuan mencegah terjadinya kejahatan. 24

3. Rehabilitation

Teori ini merupakan bagian dari teori deterrence, akan tetapi rehabilitasi lebih memfokuskan diri untuk mereformasi atau memperbaiki pelaku. Pandangan rehabilitasi yang dilatarbelakangi pandangan positivis dalam kriminologi, maka penyebab kejahatan dikarenakan penyakit kejiwaan atau penyimpangan social baik dalam pandangan psikiatri atau psikologi. Dipihak lain kejahatan dalam teori ini dipandang sebagai penyakit social yang disintegrative dalam masyarakat.

4. Incapacitation

Teori incapacitation pada dasarnya merupakan suatu teori pemidanaan yang membatasi orang dari masyarakat selama waktu tertentu dengan tujuan perlindungan masyarakat pada umumnya. Ada terdapat kelemahan yang signifikan dalam teori ini, bahwa teori ini ditujukan kepada jenis pidana yang sifatnya berbahaya pada masyarakat

24 Ibid.

sedemikian besar seperti genosida, terorisme atau yang sifatnya meresahkan masyarakat.

5. Resocialization

Teori resosialisasi pada dasarnya kebalikan dari teori incapacitation. Teori resosialisasi melihat bahwa pemidanaan dengan cara desosialisasi, yaitu memisahkan pelaku dari kehidupan sosialmasyarakat dan membatasnya untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat, pada dasarnya dapat menghancurkan pelaku.

6. Restitusi, Kompensasi dan Reparasi

Teori restitusi, kompensasi dan repasrasi meletakkan posisi korban sebagai bagian penting dari suatu tujuan pemidanaan. Namun demikian apabila tidak ada individu yang dapat diidentifikasi sebagai korban, maka bentuk perbaikan ini dapat diarahkan kepada masyarakat. Terdapat tiga terminology yang sering digunakan dalam pengertian yang hamper sama yaitu, reparasi, restitusi, dan kompensasi.

7. Integratif

Teori integratif ini merupakan gabungan dari keseluruhan teori pemidanaan yang ada, menyangkut Teori integratif ini merupakan gabungan dari keseluruhan teori pemidanaan yang ada, menyangkut

B.2.2. Filosofi Pemidanaan

M. Sholehuddin menyebutkan tiga perspektif filsafat tentang pemidanaan, yaitu :

1. Perspektif Eksistensialisme

Dalam perspektif ini hukum dan pidana merupakan sarana untuk memelihara dan meningkatkan kebebasan individu dalam masyarakat. Hak untuk menjaga dan memelihara kebebasan itu diserahkan kepada negara untuk memidana. Oleh karena itu, Camus berpandangan bahwa pemidanaan bersifat rehabilitasi yaitu ddengan pendidikan kembali (re-edukasi). Pemidanaan berusaha melindungi dan menjaga guna mengurangi kebebasan pelaku kriminal.

2. Perspektif Sosialisme

Menurut paham ini, pemidanaan berpangkal tolak dari kepentingan Negara, bukan individu. Hukum pidana soviet Menurut paham ini, pemidanaan berpangkal tolak dari kepentingan Negara, bukan individu. Hukum pidana soviet

3. 25 Perspektif Pancasila.

Negara Indonesia menganut paham ini. Falsafah Indonesia adalah Pancasila yang menuntut keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat, bangsa dan negara. Tanggung jawab pemidanaan tidak dapat dibedakan secara serta merta kepada pelaku kejahatan karena pada dasarnya kejahatan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari realitas kehidupan suatu amsyarakat. Menurut paham ini hukum pidana (termasuk pemidanaan) di Indonesia harus berorientasi kepada kepentingan individu (pelaku kejahatan) dan kepentingan masyarakat, termasuk korban kejahatan.

Kehidupan masyarakat Pancasila, kepentingan individu dan masyarakat menduduki posisi yang seimbang, keduanya saling melengkapi dan membatasi. Keselarasan antara kedua kepentingan tersebut menjamin terwujudnya keadilan, ketentraman dan keselarasan dalam masyarakat.

25 M. Sholehuddin, Op.cit.,hlm. 112-114

Asas keseimbangan ini mengandung arti bahwa pemidanaan harus mengakomodasi kepentingan masyarakat, pelaku dan korban. Pemidanaan tidak boleh hanya memfokuskan pada salah satu kepentingan.

Sue Titus Reid dalam M. Sholehuddin mengajukan empat filsafat pemidanaan yang digunakan untuk membenarkan atau menjustifikasi pemidanaan, yaitu rehabilitasi, inkapasitasi, pencegahan dan retribusi.. M. Sholehuddin menyatakan tampak dalam pernyataan Reid di atas menyatakan bahwa konsep rehabilitation, incapacitation, deterrence, dan retribution adalah empat filsafat pemidanaan. Padahal keempat konsep tersebut termasuk dalam kategori

tujuan pemidanaan. 26

Sehingga pada dasarnya latar belakang penjatuhan pidana ditujukan untuk mencegah terjadinya kejahatan, namun demikian pun muncul persoalan, bahwa pemidanaan terkadang bukan mengurangi kejahatan tetapi justru menambah dan membuat kejahatan semakin marak terjadi. Hal ini terlihat dari narapidana yang telah keluar dari lembaga pemasyarakatan

26 Ibid., hlm. 129-130.

yang sangat sulit berintegrasi dengan baik dengan lingkungan masyarakat sekitarnya.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa hakekatnya Indonesia yang menganut filosofi pancasila dalam hal pemidanaan, yang mana mempertimbangkan keseimbangan antara si pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) dengan masyarakat. Untuk itu masyarakat juga dituntut dapat mengetahui perihal apa yang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana korupsi dan pidana yang diancamkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi (koruptor). Adapun pengertian tindak pidana korupsi dan ancaman pidana tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :

1. Tindak Pidana Korupsi

a) Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Dalam ilmu hukum pidana, masalah tindak pidana adalah merupakan bagian yang paling pokok dan sangat penting. Istilah tindak pidana merupakan istilah teknis yuridis yang berasal dari bahasa Belanda “strafbaar feit” atau “delict” yang mempunyai pengertian yang dilarang oleh peraturan hukum pidana yang dikenakan sanksi pidana barangsiapa yang melanggarnya. Namun para sarjana Dalam ilmu hukum pidana, masalah tindak pidana adalah merupakan bagian yang paling pokok dan sangat penting. Istilah tindak pidana merupakan istilah teknis yuridis yang berasal dari bahasa Belanda “strafbaar feit” atau “delict” yang mempunyai pengertian yang dilarang oleh peraturan hukum pidana yang dikenakan sanksi pidana barangsiapa yang melanggarnya. Namun para sarjana

Moeljatno menyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana, asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan.

Korupsi berasal dari kata “corruptio” yang berarti kerusakan. Dalam bahasa Inggris menjadi “corruption” atau “corrupt” dalam bahasa Perancis menjadi “corruption” dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah “corruptie” (korruptie). Secara harfiah istilah tersebut berarti segala macam perbuatan yang tidak baik seperti yang dikatakan Andi Hamzah sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak Korupsi berasal dari kata “corruptio” yang berarti kerusakan. Dalam bahasa Inggris menjadi “corruption” atau “corrupt” dalam bahasa Perancis menjadi “corruption” dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah “corruptie” (korruptie). Secara harfiah istilah tersebut berarti segala macam perbuatan yang tidak baik seperti yang dikatakan Andi Hamzah sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak

Arti korupsi secara harfiah lainnya yang dapat dikutip, yaitu: